Professional Documents
Culture Documents
Dzikir (ilustrasi)
Kemiskinan dalam ilmu yang banyak terdapat dalam diri umat muslim,
sering menyebabkan kesimpang siuran dalam amalan yang harus dilakukan.
Bahkan, sering mengakibatkan perselisihan yang memicu emosi masing-
masing pihak yang merasa paling benar. Walaupun, Allah dan Rasul-Nya
telah melarang kita untuk berdebat dalam hal-hal yang menyangkut
syariat, karena kita telah diberi pedoman Alquran dan Sunnah.
"Manusia itu adalah umat yang satu. Setelah timbul perselisihan, maka Allah
mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan. Allah pun menurunkan
bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara
manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih
tentang Kitab itu, melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka
Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang
nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk
orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka
perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk
orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus." (Q.S. Al-Baqarah 2:
213)
Namun, tetap saja kita menjadi ragu-ragu dalam pelaksanaan yang kita nilai
sebagai ibadah. Sekalipun itu telah dilaksanakan secara turun temurun dan
diwariskan oleh orang tua kepada kita. Padahal, Rasulullah shalallahu alaihi
wasallam telah mengingatkan kita dalam suatu hadits, Tinggalkan perkara
yang meragukanmu menuju kepada perkara yang tidak meragukanmu.
Karena kejujuran itu adalah ketenangan di hati sedangkan kedustaan itu
adalah keraguan.
Hadits tersebut merupakan pokok dalam hal meninggalkan syubhat dan
memperingatkan dari berbagai jenis keharaman. Al-Munawi rahimahullah
berkata, Hadits ini merupakan salah satu kaidah agama dan pokok dari
sifat wara`, di mana wara` ini merupakan poros keyakinan dan
menenangkan dari gelapnya keraguan dan kecemasan yang mencegah
cahaya keyakinan.
Al-Askari rahimahullah menyatakan, Seandainya orang-orang yang pandai
merenungkan dan memahami hadits ini, niscaya mereka akan yakin
bahwasanya hadits ini telah mencakup seluruh apa yang dikatakan tentang
menjauhi perkara syubhat. (Faidhul Qadir, 3/529)
Selain itu, hadits ini pun termasuk dalam sekian hadits yang
dilazimkan/diharuskan oleh Al-Imam Ad-Daraquthni rahimahullah terhadap
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah dan Muslim rahimahullah agar
mengeluarkannya dalam shahih keduanya.
Makna Rajab
Sekarang, kita telah berada dalam bulan Rajab yang dalam suatu hadits
dikatakan, Rajab adalah bulannya Allah, Syaban adalah bulanku, dan
Ramadhan adalah bulan umatku. (Status hadits: Dhaif (lemah). Lihat As
Silsilah Adh Dhaifah No. 4400)
Rajab berasal dari lafadz tarjib, yang berarti mengagungkan. Dan menurut
pendapat mayoritas, lafadz Rajab termasuk musytaq. Ini pendapat yang
paling kuat, dan adapun artinya dia memuliakan dan mengagungkannya
karena penghormatan orang Arab kepadanya. Oleh karena itu, Rajab
dikatakan al murajab (yang diagungkan, dimuliakan).
Menurut pendapat Hanafiyah, Thawus dan juga Jabir, Mujahid, Ibnu Juraij,
sebagai pendapat yang rajih (kuat). Dalam musnad Ahmad 3/334, 345,
Tafsir Ibnu Jarir dengan kedua sanadnya dari Jabir, dia berkata, Rasulullah
tidak pernah berperang pada bulan haram, kecuali bila diperangi atau
Beliau tidak berperang hingga bulan-bulan haram berakhir.
Tidak ada satu dalil pun yang shahih, yang secara khusus menyebutkan
keutamaan bulan Rajab. Hal ini sebagaimana telah dituturkan oleh Al Hafizh
Ibnu Hajar dalam kitab Tabyin Al Ujab, Tidak ada hadits shahih yang pantas
untuk dijadikan hujjah dalam masalah keutamaan bulan Rajab, (dengan)
puasa di dalamnya dan shalat malam khusus pada malam harinya. Beliau
juga berkata, Sungguh Imam Abu Ismail Al Harawi Al Hafizh telah
mendahuluiku menetapkan demikian. Kami meriwayatkan darinya dengan
sanad yang shahih. Demikian pula kami meriwiyatkan dari selainnya.
Al Allamah Al Faqih Majdudin Al Fairuz Abadi (wafat 826 H), beliau berkata
di penutup kitab Safar As Saadah, hlm. 150, Dan bab shalat raghaib,
shalat nishfu syaban, shalat nishfu rajab, shalat iman, shalat malam miraj
, bab-bab ini, di dalamnya tidak ada sesuatu pun yang sah secara pokok.
