You are on page 1of 11

Antara Ibadah dan Bid'ah di Bulan Rajab

1). Dzikir dan Shalat

Dzikir (ilustrasi)

Permasalahan pelaksanaan dalam melakukan ibadah di antara umat Islam,


sering terpicu karena adanya perbedaan pendapat antara boleh atau
tidaknya ibadah tersebut dilaksanakan. Sementara, tak satupun dari kita
yang hidup di zaman Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, untuk
menyaksikan langsung apa-apa yang telah dilakukan oleh Habiballah dan
para sahabat tersebut. Sehingga, kita pun mengetahuinya melalui ustadz
ataupun buku-buku.

Kemiskinan dalam ilmu yang banyak terdapat dalam diri umat muslim,
sering menyebabkan kesimpang siuran dalam amalan yang harus dilakukan.
Bahkan, sering mengakibatkan perselisihan yang memicu emosi masing-
masing pihak yang merasa paling benar. Walaupun, Allah dan Rasul-Nya
telah melarang kita untuk berdebat dalam hal-hal yang menyangkut
syariat, karena kita telah diberi pedoman Alquran dan Sunnah.

"Manusia itu adalah umat yang satu. Setelah timbul perselisihan, maka Allah
mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan. Allah pun menurunkan
bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara
manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih
tentang Kitab itu, melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka
Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang
nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk
orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka
perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk
orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus." (Q.S. Al-Baqarah 2:
213)

Namun, tetap saja kita menjadi ragu-ragu dalam pelaksanaan yang kita nilai
sebagai ibadah. Sekalipun itu telah dilaksanakan secara turun temurun dan
diwariskan oleh orang tua kepada kita. Padahal, Rasulullah shalallahu alaihi
wasallam telah mengingatkan kita dalam suatu hadits, Tinggalkan perkara
yang meragukanmu menuju kepada perkara yang tidak meragukanmu.
Karena kejujuran itu adalah ketenangan di hati sedangkan kedustaan itu
adalah keraguan.
Hadits tersebut merupakan pokok dalam hal meninggalkan syubhat dan
memperingatkan dari berbagai jenis keharaman. Al-Munawi rahimahullah
berkata, Hadits ini merupakan salah satu kaidah agama dan pokok dari
sifat wara`, di mana wara` ini merupakan poros keyakinan dan
menenangkan dari gelapnya keraguan dan kecemasan yang mencegah
cahaya keyakinan.
Al-Askari rahimahullah menyatakan, Seandainya orang-orang yang pandai
merenungkan dan memahami hadits ini, niscaya mereka akan yakin
bahwasanya hadits ini telah mencakup seluruh apa yang dikatakan tentang
menjauhi perkara syubhat. (Faidhul Qadir, 3/529)

Hadits tersebut diriwayatkan oleh cucu kesayangan Rasulullah shallallahu


alaihi wasallam, Abu Muhammad Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib radhiallahu
anhuma, ketika seseorang yang bernama Abul Haura As-Sa`di bertanya
kepadanya tentang apa yang dihafalnya dari hadits kakeknya yang mulia
shallallahu alaihi wasallam.

Al-Imam Ahmad rahimahullah dalam Musnad-nya, juga At-Tirmidzi, An-Nasai


dalam Sunan-nya mengeluarkan hadits ini dari jalan Syubah dari Buraid bin
Abi Maryam dari Abul Haura dari Al-Hasan bin Ali radhiallahu anhuma.

Selain itu, hadits ini pun termasuk dalam sekian hadits yang
dilazimkan/diharuskan oleh Al-Imam Ad-Daraquthni rahimahullah terhadap
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah dan Muslim rahimahullah agar
mengeluarkannya dalam shahih keduanya.

Makna Rajab

Sekarang, kita telah berada dalam bulan Rajab yang dalam suatu hadits
dikatakan, Rajab adalah bulannya Allah, Syaban adalah bulanku, dan
Ramadhan adalah bulan umatku. (Status hadits: Dhaif (lemah). Lihat As
Silsilah Adh Dhaifah No. 4400)

Dinamakan Rajab, karena di dalamnya banyak kebaikan yang diagungkan


(yatarajjaba) bagi Syaban dan Ramadhan. (Status hadits: Maudhu (palsu).
As Silsilah Adh Dhaifah No. 3708)

Rajab berasal dari lafadz tarjib, yang berarti mengagungkan. Dan menurut
pendapat mayoritas, lafadz Rajab termasuk musytaq. Ini pendapat yang
paling kuat, dan adapun artinya dia memuliakan dan mengagungkannya
karena penghormatan orang Arab kepadanya. Oleh karena itu, Rajab
dikatakan al murajab (yang diagungkan, dimuliakan).

