You are on page 1of 9

TUGAS FITOTERAPI

O LE H:

NAMA : IKA PUTRI WIDYANINGSI

NIM : F1F1 13 076

KELAS : D

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2017

TUGAS FITOTERAPI
1. Tuliskan 35 obat herbal terstandar yang beredar di indonesia?
Jawab :
Nama-nama obat herbal di indonesia :
2. Jelaskan pengertian jamu, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka beserta logo?

NO NAMA OBAT HERBAL TERSTANDAR

1 Diabmeneer 20 Hi Stimuno

2 Virugon 21 Prisidii

3 Diapet 22 Irex Max

4 Stop Diar Plus 23 Lelap

5 Fitogaster 24 Kiranti Pegel Linu

6 Sanggolangit 25 Kuat Segar

7 Fitolac 26 Kiranti Sehat Datang Bulan


27 Mastin
8 Sehat Tubuh
28 Niran
9 Glucogarp
29 Kencur
10 Reumakeur

30 Blood Sugar Level


11 Tolak Angin

12 Jelly Guapamat Qnc 31 Smarta

13 Ace Makx 32 Afiafit

14 Garcia 33 Mastin

15 OB Herbal

16 Tulak

17 Batugia

18 Xtear

19 Neo Sendi

20 Propolis Plum
Jawab :
a. Jamu
Jamu adalah bahan alam yang sediaannya masih berupa simplisia yang
khasiat dan keamanannya terbukti secara empiris berdasarkan pengalaman
turun temurun.

b. Obat Herbal Terstandar


OHT adalah suatu sediaan yang sudah berbentuk ekstrak dengan bahan
dan proses pembuatan yang terstandarisasi. OHT juga harus melewati uji
praklinis seperti uji toksisitas.

c. Fitofarmaka
Adalah sediaan obat standar yang telah mengalami uji praklinik dan uji
klinik dan telah terbukti keamanannya dan didukung oleh bukti-bukti
ilmiah.

3. Sebutkan 5 obat fitofarmaka dan indonesia dan kegunaannya?


Jawab :
Obat-obat Fitofarmaka sebagai berikut :
N NAMA OBAT
KEGUNAAN
O
FITOFARMAKA

1 Nodiar Pengobatan diare yang terbuat dari ekstrak apel


dan kurkuma. Kandungan attapulgite dan pectin
dapat mengabsorpsi virus, bakteri, gas dan toksin
yang terdapat didalam usus.

2 Stimuno Imunomodulator, dari ekstrak phylanhus nuluri


atau menirang didalamnya berkhasiat merangsang
tubuh lebih banyak memproduksi antibodi dan
sistem kekebalan tubuh agar bekerja optimal.

3 Rheumaneer Pengobatan rematik mengandung ektrak curcumae


rhizoma yang berkhasiat melancarkan peredaran
darah, menghilangkan nyeri dan kaku sendi,
menghangatkan dan menyegarkan badan.

4 Tensigard Hipertensi (Darah tinggi) ekstrak apii herbal dan


ekstrak orthosiphonis berkhasiat menurunkan
tekanan darah sistolik dan diastolik.

5 X-Gra Sebagai pengobatan impoten aphodisiaka terbuat


dari ekstrak ginseng, royal jelly dan ektrak
ganoderma. Obat ini berkhasiat membantu
mengatasi disfungsi ereksi serta ejekulasi dini.

