You are on page 1of 22

MAKALAH

PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR

Dalam Rangka Memenuhi Tugas


Mata Kuliah Pengelolaan Tanah dan Produktivitas Lahan

Dosen Pengampu :
Dr. Ir. Fakhrur Razie, M.Si.

Oleh :
M. Laily Qadry Sukmana 1620523310009
Joko Warsito 1620523310007
Kasidal 1620523310008

PROGRAM STUDI MAGISTER AGRONOMI


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
2017
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i


DAFTAR ISI ..................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULAN .................................................................................... 1
BAB II PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR .......................................... 3
A. Siklus Hidrologi .................................................................................... 3
B. Ketersediaan Sumberdaya Air ............................................................ 9
C. Hubungan Ketersediaan Sumberdaya Air dan Penggunaan Lahan 10
D. Neraca Keseimbangan Sumberdaya Air............................................. 11
E. Permasalahan Sumber Daya Air......................................................... 11
F. Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu ............................................. 16
BAB III PENUTUP .......................................................................................... 19
A. Kesimpulan ........................................................................................... 19
B. Saran ..................................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA ...............................................20

2
BAB I
PENDAHULUAN

Air merupakan kebutuhan dasar (basic need) dari kehidupan manusia. Air
menopang kehidupan manusia, termasuk kehidupan dan kesinambungan rantai
pangan mahluk hidup di bumi. Karena itulah Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB)
mendeklarasikan bahwa air merupakan hak azasi manusia; artinya, setiap manusia
di muka bumi ini mempunyai hak dasar yang sama terhadap pemakaian air.
Kelangkaan sumberdaya air di dunia telah menjadi permasalahan serius
yang harus dipikirkan bersama. Laporan dari World Water Forum (WWF) (2003),
menyatakan bahwa permintaan air bersih di Indonesia pada tahun 2015 untuk
kebutuhan domestik diperkirakan 81 juta meter kubik, dan sampai tahun 2000
telah terjadi peningkatan sebesar 6,7 % per tahun. Angka itu belum termasuk
kebutuhan air bersih sektor pertanian yang mencapai 98 % dari konsumsi air, dan
meningkat 6,67 % per tahun hingga 2015. Kebutuhan air untuk industri telah
meningkat dari sekitar 725 kilometer kubik pada tahun 1995 dan diperkirakan
menjadi 1.170 kilometer kubik pada tahun 2025. Lebih lanjut dilaporkan bahwa
pada tahun 2025, diperkirakan sebanyak 2,7 miliar penduduk bumi atau sepertiga
total penduduk dunia akan kekurangan air bersih
Dari kondisi tersebut dapat dilihat permasalahan pokok sumberdaya air
adalah air menjadi sumberdaya yang makin langka dan tidak ada sumber
penggantinya. Hal tersebut dikarenakan kondisi ketersediaannya sudah tidak bisa
mengimbangi kebutuhan akan sumberdaya air atau dengan kata lain kondisi
keseimbangan sumberdaya air (water balance) sudah terlampaui. Kondisi
keseimbangan sumberdaya air suatu wilayah sangat dipengaruhui oleh
perkembangan kegiatan sosial-ekonomi wilayah tersebut. Perkembangan kegiatan
sosial-ekonomi memberikan dampak peningkatan kebutuhan sumberdaya air di
satu sisi dan memberikan tekanan terhadap daya dukung sumberdaya air dimana
terjadi penurunan kemampuan penyediaan sumberdaya air.
Secara umum kajian mengenai sumberdaya air dilakukan dengan meninjau
siklus hidrologis. Dalam siklus tersebut terdapat dua wadah (container) yang
merupakan sistem sumberdaya air yang bisa dimanfaatkan untuk memenuhi

1
kebutuhan sumberdaya air, yaitu sistem Daerah Aliran Sungai (DAS) dan sistem
Cekungan Air Tanah (CAT). Sistem DAS merupakan suatu sistem yang menjadi
wadah dari air permukaan, sedangkan sistem CAT merupakan tempat dari sumber
air tanah.
Kondisi ketersediaan sumberdaya air baik air permukaan maupun air tanah
secara garis besar dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu kondisi iklim wilayah
terutama curah hujan dan kondisi guna lahan. Kondisi iklim wilayah merupakan
variabel eksogen yang bersifat given dalam arti perencana tidak bisa melakukan
intervensi. Sedangkan guna lahan merupakan variabel yang bisa dilakukan
intervensi untuk menjaga ketersediaan sumberdaya air.
Air merupakan bagian dari sumberdaya alam dan juga merupakan bagian
dari ekosistem secara keseluruhan. Jumlah air di bumi secara umum adalah tetap,
namun komposisinya dapat berubah. Artinya, jumlah air yang berada di
permukaan tanah, di dalam tanah, maupun di udara dapat bertambah maupun
berkurang. Bila jumlah air di daratan bertambah dan jumlah air di udara tetap,
maka jumlah air di lautan akan berkurang, demikian pula sebaliknya. Dengan
demikian, air harus dikelola secara bijak dengan pendekatan terpadu. Terpadu
artinya memerlukan keterikatan dengan berbagai aspek, berbagai pihak, dan
berbagai disiplin ilmu. Menyeluruh artinya mencerminkan cakupan yang luas,
lintas batas antar sumberdaya, antar lokasi, mulai hulu sampai dengan hilir, dan
sebagainya. Secara umum, pendekatan pengelolaan sumber daya air harus bersifat
holistik dan berwawasan lingkungan. Semua aspek seperti sosial, ekonomi,
budaya, teknik, lingkungan, hukum bahkan politik ikut terlibat dan diperhitungkan
baik secara langsung maupun tidak langsung.

