You are on page 1of 8

Klarifikasi kata-kata sulit

1. Amuk : kerusuhan yg melibatkan banyak orang (spt perang saudara)


(KBBI)
2. Mengancam : menyatakan maksud (niat, rencana) untuk melakukan
sesuatu yang merugikan, menyulitkan, menyusahkan, atau
mencelakakan pihak lain. (KBBI)
3. Mencederai : menyerang, menyakiti, membunuh dng sembunyi-
sembunyi atau dng tipu muslihat. (KBBI)
4. Mengurung diri : adalah suatu tindakan melepaskan diri dari alam
sekitarnya, individu tidak ada minat dan perhatian terhadap
lingkungan sosial secara langsung. (Petunjuk teknis Askep pasien
gangguan skizofrenia hal 53).
5. Marah : diartikan sebagai reaksi emosional terhadap kekecewaan,
terluka, perlakuan campur tangan dan sebagainya yang dicirikan
dengan ketidak senangan dan permusuhan. Kemarahan dapat
membangkitkan agresi dan disertai dengan berfungsinya sistem syaraf
otomatis. (WHO)

Pertanyaan-pertanyaan penting

1. Definisi marah dan amuk ! Marah yang dialami oleh individu


merupakan reaksi emosional akut ditimbulkan sejumlah situasi yang
merangsang, termasuk ancaman, agresi lahiriah, pengekangan diri,
serangan lisan kekecewaan atau frustasi. amuk adalah rasa marah dan
bermusuhan yang kuat disertai kehilangan kontrol diri. Padakeadaan ini
individu dapat merusak dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.
( Kartini Kartono & Dali Gulo (2000): Kamus Psikologi, Pionir Jaya,
Bandung.)
2. Factor predisposisi dari marah dan amuk !
Faktor pengalaman yang dialami tiap orang yang merupakan factor
predisposisi, artinya mungkin terjadi/ mungkin tidak terjadi perilaku
kekerasan jika faktor berikut dialami oleh individu:
1. Psikologis, kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi yang
kemudian dapat timbul agresif atau amuk. Masa kanak-kanak yang
tidak menyenangkan yaitu perasaan ditolak, dihina, dianiaya atau
sanksi penganiayaan.
2. Perilaku, reinforcement yang diterima pada saat melakukan
kekerasan, sering mengobservasi kekerasan di rumah atau di luar
rumah, semua aspek ini menstimulasi individu mengadopsi perilaku
kekerasan.
3. Sosial budaya, budaya tertutup dan membalas secara diam (pasif
agresif) dan kontrol sosial yang tidak pasti terhadap pelaku kekerasan
akan menciptakan seolah-olah perilaku kekerasan yang diterima
(permissive).
4. Bioneurologis, banyak bahwa kerusakan sistem limbik, lobus frontal,
lobus temporal dan ketidakseimbangan neurotransmitter turut
berperan dalam terjadinya perilaku kekerasan. (Mansjoer,
A,.Suprohaita, Wardhani WI,.& Setiowulan, (2000). Kapita Selekta
Kedokteran edisi ketiga jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius.)
3. Mekanisme marah dan rentang respon marah !
Emosi mulai memasuki 2 struktur bangunan berbentuk almond di
dalam otak yang disebut amygdala. Amygdala bertanggung jawab
mengidentifikasi ancaman-ancaman, dan mengirimkan peringatan,
ketika ancaman teridentifikasi. Amygdalasangat efisien dalam
memperingatkan adanya ancaman ini. Sehingga, menyebabkan
seseorang mengambil tindakan sebelum ancaman itu sampai
ke korteks (bagian otak yang bertanggung jawab untuk berpikir dan
menimbang), tanpa mampu mengecek kelayakan reaksi yang terjadi.
Dalam kata lain,otak kita punya semacam saluran yang dapat
melaksanakan tindakan sebelum konsekuensinya dipertimbangkan
secara logis (refleks)
Ketika seseorang marah, otot-otot tubuh menegang. Di dalam otak,
bahan kimia yang berfungsi sebagai neutrontransmitter yang
bernama catecholaminedilepas, menyebabkan ledakan energi yang
bertahan selama beberapa menit. Pada saat yang bersamaan, detak
jantung meningkat, tekanan darah naik, dan demikian juga laju
pernapasan. Wajah biasanya kemerah-merahan seiring dengan
peningkatan aliran darah menuju anggota badan, sebagai persiapan
aksi fisik. Dalam rangkaian yang cepat, tambahan hormone