4. Tuliskan klasifikasi fitoterapi berdasarkan tinggkatan bukti ilmiah?


Jawab :
Klasifikasi Fitoterapi berdasarkan tinggkatan bukti ilmiah :
a. Grade A
Bukti ilmiah kuat (Strong Scientific Evidence) Bukti manfaat yang
bermakna secara statistik dari > 2 RCT yang memenuhi syarat, atau bukti
dari 1 RCT yang memenuhi syarat dan 1 meta-analisis yang memenuhi
ketentuan, atau pembuktian dari multiple RCT dengan mayoritas dari uji
klinik yang dilakukan sesuai persyaratan, menunjukkan bukti manfaat
yang bermakna secara statistik disertai bukti pendukung dalam ilmu dasar,
penelitian binatang, atau teori.
b. Grade B
Bukti ilmiah Baik (Good Scientific Evidence) Bukti manfaat yang
bermakna secara statistik dari 1-2 uji klinik yang dilakukan secara random
(acak), atau bukti manfaat dari > 1 meta-analisis yang memenuhi
ketentuan atau bukti manfaat dari > 1 kohort/case-control/ uji klinik yang
tidak random disertai bukti pendukung dalam ilmu dasar, penelitian
binatang, atau teori. Tingkat ini diterapkan pada keadaan dimana RCT
dengan disain yang baik melaporkan hasil negatif tetapi kontras dengan
hasil efikasi positif yang dihasilkan dari banyak uji klinik lain dengan
disain yang kurang baik atau meta-analisis dengan disain yang baik,
sementara menunggu bukti konfirmasi dari suatu RCT tambahan dengan
disain yang baik.
c. Grade C
Pembuktian yang tidak jelas atau bukti ilmiah yang diperdebatkan
(Unclear or Conflicting Scientific Evidence) Bukti manfaat dari > 1 RCT
yang kecil tanpa jumlah sampel, power, tingkat kemaknaan, atau kualitas
disain yang adekuat atau bukti yang diperdebatkan dari banyak RCT
tanpa mayoritas dari uji klinik yang memenuhi persyaratan, menunjukkan
bukti manfaat atau ketidak efektifan, atau bukti manfaat dari > 1
kohort/case-control/uji klinik yang tidak random, dan tidak disertai bukti
pendukung dalam ilmu dasar, penelitian binatang, atau teori, atau bukti
efikasi hanya dari ilmu dasar, penelitian binatang, atau teori.
d. Grade D
Pembuktian ilmiah Negatif (Fair Negative Scientific Evidence) Bukti
manfaat tidak bermakna secara statistik (tidak terbukti bermanfaat) dari
kohort/case-control/uji klinik yang tidak random, dan bukti dari ilmu
dasar, penelitian binatang, atau teori, menunjukkan tidak ada manfaat.
Tingkat ini juga diterapkan pada keadaan dimana > 1 RCT dengan disain
yang baik melaporkan hasil negatif,walaupun ada hasil efikasi positif
dilaporkan oleh uji klinik atau meta-analisis dengan disain yang kurang
baik. (NB: bila ada > 1 RCT dengan disain yang baik dan sangat
meyakinkan menunjukkan hasil negative, maka dimasukkan menjadi
tingkat "F" walaupun ada hasil positif dari studi-studi lain dengan disain
yang kurang baik).
e. Grade E
Pembuktian Ilmiah Sangat Negatif (Strong Negative Scientific Evidence)
Bukti statistik tidak bermakna (tidak terbukti bermanfaat) dari > 1 RCT
dengan kriteria objektif mempunyai power yang adekuat dan disain
yang berkualitas tinggi (kriteria objektif sesuai validated instruments for
evaluating study quality, termasuk skala 5 point yang dikembangkan oleh
Jadad et al, dimana skor < 4 menunjukkan metode dengan kualitas yang
kurang)
f. Tidak Ada Bukti (Lack of Evidence)
Tidak dapat mengevaluasi efikasi karena tidak tersedia data manusia yang
akurat.