Al Qadhi Abu Yala berkata, Dinamakan bulan haram karena mengandung


dua makna. Pertama, diharamkan berperang di dalamnya dan orang-orang
jahiliyah pun meyakininya pula. Kedua, karena melanggar larangan-
larangan pada bulan ini lebih berat dosanya dibanding pada bulan
selainnya, demikian pula ketaatan. Dari Zadul Masir, 3/432.

Menurut pendapat Hanafiyah, Thawus dan juga Jabir, Mujahid, Ibnu Juraij,
sebagai pendapat yang rajih (kuat). Dalam musnad Ahmad 3/334, 345,
Tafsir Ibnu Jarir dengan kedua sanadnya dari Jabir, dia berkata, Rasulullah
tidak pernah berperang pada bulan haram, kecuali bila diperangi atau
Beliau tidak berperang hingga bulan-bulan haram berakhir.

Itulah pendapat yang dirajihkan oleh Al Alusi di Rauhul Bayan 2/108, Al


Qurtubi di Al Jami Al Ahkam Al Quran 2/351, Ar Razi di dalam tafsirnya
5/142, Ibnul Arabi di Al Ahkam 1/108, Al Jashas di Al Ahkam. Dengan
demikian, kita mengetahui bahwa keharaman perang pada bulan haram
tetap dan tidak dinasakh.

Tidak ada satu dalil pun yang shahih, yang secara khusus menyebutkan
keutamaan bulan Rajab. Hal ini sebagaimana telah dituturkan oleh Al Hafizh
Ibnu Hajar dalam kitab Tabyin Al Ujab, Tidak ada hadits shahih yang pantas
untuk dijadikan hujjah dalam masalah keutamaan bulan Rajab, (dengan)
puasa di dalamnya dan shalat malam khusus pada malam harinya. Beliau
juga berkata, Sungguh Imam Abu Ismail Al Harawi Al Hafizh telah
mendahuluiku menetapkan demikian. Kami meriwayatkan darinya dengan
sanad yang shahih. Demikian pula kami meriwiyatkan dari selainnya.

Demikian pula kalangan ulama kritikus serta para huffazh telah


mendahuluinya, diantaranya: Al Allamah Ibnu Qayyim Al Jauziyah
(wafat 751 H), beliau berkata di dalam Al Manar Al Munif, hlm. 96, Setiap
hadits yang menyebutkan puasa Rajab dan shalat pada sebagian
malamnya, maka itu kedustaan yang diada-adakan.

Al Allamah Al Faqih Majdudin Al Fairuz Abadi (wafat 826 H), beliau berkata
di penutup kitab Safar As Saadah, hlm. 150, Dan bab shalat raghaib,
shalat nishfu syaban, shalat nishfu rajab, shalat iman, shalat malam miraj
, bab-bab ini, di dalamnya tidak ada sesuatu pun yang sah secara pokok.

Beliau juga berkata, Bab puasa Rajab dan keutamaannya, tidak ada
satupun yang tsabit, bahkan sebaliknya ada riwayat yang
memakruhkannya.

Meskipun demikian, Rajab memiliki keutamaan; Karena Rajab termasuk


bulan haram dan terhormat.

Sesungguhnya, bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan;
Dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di
antaranya empat bulan haram[640]. Itulah (ketetapan) agama yang lurus,
maka janganlah kamu menganiaya diri[641] kamu dalam bulan yang empat
itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun
memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta
orang-orang yang bertakwa. (Q.S. At-Taubah 9: 36)

[640]. Lihat no. [119]. Maksudnya antara lain ialah : bulan haram (bulan
Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab), tanah haram (Mekah) dan
Ihram.

[641]. Maksudnya janganlah kamu menganiaya dirimu dengan mengerjakan


perbuatan yang dilarang, seperti melanggar kehormatan bulan itu dengan
mengadakan peperangan.
Dzikir khusus di bulan Rajab

Di sisi banyaknya nukilan dari para imam tersebut, tragisnya masih saja ada
dari umat islam yang mengistimewakan bulan ini. Mereka melakukan
ibadah-ibadah yang tidak ada asal-usulnya di dalam syariat yang suci,
seperti mengistimewakannya dengan berpuasa, apakah di awalnya atau
keseluruhannya.