dan neutrontransmitter otak, adrenalin dannoradrenalin dilepaskan,
yang akan memicu suatu kondisi rangsangan yang lebih lama.
Aliran amarah, biasanya terhenti sebelum seseorang menjadi tak
terkontrol. Korteksbagian depan menahan emosi sesuai proporsi
rangsangan (marah). Amygdalamemulai emosi tersebut,
sedangkan korteks bagian depan meredakan emosi melalui
penilaian. Korteks bagian depan sebelah kiri dapat meredakan amarah
tersebut. Bagian itu bertugas menjaga sesuatu menjadi terkontrol.
Jika marah punya suatu fase persiapan psikologis untuk
melampiaskannya secara fisik, dia punya fase pendinginan juga.
Tubuh mulai rileks menuju posisi normal (sebelum marah), ketika
target kemarahan tidak terjangkau atau ada ancaman mendadak.
Sulit untukmeredakan marah dalam waktu singkat. Adrenalin, pemicu
rangsangan yang terjadi selama marah, bertahan dalam waktu yang
lama (berjam-jam, terkadang berhari-hari), dan merendahkan batas
ambang marah. Hal ini, membuat seseorang lebih mudah marah lagi
setelahnya. Biasanya, tubuh membutuhkan waktu yang lebih lama
untuk kembali dalam kondisi tenang. Selama periode penenangan ini,
orang yang tadinya marah, lebih rentan untuk marah lagi jika
menanggapi sedikit gangguan saja.
Asertif, merupakan ungkapan rasa tidak setuju atau kemarahan yang
dinyatakan atau diungkapkan tanpa menyakiti orang lain sehingga
akan memberikan kelegaan dan tidak menimbulkan masalah. Asertif
merupakan bentuk perilaku untuk menyampaikan perasaan diri
dengan kepastian dan memperhatikan komunikasi yang menunjukkan
respek pada orang lain (Stuart dan Laraia, 2005).
b. Frustasi, adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan
yang tidak realistis atau hambatan dalam pencapaian tujuan.
c. Pasif, merupakan kelanjutan dari frustasi, dalam keadaan ini
individu tidak menemukan alternatif lain penyelesaian masalah,
sehingga terlihat pasif dan tidak mampu mengungkapkan
perasaannya.
d. Agresif, adalah perilaku yang menyertai marah dan merupakan
dorongan untuk bertindak destruktif tapi masih terkontrol. Perilaku
yang tampak berupa muka masam, bicara kasar, menuntut, dan kasar.
e. Amuk (perilaku kekerasan), yaitu perasaan marah dan
bermusuhan yang kuat disertai kehilangan kontrol diri, sehingga
individu dapat merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan
(Potter & Perry. (2006). Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses dan
Praktik Edisi 4 vol 1. Jakarta: EGC)
4. Tindakan apa saja yang dilakukan perawat untuk mengatasi pasien
marah dan amuk ?
Pada saat situasi krisis, di mana pasien mengalami luapan emosi yang
hebat, sangat mungkin pasien melakukan tindak kekerasan yang
membahayakan baik untuk diri pasien, orang lain, maupun lingkungan.
Walaupun sulit sedapat mungkin pasien diminta untuk tetap tenang
dan mampu mengendalikan perilakunya. Bicara dengan tenang, nada
suara rendah, gerakan tidak terburu-buru, sikap konsisten dan
menunjukkan kepedulian dari petugas kepada pasien biasanya mampu
mempengaruhi pasien untuk mengontrol emosi dan perilakunya
dengan lebih baik.

Bila pasien tidak bisa mengendalikan perilakunya maka tindakan


pembatasan gerak (isolasi) dengan menempatkan pasien di kamar
isolasi harus dilakukan. Pasien dibatasi pergerakannya karena dapat
mencederai orang lain atau dicederai orang lain, membutuhkan
pembatasan interaksi dengan orang lain dan memerlukan
pengurangan stimulus dari lingkungan. Pada saat akan dilakukan
tindakan isolasi ini pasien diberi penjelasan mengenai tujuan dan
prosedur yang akan dilakukan sehingga pasien tidak merasa terancam
dan mungkin ia akan bersikap lebih kooperatif. Selama dalam kamar
isolasi, supervisi dilakukan secara periodik untuk memantau kondisi
pasien dan memberikan tindakan keperawatan yang dibutuhkan
termasuk memenuhi kebutuhan dasarnya seperti nutrisi, eliminasi,
kebersihan diri, dsb.

