You are on page 1of 3

Rana, Langit yang Selalu Merunduk

Pada hari di mana kita pada akhirnya saling menyapa satu sama lain. Pada tatap mata
lembut yang tidak sengaja terpancarkan dari raut wajahmu yang terkadang naif. Ada sedikit
keraguan untuk menyambut uluran tanganmu. Ada sejumput rasa rendah diri yang
membuatku enggan untuk bersanding denganmu.
Kau terlampaui tinggi. Menjangkaumu pasti membutuhkan waktu lama.
Kesuksesanmu membuat banyak orang terkagum-kagum. Aku iri, barangkali itu benar. Hanya
itu tak lebih dari rasa takut yang timbul lebih dominan dari keirian itu sendiri.
Aku tak pernah merasa harus berteman denganmu. Dulu dugaanku begitu. Hingga
waktu bergulir, dan kita berada dalam situasi yang sama untuk saling mengenal. Atau lebih
tepatnya, kita dipaksa untuk saling mengenal. Dalam ketidaksengajaan yang selalu
kupikirkan.
Pagi itu, aku masih ingat kita mengambil peminatan yang sama. Kau duduk di
sampingku. Datang terlambat tanpa merasa bersalah pada dosen yang telah hadir lebih awal.
Sapaan sederhana kau utarakan padaku, walau aku yakin itu hanya bagian dari basa-basi.
Selebihnya? Tentu saja kau menyibukkan diri dengan perangkat elektronik pintar yang selalu
berada dalam saku jasmu.
Aku sebelumnya tidak pernah tahu apa kesibukanmu. Hingga tak sengaja kutemukan
jawaban itu dari teman lamamu di awal semester lalu.
Kau tidak pernah tahu, mengapa ia selalu terlihat sibuk dengan dunianya sendiri?
tanya teman lamamu suatu kali. Ia berkomentar sangat heran padaku karena tak pernah tahu
profilmu. Untuk apa? Toh aku bukan tipe orang yang senang mengurusi urusan orang lain
yang tidak ada hubungannya dengan hidupku.
Dia itu mengagumkan, menurutku. Seusia kita tapi sudah bisa mewujudkan
mimpinya! seru temanmu.
Aku mengerutkan dahi, Haruskah aku mendengarkan penjelasanmu tentangnya?
ujarku, mulai bosan.
Ya! Kau harus tahu, karena dia seorang yang sangat menginspirasi. Selama dia
kuliah denganku, kudengar dia tak pernah bergantung pada siapa pun. Bahkan orang tuanya.
Dia sudah mandiri dan matang. Entahlah, apakah semua orang yang telah bekerja bisa
memiliki pikiran dewasa dengan lebih cepat? temanmu itu tersenyum bangga. Sangat terasa
bahwa ia kagum padamu. Sangat!
Sedangkan aku hanya membatin...
Benarkah?
Apakah aku harus tahu detail mengenaimu meski aku tidak begitu peduli?
Tetapi temanmu itu tidak ambil pusing dengan sikapku. Ia terus bercerita
mengenaimu. Kesuksesanmu meniti karier, sikapmu yang lebih dewasa dari kami yang
seusiamu dan bakatmu yang lainnya.
Hingga akhirnya kukatakan pada temanmu itu, Aku tak pernah tertarik dengan cerita
tentangnya. Yang kutahu, faktanya sekarang dia tak pernah serius dengan studinya, jawabku
jengah. Kalimat yang cukup sarkas bukan?
Ah, aku memang harus mengakui, kata-kata itu sedikit pedas jika didengarkan.
Namun, apakah itu wujud dari keirian? Dulu aku memang berpikir begitu. Usia kita sama.
Kau bahkan lebih muda satu bulan dariku. Tetapi apa yang kini kau raih jauh melampauiku.
Kau ribuan kali lebih unggul.
Kau berani bermimpi besar. Tetapi aku? Bermimpi pun tak berani. Aku terkadang