Dan umumnya, umat islam di tanah air mengistimewakan bulan ini dengan
membaca dzikir-dzikir khusus seperti Istighfar bulan Rajab yang dibaca
setiap pagi dan petang sebanyak 70 kali, sambil mengangkat tangan
membaca: Allahummaghfirlii warhamnii watub alayya Ya Allah,
ampunilah aku, dan kasihilah aku serta terimalah taubatku.

Biasanya, dzikir ini dibaca setelah imam salam dari shalat wajib dan diikuti
oleh pada jamaah dengan serempak. Dan masih banyak lagi amalan-amalan
serupa di bulan Rajab yang tidak ada asal usulnya di dalam syariat ini.

Semua itu merupakan ajaran baru yang tidak dikenal oleh generasi
shahabat, tabiin dan tabiut tabiin. Padahal, merekalah generasi terbaik
umat ini, seperti yang terdapat dalam hadits, Sebaik-baik manusia adalah
kurunku kemudian yang setelahnya, kemudian yang setelahnya.
(Muttafaqun Alaihi dari Abdullah bin Masud Radhiyallahu anhu)

Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang


mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya
tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah
dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan
memperoleh azab yang amat pedih. (Q.S. Asy-Syuura 42: 21)

Shalat Raghaib di bulan Rajab

Begitu juga dengan Shalat Raghaib yang telah banyak diamalkan oleh umat
muslim di setiap bulan Rajab. Adapun tata cara shalat Raghaib sebanyak 12
rakaat, dengan 6 kali salam, dilaksanakan setelah shalat Maghrib pada
Jumat pertama bulan Rajab. Yang dibaca yakni surat Al-Qadr 3 kali dan Al-
Ikhlas 12 kali, setelah membaca Al-Fatihah. Setelah selesai, membaca
shalawat Nabi 70 kali, kemudian berdoa dengan doa yang dia kehendaki.
Maka, rijal haditsnya majhul, dan telah dijelaskan oleh para ahli hadits,
bahwa ia maudhu (palsu).

Lihat kebidahannya di Al Inshaf Lima Fi Shalat Ar Raghaib Minal Ikhtilaf,


karya Abu Syamah Al Maqdisi. Dia memasukkannya dengan lengkap dalam
Al Baits Ala Inkari Al Bida Wal Hawadits dan Musajalah Ilmiyyah Baina Al
Imamaini Al Iz bin Abdul Salam Wa Ibnu Ash Shalah dan Iqtidha Ash Shirat
Al Mustaqim, hlm. 283; Al Madkhal, 1/193; Tabyin Al Ajab Fi Fadhli Rajab,
hlm. 47 Al Misyriyah; Fatawa An Nawawi, hlm. 26; Majmu Fatawa Ibnu
Taimiyah, 212; As Sunan Al Mubtadiat, hlm. 140; Al Maudhuat, 2/124; Al
Laliu Al Masnuah, 2/57; Tanzih Asy Syariah, 2/92; Al Majmu, 4/56; Safar As
Saadah, hlm. 150 dan Al Amru Bi Al Ittiba, lembar 15/1.

Orang yang antusias terhadap shalat Raghaib, berpegang dengan hadits


dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah bersabda, "Janganlah kalian
melupakan malam Jumat pertama dari bulan Rajab, karena malam itu
disebut oleh Malaikat dengan Raghaib; Maka tidaklah ada seorang yang
berpuasa pada hari Kamis pertama dari bulan Rajab, kemudian shalat
antara Maghrib dengan Isya sebanyak dua belas rakaat, kecuali Allah akan
mengampuni dosa-dosanya."

Hadits ini disebutkan secara lengkap bersama tata caranya dalam kitab Al
Maudhuaat, karya Ibnul Jauzi. Begitu juga dalam kitab Al Ihya, karya Al
Ghazali dan Al Hafizh Al Iraqi berkata, Hadits ini palsu.

Abu Faraj Ibnul Jauzi berkata : Ini adalah hadits palsu yang dibuat secara
dusta atas nama Rasulullah oleh Ahli Bidah yang sangat ektrim, yaitu Ali
bin Abdullah Jahdham.