2
BAB II
PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR

A. Siklus Hidrologi
Air adalah salah satu sumber daya vital dalam kehidupan. Air merupakan
sumberdaya alam yang mutlak diperlukan bagi hidup dan kehidupan manusia, dan
dalam sistem tata lingkungan. air adalah unsur utama. Untuk dapat
mempertahankan kelangsungan hidup secara hayati, manusia haruslah
mendapatkan air (Soemarwoto, 2004). Berdasarkan Undang-Undang No. 7 tahun
2004 tentang Sumberdaya Air, yang dimaksud dengan air adalah semua air yang
terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam
pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan, dan air laut yang berada di
darat. Sedangkan sumberdaya air adalah air, sumber air, dan daya air yang
terkandung di dalamnya.
Keberadaan air di alam, terdapat pada suatu sistem alam yang disebut siklus
hidrologi {hydrological cycle). Oleh karena itu, air yang ada di alam ini tidak
statis, tetapi selalu mengalami perputaran sehingga dalam jangka panjang air yang
tersedia di alam selalu mengalami perpindahan. Secara lengkap, siklus hidrologi
diilustrasikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Siklus Hidrologi di Alam


(Sumber : http://www.physicalgeography.net/physgeoglos/)

3
Asdak (2005) mendefinisikan daur hidrologi sebagai perjalanan air dari
permukaan laut ke atmosfer kemudian ke permukaan tanah dan kembali lagi ke
laut, air tersebut akan tertahan (sementara) di sungai, danau/waduk, dan dalam
tanah sehingga dapat dimanfaatkan oleh manusia atau makhluk hidup lainnya.
Dalam daur hidrologi, energi panas matahari dan faktor-faktor iklim lainnya
menyebabkan terjadinya proses evaporasi pada permukaan vegetasi dan tanah, di
laut atau badan-badan air lainnya. Uap air sebagai hasil proses evaporasi akan
terbawa oleh angin melintasi daratan yang bergunung maupun datar, dan apabila
keadaan atmosfer memungkinkan, sebagian dari uap air tersebut akan
terkondensasi menjadi hujan (presipitasi).
Sebelum mencapai permukaan tanah air hujan tersebut akan tertahan oleh
tajuk vegetasi. Sebagian dari air hujan akan tersimpan di permukaan tajuk/daun
selama proses pembasahan tajuk. Sebagian lainnya akan jatuh ke atas permukaan
tanah melalui sela-sela daun atau mengalir ke bawah melalui permukaan batang
pohon. Sebagian air hujan tidak pernah sampai ke permukaan tanah karena
terevaporasi kembali ke atmosfer selama dan setelah berlangsungnya hujan
(interception loss). Air hujan yang mencapai permukaan tanah, sebagian akan
terserap ke dalam tanah (infiltrasi). Sedangkan yang tidak terserap akan mengalir
ke tempat yang lebih rendah (run-off) dan selanjutnya bergabung dalam saluran-
saluran sungai.
Pengetahuan menyeluruh tentang sistem penampungan air (water storage)
dan gerakan air tanah dianggap penting untuk suatu pemahaman yang lebih baik
tentang proses dan mekanisme daur hidrologi. Air permukaan (aliran air sungai,
air danau/waduk dan genangan air permukaan lainnya) dan air tanah pada
prinsipnya mempunyai keterkaitan yang erat serta keduanya mengalami proses
pertukaran yang berlangsung terus-menerus.

1. Presipitasi
Presipitasi adalah curahan atau jatuhnya air dari atmosfer ke permukaan
bumi dan laut dalam bentuk berbeda, yaitu curah hujan di daerah tropis dan curah
hujan serta salju di daerah beriklim sedang. Mengingat bahwa di daerah tropis,
presipitasi hanya ditemukan dalam bentuk curah hujan maka presipitasi dalam

