Professional Documents
Culture Documents
OLEH :
KELOMPOK V
2016
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini gagal jantung banyak dijumpai dan menjadi penyebab morbiditas dan
mortalitas utama. Setengah dari pasien yang terdiagnosis gagal jantung masih punya
harapan hidup 5 tahun. Penelitian Framingham menunjukkan mortalitas 5 tahun sebesar
62% pada pria dan 42% wanita. Begitu juga dengan risiko untuk menderita gagal jantung,
10% untuk kelompok di atas 70 tahun, dan 5% untuk kelompok usia 60-69 tahun serta 2%
untuk kelompok usia 40-59 tahun.
Data dari American Heart Association Society (AHA) 2003 menunjukkan, peran
gagal jantung sebagai penyebab menurunnya kualitas hidup penderita dan penyebab
kematian bertambah. Di AS 4,8 juta penderita dengan gagal jantung dan setiap tahun
bertambah 550 ribu. Setiap tahun gagal jantung menyebabkan kematian 290 ribu orang.
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) jumlah penderita gagal jantung mencapai 22
juta pasien pada tahun 2002. Sedangkan di Indonesia menurut catatan Pusat Jantung
Nasional Harapan Kita (bagian kardoiologi FKUI) melaporkan peningkatan dari 9%
ditahun 1999 menjadi 11% ditahun 2001, dengan angka kematian 9% ditahun 2004
dengan angka kematian 8% di tahun 2007. Karena itulah, penanganan sedini mungkin
sangat dibutuhkan untuk mencapai angka mortalitas yang minimal.
Gagal jantung merupakan suatu masalah kesehatan yang serius diberbagai negara,
baik di negara maju maupun negara berkembang. Berdasarkan definisi patofisiologik
gagal jantung (decompensatiocordis) atau dalam bahasa inggris Heart Failure adalah
ketidakmampuan jantung untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan pada saat
istirahat atau kerja ringan. Hal tersebut akan menyebabkan respon sistemik khusus yang
bersifat patologik (sistem saraf, hormonal, ginjal, dan lainnya) serta adanya tanda dan
gejala yang khas.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung secara tiba-tiba dan mendadak, bisa
terjadi pada seseorang yang memang didiagnosa dengan penyakit jantung ataupun tidak.
Waktu kejadiannya tidak bisa diperkirakan, terjadi dengan sangat cepat begitu gejala dan
tanda tampak (American Heart Association,2010). Jameson, dkk (2005), menyatakan
bahwa cardiac arrest adalah penghentian sirkulasi normal darah akibat kegagalan jantung
untuk berkontraksi secara efektif.
Gagal jantung adalah suatu keadaan patofisiologis adanya kelainan fungsi jantung
berakibat jantung gagal memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme
jaringan atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peningkatan pengisian ventrikel
kiri (Noer,1996) .
2.2 Etiologi
4. Penyakit jantung lain, misalnya : pada mekanisme gangguan aliran darah melalui
jantung (stenosis atau penyempitan katup semilunar dan katup alveonar), pada
peningkatan afterload mendadak hipertensi maligna (peningkatan tekanan darah
berat disertai kelainan pada retina,ginjal dan kelainan serebal).
2.3 Klasifikasi
Adapun klasifikasi Decompensasi Cordis adalah, gagal jantung kanan dan gagal jantung
kiri (Tambayong, 2000).
Dengan berkurangnya curah jantung pada gagal jantung mengakibatkan pada akhir
sistol terdapat sisa darah yang lebih banyak dari keadaan keadaan normal sehingga
pada masa diatol berikutnya akan bertambah lagi mengakibatkan tekanan distol
semakin tinggi, makin lama terjadi bendungan didaerah natrium kiri berakibat tejadi
peningkatan tekanan dari batas normal pada atrium kiri (normal 10-12 mmHg) dan
diikuti pula peninggian tekanan vena pembuluh pulmonalis dan pebuluh darah kapiler
di paru, karena ventrikel kanan masih sehat memompa darah terus dalam atrium
dalam jumlah yang sesuai dalam waktu cepat tekanan hodrostatik dalam kapiler paru-
paru akan menjadi tinggi sehingga melampui 18 mmHg dan terjadi transudasi cairan
dari pembuluh kapiler paru-paru. Pada saat peningkatan tekanan arteri pulmonalis dan
arteri bronkhialis, terjadi transudasi cairanin tertisiel bronkus mengakibatkan edema
aliran udara menjadi terganggu biasanya ditemukan adanya bunyi ekspirasi dan
menjadi lebih panjang yang lebih dikenal asma kardial fase permulaan pada gagal
jantung, bila tekanan di kapiler makin meninggi cairan transudasi makin bertambah
akan keluar dari saluran limfatik karena ketidaka mampuan limfatik untuk,
menampungnya (>25 mmHg) sehingga akan tertahan dijaringan intertissiel paru- paru
yang makain lama akan menggangu alveoli sebagai tempat pertukaran udara
mengakibatkan udema paru disertai sesak dan makin lama menjadi syok yang lebih
dikenal dengan syak cardiogenik diatandai dengan tekanan diatol menjadi lemah dan
rendah serta perfusi menjadi sangat kurang berakibat terdi asidosis otot-otot jantung
yang berakibat kematian.