Abu Syamah berkata, "Di antara (yang menjadi) faktor hadits ini dituduh
palsu adalah, besarnya pahala yang diobral dan janji pengampunan dosa
yang fantastis, sehingga membuat orang awam tergiur dan meremehkan
kewajiban yang asasi. Dalam lafazh hadits, terdapat indikasi bahwa hadits
ini palsu, karena waktu shalat ini antara Isya dengan atamah. Dan tidak
mungkin lafazh hadits ini berasal dari Nabi, karena Beliau melarang
menamai shalat Isya dengan atamah."

Dan dalam Syarah Muslim, karya An Nawawi disebutkan: Para ulama


berhujjah terhadap makruhnya (tidak disukai) shalat Raghaib dengan hadits,
Janganlah kamu mengkhususkan malam Jumat untuk shalat, dan hari
Jumat untuk berpuasa. [Dikeluarkan Al Bukhari dalam Ash Shahih, 4/232
no. 1985; Muslim dalam Ash Shahih, 2/801 no. 1144; Ahmad dalam Al
Musnad, 2/495; At Tirmidzi dalam Al Jami, 12312 no. 740, An Nasai dalam
As Sunan Al Kubra, sebagaimana di dalam Tuhfah Al Asyraf, 10/351; Ibnu
Majah dalam As Sunan, 1/549 no. 1723; Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra,
4/302; At Thahawi dalam Syarhu Maani Al Atsari, 2/78]

Oleh karena itu, shalat Raghaib termasuk bidah yang munkar, termasuk
bidah yang sesat, karena di dalamnya ada kemungkaran yang jelas. Allah
memerangi pembuat dan penciptanya. Dan sesungguhnya, para imam telah
menulis karangan-karangan yang bagus dalam menjelaskan keburukan,
kesesatan, kebidahan dan jeleknya dalil-dalil yang dipakai (dan kesalahan
serta kesesatan pelakunya) yang jumlahnya lebih banyak dari yang dibatasi.

Pendapat An Nawawi tersebut juga menyatakan sesat dan bodoh kepada


orang yang shalat Raghaib pada malam Jumat. Baik itu sendirian maupun
berjamaah, dengan alasan ada anjuran yang membolehkannya. Padahal,
semua riwayat seputar shalat Raghaib adalah palsu dan penuh dengan
pendustaan atas nama Rasulullah.

Syaikh Masyhur Salman berkata: Hadits ini maudhu (palsu) dan tidak
disyariatkan beribadah kepada Allah dengan hadits maudhu dalam semua
keadaan. Maka shalat Raghaib adalah bidah yang sesat, sebagaimana
pendapat jumhur ulama dan ahli tahqiq di antara mereka.

Ada sebagian orang yang berpendapat, bahwa para ulama berbeda


pendapat dalam memakruhkan pengkhususan hari Jumat untuk berpuasa
dan qiyamul lail pada malamnya. Sedangkan pendapat yang paling kuat
adalah makruh tanzih. Oleh sebab itu, tidak boleh mengkhususkan hari
Jumat untuk puasa dan qiyamul lail dan meremehkan malam yang lainnya.

Dalam Jami Al Ushul, setelah menyebutkan shalat Raghaib beserta tata


caranya dan berdoa setelahnya, dinyatakan: Hadits ini termasuk yang aku
temukan di kitab Razin, dan aku belum pernah menemukannya dalam salah
satu kutubus sittah, dan hadits ini dicela di dalamnya. [Jami Al Ushul 6/154
dan dia menisbatkannya ke Razin Al Iraqi dalam Takhrij Ahadits Al Ihya,
1/203, dan dia berkata: maudhu]

Dan yang paling tinggi, hadits ini berstatus dhaif. [Perkataan Ibnu Atsir ini
tidak bermanfaat, bagaimana sedangkan banyak para ulama yang mutabar
menyatakan bidah & palsunya shalat raghaib]

Mereka juga berdalih, bahwa Syaikh Ibnu Shalah memilih pendapat


bolehnya shalat tersebut. Demikian pula Hujjatul Islam (Al Ghazali) dalam Al
Ihya dan yang lainnya dari para syaikh dan ulama.

Cara berdalih seperti itu jelas kurang tepat dan salah. Apalagi, semua ulama
sepakat tentang bidahnya shalat Raghaib. Semua telah dibantah secara
tuntas dan jelas oleh Iz bin Abdus Salam, bahwa tidak ada satu dalil pun
yang menganjurkan shalat tersebut. Bahkan, Abu Syamah Al Maqdisi dalam
Al Inshaf telah membuat penilaian secara adil dan bijaksana.

