You are on page 1of 21

Analisis SILK akibat Krisis Energi di Indonesia

Ema Fiki Munaya 1606856170

I. Pendahuluan

Pertumbuhan ekonomi dan populasi dunia merupakan suatu hal yang akan
mempengaruhi sektor lain, salah satunya adalah energi. Bank Dunia menyatakan
dalam laporan terbarunya bahwa ekonomi global diperkirakan membaik dengan
tingkat pertumbuhan 2017 dan 2018 masing-masing 2,7 persen dan 2,9 persen.
Perbaikan ekonomi tersebut salah satunya disumbang dengan pertumbuhan
ekonomi yang pesat dari negara-negara berkembang (Antara News, 2017). Sejalan
dengan perkembangan ekonomi, konsumsi energi dunia diperkirakan naik 56%
pada 2040 didorong oleh pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang
(Antara News, 2017).

Indonesia merupakan negara berkembang dengan pertumbuhan ekonomi


dan jumlah penduduk yang cukup besar. Produk domestik bruto (PDB) Indonesia
meningkat dari 1.390 triliun rupiah pada tahun 2000 menjadi 2.770 triliun rupiah
pada tahun 2013. Pertumbuhan PDB selama kurun waktu 2000-2013rata-rata
mencapai 5,45% per tahun. Sementara itu, Penduduk Indonesia mencapai 205 juta
jiwa pada tahun 2000 dan meningkat menjadi lebih dari 254 juta jiwa pada2013.
Pertumbuhan penduduk dalam kurun waktu 2000-2013 tersebut rata-rata sebesar
1,66% per tahun (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, 2013).

Besarnya pertumbuhan ekonomi dan penduduk Indonesia memacu besarnya


konsumsi energi pula. Konsumsi energi meningkat sebesar 778 juta Setara Barel
Minyak (SBM) dari tahun 2000 hingga 2013. Tahun 2013, pengguna energi
terbesar secara berurutan adalah industri, rumah tangga, transportasi, komersial
dan lain-lainya. Dari seluruh penggunaan, energi paling banyak digunakan adalah
berasal dari BBM (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, 2013).

Indonesia memiliki potensi energi fosil banyak diantaranya adalah minyak


bumi, gas bumi dan batubara.Cadangan terbukti minyak bumi sebesar 3,6 miliar
barel, gas bumi sebesar 100,3 TCF dan cadangan batubara sebesar 31,35 miliar

1
ton. Bila diasumsikan tidak ada penemuan cadangan baru maka minyak bumi
akan habis dalam 13 tahun, gas bumi 34 tahun dan batubara 72 tahun (Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi, 2013).

Kenaikan kebutuhan energi yang tidak diimbangi dengan ditemukannya


sumber energi menyebabkan terjadinya krisis energi yang dapat memicu
terjadinya konflik. Kelangkaan sumber energi seperti minyak dan gas
diperkirakan bakal memicu persaingan sengit banyak negara untuk
memperebutkan sumber energi. Banyak yang yakin, di masa mendatang siapa
yang menguasai sumber daya energi dapat menguasai dunia (Badan Inteligen
Negara, 2015). Negara-negara dengan sumber energi fosil seperti minyak, gas,
dan batubara pada akhirnya menjadi tempat berkumpulnya kepentingan berbagai
negara di dunia. Saat ini, sebanyak 70 persen konflik yang terjadi di dunia
disebabkan oleh adanya perebutan sumber energi (CNN Indonesia, 2015).

Indonesia sebagai negara dengan posisi strategi di sepanjang garis


khatulistiwa dan mempunyai sumber energi yang masih hijau tentu menjadi
incaran dunia internasional. Salah satunya adalah sumber energi fosil . Hal ini
dapat mengancam kedaulatan NKRI jika dibiarkan secara terus menerus tanpa
perencanaan aksi dan solusi yang memadai. Indonesia harus mengantisipasi dan
menyiapkan solusi terhadap ancaman yang berada di depan mata tersebut.
Antisipasi bencana akibat krisis energi salah satunya dapat dilaksanakan dengan
analsis sistem infrastruktur lingkungan dan komunitas (silk) pada krisis energi
itu.

II. Pembahasan
1. Produksi
a. Sistem dalam Produksi Energi Minyak dan Gas Bumi
Peraturan Pemerintah RI nomor 79 Tahun 2014 tentang kebijakan energi
nasional menyebutkan bahwa ketersediaan energi untuk kebutuhan nasional dapat
dilakukan dengan meningkatkan eksplorasi sumber daya, potensi dan/atau
cadangan terbukti energi baik dari jenis fosil maupun energi baru dan energi
terbarukan. Dalam hal ini, energi fosil masih menjadi prioritas utama untuk
memenuhi kebutuhan energi dalam negeri. Energi fosil termasuk didalamnya