Gagalnya khususnya pada ventrikel kiri untuk memompakan darah yang mengandung
oksigen tubuh yang berakibat dua antara lain:
b. Dan kongesti paru seperti menurunnya tonus simpatis, darah balik yang
bertambah, penurunan pada pusat pernafasan, edema paru, takikakrdia,
Kegagalan venrikel kanan akibat bilik ini tidak mampu memeompa melawan tekanan
yang naik pada sirkulasi pada paru-paru, berakibat membaliknya kembali kedalam
sirkulasi sistemik, peningkatan volume vena dan tekanan mendorong cairan
keintertisiel masuk kedalam (edema perifer) (long, 1996). Kegagalan ini akibat
jantung kanan tidak dapat khususnya ventrikel kanan tidak bisa berkontraksi dengan
optimal, terjadi bendungan diatrium kanan dan venakapa superior dan inferior dan
tampak gejal yang ada adalah udemaperifer, hepatomegali, splenomegali, dan tampak
nyata penurunan tekanan darah yang cepat. Hal ini akibat vetrikel kanan pada saat
sisitol tidak mampu memompa darah keluar sehingga saat berikutnya tekanan akhir
diastolik ventrikel kanan makin meningkat demikian pula mengakibatkan tekanan
dalam atrium meninggi diikuti oleh bendungan darah vena kava supperior dan vena
kava inferior serta seluruh sistem vena. Tampak gejala klinis adalah terjadinya
bendungan vena jugularis eksterna, vena hepatika (tejadi hepatomegali, vena lienalis
(splenomegali) dan bendungan-bedungan pada pada vena-vena perifer. Dan apabila
tekanan hidristik di pembuluh kapiler meningkat melampui takanan osmotik plasma
maka terjadinya edema perifer.
New York Heart Association (NYHA) membuat klasifikasi fungsional dalam 4 kelas :
Kelas 2; Bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas lebih berat dari aktivitas
sehari hari tanpa keluhan.
Kelas 3; Bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas sehari hari tanpa keluhan.
Kelas 4; Bila pasien sama sekali tidak dapat melakukan aktivits apapun dan
harus tirah baring.
1. Organ-organ tubuh akan mulai berhenti berfungsi akibat tidak adanya suplai oksigen,
termasuk otak.
2. Hypoxia cerebral atau ketiadaan oksigen ke otak, menyebabkan korban kehilangan
kesadaran (collapse).
3. Kerusakan otak mungkin terjadi jika cardiac arrest tidak ditangani dalam 5 menit,
selanjutnya akan terjadi kematian dalam 10 menit.
4. Napas dangkal dan cepat bahkan bisa terjadi apnea (tidak bernafas).
5. Tekanan darah sangat rendah (hipotensi) dengan tidak ada denyut nadi yang dapat
terasa pada arteri.
2.5 Patofisiologis
Pathway
1. Elektrokardiogram
Biasanya tes yang diberikan ialah dengan elektrokardiogram (EKG). Ketika
dipasang EKG, sensor dipasang pada dada atau kadang-kadang di bagian tubuh
lainnya missal tangan dan kaki. EKG mengukur waktu dan durasi dari tiap fase
listrik jantung dan dapat menggambarkan gangguan pada irama jantung. Karena
cedera otot jantung tidak melakukan impuls listrik normal, EKG bisa menunjukkan
bahwa serangan jantung telah terjadi. ECG dapat mendeteksi pola listrik abnormal,
seperti interval QT berkepanjangan, yang meningkatkan risiko kematian mendadak.
4. Elektrolit Jantung
Melalui sampel darah, kita juga dapat mengetahui elektrolit-elektrolit yang ada pada
jantung, di antaranya kalium, kalsium, magnesium. Elektrolit adalah mineral dalam
darah kita dan cairan tubuh yang membantu menghasilkan impuls listrik. Ketidak
seimbangan pada elektrolit dapat memicu terjadinya aritmia dan sudden cardiac
arrest.
5. Test Obat
Pemeriksaan darah untuk bukti obat yang memiliki potensi untuk menginduksi
aritmia, termasuk resep tertentu dan obat-obatan tersebut merupakan obat-obatan
terlarang.