Abu Syamah memaparkan hujjah mereka masing-masing, dan beliau


memberi bantahan tuntas satu per satu. Kemudian membuat kesimpulan
secara adil dan bijak, bahwa shalat tersebut hukumnya bidah. Hal ini
sebagaimana dikatakan oleh muridnya, yaitu Imam Nawawi dalam Al
Majmu 4/56.
Adapun sikap Ibnu Shalah terhadap shalat tersebut sangat goncang dan
kabur. Sebab, beliau pernah berfatwa melarangnya, kemudian berbalik
membolehkannya.

Dan Al Iz telah membuat bantahan yang cukup bagus, bahwa


sesungguhnya beliau pernah shalat malam Jumat mengimami umat
manusia, sedangkan manusia tidak tahu kalau itu dilarang. Maka, dia takut
jika melarangnya akan dikatakan, Apakah kamu tidak melakukan shalat
itu? Sehingga, beliau lebih rela mengikuti hawa nafsu dan menganjurkan
orang lain untuk menganggap baik terhadap sesuatu yang tidak dianggap
baik oleh syariat yang suci.

Adapun pernyataan Imam Al Ghazali dalam Al Ihya 1/203 telah dibantah,


bahwa beliau sedikit sekali perbendaharaan ilmu haditsnya. Sebagaimana
dikatakan oleh dirinya sendiri, maka pengukuhan beliau terhadap hadits
shalat pada malam Jumat pertama dari bulan Rajab ini ditolak.
Demikian dikatakan Ath Thurthusi dalam Al Hawadits Wal Bida, hlm. 116-
117 dan Abu Syamah dalam Al Baits, hlm. 33 darinya pula. Apalagi dalam
shalat tersebut terdapat sesuatu yang menambahi Alquran dan Assunnah;
Bahkan, sebaliknya banyak dalil-dalil, baik dari Alquran dan Assunnah
menyelisihi tata cara shalat tersebut.
2). Umroh dan Puasa

Umrah (ilustrasi)

Mengenai keutamaan umroh di bulan Rajab

Ada sebagian dari kita yang berpikir, bahwa melaksanakan umroh pada
bulan Rajab lebih utama dibandingkan bulan-bulan lainnya. Padahal, tidak
ada keutamaan secara khusus umroh pada bulan Rajab dengan bersandar
kepada dalil shahih. Rasulullah sendiri tidak pernah mengerjakannya, tidak
pernah menyetujui salah seorang sahabat yang melakukannya. Dan, apabila
Beliau menganjurkan umroh pada bulan Rajab secara khusus, maka itu tidak
tsabit.

Diriwayatkan dari Urwah bin Zubair, dia berkata, Aku dan Ibnu Umar
pernah bersandar di pintu kamar Aisyah, dan sungguh kami mendengar
suara siwaknya. Dia (Urwah) berkata, "Aku bertanya kepada Ibnu Umar,
'Wahai, Abu Abdurrahman. Apakah Nabi pernah umroh pada bulan Rajab?'
Dia menjawab, 'Ya.' Maka, aku bertanya kepada Aisyah, 'Wahai, Bunda.
Apakah engkau tidak mendengar yang telah dikatakan oleh Abu
Abdurrahman?' Aisyah menjawab, 'Apa yang dikatakannya?' Aku berkata,
'Dia mengatakan bahwa Nabi umroh empat kali. Salah satunya pada bulan
Rajab.' Maka, Aisyah berkata, 'Semoga Allah mengampuni Abu
Abdurrahman. Demi agamaku, tidaklah Beliau umroh pada bulan Rajab, dan
tidaklah Beliau umroh pada salah satu umrohnya, kecuali dia bersamanya.'
[Beliau tidak umroh pada bulan Rajab saja]." Dia (Urwah) berkata, Ibnu
Umar mendengar, tetapi dia tidak berkata ya ataupun tidak, bahkan
diam. [Dikeluarkan Al-Bukhari (Ash-Shahih) 3/599-600 no. 1775 & 1776,
Muslim (Ash-Shahih) 2/916 no. 1255 dan selain keduanya]

Ini menunjukkan keraguan Ibnu Umar, sehingga sama saja baginya, baik dia
mencabut kembali perkataannya ataupun tidak. Sesungguhnya dia
menyendiri, maka perkataannya syadz lagi munkar, tidak disepakati oleh
seorang pun sahabat yang mulia, dan tidak pula oleh para imam yang alim.