2
adalah batu bara, minyak dan gas bumi merupakan sumber energi yang terbentuk
dari bahan organik selama jutaan tahun. Sumber energi ini telah menjadi
penyokong utama perkembangan ekonomi global selama abad-abad terakhir.
(Environemntal and Energy Study Insitite, 2017).
Penggunaan bahan bakar minyak, gas dan batubara yang terus mengalami
kenaikan dipicu oleh aktivitas industri, pembangkit listrik dan transportasi yang
mengalami kenaikan signifikan. Penggunaan BBM (bahan bakar minyak)
melonjak dari 315 juta SBM menjadi 399 juta SBM dalam kurun waktu 13 tahun
dengan kenaikan sebesar 1,86% pertahun. Konversi minyak tanah ke gas pada
rumah tangga rupanya juga telah meningkatkan kebutuhan gas sebanyak 2,8%
walaupun berhasil menekan kebutuhan minyak bumi untuk sektor rumah tangga.
Sistem penyelenggraan produksi minyak dan gas bumi bermuara pada
prinsip bahwa pembangunan nasional harus diarahkan kepada terwujudnya
kesejahteraan rakyat dengan melakukan reformasi di segala bidang kehidupan
berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-undang yang mengatur tentang minyak dan gas bumi adalah UU Nomor
22 tahun 2001 yang didasari oleh peraturan sebelumnya yaitu Undang-undang
Nomor 44 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi,
Undang-undang Nomor 15 Tahun 1962 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Kewajiban Perusahaan
Minyak Memenuhi Kebutuhan Dalam Negeri, dan Undang-undang Nomor 8
Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara
sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan usaha pertambangan minyak dan
gas bumi.
Penyelenggranaan produksi minyak bumi merupakan gabungan dari
beberapa sektor yang terkait satu sama lain yaitu sebagai berikut.

3
Gambar 1 Peran Sektor Energi dalam Pembangunan Nasional
Sumber : (Badan Inteligen Negara, 2015).

Produksi minyak dan gas bumi diselenggarkan dengan tujuan untuk


mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, dengan RPJMN sebagai panduan
capaian yang ingin dicapai. Tujuan utama produksi minyak bumi adalah untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat. Tujuan tersebut diwujudkan dalam tiga bidang
yaitu teknologi, kapital dan tenaga ahli yang berlandaskan hukum untuk
melakukan produksi energi yang terdiri atas pemerintah sebagai pembuat
kebijakan terutama tentang cadangan energi. Perusahaan multinasional
mempunyai modal, teknologi dan tenaga ahli untuk melakukan usaha produksi
energi minyak bumi dan gas. Pengusaha jasa dan pengusaha penunjang
mendukung kerjsama dalam pengusahaan energi.
Tujuan pemenuhan kebutuhan minyak dan gas bumi merupakan suatu
tantangan sehubungan dengan naiknya kebutuhan akan minyak dan gas bumi
tetapi produksi minyak dan gas bumi yang terus mengalami penurunan. Hal inilah
yang menjadi tantangan untuk terpenuhinya ketahanan energi dalam negeri dan
manghindarkan negeri dari kelangkaan sumber energi. Oleh karena itu, melalui
instrumen kebijakannya negara harus mengambil peran dalam menjaga agar tidak
terjadi kelangkaan energi (Mallaby, 2006 dalam (Badan Inteligen Negara, 2015).

4
b. Infrastruktur dalam Produksi Minyak dan Gas Bumi

Untuk memenuhi kebutuhan minyak dan gas bumi, diperlukan infrastruktur


yang memadai dan mendukung terpenuhinya target yang telah ditetapkan.
Produksi migas dilaksanakan di industri hulu yang berfokus pada kegiatan
eksplorasi, eksplorasi dan transportasi. Saat ini, infrastruktur yang dimiliki
Indonesia dalam ekplorasi, eksploitasi dan transportasi minyak dan gas mentah
masih terbatas. Dalam Renstra KESDM tahun 2015-2019, penyediaan
infrastruktur produksi migas sudah menjadi sasaran strategis yang dijelaskan
dalam tujuan utama dari permasalahan energi di Indonesia yaitu terjaminnya
penyediaan energi dan bahan baku domestik. Hingga 2016, terdapat lima
infrastruktur migas yang menjadi proyek utama yaitu pembangunan infrastruktur
migas untuk wilayah kepulauan, pipa gas, infastruktur untuk daerah yang tidak
dapat dibangun pipa, jaringan gas bumi untuk rumah tangga serta SPBG
(Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2015). Infrastruktur merupakan
komponen utama yang mampu membantu Indonesia mendongkrak produksi
minyak dan gas bumi. Infrastruktrur dalam proses produksi minyak dan gas
merupakan hal utama yang harus ditingkatkan baik dalam proses ekplorasi
maupun eksploitasi.

Indonesia sebagai negara kepualaun yang diwakili Pertamina sebagai badan


usaha milik negara yang bergerak dalam bidang minyak bumi sejauh ini hanya
mampu menghasilkan 8, 97% total produksi migas dari pertambangan offshore,
sisanya sebanyak 91, 03% dihasilkan dari pertambangan onshore (Kuncoro,
2009). Hal ini salah satunya disebabkan karena infrastruktur pertambangan
offshore yang masih terbatas. Perbaikan Infrastruktrur produksi migas bukan
merupakan hal yang mudah untuk dilakukan karena mahal dan sulit. Perlu
investor yang mendukung penambahan, perbaikan dan pengembangan
infrastruktrur produksi minyak dan gas bumi. Selain itu, pembangunan
infratruktur bukan merupakan hal yang mudah, butuh waktu dan juga dana yang
cukup banyak.