4
konteks daerah tropis adalah sama dengan curah hujan. (Asdak, 2005). Dalam
penelitian ini, pemakaian istilah presipitasi saling menggantikan dengan istilah
curah hujan.
Besarnya presipitasi diukur dengan menggunakan alat penakar curah hujan
yang umumnya terdiri dari dua jenis yaitu alat penakar hujan tidak otomatis dan
alat penakar hujan otomatis. Alat penakar hujan tidak otomatis pada dasarnya
hanya berupa kontainer atau ember yang telah diketahui diameternya. Untuk
mendapatkan data presipitasi yang memadai dengan menggunakan alat penakar
tidak otomatis, alat penampung air hujan biasanya dibuat dalam bentuk bulat
memanjang ke arah vertikal untuk memperkecil terjadinya percikan air hujan.
Menurut Asdak (2005) terdapat dua metoda yang umum yang sering
digunakan untuk menghitung curah hujan rata-rata tahunan, yaitu:
a. Metoda Rata-rata Aritmatik
b. Teknik Poligon (Thiessen polygon)
Curah hujan rata-rata tahunan dengan menggunakan metoda rata-rata
aritmatik diperoleh dengan cara menghitung rata-rata dari data curah hujan semua
stasiun pengamatan yang berada pada satu wilayah penelitian. Teknik poligon
dilakukan dengan cara menghubungkan satu stasiun pengamatan dengan stasiun
lainnya menggunakan garis lurus. Pada daerah tangkapan air untuk masing-
masing stasiun, daerah tersebut dibagi menjadi beberapa poligon. Hasil
pengukuran pada setiap stasiun diberi bobot sesuai dengan luas area daerah
tangkapan hujan yang diwakili stasiun tersebut.
Teknik poligon dilakukan dengan cara menghubungkan satu alat penakar
dengan alat penakar hujan lainnya menggunakan garis lurus. Pada peta daerah
tangkapan air untuk masing-masing alat penakar hujan, daerah tersebut dibagi
menjadi beberapa poligon (jarak garis pembagi dua penakar hujan yang
berdekatan lebih kurang sama).
Hasil pengukuran pada setiap alat penakar hujan terlebih dahulu diberi
bobot (weighting) dengan menggunakan bagian-bagian wilayah dari total daerah
tangkapan air yang diwakili oleh alat penakar hujan masing-masing lokasi,
kemudian dijumlahkan. Daerah poligon, a1, untuk masing-masing alat penakar
hujan dihitung dengan menggunakan planimeter atau menggunakan software GIS.

5
Curah hujan tahunan rata-rata di daerah tersebut diperoleh dari persamaan
dibawah ini:
(R1a1/A) + (R2a2/A) + . + (Rn.an/A)
dimana :
R1, R2, R3, , Rn adalah curah hujan untuk masing-masing alat penakar hujan
(mm)
a1, a2, a3, , an adalah luas untuk masing-masing daerah poligon (Ha)
A adalah luas total daerah tangkapan air (ha).
Bilangan a1/A disebut angka tetapan Thiessen. Sekali angka tetapan ini
ditentukan, maka besarnya curah hujan daerah yang bersangkutan dapat
ditentukan dengan cepat berdasarkan data pengamatan dari masing-masing alat
penakar hujan yang digunakan.

2. Evapotranspirasi
Evaporasi adalah penguapan air dari permukaan air tanah, dan bentuk
permukaan bukan vegetasi lainnya oleh proses fisika. Unsur utama dalam proses
berlangsungnya evaporasi adalah energi (radiasi) matahari dan ketersediaan air.
Transpirasi adalah penguapan air dari daun dan cabang tanaman melalui pori-pori
daun oleh proses fisiologi. Faktor-faktor yang mempengaruhi besar kecilnya
evaporasi dan transpirasi adalah radiasi sinar matahari, suhu, kecepatan angin, dan
gradien tekanan udara. Jadi evapotranspirasi adalah jumlah air total yang diuapkan
ke atmosfer dari permukaan tanah, badan air, dan vegetasi oleh faktor-faktor iklim
dan fisiologis vegetasi. (Asdak, 2005).

3. Infiltrasi
Infiltrasi adalah proses aliran air (umumnya berasal dari curah hujan) masuk
kedalam tanah. Perkolasi merupakan proses kelanjutan aliran air tersebut ke tanah
yang lebih dalam. Dengan kata lain, infiltrasi adalah aliran air masuk ke dalam
tanah sebagai akibat gaya kapiler (gerakan air ke arah lateral) dan gravitasi
(gerakan air ke arah vertikal). Setelah lapisan tanah bagian atas jenuh, kelebihan
air tersebut mengalir ke tanah yang lebih dalam sebagai akibat gaya gravitasi
bumi dan dikenal sebagai proses perkolasi. Laju maksimal gerakan air masuk ke
dalam tanah dinamakan kapasitas infiltrasi. Kapasitas infiltrasi terjadi ketika

6
intensitas hujan melebihi kemampuan tanah dalam menyerap kelembababan
tanah. Sebaliknya, apabila intensitas curah hujan lebih kecil daripada kapasitas
infiltrasi, maka laju infiltrasi sama dengan laju curah hujan. Laju infiltrasi
umumnya dinyatakan dalam satuan yang sama dengan satuan intensitas curah
hujan, yaitu milimeter per jam (mm/jam).