Bila tindakan isolasi tidak bermanfaat dan perilaku pasien tetap


berbahaya, berpotensi melukai diri sendiri atau orang lain maka
alternatif lain adalah dengan melakukan pengekangan/pengikatan fisik.
Tindakan ini masih umum digunakan petugas di RS dengan disertai
penggunaan obat psikotropika. Untuk menghindari ego pasien terluka
karena pengikatan, perlu dijelaskan kepada pasien bahwa tindakan
pengikatan dilakukan bukan sebagai hukuman melainkan pencegahan
resiko yang dapat ditimbulkan oleh perilaku pasien yang tidak
terkendali. Selain itu juga perlu disampaikan pula indikasi penghentian
tindakan pengekangan sehingga pasien dapat berpartisipasi dalam
memperbaiki keadaan. Selama pengikatan, pasien disupervisi secara
periodik untuk mengetahui perkembangan kondisi pasien dan
memberikan tindakan keperawatan yang diperlukan. Selanjutnya
pengekangan dikurangi secara bertahap sesuai kemampuan pasien
dalam mengendalikan emosi dan perilakunya, ikatan dibuka satu demi
satu, dilanjutkan dengan pembatasan gerak (isolasi), dan akhirnya
kembali ke lingkungan semula.
(David A. Tomb (2003): Buku Saku Psikiatri, Edisi VI, EGC, Jakarta.)
5. Asuhan keperawatan pada kasus !
4. Masalah Keperawatan dan Data yang Perlu Dikaji
a. Masalah keperawatan:
a. Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
b. Perilaku kekerasan / amuk
c. Gangguan Harga Diri : Harga Diri Rendah
d. Koping Individu Tidak Efektif
b. Data yang perlu dikaji pada masalah keperawatan perilaku
kekerasan
a. Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
Data Subyektif :
- Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang.
- Klien suka membentak dan menyerang orang yang
mengusiknya jika sedang kesal atau marah.
- Riwayat perilaku kekerasan atau gangguan jiwa lainnya.
Data Objektif :
- Mata merah, wajah agak merah.
- Nada suara tinggi dan keras, bicara menguasai: berteriak,
menjerit, memukul diri sendiri/orang lain.
- Ekspresi marah saat membicarakan orang, pandangan tajam.
- Merusak dan melempar barang barang.
b. Perilaku kekerasan / amuk
Data Subyektif :
- Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang.
- Klien suka membentak dan menyerang orang yang
mengusiknya jika sedang kesal atau marah.
- Riwayat perilaku kekerasan atau gangguan jiwa lainnya.
Data Obyektif ;
- Mata merah, wajah agak merah.
- Nada suara tinggi dan keras, bicara menguasai.
- Ekspresi marah saat membicarakan orang, pandangan tajam.
- Merusak dan melempar barang barang.

c. Gangguan harga diri : harga diri rendah


Data subyektif:
- Klien mengatakan: saya tidak mampu, tidak bisa, tidak tahu
apa-apa, bodoh, mengkritik diri sendiri, mengungkapkan perasaan
malu terhadap diri sendiri.
Data obyektif:
- Klien tampak lebih suka sendiri, bingung bila disuruh memilih
alternatif tindakan, ingin mencederai diri / ingin mengakhiri hidup.