KESM dalam rencana strategisnya mencantumkan beberapa usaha yang


akan dicapai dalam hal infrastruktur yaitu sebagai berikut

5
direncanakan pembangunan Kilang BBM 300 ribu mbcpd dengan skema
Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) di Bontang dengan nilai proyek sekitar
US$ 10 miliar yang ditargetkan dapat selesai tahun 2019
Refinery Development Master Plan (RDMP), mencakup upgrading dan
modernisasi 5 kilang minyak Pertamina dengan nilai proyek sekitar US$ 25
miliar yaitu: Kilang Balikpapan, Kilang Cilacap, Kilang Dumai, Kilang Plaju
dan Kilang Balongan. Pengembangan kilang minyak tersebut akan
meningkatkan produksi 2 kali lipat dari saat ini sekitar 820 ribu bpd menjadi
1,6 juta bpd. RDMP tidak akan selesai dalam waktu 5 tahun.
Kapasitas kilang LPG terus ditingkatkan seiring dengan meningkatnya
kebutuhan LPG dalam negeri, meskipun impor LPG juga tetap dilakukan.
Saat ini impor LPG sekitar 60% dari kebutuhan dalam negeri. Pada tahun
2015 kapasitas kilang LPG direncanakan sekitar 4,6 juta MT dengan hasil
produksi LPG sebesar 2,39 juta MT. Selanjutnya pada tahun 2019 kapasitas
kilang LPG ditingkatkan menjadi 4,68 juta MT dengan hasil produksi sebesar
2,43 juta MT.
c. Lingkungan dalam Produksi Minyak dan Gas Bumi

Lingkungan merupakan komponen sangat penting yang berkaitan dengan


produksi minyak bumi. Produksi minyak bumi meliputi proses eksplorasi dan
eksploitasi yang dilakukan di lingkungan. Lingkungan pula yang menyediakan
sumber minnyak dan gas bumi.Hasil pengolahan minyak dan gas bumi juga akan
kembali pada lingkungan. Proses produksi migas dapat menyebabkan degradasi
lingkungan akibat tumpahan minyak dan bekas tambang yang tidak dikelola
dengan baik. Hasil pembakaran bahan bakar fosil yang dihasilkan dari minyak
bumi juga merugikan lingkungan (Environemntal and Energy Study Insitite,
2017).

Dalam UU nomor 22 Tahun 2001 disebutkan bahwa usaha minyak dan gas
bumi salah satunya harus berdasarkan pada aspek lingkungan dan pelestarian
lingkungan hidup. Selain itu, kegiatan tersebut harus menjamin pengelolaan
lingkungan hidup dan menaati ketentuan peraturan perundangan-undangan yang
berlaku yaitu berupa kewajiban untuk melakukan pencegahan dan

6
penanggulangan pencemaran serta pemulihan atas terjadinya kerusakan
lingkungan hidup, termasuk kewajiban pascaoperasi pertambangan. Akan tetapi,
masih banyak didapatkan ketidakpatuhan yang dilakukan oleh pelaku usaha.

d. Komunitas dalam Produksi Minyak dan Gas Bumi

Produksi minyak dan gas bumi dipengaruhi oleh beberapa beberapa


komunitas yaitu masyarakat, industri, investor dan pemerintah dan mafia migas.
Komunitas inilah yang akan mementukan seberapa sanggup negara memenuhi
kebutuhan energi. Masyarakat dengan pertumbuhan ekonomi dan jumlah
memaksa negara dapat memberikan mingas yang dapat mencukupi kebutuhan
mereka. Pertumbuhan Industri yang cukup pesat di Indonesia dipicu oleh
pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Investor dalam bidang migas juga merupakan
komponen utama yang dapat menentukan produksi migas karena produksi migas
yang membutuhkan dana yang besar. Indonesia sebagai negara dengan potensi
sumber energi migas yang masih dapat digali tentu menarik perhatian
internasional untuk berinfestasi di Indonesia. Pemerintah sebagai pembuat
kebijakan harus berhati-hati dan mempertimbangkan dengan penuh langkah apa
yang akan dilakukan dalam produksi energi. Mafia migas bukanlah sebuah mitos,
BIN dalam Ketahan Energi Indonesia menyatakan bahwa Mafia migas adalah
pemburu rente yang melakukan suatu kegiatan yang berkaitan dengan usaha
migas secara legal dan merugikan negara secara masif, antara lain, turunnya
produksi migas sejak 2001, inefisiensi dalam tata kelola, dan lemahnya ketahanan
energi nasional akibat dari terus meningkatknya impor minyak. Praktik ini terjadi
karena para aktor mafia migas memiliki kedekatan dan dapat mempengaruhi para
pejabat tinggi pengambil keputusan. Disinilah pejabat negara sebagai bagian dari
pemerintah waran melakukan hal-hal yang dapat merugikan negara.

2. Distribusi
a. Sistem dalam Distribusi Minyak dan Gas Bumi

UU Nomor 22 tahun 2001 menyebutkan bahwa pengangkutan yang berarti


kegiatan pemindahan minyak bumi, gas bumi, dan/atau hasil olahannya dari
wilayah kerja atau dari tempat penampungan dan pengolahan, termasuk

7
pengangkutan gas bumi melalui pipa transmisi dan distribusi. Dalam undang-
undang tersebut juga disebutkan bahwa pemerintah wajib menjamin
ketersediaan dan kelancaran pendistribusian bahan bakar minyak yang
merupakan komoditas vital dan menguasai hajat hidup orang banyak di seluruh
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Distribusi minyak dan gas bumi diawasi oleh lembaga independen yaitu
Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas). Sistem distribusi
migas dilaksanakan oleh beberapa instansi yang terhubung sau sama lain seperti
yang dijelaskan BPH Migas berikut