4. Air Permukaan
Sebagian air hujan yang jatuh ke bumi tidak sempat meresap ke dalam
tanah, tetapi mengalir di alas permukaan tanah menuju ke tempat yang lebih
rendah (Asdak. 2005). Bagian jenis air demikian menjadi aliran permukaan.
Sedangkan air permukaan sendiri menurut UU No. 7 Tahun 2004 tentang SDA
didefinisikan scbagai semua air yang terdapat pada permukaan tanah.
Air larian atau yang disebut aliran permukaan berlangsung ketika jumlah
curah hujan melampaui laju infiltrasi air ke dalam tanah. Setelah laju infiltrasi
terpenuhi, air mulai mengisi cekungan-cekungan pada permukaan tanah. Setelah
pengisian air pada cekungan tersebut selesai, air kemudian dapat mengalir di atas
permukaan tanah dengan bebas. Ada bagian air larian yung berlangsung agak
cepat untuk selanjutnya membentuk aliran debit. Bagian air larian lain, karena
melewati cekungan-cekungan permukaan tanah sehingga memerlukan waktu
beberapa hari atau bahkan beberapa minggu sebelum akhirnya menjadi aliran
debit (aliran sungai) (Asdak, 2005).
Besarnya aliran permukaan di alur sungai (aliran sungai), tergantung
beberapa faktor yang berpengaruh secara bersamaan, yaitu elemen-elemen
meteorologi, dan elemen daerah pengaliran. Elemen-elemen meteorologi tersebut
antara lain: jenis presipitasi, intensitas curah hujan, lamanya curah hujan,
distribusi curah hujan dalam daerah pengaliran, arah pergerakan curah hujan,
curah hujan terdahulu dan kelembaban tanah, serta kondisi-kondisi meteorologi
lain yang berpengaruh secara tidak langsung seperti suhu, kecepatan angin,
kelembaban relatif dan tekanan udara rata-rata. Sedangkan elemen daerah
pengaliran yang berpengaruh antara lain: kondisi penggunaan tanah (land-use),
daerah pengaliran, kondisi topografi, jenis tanah, serta faktor-faktor lain seperti
karakteristik jaringan sungai.

7
5. Air Tanah
Air tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah
permukaan tanah (UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air). Air bawah
tanah sebagai bagian dari sumber penyediaan air bersih, di beberapa daerah masih
merupakan andalan bagi sebagian besar penduduk disamping dari sumber-sumber
lain. Dari sisi kesehatan, hingga saat ini air bawah tanah dianggap memiliki
tingkat yang relatif paling aman bagi penyediaan sumber air bersih.
Air tanah (air bawah tanah) adalah air yang tergenang di atas lapisan tanah
yang terdiri batu, dari tanah lempung yang amat halus atau padas yang sukar di
tembus oleh air (lapisan impermeable). Air hujan yang masuk ke dalam tanah
akhirnya terhenti pada lapisan tanah yang sukar/tidak ditembus air. Jika air tanah
di bagian atas kering, maka air tanah itu dihisap oleh ruang-ruang tanah.
Selain faktor-faktor di atas permukaan tanah yang ikut mempengaruhi
proses terbentuknya air tanah, ada faktor yang tidak kalah pentingnya dalam
mempengaruhi proses terbentuknya air tanah. Faktor tersebut adalah formasi
geologi dan oleh karenanya penting untuk dipelajari karakteristiknya.
Formasi geologi adalah formasi batuan atau material lain yang berfungsi
menyimpan air tanah dalam jumlah besar. Dalam membicarakan proses
pembentukan air tanah formasi geologi tersebut dikenal sebagai akifer (aquifer).
Dengan demikian, akifer pada dasarya adalah kantong air yang berada di dalam
tanah. Akifer dibedakan menjadi dua: akifer bebas (unconfined aquifer) dan akifer
terkekang (confined aquifer). Akifer bebas terbentuk ketika tinggi muka air tanah
(water table) menjadi batas atas zona tanah jenuh. Sedangkan akifer terkekang
dikenal sebagai artesis, terbentuk ketika air tanah dalam dibatasi oleh lapisan
kedap air sehingga tekanan di bawah lapisan kedap air tersebut lebih besar
daripada tekanan atmosfer (Asdak, 2005).

8
Gambar 2 Sketsa penampang melintang akifer bebas dan akifer terkekang yang
merupakan wadah dari air tanah dangkal dan air tanah dalam.

B. Ketersediaan Sumberdaya Air


Untuk memperkirakan potensi sumberdaya air pada suatu wilayah,
diperlukan perhitungan kondisi keseimbangan air yang terjadi, yang meliputi
kajian terhadap parameter curah hujan, evapotranspirasi, limpasan permukaan dan
jumlah air yang terserap ke dalam tanah (infiltrasi).
Neraca air akan mengikuti formula:
P = ET + Ro + I
Dimana:

Ro = Run-off/volume air limpasan (m3)

I = Infiltrasi/volume air yang meresap ke dalam tanah (m3)


P = Presipitasi/Besarnya curah hujan rata-rata tahunan (mm)
ET = Evapotranspirasi/total penguapan air (mm/thn)
Perhitungan water balance menurut cara F.J. Mock (1973) sangat cocok
diterapkan di wilayah yang beriklim tropis seperti Indonesia, seperti menentukan
evapotranspirasi cukup mengacu fakor-faktor temperatur, kelembaban, lama
penyinaran matahari, kecepatan angin dan adanya faktor tekstur permukaan serta
faktor terkait lainnya. Curah hujan yang jatuh dipermukaan sebelum masuk
kedalam tanah dan menjadi air bawah tanah perjalanannya dipengaruhi oleh
elemen evapotranspirasi, suhu, faktor limpasan, dan koefisien infiltrasi.