5. Jelaskan apa yang dimaksud uji pra-klinik dan uji klinik?


Jawab :
a. Uji Pra-Klinik
Uji praklinik atau disebut juga studi / pengembangan / penelitian praklinik
/ non-klinik, adalah tahap penelitian yang terjadi sebelum uji klinik atau
pengujian pada manusia. Uji praklinik memiliki satu tujuan utama yaitu
mengevaluasi keselamatan produk baru.
b. Uji Klinik
Uji klinik adalah tes untuk mengevaluasi efektivitas dan keamanan obat
atau alat medis dengan memantau efek mereka pada sekelompok besar
orang. Uji klinik adalah salah satu tahapan akhir dari proses penelitan
yang panjang dan hati-hati.
Sebagian besar uji klinik yang melibatkan pengujian obat baru
berlangsung dalam serangkaian langkah-langkah teratur yang disebut
fase. Hal ini memungkinkan peneliti untuk bertanya dan menjawab
pertanyaan dengan cara yang menghasilkan informasi yang dapat
dipercaya tentang obat dan keselamatan pasien.
1. Uji Klinik Fase I
Fase ini merupakan pengujian suatu obat baru untuk pertama
kalinya pada manusia. Yang diteliti disini ialah keamanan dan
tolerabilitas obat, bukan efikasinya, maka dilakukan pada sukarelawan
sehat, kecuali untuk obat yang toksik (misalnya sitostatik), dilakukan
pada pasien karena alasan etik Tujuan fase ini adalah menentukan
besarnya dosis maksimal yang dapat toleransi (maximally tolerated
dose = MTD), yakni dosis sebelum timbul efek toksik yang tidak
dapat diterima. Pada fase ini, diteliti juga sifat farmakodinamik dan
farmakokinetiknya pada manusia. Hasil penelitian farmakokinetik ini
digunakan untuk meningkatkan ketepatan pemilihan dosis pada
penelitian selanjutnya. Uji klinik fase I dilaksanakan secara terbuka,
artinya tanpa pembanding dan tidak tersamar, dengan jumlah subyek
bervariasi antara 20-50 orang.
Pada fase ini obat dicobakan untuk pertama kalinya pada
sekelompok kecil penderita yang kelak akan diobati dengan calon
obat. Pada fase II awal, pengujian efek terapi obat dikerjakan secara
terbuka karena masih merupakan penelitian eksploratif. Pada tahap
biasanya belum dapat diambil kesimpulan yang mantap mengenai efek
obat yang bersangkutan karena terdapat berbagai factor yang
mempengaruhi hasil pengobatan, misalnya perjalanan klinik penyakit,
keparahannya, efek placebo.
Untuk membuktikan bahwa suatu obat berkhasiat, perlu
dilakukan uji klinik komparatif yang membandingkannya dengan
placebo; atau bila penggunaan placebo tidak memenuhi syarat etik,
obat dibandingkan dengan obat standard yang telah dikenal. Ini
dilakukan pada akhir fase II atau awal fase III, tergantung dari siapa
yang melakukan, seleksi penderita, dan monitoring penderitanya.
Untuk menjamin validitas uji klinik komparatif ini, alokasi penderita
harus acak dan pemberian obat dilakukan secara tersamar ganda. Ini
dsebut uji klinik acak tersamar ganda berpembanding.
2. Uji Klinik Fase II
Pada fase ini dicobakan pada pasien sakit. Tujuannya adalah
melihat apakah obat ini memiliki efek terapi. Pada fase II awal,
pengujian efek terapi obat dikerjakan secara terbuka karena masih
merupakan penelitian eksploratif, karena itu belum dapat diambil
kesimpulan yang mantap mengenai efikasi obat yang bersangkutan.
Untuk menunjukkan bahwa suatu obat memiliki efek terapi,
perlu dilakukan uji klinik komparatif (dengan pembading) yang
membandingkannya dengan plasebo; atau jika penggunaan plasebo
tidak memenuhi persyaratan etik, obat dibandingkan dengan obat
standar (pengobatan terbaik yang ada). Ini dilakukan pada fase II akhir
atau awal, tergantung dari siapa yang melakukan, seleksi pasien, dan
monitoring pasiennya. Untuk menjamin validasi uji klinik komparatif
ini , alokasi pasien harus acak dan pemberian obat dilakukan secara
tersamar ganda. Ini disebut uji klinik berpembanding, acak, tersamar
ganda. Fase ini terjakup juga studi kisaran dosis untuk menetapkan
dosis optimal yang akan digunakan selanjutnya.
3. Uji Klinik Fase III
Pada manusia sakit, ada kelompok kontrol dan kelompok
pembanding:
a. Cakupan lebih luas baik dari segi jumlah pasien maupun
keragaman. Misal : intra ras.
b. Setelah terbukti efektif dan aman obat siap untuk dipasarkan.
Uji klinik fase III dilakukan untuk memastikan bahwa suatu obat-baru
benar-benar berkhasiat (sama dengan penelitian pada akhit fase II) dan
untuk mengetahui kedudukannya dibandingkan dengan obat standard.
Penelitian ini sekaligus akan menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang
(1) efeknya bila digunakan secara luas dan diberikan oleh para dokter
yang kurang ahli; (2) efek samping lain yang belum terlihat pada
fase II; (3) dan dampak penggunaannya pada penderita yang tidak
diseleksi secara ketat.
Uji klinik fase III dilakukan pada sejumlah besar penderita
yang tidak terseleksi ketat dan dikerjakan oleh orang-orang yang tidak
terlalu ahli, sehingga menyerupai keadaan sebenarnya dalam
penggunaan sehari-hari dimasyarakat. Pada uji klinik fase III ini
biasanya pembandingan dilakukan dengan placebo, obat yang sama
tapi dosis berbeda, obat standard dengan dosis ekuiefektif, atau obat
lain yang indikasinya sama dengan dosis yang ekuiefektif. Pengujian
dilakukan secara acak dan tersamar ganda.
Bila hasil uji klinik fase III menunjukan bahwa obat baru ini
cukup aman dan efektif, maka obat dapat diizinkan untuk dipasarkan.
Jumlah penderita yang diikut sertakan pada fase III ini paling sedikit
500 orang.

4. Uji Klinik Fase IV


a. Uji terhadap obat yang telah dipasarkan (post marketing
surveilance)
b. Memantau efek samping yang belum terlihat pada uji-uji
sebelumnya
c. Dug safety : drug mortality atau drug morbidity
d. MESO : Monitoring Efek Samping Obat
Fase ini sering disebut post marketing drug surveillance karena
merupakan pengamatan terhadap obat yang telah dipasarkan. Fase ini
bertujuan menentukan pola penggunaan obat di masyarakat serta pola
efektifitas dan keamanannya pada penggunaan yang sebenarnya

You might also like