8
Tabel diatas menunjukkan keterkaitan lintas sektor dalam distribusi migas.
Hal tersebut menunjukkan bahwa Indonesia telah mempunyai sistem distribusi
yang kompleks dan detil. Akan tetapi, distribusi energi migas belum merata di
seluruh Indonesia. Pulau Jawa dan Bali seperti memonopoli kuota dengan

9
penguasaan 55,6% kuota dari total kuota BBM (Premium, Kerosene, Solar) secara
keseluruhan. Sementara itu, Wilayah Sumatra hanya mendapatkan 26%, diikuti
Kalimantan 16,1% serta Nusa Tenggara 2,3%. Provinsi Maluku Utara dan
Sulawesi Barat yang hanya mendapatkan 0,28% dan 0,25% dari total premium
yang didistribusikan di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini memacu stigma negatif
bahwa pemerintah hanya mendorong aktivitas ekonomi yang tumbuh di pulau
sekitar ibukota NKRI (BEM FEUI, 2015).

Saat ini, pemerintah melalui BPH Migas, telah menyetujui 3 perusahaan


sebagai distributor tetap BBM Bersubisi di Indonesia, antara lain PT Pertamina
(Persero), PT AKR Corporindo Tbk (AKRA), dan PT Surya Parna Niaga, dengan
rincian kuota yaitu PT Pertamina (45,01 kiloliter), PT AKR Corporindo (267.892
kiloliter), dan PT Surya Parna Niaga (119.150 kiloliter). Pembagian ini
menimbulkan sejumlah kontroversi yaitu ketakutan masyarakat bahwa distribusi
BBM bersubsidi kini tidak dipegang penuh oleh perusahaan milik negara
melainkan juga oleh dua perusahaan swasta yang telah disetujui pemerintah (BEM
FEUI, 2015).

Alasan lain kurangnya ketersediaan energi di dalam negeri terkadang bukan


disebabkan oleh tidak adanya sumber energi, akan tetapi karena di dalam
kebijakan sebelumnya, sumber-sumber energi yang ada cenderung lebih banyak
ditujukan untuk pasar luar negeri mengingat pasar di dalam negeri masih sedikit,
harga jual di luar negeri yang lebih menarik, dan kondisi infrastuktur distribusi
dan transmisi yang masih terbatas. Salah satu contohnya adalah gas bumi. Tidak
terpenuhinya kebutuhan gas bumi dalam negeri diantaranya diakibatkan
karenasumber gas bumi yang diproduksi telah terlebih dahulu diperuntukkan
untuk memenuhi pasar ekspor karena masih terbatasnya pasar dalam negeri pada
beberapa waktu yang lalu sehingga untuk memenuhi kebutuhan gasnya, beberapa
industri mewacanakan untuk mengimpor gas bumi dalam waktu dekat
(Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2013).
b. Infrastruktur dalam Distribusi Minyak dan Gas Bumi

Infrastruktur dalam distribusi migas menjadi faktor utama yang


mempengaruhi tersedianya migas di seluruh regeri. Bentuk negara Indonesia

10
sebagai negara kepulauan membuat infrastruktur distribusi yang efisien, cepat dan
murah menjadi sulit diwujudkan. Beberapa kebijakan terkait infrastruktur yang
ditetapkan pemerintah dengan tujuan meperbaiki distribusi migas di Indonesia
adalah sebagai berikut

Pembangunan jaringan gas kota (Jargas) pada periode 2015-2019


rencananya dilakukan di 210 lokasi, melalui pendanaan APBN (10 lokasi),
PGN (172 lokasi) dan Pertamina (28 lokasi) dengan target Rumah Tangga
tersambung sebanyak 1,14 juta sambungan rumah.
Pembangunan infrastruktur SPBG pada periode 2015-2019 rencananya
dilakukan di 118 lokasi, melalui pendanaan APBN (10 SPBG), PGN (69
SPBG) dan Pertamina (39 SPBG).
Pipa transmisi dan/atau wilayah jaringan distribusi gas bumi merupakan
salah satu infrastruktur penting untuk menyalurkan gas bumi dalam negeri
sehingga porsi pemanfaatan gas domestik semakin meningkat. Pada tahun
2015, pipa gas direncanakan menjadi sepanjang 13.105 km dan meningkat
menjadi 18.322 km pada tahun 2019.
Menurunnya produksi minyak bumi dari tahun ke tahun membuat
pemerintah berusaha untuk mengonversi bahan bakar minyak menjadi gas yang
dilakukan dalam berbagai cara diatas. Dalam hal ini pemerintah mengandalkan
potensi produksi gas bumi yang masih tinggi, padahal gas bumi lama kelamaan
akan mengalami nasib yang sama dengan minyak bumi.

c. Lingkungan dalam Distribusi Minyak dan Gas Bumi

Rencana pembangunan berbagai infrastruktur dengan tujuan untuk distribusi


migas berkaitan erat dengan aspek lingkungan dimana akan dibangunannya
fasilitas-fasilitas tersebut. Pembangunan tanpa memperhatikan keamanan
lingkungan serta keselamatan dan kesehatan kerja lingkungan disekitarnya akan
menimbulkan masalah baru. Perencanaan pembangunan tersebut harus
direncanakan sedemikian rupa sehingga menjadi solusi yang benar- benar
menyelesaikan masalah, bukan menambah masalah.