Berkata Ibnu Al-Jauzi di dalam (Musykilnya), Diamnya Ibnu Umar tidak


lepas dari dua keadaan; Mungkin dia syak (ragu) maka diam atau dia
menyebutkan setelah lupa maka dengan diamnya itu dia kembali kepada
perkataannya. Dan Aisyah telah mengoreksi dengan koreksi yang baik."

Dan Anas berkata, Rasulullah umroh empat kali, semuanya di bulan


Dzulqaidah. Dan hadits ini menunjukkan kuatnya hafalan Aisyah dan
pemahamannya yang bagus. Az-Zarkasi menukilnya di (Al-Ijabah) hal. 94
cet. Al-Maktab Al-Islami Beirut.

Kalangan ulama kritikus serta para huffazh telah mendahuluinya juga, di


antaranya Al Allamah Ibnu Qayyim Al Jauziyah (wafat 751 H). Beliau berkata
di dalam Al Manar Al Munif, hlm. 96, Setiap hadits yang menyebutkan
puasa Rajab dan shalat pada sebagian malamnya, maka itu (merupakan)
kedustaan yang diada-adakan.

Al Allamah Al Faqih Majdudin Al Fairuz Abadi (wafat 826 H). Beliau berkata
di penutup kitab Safar As Saadah, hlm. 150, Dan bab shalat Raghaib,
shalat Nishfu Syaban, shalat Nishfu Rajab, shalat Iman, shalat malam Miraj,
bab-bab ini di dalamnya secara pasti tidak ada sesuatu pun yang sah.

Beliau juga berkata, Bab puasa Rajab dan keutamaannya, tidak ada
sesuatu pun yang tsabit. Bahkan sebaliknya, ada riwayat yang
memakruhkannya.

Berpuasa di bulan Rajab

Imam Suyuti berkata di dalam Al Amru Bil Ittiba Wa nahyu Anil Ibtida,
lembaran 14 / 1: Asy Syafii berkata, "Aku membenci seorang laki-laki yang
menjadikan puasa (Rajab) sebulan penuh sebagaimana puasa Ramadhan.
Demikian pula puasa sehari di antara hari-hari yang lainnya."

Abu Al Khatab menyebutkan di dalam kitab Adau Ma Wajaba Fi bayani


Wadhi Al Wadhiin Fi Rajab, dari orang kepercayaan, Ibnu Ahmad As Saji Al
Hafizh, beliau berkata, "Imam Abdullah Al Anshari, syaikh negeri Khurasan
tidak pernah puasa Rajab, bahkan melarangnya. Beliau berkata, Tidak ada
sesuatu pun yang sah datang dari Rasulullah tentang keutamaan Rajab dan
puasa padanya. Beliau berkata, Sesungguhnya para sahabat membenci
puasa Rajab. Di antara mereka adalah Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu
'anhuma. Umar pernah mengumpamakan orang yang sering puasa Rajab
seperti dirrah (susu yang melimpah-limpah, lihat Mukhtarush Shihah) Aku
berkata, 'Permisalan Umar ini terdapat di dalam Al Mujam Al Ausath, karya
Thabrani dan di dalamnya ada orang yang bernama Al Hasan bin Jabalah.'"
Al Haitsami berkata di dalam Al Majma 13/191, Aku belum pernah
menemukan orang yang menyebutkannya, dan rijal hadits yang lainnya
tsiqah.

Menurut Ibnu Wadhah dalam Al Bida hlm. 44 dan Al Faqihi dalam Kitabu
Makkah, sebagaimana dikatakan oleh Abu Syamah Al Maqdisi dalam Al
Baits Ala Inkar Al Bida Wal Hawadits, hlm. 49. Beliau berkata juga, Abu
Utsman Said bin Mansur menyandarkannya kepada imam yang disepakati
keadilannya dan disepakati mengeluarkan dan meriwayatkannya, dan
beliau berkata, Ini adalah sanad yang para perawinya disepakati
keadilannya.