9
C. Hubungan Ketersediaan Sumberdaya Air dan Penggunaan Lahan
Sumberdaya air dan penggunaan lahan merupakan dua hal yang tidak dapat
dipisahkan. Keberadaan sumber daya air menjadi faktor utama dalam perencanaan
penggunaan lahan. Di sisi lain, apapun penggunaan lahan yang ada di suatu
tempat/wilayah akan memberikan dampak pada sumberdaya air. bisa dampak
positif maupun negatif. Kodoatie (2005) menyebutkan sumberdaya air dan tata
guna lahan terdapat hubungan ekologis, dimana terdapat dua hal yang mendasari
sistem hubungan tersebut. Pertama, air menyediakan sumberdayanya (baik secara
kuantitas, kualitas maupun kontinyuitas) untuk mendukung upaya penggunaan
lahan secara optimal. Kedua, sebaliknya, penggunaan lahan yang tidak
memperhatikan kaidah konservasi air akan sangat mengganggu kelangsungan
sumberdaya air.
Atas dasar keterkaitan timbal balik di atas, maka pengelolaan lahan
(penatagunaan dan pemanfaatan lahan) harus dilakukan sejalan dengan
pengelolaan sumberdaya air. Penggunaan lahan dikatakan memperhatikan fungsi
lingkungan dapat dilihat dari parameter hidrologi (sumberdaya air) yang keluar
dari sistem cekungan. Berdasarkan persamaan neraca keseimbangan air dalam
sistem wadah sumberdaya air baik berupa DAS maupun CAT, parameter koefisien
aliran permukaan (Cro) menjadi salah satu indikator utama yang menggambarkan
keefektifan penggunaan lahan dalam menjadi sumberdaya air.
Koefisien tersebut merupakan bilangan yang menunjukkan perbandingan
antara besarnya air larian terhadap besarnya curah hujan. Misalnya Cro untuk
hutan adalah 0.10, artinya 10 persen dari total curah hujan akan menjadi air larian
(aliran permukaan (Asdak, 2005). Angka koefisien air larian ini juga menjadi
salah satu indikator untuk menentukan apakah suatu daerah resapan air tanah telah
mengalami gangguan (fisik). Nilai Cro yang besar menunjukkan bahwa lebih
banyak air hujan yang menjadi air larian. Hal ini kurang menguntungkan dari segi
konservasi sumberdaya air karena besamya air yang akan menjadi air tanah
berkurang. Kerugian lainnya adalah dengan semakin besarnya jumlah air hujan
yang menjadi air larian, maka ancaman terjadinya erosi dan banjir menjadi lebih
besar.

10
Angka Cro berkisar antara 0 hingga 1. Angka 0 menunjukkan bahwa semua
air hujan terdistribusi menjadi air intersepsi dan terutama infiltrasi. Sedang angka
Cro = 1 menunjukkan bahwa semua air hujan mengalir sebagai air larian. Di
lapangan, angka koefisien air larian biasanya lebih besar dari 0 dan lebih kecil
dari 1.

D. Neraca Keseimbangan Sumberdaya Air


Neraca keseimbangan sumberdaya air merupakan indikator untuk menilai
kemampuan daya dukung sumberdaya air terhadap pengembangan wilayah.
Dengan memperhatikan kondisi neraca sumberdaya air bisa dirumuskan arahan
pengembangan wilayah yang mendukung terjadinya pembangunan yang
berkelanjutan (sustainable development).
Neraca keseimbangan sumberdaya air merupakan gambaran pendistribusian
air baik air permukaan maupun air tanah menurut sistem tata air yang berlaku
pada suatu wilayah. Perhitungan perbedaan antara besaran jumlah air masuk,
jumlah air keluar yang mempengaruhi kondisi cadangan air pada musim hujan
dan musim kemarau disebut sebagai neraca air. Keseimbangan sumberdaya air
dapat pula ditinjau dari aspek besaran jumlah pemanfaatan air (Demand : D) dan
ketersediaan air (Supply : S), dimana tingkat keefektifan penggunaan sumber daya
air pada suatu wilayah ditentukan pada kondisi D < S.
Indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat kritis dari kondisi
keseimbangan sumberdaya air dari suatu wilayah adalah nilai indeks penggunaan
air (IPA). Nilai Ipa ini menggambarkan perbandingan antara potensi ketersediaan
sumberdaya air dengan pemakaian/kebutuhannya. Nilai IPA yang kurang dari 0,75
menggambarkan kondisi keseimbangan air masih dalam kondisi aman, sedangkan
nilai IPA 0,75 1,0 menggambarkan tingkat kritis, dan nilai IPA diatas 1,0
menunjukkan kondisi yang sangat kritis, yaitu kebutuhan sumberdaya air sudah
melampaui potensi ketersediaannya (Supangat, 2005).

E. Permasalahan Sumber Daya Air


Faktor utama krisis air adalah perilaku manusia guna mencukupi kebutuhan
hidup, yaitu perubahan akan tata guna lahan untuk keperluan mencari nafkah dan

11
tempat tinggal. Kerusakan lingkungan yang secara implisit menambah lajunya
krisis air dipercepat dengan pertambahan penduduk yang tinggi, baik secara alami
maupun migrasi. Degradasi lingkungan dapat dilihat dari banyaknya kejadian
bencana banjir, kekeringan, dan longsor.
Pengelolaan sumber daya air juga memerlukan koordinasi pengelolaan
sumber daya air yang baik di tingkat pusat maupun daerah. Namun, fenomena
otonomi daerah yang berlebihan menyebabkan kurang harmonisnya hubungan
antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah (provinsi/kabupaten/kota)
yang menyebabkan terjadinya kurang koordinasi khususnya dalam pelaksanaan
koordinasi pengelolaan sumber daya air.
Pada hakikatnya, air tidak dibatasi oleh batas administratif tetapi lebih pada
daerah aliran sungai. Hal ini menyebabkan banyak DAS yang bersifat lintas
wilayah baik lintas kabupaten/kota, lintas provinsi, bahkan lintas negara. Dalam
era otonomi daerah saat ini dan dengan kondisi koordinasi yang lemah antar
pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, kota, maka pengelolaan sumber daya air
menjadi lebih sulit. Apalagi ditambah dengan keterbatasan dana pengelolaan
sumber daya air yang ada.