6. Test Hormon
Pengujian untuk hipertiroidisme dapat menunjukkan kondisi ini sebagai pemicu
cardiac arrest.
8. Echokardiogram
Tes ini menggunakan gelombang suara untuk menghasilkan gambaran jantung.
Echocardiogram dapat membantu mengidentifikasi apakah daerah jantung telah
rusak oleh cardiac arrest dan tidak memompa secara normal atau pada kapasitas
puncak (fraksi ejeksi), atau apakah ada kelainan katup.
2.7 Penatalaksanaan
BAB III
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
Penanganan Awal Henti Jantung (Cardiac Arrest) . Empat jenis ritme jantung yang
menyebabkan henti jantung yaitu ventricular fibrilasi (VF), ventricular takikardia yang
sangat cepat (VT), pulseless electrical activity (PEA), dan asistol. Untuk bertahan dari
empat ritme ini memerlukan bantuan hidup dasar/ Basic Life Support dan bantuan hidup
lanjutan/ Advanced Cardiovascular Life Support (ACLS) (American Heart Association
(AHA), 2005).
Ventrikel fibrilasi merupakan sebab paling sering yang menyebabkan kematian
mendadak akibat SCA. The American Heart Association (AHA) menggunakan 4 mata
rantai penting untuk mempertahankan hidup korban untuk mengilustrasikan 4 tindakan
penting dalam menolong korban SCA akibat ventrikel fibrilasi. Empat mata rantai
tersebut adalah:
Prinsip penangan RJP ada 3 langkah yaitu ABC (Airway/pembebasan jalan nafas,
Breathing/ usaha nafas, Circulation/ membantu memperbaiki sirkulasi). Namun sebelum
melakukan 3 prinsip penanganan penting dalam RJP tersebut, penolong harus melakukan
persiapan sebelumnya yaitu memastikan kondisi aman dan memungkinkan dilakukan
RJP. Setelah memastikan kondisi aman, penolong akan menilai respon korban dengan
cara: memanggil korban atau menanyakan kondisi korban secara langsung, contoh:
kamu tidak apa-apa?; atau dengan memberikan stimulus nyeri. Jika pasien merespon
tapi lemah atau pasien merespon tetapi terluka atau tidak merespon sama sekali segera
panggil bantuan dengan menelepon nomor emergency terdekat.
A. AIRWAY (Pembebasan jalan nafas)
Persiapan kondisi yang memungkinkan untuk dilakukan RJP adalah meletakan
korban pada permukaan yang keras dan memposisikan pasien dalam kondisi
terlentang. Beberapa point penting dalam melakukan pembebasan jalan nafas:
1. Gunakan triple maneuver (head tilt-chin lift maneuver untuk membuka jalan
nafas bagi korban yang tidak memiliki tanda-tanda trauma leher dan kepala).
2. Apabila terdapat kecurigaan trauma vertebra cervicalis, pembebasan jalan nafas
menggunakan teknik Jaw-thrust tanpa ekstensi leher.
3. Bebaskan jalan nafas dengan membersihkan hal-hal yang menyumbat jalan nafas
dengan finger swab atau suction jika ada.
B. BREATHING (Cek pernafasan)
Setelah memastikan jalan nafas bebas, penolong segera melakukan cek
pernafasan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan cek pernafasan
antara lain:
1. Cek pernafasan dilakukan dengan cara look (melihat pergerakan pengembangan
dada), listen (mendengarkan nafas), dan feel (merasakan hembusan nafas) selama
10 detik.
2. Apabila dalam 10 detik usaha nafas tidak adekuat (misalnya terjadi respirasi
gasping pada SCA) atau tidak ditemukan tanda-tanda pernafasan, maka berikan 2
kali nafas buatan (masing-masing 1 detik dengan volume yang cukup untuk
membuat dada mengembang).
3. Volume tidal paling rendah yang membuat dada terlihat naik harus diberikan,
pada sebagian besar dewasa sekitar 10 ml/kg (700 sampai 1000 ml).
4. Rekomendasi dalam melakukan nafas buatan ini antara lain:
a. Pada menit awal saat terjadi henti jantung, nafas buatan tidak lebih penting
dibandingkan dengan kompresi dada karena pada menit pertama kadar
oksigen dalam darah masih mencukupi kebutuhan sistemik. Selain itu pada
awal terjadi henti jantung, masalah lebih terletak pada penurunan cardiac
output sehingga kompresi lebih efektif. Oleh karena inilah alasan
rekomendasi untuk meminimalisir interupsi saat kompresi dada.
b. Ventilasi dan kompresi menjadi sama-sama penting saat prolonged VF SCA.