Ath Thurtusi dalam Al Hawadits Wal Bida, hlm. 129 dan Abu Syamah dalam
Al Baits, hlm. 49 menukil kebencian Abu Bakar pada puasa Rajab.
Imam Abdullah Al Anshari, menukil dari Asy Suyuthi rahimahullah Taala: Jika
dikatakan puasa Rajab adalah amalan yang baik, maka katakan padanya,
mengamalkan kebaikan hendaknya sesuai yang disyariatkan Rasulullah.
Bila kita tahu, bahwa itu dusta atas nama Rasulullah, maka itu keluar dari
yang disyariatkan, dan mengagungkannya termasuk perkara jahiliyah,
sebagaimana kata Umar.
Umar pernah memukul rajabiyyin, yaitu orang-orang yang berpuasa Rajab.
Adapun Ibnu Abbas, seorang ulama Alquran membencinya juga. Dan
dikeluarkan oleh Abdurrazaq di dalam Mushannaf 4/292, dari Atha dari Ibnu
Abbas, bahwa dia membenci seluruh puasa Rajab, agar tidak dijadikan hari
raya. Isnadnya shahih, sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar dalam Tabyin Al
Ajab, hlm. 65, 66 Al Misriyyah.

Asy Suyuthi berkata juga: Biasanya bila Ibnu Umar melihat manusia dan apa
yang mereka siapkan untuk bulan Rajab, (maka) beliau membencinya.
Beliau berkata, Berpuasalah pada bulan Rajab dan berbukalah, karena dia
adalah bulan yang dahulu dimuliakan kaum jahiliyyah.

Ada pula riwayat dari salaf, bahwa dahulu mereka mengingkari perbuatan
orang-orang yang mengistimewakan bulan ini dengan berpuasa. Hal ini
seperti diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah Rahimahullah dengan sanad
yang shahih dari Kharsyah bin Al Hurr, ia berkata, "Saya menyaksikan Umar
bin Khattab Radhiallahuanhu memukuli tangan orang-orang di bulan Rajab,
sampai mereka meletakkan tangan-tangan mereka di piring-piring
makannya (melarang mereka berpuasa), dan Umar Radhiallahuanhu
berkata, Makanlah kalian, bulan ini adalah bulan yang dahulu dimuliakan
orang-orang jahiliyah." [Adau ma Wajab (hal. 57 dan 63)]

Juga ketika Abu Bakr Radhiyallahu anhu menemui keluarganya dan melihat
mereka membeli cangkir-cangkir minum, dan bersiap-siap untuk puasa, ia
berkata, Apa ini!

Mereka menjawab, Rajab.

Abu Bakr Radhiyallahu anhu berkata, Apa kalian ingin menyerupakannya


dengan Ramadhan? Lalu ia memecahkan cangkir-cangkir tersebut. [Majmu
Fatawa (25/290-291)]

At Turthusi dalam Al Hawadits Wal Bidah, hlm. 129 dan Abu Syamah di
dalam Al Baits, hlm. 49 menyebutkan atsar Ibnu Umar ini. Dan di hlm. 130-
131 berkata, Puasa Rajab dibenci berdasarkan salah satu dari tiga segi.
Salah satunya adalah bila orang-orang mengkhususkannya dengan puasa
pada setiap tahun, maka orang-orang awam yang tidak tahu akan
menyangka (bahwa) itu wajib seperti puasa Ramadhan, atau mungkin
sunnah yang tetap yang dikhususkan Rasulullah untuk berpuasa, seperti
sunnah-sunnah rawatib. Dan bisa jadi, puasa itu ditentukan karena
keutamaan pahalanya dibanding seluruh bulan, sebagaimana puasa Asy
Syura. Maka puasa itu dianggap ada karena ada keutamaannya, bukan
hanya karena sisi sunnah atau wajibnya.

Andaikata hal ini terjadi karena ada keutamaannya, tentu Rasulullah telah
menjelaskan atau Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melakukannya,
meskipun sekali seumur hidupnya. Sebagaimana Beliau pernah melakukan
puasa Asy Syura. Dan (dalam masalah ini) Beliau tidak pernah
melakukanya, sehingga batallah anggapan keberadaan puasa itu,
dikarenakan tidak ada keutamaannya. Secara ittifaq, itu bukan fardhu dan
bukan pula wajib. Dan secara khusus, tidak ada dalil yang menetapkan
anjuran puasa Rajab. Dengan demikian, berpuasa Rajab dengan
melakukannya secara terus-menerus merupakan suatu perkara yang
dibenci.

Wallahu alam...

Alexyusandria
Padang

You might also like