11
d. Komunitas dalam Distribusi Minyak dan Gas Bumi

Distribusi migas melibatkan dua pihak yang terlibat yaitu BPH migas dan
perusahaan yang diizinkan pemerintah untuk mendistrubusikan migas. BPH migas
berfungsi sebagai pengawas dan beberapa perusahaan yaitu PT Pertamina
(Persero), PT AKR Corporindo, Tbk. dan PT Surya Parna Niaga (SPN) sebagai p
Badan Usaha Pelaksana Penugasan Penyediaan dan Pendistribusian Jenis BBM
Tertentu (P3JBT). Sementara itu, Penyalur BBM non-subsidi diantaranya PT
Pertamina, PT Total Oil Indonesia, dan PT Shell Indonesia.
3. Pemasaran
a. Sistem dalam Pemasaran Minyak dan Gas Bumi

Sektor minyak dan gas bumi Indonesia masih menjadi sektor yang penting
dalam menyumbang pemasukan negara. APBN menunjukkan bahwa penerimaan
migas mencapai 30% dari total penerimaan pemerintah. Hal inilah yang
menjadikan sektor migas menjadi komoditas utama yang masih bisa
diperjualbelikan dari Indonesia. Berbeda dengan produksi minyak terus
mengalami penurunan, produksi gas justru mengalami peningkatan dan hal ini
dijadikan komoditas perdagangan Indonesia.

Bisnis energi migas tidak hanya dapat dilaksanakan pada hilir (pengolahan,
transportasi dan pemasaran), bisnis energi sudah dapat dilaksanakan di hulu
(eksplorasi & produksi) migas. Dalam mengelola usaha hulu migas, Indonesia
mengembangkan sistem kontrak bagi hasil (production sharing contract) atau
kontrak kerja sama dengan beberapa prinsip yaotu sebagai berikut

Kegiatan produksi dilakukan hanya setelah dinilai komersial oleh


pemerintah. Selanjutnya, untuk mendapatkan persetujuan pemerintah,
operator harus menunjukkan rencana kerja dan anggaran yang
dibutuhkan.
kepemilikan sumber daya migas berada di tangan pemerintah hingga titik
penyerahan. Semua migas adalah milik pemerintah sampai titik
penjualan. Setelah itu, barulah kontraktor memiliki hak dari hasil
sebagian produksi, sesuai besaran yang telah diatur dalam kontrak.

12
manajemen operasi berada di tangan Satuan Kerja Khusus Pelaksana
Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) yang
merupakan lembaga negara dan dibentuk khusus untuk melaksanakan
pengawasan dan pengendalian kegiatan usaha hulu migas. Seluruh
operasional kontraktor harus mendapat persetujuan SKK Migas, sebagai
wakil pemerintah. SKK Migas memberikan persetujuan atas rencana
kerja dan anggaran, biaya serta metode dan teknik yang digunakan.
Dalam Kontrak Kerja Sama, Kontraktor KKS wajib menyediakan dana
awal untuk membiayai fase eksplorasi. Bila berhasil menemukan
cadangan migas yang cukup ekonomis, maka lapangan mulai
berproduksi. Pengembalian biaya investasi didapat dari sebagian hasil
produksi. Kontraktor KKS akan menerima bagiannya berupa sejumlah
volume minyak atau gas (Detik News, 2016)

Sementara itu, pemasaran produk jadi minyak atau gas bumi (kegiatan hilir
migas) didasarkan pada UU nomor 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Hilir Usaha
Minyak dan Gas Bumi. Terdapat 164 badan usaha yang mempunyai izin dari BPH
migas untuk menjalankan usaha niaga umum dan 112 badan usaha dengan izin
menjalankan usaha niaga terbatas. Sistem pemasaran minyak dan gas bumi sudah
dimiliki oleh Indonesia secara detail dan rinci, tetapi adanya mafia migas dapat
menghancurkan sistem yang sudah disusun tersebut jika integritas pejabat-pejabat
yang berhubungan langsung dengan bisnis migas tidak terjaga dengan baik.

b. Infrastruktur dalam Pemasaran Minyak dan Gas Bumi

Walaupun produksi distribusi migas sudah dilaksanakan dengan baik, tanpa


adanya infrastruktur yang mendukung kegiatan pemasaran sarasaran tidak akan
tercapai. Infrastruktur pemasaran seperti contohnya adalah SPBU dan SPBG.
Jumlah SPBU di luar jawa sangat sedikit, hal ini salah satunya disebakan oleh
kurangnya minat investor untuk membangun SPBU di luar jawa. Kurangnya
minat investor disebabkan karena daya beli masyarakat di luar jawa yang sangat
jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan daya beli masyarakat di jawa (Detik
News, 2014) .

13
Rendahnya daya beli masyarakat di luar jawa juga disebebkan oleh jumlah
penduduk di luar jawa yang sangat sedikit jika dibandingkan dengan penduduk di
jawa. Hal ini membuktikan bahwa persebaran energi minyak dan gas bumi di
Indonesia masih belum merata. Diperlukan kerjasama antara pemerintah pusat,
pemerintah daerah dan badan usaha yang bergerak dalam bidang migas untuk
bekerjasama mewujudkan energi yangmerata di seluruh Indonesia. Kebijakan
pemerintah terkait infrastruktur pemasaran migas juga menjadi hal pokok yang
dapat memicu perkembangan bisnis migas di luar jawa untuk menghindarkan
kelangkaan migas dari masyarakat.

c. Lingkungan dalam Pemasaran Minyak dan Gas Bumi


Tidak meratanya dan kecilnya bisnis minyak dan gas bumi di luar jawa
menjadi contoh ketidakserasian antara lingkungan dan ekonomi. Dengan bisnis
migas yang kurang baik, artinya kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh
migas menjadi semakin kecil. Hal ini tidak sejalan dengan perkembangan
ekonomi di luar jawa.
d. Komunitas dalam Pemasaran Minyak dan Gas Bumi

Masyarakat dan pengecer menjadi tumpuan pemasaran minyak dan bumi.