c. Hindari hiperventilasi (baik pernapasan mulut-mulut/ masker/ ambubag)
dengan memberikan volume pernapasan normal (tidak terlalu kuat dan cepat)
d. Ketika pasien sudah menggunakan alat bantuan nafas (ET. LMA, dll)
frekuensi nafas diberikan 8-10 nafas/menit tanpa usaha mensinkronkan nafas
dan kompresi dada.
e. Apabila kondisi tidak memungkinkan untuk memberikan nafas buatan
(misalnya korban memiliki riwayat penyakit tertentu sehingga penolong tidak
aman/resiko tertular) maka lakukan kompresi dada.
f. Setelah pemberian pernafasan buatan, segera lakukan pengecekan sirkulasi
dengan mendeteksi pulsasi arteri carotis (terletak dilateral jakun/tulang
krikoid).
g. Pada pasien dengan sirkulasi spontan (pulsasi teraba) memerlukan ventilasi
dengan rata-rata 10-12 nafas/menit dengan 1 nafas memerlukan 5-6 detik dan
setiap kali nafas harus dapat mengembangkan dada.
C. CIRCULATION
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mempertahankan sirkulasi pada saat
melakukan resusitasi jantung dan paru:
1. Kompresi yang efektif diperlukan untuk mempertahankan aliran darah selama
resusitasi dilakukan.
2. Kompresi akan maksimal jika pasien diletakan terlentang pada alas yang keras
dan penolong berada disisi dada korban.
3. Kompresi yang efektif dapat dilakukan dengan melakukan kompresi yang kuat
dan cepat (untuk dewasa + 100 kali kompresi/menit dengan kedalam kompresi 2
inchi/4-5 cm; berikan waktu untuk dada mengembang sempurna setelah
kompresi; kompresi yang dilakukan sebaiknya ritmik dan rileks).
4. Kompresi dada yang harus dilakukan bersama dengan ventilasi apabila
pernafasan dan sirkulasi tidak adekuat. Adapun rasio yang digunakan dalam
kompresi dada dengan ventilasi yaitu 30:2 adalah berdasarkan konsensus dari
para ahli. Adapun prinsip kombinasi antara kompresi dada dengan ventilasi
antara lain; peningkatan frekuensi kompresi dada dapat menurunkan
hiperventilasi dan lakukan ventilasi dengan minimal interupsi terhadap
kompresi. Sebaiknya lakukan masing-masing tindakan (kompresi dada dan
ventilasi) secara independen dengan kompresi dada 100x/menit dan ventilasi 8-
10 kali nafas per menit dan kompresi jangan membuat ventilasi berhenti dan
sebaliknya, hal ini khususnya untuk 2 orang penolong).
5. Pada pencarian literature ditemukan lima sitation: satu LOE (Level Of
Evidence) 4, dan Empat LOE 6. Frekuensi tinggi (lebih dari 100 kompresi
permenit) manual CPR telah dipelajari sebagai teknik meningkatkan resusitasi
dari cardiac arrest. Pada kebanyakan studi pada binatang, frekuensi CPR yang
tinggi meningkatkan hemodinamik, dan tanpa meningkatkan trauma (LOE6,
Swart 1994, Maier 1984, Kern 1986). Pada satu tambahan studi pada binatang,
CPR frekuensi tinggi tidak meningkatkan hemodinamik melebihi yang
dilakukan CPR standar (cit Tucker, 1994).
A. PENGKAJIAN
Umumnya data yang diperoleh pada saat pengkajian yaitu data objektif, antara lain :
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan perfusi serebral berhubungan dengan penurunan suplai O2 ke otak
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan suplai O2 tidak adekuat
3. Penurunan curah jantung berhubungan dengan kemampuan pompa jantung
menurun.
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Gangguan perfusi serebral berhubungan dengan penurunan suplai O2 ke otak
a. Berikan vasodilator misal nitrogliserin,nifedipin sesuai indikasi
b. Posisikan kaki lebih tinggidari jantung
c. Pantau adanya pucat,sianosis dan kulit dingin atau lembab
d. Pantau pengisian kapiler (CRT)
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan suplai O2 tidak adekuat
a. Berikan O2 sesuai indikasi
b. Pantau GDA pasien
c. Pantau pernapasan klien
3. Penurunan curah jantung berhubungan dengan kemampuan pompa jantung
menurun
a. Lakukan pijat jantung
b. Berikan oksigen tambahan dengan kanula nasal/masker dan obat sesuai
indikasi
c. Palpasi nadi perifer
d. Pantau tekanan darah
e. Kaji kulit pucat dan sianosis
DAFTAR PUSTAKA
Doenges Marilynn E .(2002). Rencana Asuhan Keperawatan (Pedoman Untuk dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien) Edisi 3. Jakarta : EGC.
Smeltzer, S. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner Suddarth. Volume 2
Edisi 8. Jakarta : EGC.