Gambar 3. DAS dan batas wilayah

12
1. Kekeringan
Kekeringan dapat didefinisikan sebagai periode tanpa air hujan yang cukup
atau suatu periode kelangkaan air. Periode tanpa air hujan disebut juga sebagai
kekeringan secara meteorologis atau klimatologis, sedangkan untuk periode
kelangkaan air disebut juga kekeringan secara hidrologis, pertanian dan sosial
ekonomi (Anonim, 2011). Kekeringan adalah kondisi ketersediaan air yang jauh
lebih kecil dibandingkan dengan kebutuhan baik untuk kebutuhan hidup,
pertanian, kegiatan ekonomi dan lingkungan. Dengan kata lain kekeringan adalah
kurangnya air bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya pada suatu
wilayah yang biasanya tidak kekurangan air. Kekeringan merupakan salah satu
fenomena yang terjadi sebagai dampak sirkulasi musiman ataupun penyimpangan
iklim global seperti El Nino dan osilasi Selatan.
a. Kekeringan Meteorologis
Kekeringan ini berkaitan dengan besaran curah hujan yang terjadi berada
dibawah kondisi normalnya pada suatu musim. Perhitungan tingkat kekeringan
meteorologis merupakan indikasi pertama terjadinya kondisi kekeringan.
Intensitas kekeringan berdasarkan definisi meteorologis adalah sebagai berikut:
1 Kering: apabila curah hujan antara 70% - 85% dari kondisi normal (curah
hujan dibawah normal)
2 Sangat kering: apabila curah hujan antara 50% - 70% dari kondisi normal
(curah hujan jauh dibawah normal)
3 Amat sangat kering : apabila curah hujan < 50% dari kondisi normal
(curah hujan amat jauh dibawah normal).
b. Kekeringan Pertanian
Kekeringan ini berhubungan dengan berkurangnya kandungan air dalam tanah
(lengas tanah) sehingga tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan air bagi
tanaman pada suatu periode tertentu. Kekeringan pertanian ini terjadi setelah
terjadinya gejala kekeringan meteorologis. Intensitas kekeringan berdasarkan
definisi pertanian adalah sebagai berikut:
1 Kering: apabila daun kering dimulai pada bagian ujung daun (terkena
ringan s/d sedang)

13
2 Sangat kering: apabila 1/4 - 2/3 daun kering dimulai pada bagian ujung
daun (terkena berat)
3 Amat sangat kering: apabila seluruh daun kering (terkena puso).
c. Kekeringan Hidrologis
Kekeringan ini terjadi berhubungan dengan berkurangnya pasokan air
permukaan dan air tanah. Kekeringan hidrologis diukur dari ketinggian muka
air sungai, waduk, danau dan air tanah. Ada jarak waktu antara berkurangnya
curah hujan dengan berkurangnya ketinggian muka air sungai, danau dan air
tanah, sehingga kekeringan hidrologis bukan merupakan gejala awal terjadinya
kekeringan. Intensitas kekeringan berdasarkan definisi hidrologis adalah
sebagai berikut :
1 Kering: apabila debit air sungai mencapai periode ulang aliran dibawah
periode 5 tahunan
2 Sangat kering: apabila debit air sungai mencapai periode ulang aliran jauh
dibawah periode 25 tahunan
3 Amat sangat kering: apabila debit air sungai mencapai periode ulang aliran
amat jauh dibawah periode 50 tahunan.
d. Kekeringan Sosial Ekonomi
Kekeringan ini terjadi berhubungan dengan berkurangnya pasokan komoditi
yang bernilai ekonomi dari kebutuhan normal sebagai akibat dari dari
terjadinya kekeringan meteorologis, pertanian dan hidrologis.

2. Banjir
Banjir adalah merupakan suatu keadaan sungai dimana aliran airnya tidak
tertampung oleh palung sungai, karena debit banjir lebih besar dari kapasitas
sungai yang ada. Secara umum penyebab terjadinya banjir dapat dikategorikan
menjadi dua hal, yaitu karena sebab-sebab alami dan karena tindakan manusia.

3. Erosi
Erosi adalah suatu proses atau peristiwa hilangnya lapisan permukaan tanah
atas, baik disebabkan oleh pergerakan air maupun angin. Erosi merupakan tiga
proses yang berurutan, yaitu pelepasan (detachment), pengangkutan
(transportation), dan pengendapan (deposition) bahan-bahan tanah oleh penyebab
erosi. Besarnya erosi tergantung pada kuantitas suplai material yang terlepas dan

14
kapasitas media pengangkut. Jika media pengangkut mempunyai kapasitas lebih
besar dari suplai material yang terlepas, proses erosi dibatasi oleh pelepasan
(detachment limited). Sebaliknya jika kuantitas suplai materi melebihi kapasitas,
proses erosi dibatasi oleh kapasitas (capacity limited) (Candra, 2010).