Kebutuhan masyarakat dengan persediaan di pasaran. Ketidakseimbangan antara
kebutuhan dan persediaan yang seringkali mendatangkan masalah. Kelangkaan
migas terjadi jika demand lebih banyak daripada supply di tingkat pengecer. Hal
ini kadang dipengaruhi oleh mafia migas yang secara tidak langsung merugikan
negara dan masyarakat.

4. Konsumsi
a. Sistem pada Konsumsi Minyak dan Gas Bumi

Konsumsi minyak dan gas bumi oleh industri, rumah tangga dan
transportasi yang melebihi batas merupakan suatu potensi bencana jika dibiarkan
secara terus menerus. Saat ini migas masih menjadi penggerak utama industri
rumah tangga dan transportasi yang menyebabkan peningkatan konsumsi migas
terjadi setiap tahun. Pada 2013, energi fosil menyumbang 94.6 persen dari total
konsumsi energi, sedangkan 5,4 persen sisanya dipenuhi dari energi terbarukan.

14
Dari jumlah tersebut, minyak menyumbang 44.0 persen, gas alam 21,9 persen,
dan batubara 28,7 persen.

Di satu sisi industri migas dapat menyumbang pemasukan negara. Di sisi


lain, kebutuhan konsumsi migas dalam negeri terus menerus naik dan kenaikan
tersebut tidak diiringi dengan kemerataan persebaran migas di indonesia.

Subsidi bbm merupakan salah satu faktor yang dipandang telah mendorong
pemborosan dalam konsumsi, mengurangi keamanan energi, menghambat
investasi dalam sumber-sumber energi yang ramah lingkungan dan menghambat
upaya-upaya untuk mengatasi perubahan iklim (Kajian Pusat Kebijakan
Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, 2013). Pemerintah sudah
menerapkan beberapa kali melakukan pengurangan subsidi bbm, akan tetapi
dampaknya belum signifikan. Migas masih menjadi bahan bakar utama dalam
negeri.

Komitmen pemerintah untuk membatasi konsumsi migas nampaknya belum


begitu terlihat. Dalam renstra 2015-2019, KESDM menargetkan 17,9 juta kilo
liter bbm disubsidi setiap tahun selama kurun waktu tersebut. Untuk gas, target
subsidi gas dinaikan setiap tahun selama kurun waktu tersebut. Anggaran yang
ditargetkan ntuk menyubsidi bahan migas tersebut mencapai 65 triliun rupiah
pertahunnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemerintah belum berani secara
tegas membatasi konsumsi migas. Sejauh ini, pembatasan konsumsi bbm hanya
dilakukan dengan himbauan-himbauan seperti misalnya himbauan dilarang
mengunakan bbm bersubsidi bagi pejabat.

Outlook Energi Nasional menunjukkan bahwa pengguna migas terbesar


adalah sektor industri dan yang kedua adalah transportasi. Hal ini salah satunya
disebabkan karena belum adanya kebijakan dari pemerintah yang mewajibkan
industri untuk menggunakan teknologi ramah lingkungan. Kebijakan penggunaan
teknologi ramah lingkungan diharapkan mampu mengurangi konsumsi migas
dalam sektor industri. Hal yang sama terjadi pada sektor transportasi. Penyebab
utama tingginya pertumbuhan kendaraan bermotor dan konsumsi BBM pada sub
sektor transportasi darat adalah harga bensin premium dan minyak solar

15
ditetapkan oleh Pemerintah dengan harga subsidi. Hal ini menyebabkan
penggunaan energi alternatif sebagai substitusi BBM seperti BBG dan biofuel
(bioethanol dan biodiesel) menjadi terhambat (Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi, 2013).

b. Infrastruktur dalam Konsumsi Minyak dan Gas Bumi

Konsumsi minyak dan gas bumi selalu mengalami kenaikan karena


infrastruktur yang ada di dalam masyarakat maupun industri menggunakan migas
sebagai bahan bakarnya. Infrastruktur yang ada pada masyarakat yang mencakup
sektor industri, transportasi dan rumah tangga belum didukung dengan teknologi
ramah lingkungan. Jika teknologi ramah lingkungan tidak kunjung diterapkan,
maka konsumsi migas dapat dipastikan tidak akan mencukupi kebutuhan.

Pada sektor transportasi, pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor cukup


signifikan. Tahun 1987, jumlah kendaraan bermotor adalah 7,9 juta sementara
pada tahun 2013 jumlah kendaraan bermotor mencapai 104 juta (Badan Pusat
Statistik, 2014). Selama 26 tahun tersebut, rata-rata pertahun jumlah kendaraan
indonesia naik sebanyak 18,1 juta. Hal ini salah satunya disebabkan karena
transportasi publik yang belum memnuhi kebutuhan masyarakat. Kondisi ini
haruslah diperbaiki dengan mengubah pola transportasi dari penggunaan utama
kendaraan pribadi menjadi angkutan massal. Sementara subsidi BBM harus
dialihkan untuk perbaikan infrastruktur serta aktifitas perekonomian dan sosial
yang lebih bermanfaat. Pemanfaatan bahan BBN dan BBG harus lebih didorong
dengan mengikutkan seluruh institusi terkait baik dari industri, keuangan,
pertanian, perdagangan, pengelola energi maupun dari sosial dan masyarakat.
Pengalihan subsidi bahan bakar minyak yang mencapai 130 triliun rupiah pada
APBN 2015 diharapkan akan dapat mendukung program perbaikan infrastruktur
transportasi, serta pengembangan energi alternatif pengganti BBM. (Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi, 2013).