menginginkan hal sepertimu, namun nyaliku menciut sebelum memulai. Aku pengecut
bukan?
Kemudian kali ini kita dalam tempat yang sama. Kesempatan yang sama. Kita dipaksa
untuk saling mengenal satu sama lain. Hingga akhirnya kedua tangan itu saling terpaut. Kita
kini berteman. Pertemanan sederhana yang berawal dari ketidaksengajaan yang acapkali
memiliki arti lebih dari yang kita bayangkan.
Itu terjadi setelah pembagian tim kerja. Kau meletakkan ponsel pintar di saku jasmu.
Lalu menghadapku tanpa ragu.
Rana, katamu memperkenalkan diri dengan senyum anggun yang tidak dibuat-buat.
Arine,dan jawabanku lebih seperti tikus terjepit.
Ya! Ya, aku mengenalmu, Arine. Semester lalu, kita sempat mengambil matakuliah
yang sama.
Kau tertawa, sedangkan aku ternganga. Tawamu terdengar akrab, sedangkan mataku
sudah hampir copot karena reaksi yang kau tunjukkan.
Ah, maaf. Aku kadang kelepasan bercanda. Hihihi. Tadi maksudku, yah, aku yang
masuk kelasmu saat itu. Kau tahu kan aku harus mengulang matakuliah yang sama karena
nilaiku. Bisa-bisa aku sudah kelebihan vitamin D karena kebanyakan dapat D tahun lalu,
sisa kekehanmu masih terdengar walau tak sekeras tadi.
Aku tidak berkomentar. Hanya kilasan senyum tak terdefinisikan yang tampil sebagai
jawaban serba salah.
Hei, kau tidak ingin mengatakan apa pun? Aku membuatmu takut ya? lagi-lagi tawa
yangharus kuakuienak didengar.
Aku kembali tersenyum. Kali ini lebih alami meski masih menyisakan ragu. Eh, ti-
tidak. Aku hanya bingung harus bereaksi bagaimana. Hehe.
Sudahlah, Arine. Mari berteman. Yah setidaknya aku ingin memiliki rekan kerja
yang menyenangkan untuk satu semester ke depan. Atau barangkali kita bisa berteman lebih
lama. Jadi santai sajalah. Oke? kau sekali lagi mengulurkan tangan. Dan saat kusambut
uluran itu, aku menyadari sesuatu.
Kau memang patut untuk dikagumi semua orang. Sikapmu pada awalnya memang
terlihat tak acuh, tetapi hatimu hangat. Dan pada dua matamu yang dulu kuanggap terlalu
menyelidik, ternyata menyimpan tawa jenaka yang tak pernah kutahu sebelumnya.
Selebihnya kau adalah teman bicara yang menyenangkan.
Barangkali persepsi manusia memang menjauhkan kita dari sikap positif menilai
seseorang. Dulu bagiku, kau itu adalah langit yang ingin menunjukkan di mana tempatmu
berada. Tetapi, semuanya lenyap setelah aku lebih mengenalmu lebih dalam. Kau langit yang
selalu merunduk, Rana. Saat itu juga berguguranlah segenap perasaan rendah diri yang dulu
sering kupertahankan. Mengenalmu membuatku mampu melihat dunia dengan sudut pandang
yang berbeda. Ketakutan yang kutunjukkan dulu, kini berubah menjadi keoptimisan untuk
memperjuangkan mimpi yang dulu memikirkannya pun tak pernah.
Tahun pun berganti. Kami sudah berada di jalan masing-masing. Hingga
menyebabkan kami akhirnya tak saling bertemu lagi satu sama lain. Tetapi, semoga
ketidaksengajaan kembali hadir dan membawa kita pada titik temu yang sama. Seperti
peluang jabat tangan. Semoga kelak hal itu akan terjadi pada kita.

Oleh:
Kurnia Ayuningtyas

You might also like