Beliau juga berkata, Bab puasa Rajab dan keutamaannya, tidak ada
satupun yang tsabit, bahkan sebaliknya ada riwayat yang
memakruhkannya.
Sesungguhnya, bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan;
Dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di
antaranya empat bulan haram[640]. Itulah (ketetapan) agama yang lurus,
maka janganlah kamu menganiaya diri[641] kamu dalam bulan yang empat
itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun
memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta
orang-orang yang bertakwa. (Q.S. At-Taubah 9: 36)
[640]. Lihat no. [119]. Maksudnya antara lain ialah : bulan haram (bulan
Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab), tanah haram (Mekah) dan
Ihram.
Di sisi banyaknya nukilan dari para imam tersebut, tragisnya masih saja ada
dari umat islam yang mengistimewakan bulan ini. Mereka melakukan
ibadah-ibadah yang tidak ada asal-usulnya di dalam syariat yang suci,
seperti mengistimewakannya dengan berpuasa, apakah di awalnya atau
keseluruhannya.
Dan umumnya, umat islam di tanah air mengistimewakan bulan ini dengan
membaca dzikir-dzikir khusus seperti Istighfar bulan Rajab yang dibaca
setiap pagi dan petang sebanyak 70 kali, sambil mengangkat tangan
membaca: Allahummaghfirlii warhamnii watub alayya Ya Allah,
ampunilah aku, dan kasihilah aku serta terimalah taubatku.
Biasanya, dzikir ini dibaca setelah imam salam dari shalat wajib dan diikuti
oleh pada jamaah dengan serempak. Dan masih banyak lagi amalan-amalan
serupa di bulan Rajab yang tidak ada asal usulnya di dalam syariat ini.
Semua itu merupakan ajaran baru yang tidak dikenal oleh generasi
shahabat, tabiin dan tabiut tabiin. Padahal, merekalah generasi terbaik
umat ini, seperti yang terdapat dalam hadits, Sebaik-baik manusia adalah
kurunku kemudian yang setelahnya, kemudian yang setelahnya.
(Muttafaqun Alaihi dari Abdullah bin Masud Radhiyallahu anhu)
Begitu juga dengan Shalat Raghaib yang telah banyak diamalkan oleh umat
muslim di setiap bulan Rajab. Adapun tata cara shalat Raghaib sebanyak 12
rakaat, dengan 6 kali salam, dilaksanakan setelah shalat Maghrib pada
Jumat pertama bulan Rajab. Yang dibaca yakni surat Al-Qadr 3 kali dan Al-
Ikhlas 12 kali, setelah membaca Al-Fatihah. Setelah selesai, membaca
shalawat Nabi 70 kali, kemudian berdoa dengan doa yang dia kehendaki.
Maka, rijal haditsnya majhul, dan telah dijelaskan oleh para ahli hadits,
bahwa ia maudhu (palsu).
Hadits ini disebutkan secara lengkap bersama tata caranya dalam kitab Al
Maudhuaat, karya Ibnul Jauzi. Begitu juga dalam kitab Al Ihya, karya Al
Ghazali dan Al Hafizh Al Iraqi berkata, Hadits ini palsu.
Abu Faraj Ibnul Jauzi berkata : Ini adalah hadits palsu yang dibuat secara
dusta atas nama Rasulullah oleh Ahli Bidah yang sangat ektrim, yaitu Ali
bin Abdullah Jahdham.
Abu Syamah berkata, "Di antara (yang menjadi) faktor hadits ini dituduh
palsu adalah, besarnya pahala yang diobral dan janji pengampunan dosa
yang fantastis, sehingga membuat orang awam tergiur dan meremehkan
kewajiban yang asasi. Dalam lafazh hadits, terdapat indikasi bahwa hadits
ini palsu, karena waktu shalat ini antara Isya dengan atamah. Dan tidak
mungkin lafazh hadits ini berasal dari Nabi, karena Beliau melarang
menamai shalat Isya dengan atamah."
Oleh karena itu, shalat Raghaib termasuk bidah yang munkar, termasuk
bidah yang sesat, karena di dalamnya ada kemungkaran yang jelas. Allah
memerangi pembuat dan penciptanya. Dan sesungguhnya, para imam telah
menulis karangan-karangan yang bagus dalam menjelaskan keburukan,
kesesatan, kebidahan dan jeleknya dalil-dalil yang dipakai (dan kesalahan
serta kesesatan pelakunya) yang jumlahnya lebih banyak dari yang dibatasi.