4. Intrusi Air Laut


Intrusi air laut adalah masuk atau menyusupnya air laut kedalam pori-pori
batuan dan mencemari air tanah yang terkandung didalamnya, Proses masuknya
air laut mengganti air tawar disebut sebagai intrusi air laut. Secara alamiah air laut
tidak dapat masuk jauh ke daratan sebab airtanah memiliki piezometric yang
menekan lebih kuat dari pada air laut, sehingga terbentuklah interface sebagai
batas antara air tanah dengan air laut. Keadaan tersebut merupakan keadaan
kesetimbangan antara air laut dan air tanah. Intrusi air laut terjadi bila
keseimbangan terganggu. Aktivitas yang menyebabkan intrusi air laut diantaranya
pemompaan yang berlebihan, karakteristik pantai dan batuan penyusun, kekuatan
air tanah ke laut, serta fluktuasi air tanah di daerah pantai.

5. Kerusakan Daerah Tangkapan Air Hujan


Daerah Tangkapan Air (DTA) merupakan satu kesatuan fisik yang tidak
terikat dengan batasan politik dan administrasi. Ia merupakan daerah yang banyak
kegunaan (multiple use) oleh beragam pengguna (multi user), bersifat lintas
sektoral dan lintas daerah dari hulu sampai ke hilir. Dengan demikian DTA
meliputi banyak juridiksi pemeritahan dari pusat sampai ke daerah dengan
regulasi yang kompleks. Seiring dengan itu setiap tingkatan pemerintahan ini juga
memiliki dinas dan instansi sendiri-sendiri sehingga secara keseluruhan organisasi
pengelolah DTA sangat gemuk dan masing-masingnya hanya berwewenang dan
bertanggung jawab secara sektoral. Kompleksitas ini menjadi penyebab tidak
efektifnya pengelolaan DTA selama ini sehingga membutuhkan pemikiran-
pemikiran baru guna mencapai pengelolaan DTA yang berkelanjutan (Sustainable
Watershed Management).

6. Pencemaran Air

15
Pencemaran air adalah suatu perubahan keadaan di suatu tempat
penampungan air seperti danau, sungai, lautan dan air tanah akibat aktivitas
manusia. Pencemaran air dapat disebabkan oleh berbagai hal. Limbah yang terus-
menerus meningkat, akan mengakibatkan air semakin tercemar dan akan sulit bagi
masyarakat untuk mendapatkan air bersih karena air yang tercemar akan meresap
ke dalam tanah. Air tanah tersebut merupakan sumber dari air sumur di rumah
masyarakat dan apabila masyarakat mengkonsumsi air tersebut akan
mengakibatkan penyakit. Air yang tercemar tidak hanya masuk dalam tanah,
tetapi juga mengalir pada sungai bahkan laut dan mengakibatkan terganggunya
lingkungan hidup, ekosistem dan keanekaragaman hayati.

F. Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu


Lingkup pengelolaan sumber daya air meliputi upaya perencanaan,
pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi terhadap penyelenggaraan konservasi
sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak
air, yang bertujuan untuk menjaga kelangsungan keberadaan daya dukung, daya
tampung dan fungsi sumber daya air, pemanfaatan sumber daya air secara
berkelanjutan dengan mengutamakan pemenuhan kebutuhan pokok kehidupan
masyarakat, serta mencegah, menanggulangi, dan memulihkan infrastruktur
sumber daya air akibat kerusakan kualitas lingkungan yang disebabkan oleh daya
rusak air.
Pemerintah dan para pemangku kepentingan (stakeholder) dalam melakukan
pengelolaan sumber daya air wajib melakukan proses manajemen secara
menyeluruh baik dari aspek teknis, finansial/ekonomi maupun sosial bahkan
politis. Secara aspek teknis harus dapat dijamin bahwa pengelolaan sumber daya
air yang dilakukan akan memberikan manfaat yang berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan dan bahwa pembangunan infrastruktur sumber daya air tidak akan
merusak lingkungan. Apabila diperkirakan akan terjadi kerusakan lingkungan,
maka harus dicarikan alternatif dan upaya pencegahan atau apabila terpaksa
kegiatan tersebut dapat ditunda atau dibatalkan.
Dari aspek finansial/ekonomi telah dikaji manfaat apa yang akan diperoleh
dengan pengelolaan sumber daya air tersebut, bahkan bila memungkinkan

16
pendapatan yang diperoleh akan dapat meningkatan pendapatan daerah. Ada
kalanya secara finansial, pengelolaan sumber daya air kurang memberikan
pendapatan tetapi apabila pengelolaan sumber daya air tersebut dapat mengurangi
kerugian masyarakat maka hal tersebut dapat diprioritaskan untuk dilaksanakan.
Kekurangan akan dana untuk mengimplementasikan kegiatan tersebut dapat pula
diupayakan melalui jalur sosial ataupun politis.
Pengelolaan sumber daya air terpadu bertujuan mengoptimalkan resultan
ekonomis dan kesejahteraan sosial dalam perilaku yang cocok tanpa mengganggu
kestabilan dari ekosistem. Pengelolaan sumber daya air dapat dilakukan melalui
cara struktural dan non-struktural untuk mengendalikan sistem sumber daya air
alam dan buatan.