16
c. Lingkungan dalam Konsumsi Minyak dan Gas Bumi

Lingkungan merupakan pihak yang paling dirugikan dengan adanya


konsumsi minyak dan gas bumi pada masyarakat. Konsumsi minyak dan gas bumi
mengakibatkan adanya emisi baik dari industri mauupun kendaraan bermotor
yang dibuang ke lingkungan. Emisi atau gas buang menimbulkan berbagai
masalah pencemaran udara. Masalah pencemaran udara di dunia dimulai pada
abad ke-19 dimana pada masa tersebut merupakan masa dimana revolusi industri
dimulai. Pada masa itu, pencemaran udara berasal dari pembakaran batu bara dan
minyak bumi yang dilakukan pada proses industri (Boubel, Vallero, Fox, Turner,
& Stern, 2013).

Bahan bakar fosil (minyak dan gas bumi) selain mengandung elemen utama
yaitu oksigen, hidrogen dan karbon juga mengandung logam, sulfur dan nitrogen.
Proses pembakaan bahan bakar fosil menghasilkan polutan sekunder seperti sulfur
oksida, nitrogen oksida, volatile organic compoud (VOC) dan debu. Debu dapat
mengandung logam berat yang mempengaruhi udara di lingkungan (Chmielewski,
n.d.). Partikulat yang merupakan hasil dari pembakaran juga menyebabkan
pencemaran udara dan degradasi lingkungan. Dekomposisi polutan anorganik
memicu pengasaman pada lingkungan yang mempengaruhi kesehatan manusia,
menyebabkan korosi dan merusak tanah serta hutan.

Emisi dari bahan bakar fosil juga merupakan penyumbang gas rumah kaca
terbesar di dunia. Pembakaran bahan bakar fosil memberikan kontribusi 3/4 dari
semua karbon, metana dan gas rumah kaca lainnya. Pembakaran ini
menghasilkan tambahan 3,2 miliar ton karbon dioksida tiap tahunnya (K Saritha
Rani, 2014). Saat ini, dunia global sudah aware terhadap efek buruk dari
penggunaan bahan bakar fosil, akan tetapi alternatif energi pengganti juga masih
sangat kecil. Di Indonesia sendiri, target pemanfaatan energi terbarukan hanya
23% pada 2025 dan menjadi 31% pada tahun 2050.

17
d. Komunitas dalam Konsumsi Minyak dan Gas Bumi

Pertumbuhan ekonomi dan penduduk yang tinggi sebenarnya merupakan


akar permasalahan dari tingginya konsumsi minyak dan gas bumi. Pertumbuhan
ekonomi dan jumlah penduduk merupakan risiko krisis energi yang dapat
menimbulkan bencana baru. Oleh karena itu, penguatan komunitas untuk
mencegah terjadinya bencana tersebut harus dikuatkan. Hal ini sejalan dengan
prinsip disaster mitigation. Penguatan komunitas dilakukan dengan terus menerus
memberikan pencerdasan terhadap efek penggunaan bahan bakar migas,
melakukan himbauan-himbauan yang dapat mengurangi konsumsi migas secara
berlebihan.

Dukungan pemerintah terhadap masyarakat untuk menurunkan konsumsi


minyak dan gas bumi diantaranya adalah dengan memberikan infrastruktur yang
memadai untuk masyarakat dalam sektor transportasi. Hal ini tentu akan
menurunkan konsumsi migas pada sektor transportasi.

5. Dampak Kesehatan Masyarakat


UU nomor 22 Tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi memuat dasar
hukum tentang penyelenggaraan bisnis minyak dan gas bumi. Beberapa hal terkait
kesehatan masyarakat yang digarisbawahi dari undang undang ini adalah adanya
ketentuan mengenai keselamatan dan kesehatan kerja serta pengelolaan
lingkungan hidup. Hal ini penting karena tidak dijaminnya kesehatan masyarakat
yang diwakili dengan kesehatn kerja dan lingkungan dapat menimbulkan masalah
baru.
Dalam industri formal, kesehatan masarakat dijamin dengan undang-undang
tersebut. Ternyata, masalah yang tak kalah pelik adalah banyaknya pertambangan
minyak ilegal tanpa peralatan pertambangan yang adekuat. Hal ini tentu
membahayakan kesehatan masyarakat penambang. Minyak mentah setidaknya
mengandung empat bahan berbahaya yang berdampak langsung terhadap
kesehatan. Keempat bahan berbahaya tersebut adalah benzene (C6H6), toluene
(C7H8), cylene (C8H10) serta sejumlah logam berat seperti tembaga (cu), arsen
(ar), merkuri (hg), dan timbal (pb). Bahan-bahan berbahaya dari minyak mentah
tersebut akan berdampak pada kesehatan pernafasan, pencernaan, dan kulit atau