Syaikh Masyhur Salman berkata: Hadits ini maudhu (palsu) dan tidak
disyariatkan beribadah kepada Allah dengan hadits maudhu dalam semua
keadaan. Maka shalat Raghaib adalah bidah yang sesat, sebagaimana
pendapat jumhur ulama dan ahli tahqiq di antara mereka.
Dan yang paling tinggi, hadits ini berstatus dhaif. [Perkataan Ibnu Atsir ini
tidak bermanfaat, bagaimana sedangkan banyak para ulama yang mutabar
menyatakan bidah & palsunya shalat raghaib]
Cara berdalih seperti itu jelas kurang tepat dan salah. Apalagi, semua ulama
sepakat tentang bidahnya shalat Raghaib. Semua telah dibantah secara
tuntas dan jelas oleh Iz bin Abdus Salam, bahwa tidak ada satu dalil pun
yang menganjurkan shalat tersebut. Bahkan, Abu Syamah Al Maqdisi dalam
Al Inshaf telah membuat penilaian secara adil dan bijaksana.
Umrah (ilustrasi)
Ada sebagian dari kita yang berpikir, bahwa melaksanakan umroh pada
bulan Rajab lebih utama dibandingkan bulan-bulan lainnya. Padahal, tidak
ada keutamaan secara khusus umroh pada bulan Rajab dengan bersandar
kepada dalil shahih. Rasulullah sendiri tidak pernah mengerjakannya, tidak
pernah menyetujui salah seorang sahabat yang melakukannya. Dan, apabila
Beliau menganjurkan umroh pada bulan Rajab secara khusus, maka itu tidak
tsabit.
Diriwayatkan dari Urwah bin Zubair, dia berkata, Aku dan Ibnu Umar
pernah bersandar di pintu kamar Aisyah, dan sungguh kami mendengar
suara siwaknya. Dia (Urwah) berkata, "Aku bertanya kepada Ibnu Umar,
'Wahai, Abu Abdurrahman. Apakah Nabi pernah umroh pada bulan Rajab?'
Dia menjawab, 'Ya.' Maka, aku bertanya kepada Aisyah, 'Wahai, Bunda.
Apakah engkau tidak mendengar yang telah dikatakan oleh Abu
Abdurrahman?' Aisyah menjawab, 'Apa yang dikatakannya?' Aku berkata,
'Dia mengatakan bahwa Nabi umroh empat kali. Salah satunya pada bulan
Rajab.' Maka, Aisyah berkata, 'Semoga Allah mengampuni Abu
Abdurrahman. Demi agamaku, tidaklah Beliau umroh pada bulan Rajab, dan
tidaklah Beliau umroh pada salah satu umrohnya, kecuali dia bersamanya.'
[Beliau tidak umroh pada bulan Rajab saja]." Dia (Urwah) berkata, Ibnu
Umar mendengar, tetapi dia tidak berkata ya ataupun tidak, bahkan
diam. [Dikeluarkan Al-Bukhari (Ash-Shahih) 3/599-600 no. 1775 & 1776,
Muslim (Ash-Shahih) 2/916 no. 1255 dan selain keduanya]
Ini menunjukkan keraguan Ibnu Umar, sehingga sama saja baginya, baik dia
mencabut kembali perkataannya ataupun tidak. Sesungguhnya dia
menyendiri, maka perkataannya syadz lagi munkar, tidak disepakati oleh
seorang pun sahabat yang mulia, dan tidak pula oleh para imam yang alim.
Al Allamah Al Faqih Majdudin Al Fairuz Abadi (wafat 826 H). Beliau berkata
di penutup kitab Safar As Saadah, hlm. 150, Dan bab shalat Raghaib,
shalat Nishfu Syaban, shalat Nishfu Rajab, shalat Iman, shalat malam Miraj,
bab-bab ini di dalamnya secara pasti tidak ada sesuatu pun yang sah.
Beliau juga berkata, Bab puasa Rajab dan keutamaannya, tidak ada
sesuatu pun yang tsabit. Bahkan sebaliknya, ada riwayat yang
memakruhkannya.
Imam Suyuti berkata di dalam Al Amru Bil Ittiba Wa nahyu Anil Ibtida,
lembaran 14 / 1: Asy Syafii berkata, "Aku membenci seorang laki-laki yang
menjadikan puasa (Rajab) sebulan penuh sebagaimana puasa Ramadhan.
Demikian pula puasa sehari di antara hari-hari yang lainnya."