Gambar 4. Proses pembangunan (Kodoatie, 2005)

Kerangka konseptual pengelolaan sumber daya air setidaknya


memperhatikan bahwa:
1. Masalah sumber daya air adalah bersifat kompleks.
2. Wilayah sumber daya air dapat berupa bagian dari pengembangan wilayah,
dapat pula berupa bagian administratif.
3. Adanya relasi antara Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dengan master
plan sumber daya air.

17
4. Adanya batas teknis hidrologi, DAS, daerah aliran air tanah (groundwater
basin) yang pada kondisi wilayah tertentu dapat berbeda dengan DAS.
5. Pengelolaan sumber daya air dapat dilakukan secara natural/alami atau man-
made (campur tangan manusia).
Pengelolaan sumber daya air harus dipandang sebagai sesuatu yang terpadu
(integrated), meliputi banyak hal dan menyeluruh (comprehensive) dan saling
ketergantungan (interdependency).
Prinsip pengelolaan sumber daya air secara umum harus memenuhi kriteria
sebagai berikut:
1. pada dasarnya berupa pemanfaatan, perlindungan, dan pengendalian;
2. dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh, berkelanjutan, dan berwawasan
lingkungan;
3. dalam satu sungai hanya berlaku satu rencana induk pengelolaan;
4. lingkup pengelolaan sumber air mencakup: pengelolaan daerah tangkapan
hujan, pengelolaan kuantitas air, pengelolaan kualitas air, pengendalian banjir,
dan pengelolaan lingkungan sungai;
5. pengelolaan terhadap infrastruktur keairan yang meliputi: system penyediaan
air (waduk, penampungan air, jaringan transmisi dan distribusi, fasilitas
pengolahan air); sistem pengelolaan air limbah (termasuk fasilitas
infrastruktur pendukungnya seperti fasilitas pengumpul, pengolahan,
pembuangan, sistem daur ulang); fasilitas pengelolaan limbah; fasilitas
pengendaian banjir, drainase dan irigasi; fasilitas lintas air dan navigasi; serta
fasilitas sistem kelistrikan (PLTA).

18
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Permasalahan sumberdaya air dirasakan semakin meningkat. Tidak hanya
sebagai akibat pencemaran dan degradasi sumberdaya, tetapi juga dengan
penurunan kapasitas sumberdaya alam. Sampai saat ini, penyediaan air bersih
untuk masyarakat di Indonesia masih dihadapkan pada beberapa permasalahan
yang cukup kompleks dan sampai saat ini belum dapat diatasi sepenuhnya.
2. Permasalahan pengelolaan sumber daya air antara lain yaitu banjir, kekeringan,
erosi, kerusakan daerah tangkapan air hujan, intrusi air laut, pencemaran air,
menyebabkan kualitas dan kuantitas air bersih menurun.
3. Penyelesaian permasalahan pengelolaan sumber daya air dapat diatasi dengan
memperhatikan dari sisi mana permasalahan tersebut muncul, antara lain sisi
pasokan/ketersediaan, permasalahan dari sisi penggunaan dan permasalahan
dari sisi manajemen. Selain itu, solusi yang dapat ditawarkan dapat
mengguunakan tiga jangka waktu yaitu jangka pendek, menengah dan jangka
panjang yang juga disesuaikan dengan permasalahan pengelolaan yang telah
terjadi.
4. Pengelolaan sumber daya air harus dipandang sebagai sesuatu yang terpadu
(integrated), meliputi banyak hal dan menyeluruh (comprehensive) dan saling
ketergantungan (interdependency).

B. Saran
Diperlukan kerjasama dari berbagai pihak dalam tata kelola air, khususnya
dalam upaya menjaga dan melestarikan sumber daya air yang ada sehingga
tercapai ketersediaan air bersih yang berkelanjutan.

19
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2011. Modul Pengembangan Sumber Daya Air:


https://darmadi18.files.wordpress.com/2011/03/materi-psda-s1.pdf diakses
pada tanggal 09 April 2017

Arsyad, Sitanala. 1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB. Bandung.

Asdak, C. 2005. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Edisi Kedua
(revisi). Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Candra, B. 2010. Penanganan Erosi dan Sedimentasi di Sub DAS Cacaban


Bangunan Check Dam. Semarang. Universitas Diponegoro.

Kodoatie, R.J. dan R. Sjarief. 2005. Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu, Penerbit
Andi, Yogyakarta.

Soemarto, C. 1995. Hidrologi Thenik. Jakarta. Penerbit Erlangga.

Soemarwoto, O. 2004. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Penerbit


Djambatan. Jakarta.

Supangat, A.B. 2005. Kajian Keseimbangan Tata Air dalam Rangka Perencanaan
Pemanfaatan Ruang di Wilayah SubDAS Cirasea. Thesis. Program Magister
Perencanaan Wilayah dan Kota. ITB.

Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air

Frederiksen, Harald D., Berkoff, Jeremy, dan Barber, William, Water Resources
Management in Asia Vol I, The World Bank, Washington, 1993.

20

You might also like