18
mata. Mereka yang terkena benzene misalnya, akan mengalami pusing atau sakit
kepala, mual pingsan, iritasi kulit, dan mata bahkan menyebabkan kanker darah
(Saba, 2016).
Emisi yang dihasilkan dari industri migas atau bahan bakar migas juga
memberian dampak negati terhadap kesehatan masyarakat. Pencemaran udara
yang ditandai dengan kadar CO, NOx, SO2, O3, PM 2,5 atau PM 10 diatas baku
mutu yang ditentukan. Tingginya kadar zat pencemar ini dihasilkan oleh aktivitas
industri, kendaraan bermotor, aktivitas alamiah seperti kebakaran hutan dan
aktivitas rumah tangga (Boubel, Vallero, Fox, Turner, & Stern, 2013). Menurut
WHO (2003) kematian akibat outdor air polution di perkotaan mencapai 200 ribu
setiap tahunnya, dimana 93 persen terjadi di negara berkembang. Tahun 2012,
WHO tahun 2012 juga menyebutkan bahwa polusi udara menyumbang sebesar
5,4 persen dari total kematian di dunia, 2 persen dari total kematian akibat kanker
paru, 8 persen kematian terkait penyakit paru obstruktif, 15 persen terkait
penyakit jantuk iskemik dan stroke dan 17 persen akibat infeksi saluran
pernapasan.
III. Penutup

Ketidakseimbangan antara kebutuhan energi dan sumber energi merupakan


suatu keadaan kerentanan yang dapat memicu terjadinya konflik. Minyak dan gas
bumi masih menjadi energi utama yang dibutuhkan oleh semua sektor. Sistem,
infrastruktur, lingkungan dan komunitas (silk) menjadi komponen penting yang
harus dipersiapkan dengan baik untuk menghadapi tantangan yang ada. Silk
dalam setiap rantai proses migas dari produksi hingga dampak terhadap kesehatan
masyarakat dapat dijadikan acuan bagi pemegang kebijakan dan masyarakat untuk
mempersiapkan diri menghadapi krisis enegi.

19
Daftar Pustaka

Antara News. (2017). Bank Dunia Poyeksikan Pertumbuhan Ekonomi Global


Naik Tahun Ini. Retrieved from
http://www.antaranews.com/berita/605973/bank-dunia-proyeksikan-
pertumbuhan-ekonomi-global-naik-tahun-ini

Badan Inteligen Negara. (2015). Ketahanan energi indonesia 2015-2025


tantangan dan harapan. Jakarta: CV Rumah Buku.

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. (2013). Indonesia Energy Outlook


2015. Journal of Chemical Information and Modeling, 53(9), 16891699.
https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004

Badan Pusat Statistik. (2014). Perkembangan Jumlah Kendaraan Bermotor


Menurut Jenis tahun 1987-2013.

BEM FEUI. (2015). Realita Distribusi BBM Indonesia (?). Retrieved April 18,
2017, from http://www.kompasiana.com/bemfeui2013/realita-distribusi-
bbm-indonesia_552ba7b56ea83447518b4568

Boubel, R. W., Vallero, D., Fox, D. L., Turner, B., & Stern, A. C. (2013).
Fundamentals of Air Pollution. Elsevier Science. Retrieved from
https://books.google.co.id/books?id=pfEkBQAAQBAJ

Chmielewski, A. G. (n.d.). ENVIRONMENTAL EFFECTS OF FOSSIL FUEL


COMBUSTION. Encyclopedia of Life Support Systems (EOLSS).

CNN Indonesia. (2015). 2043, Indonesia dalam Ancaman Kepentingan Dunia.


Retrieved April 17, 2017, from
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150826174953-20-74697/2043-
indonesia-dalam-ancaman-kepentingan-dunia/

Detik News. (2014). Alasan Investor Tak Tertarik Bangun SPBU di Luar Jawa.
Retrieved April 19, 2017, from http://finance.detik.com/energi/d-
2583532/ini-alasan-investor-tak-tertarik-bangun-spbu-di-luar-jawa

20
Detik News. (2016). Ini Rantai Panjang Bisnis Minyak dan Gas Bumi. Retrieved
April 19, 2017, from http://news.detik.com/adv-nhl-detikcom/3255193/ini-
rantai-panjang-bisnis-minyak-dan-gas-bumi

Environemntal and Energy Study Insitite. (2017). Fossil Fuels. Retrieved April
18, 2017, from http://www.eesi.org/topics/fossil-fuels/description

Kajian Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral. Komitmen


Indonesia Untuk Pembatasan Subsidi Bahan Bakar Fosil dan Peningkatan
Efisiensi Energi di G20 (2013). Retrieved from
http://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/Pembatasan Subsidi Bahan
Bakar Fosil dan Efisiensi Energi.pdf

K Saritha Rani. (2014). Environmental effects of burning fossil fuels, 2(3), 6367.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. (2013). Kajian Suppy Demand
Energi 2013. Jakarta.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. (2015). Lima Fokus


Pembangunan Infrastruktur Migas. Retrieved from
http://www.migas.esdm.go.id/post/read/lima-fokus-pembangunan-
infrastruktur-migas

Kuncoro, M. (2009). Transformasi Pertamina: dilema antara orientasi bisnis &


pelayanan publik. Galangpress Group. Retrieved from
https://books.google.co.id/books?id=VS7M1QisNv0C

Saba, A. P. (2016). Ini dia Bahaya Minyak Mentah Bagi Kesehatan.

WHO. (2012). Mortality and burden of disease from ambient air pollution.
Retrieved from http://www.who.int/gho/phe/outdoor_air_pollution
/burden_text/en/

21

You might also like