Menurut Ibnu Wadhah dalam Al Bida hlm. 44 dan Al Faqihi dalam Kitabu
Makkah, sebagaimana dikatakan oleh Abu Syamah Al Maqdisi dalam Al
Baits Ala Inkar Al Bida Wal Hawadits, hlm. 49. Beliau berkata juga, Abu
Utsman Said bin Mansur menyandarkannya kepada imam yang disepakati
keadilannya dan disepakati mengeluarkan dan meriwayatkannya, dan
beliau berkata, Ini adalah sanad yang para perawinya disepakati
keadilannya.
Ath Thurtusi dalam Al Hawadits Wal Bida, hlm. 129 dan Abu Syamah dalam
Al Baits, hlm. 49 menukil kebencian Abu Bakar pada puasa Rajab.
Imam Abdullah Al Anshari, menukil dari Asy Suyuthi rahimahullah Taala: Jika
dikatakan puasa Rajab adalah amalan yang baik, maka katakan padanya,
mengamalkan kebaikan hendaknya sesuai yang disyariatkan Rasulullah.
Bila kita tahu, bahwa itu dusta atas nama Rasulullah, maka itu keluar dari
yang disyariatkan, dan mengagungkannya termasuk perkara jahiliyah,
sebagaimana kata Umar.
Umar pernah memukul rajabiyyin, yaitu orang-orang yang berpuasa Rajab.
Adapun Ibnu Abbas, seorang ulama Alquran membencinya juga. Dan
dikeluarkan oleh Abdurrazaq di dalam Mushannaf 4/292, dari Atha dari Ibnu
Abbas, bahwa dia membenci seluruh puasa Rajab, agar tidak dijadikan hari
raya. Isnadnya shahih, sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar dalam Tabyin Al
Ajab, hlm. 65, 66 Al Misriyyah.
Asy Suyuthi berkata juga: Biasanya bila Ibnu Umar melihat manusia dan apa
yang mereka siapkan untuk bulan Rajab, (maka) beliau membencinya.
Beliau berkata, Berpuasalah pada bulan Rajab dan berbukalah, karena dia
adalah bulan yang dahulu dimuliakan kaum jahiliyyah.
Ada pula riwayat dari salaf, bahwa dahulu mereka mengingkari perbuatan
orang-orang yang mengistimewakan bulan ini dengan berpuasa. Hal ini
seperti diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah Rahimahullah dengan sanad
yang shahih dari Kharsyah bin Al Hurr, ia berkata, "Saya menyaksikan Umar
bin Khattab Radhiallahuanhu memukuli tangan orang-orang di bulan Rajab,
sampai mereka meletakkan tangan-tangan mereka di piring-piring
makannya (melarang mereka berpuasa), dan Umar Radhiallahuanhu
berkata, Makanlah kalian, bulan ini adalah bulan yang dahulu dimuliakan
orang-orang jahiliyah." [Adau ma Wajab (hal. 57 dan 63)]
Juga ketika Abu Bakr Radhiyallahu anhu menemui keluarganya dan melihat
mereka membeli cangkir-cangkir minum, dan bersiap-siap untuk puasa, ia
berkata, Apa ini!
At Turthusi dalam Al Hawadits Wal Bidah, hlm. 129 dan Abu Syamah di
dalam Al Baits, hlm. 49 menyebutkan atsar Ibnu Umar ini. Dan di hlm. 130-
131 berkata, Puasa Rajab dibenci berdasarkan salah satu dari tiga segi.
Salah satunya adalah bila orang-orang mengkhususkannya dengan puasa
pada setiap tahun, maka orang-orang awam yang tidak tahu akan
menyangka (bahwa) itu wajib seperti puasa Ramadhan, atau mungkin
sunnah yang tetap yang dikhususkan Rasulullah untuk berpuasa, seperti
sunnah-sunnah rawatib. Dan bisa jadi, puasa itu ditentukan karena
keutamaan pahalanya dibanding seluruh bulan, sebagaimana puasa Asy
Syura. Maka puasa itu dianggap ada karena ada keutamaannya, bukan
hanya karena sisi sunnah atau wajibnya.
Andaikata hal ini terjadi karena ada keutamaannya, tentu Rasulullah telah
menjelaskan atau Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melakukannya,
meskipun sekali seumur hidupnya. Sebagaimana Beliau pernah melakukan
puasa Asy Syura. Dan (dalam masalah ini) Beliau tidak pernah
melakukanya, sehingga batallah anggapan keberadaan puasa itu,
dikarenakan tidak ada keutamaannya. Secara ittifaq, itu bukan fardhu dan
bukan pula wajib. Dan secara khusus, tidak ada dalil yang menetapkan
anjuran puasa Rajab. Dengan demikian, berpuasa Rajab dengan
melakukannya secara terus-menerus merupakan suatu perkara yang
dibenci.
Wallahu alam...
Alexyusandria
Padang