5. Diagnosa Keperawatan
A. Resiko Perilaku kekerasan
B. Gangguan konsep diri : harga diri rendah

6. Rencana Tindakan Keperawatan


Diagnosa 1 : Resiko Perilaku Kekerasan
TujuanUmum :
Klien terhindar dari mencederai diri, orang lain dan lingkungan.
Tujuan Khusus :
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya.
Tindakan:
1.1. Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, empati, sebut
nama perawat dan jelaskan tujuan interaksi.
1.2. Panggil klien dengan nama panggilan yang disukai.
1.3. Bicara dengan sikap tenang, rileks dan tidak menantang.
2. Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
Tindakan:
2.1. Beri kesempatan mengungkapkan perasaan.
2.2. Bantu klien mengungkapkan perasaan jengkel / kesal.
2.3. Dengarkan ungkapan rasa marah dan perasaan bermusuhan
klien dengan sikap tenang.
3. Klien dapat mengidentifikasi tanda tanda perilaku kekerasan.
Tindakan :
4.1. Anjurkan klien mengungkapkan yang dialami dan dirasakan saat
jengkel/kesal.
4.2. Observasi tanda perilaku kekerasan.
4.3. Simpulkan bersama klien tanda tanda jengkel / kesal yang
dialami klien.
4. Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan.
Tindakan:
4.1. Anjurkan mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan.
4.2. Bantu bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan yang
biasa dilakukan.
4.3. Tanyakan "apakah dengan cara yang dilakukan masalahnya
selesai?"
5. Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.
Tindakan:
5.1. Bicarakan akibat/kerugian dari cara yang dilakukan.
5.2. Bersama klien menyimpulkan akibat dari cara yang digunakan.
5.3. Tanyakan apakah ingin mempelajari cara baru yang sehat.
6. Klien dapat mengidentifikasi cara konstruktif dalam berespon
terhadap kemarahan.
Tindakan :
6.1. Beri pujian jika mengetahui cara lain yang sehat.
6.2. Diskusikan cara lain yang sehat.Secara fisik : tarik nafas dalam
jika sedang kesal, berolah raga, memukul bantal / kasur.
6.3. Secara verbal : katakan bahwa anda sedang marah atau kesal /
tersinggung
6.4. Secara spiritual : berdoa, sembahyang, memohon kepada Tuhan
untuk diberi kesabaran.
7. Klien dapat mengidentifikasi cara mengontrol perilaku
kekerasan.
Tindakan:
7.1. Bantu memilih cara yang paling tepat.
7.2. Bantu mengidentifikasi manfaat cara yang telah dipilih.
7.3. Bantu mensimulasikan cara yang telah dipilih.
7.4. Beri reinforcement positif atas keberhasilan yang dicapai dalam
simulasi.
7.5. Anjurkan menggunakan cara yang telah dipilih saat jengkel /
marah.
8. Klien mendapat dukungan dari keluarga.
Tindakan :
8.1. Beri pendidikan kesehatan tentang cara merawat klien melalui
pertemuan keluarga.
8.2. Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga.
9. Klien dapat menggunakan obat dengan benar (sesuai program).
Tindakan:
9.1. Diskusikan dengan klien tentang obat (nama, dosis, frekuensi,
efek dan efek samping).
9.2. Bantu klien mengunakan obat dengan prinsip 5 benar (nama
klien, obat, dosis, cara dan waktu).
9.3. Anjurkan untuk membicarakan efek dan efek samping obat yang
dirasakan.

Diagnosa II : Gangguan konsep diri: harga diri rendah


Tujuan Umum :
Klien tidak melakukan kekerasan
Tujuan Khusus :
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya.
Tindakan:
1.4. Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, empati, sebut
nama perawat dan jelaskan tujuan interaksi.
1.5. Panggil klien dengan nama panggilan yang disukai.
1.6. Bicara dengan sikap tenang, rileks dan tidak menantang.
2. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang
dimiliki.
Tindakan:
2.1 Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
2.2 Hindari penilaian negatif detiap pertemuan klien
2.3 Utamakan pemberian pujian yang realitas
3. Klien mampu menilai kemampuan yang dapat digunakan untuk
diri sendiri dan keluarga
Tindakan:
3.1 Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
3.2 Diskusikan pula kemampuan yang dapat dilanjutkan setelah
pulang ke rumah
4. Klien dapat merencanakan kegiatan yang bermanfaat sesuai
kemampuan yang dimiliki
Tindakan :
4.1. Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap
hari sesuai kemampuan.
4.2. Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang klien lakukan.
4.3. Tingkatkan kegiatan sesuai dengan toleransi kondisi klien
5. Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi dan kemampuan
Tindakan :
5.1. Beri klien kesempatan mencoba kegiatan yang telah
direncanakan
5.2. Beri pujian atas keberhasilan klien
5.3. Diskusikan kemungkinan pelaksanaan di rumah
6. Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada
Tindakan :
6.1 Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat
klien
6.2 Bantu keluarga memberi dukungan selama klien dirawat
6.3 Bantu keluarga menyiapkan lingkungan di rumah
6.4 Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga

Diagnosa II : Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan


Tujuan umum :
- Pasien tidak mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
Tujuan khusus :
- Pasien mendapatkan perlindungan dari lingkungannya
- Pasien mampu mengungkapkan perasaannya
- Pasien mampu meningkatkan harga dirinya
- Pasien mampu menggunakan cara penyelesaiaan masalah yang
baik
Tindakan :
- Mendikusikan cara mengatasi keinginan mencederai diri sendiri,
orang laain dan lingkungan
- Meningkatkan harga diri pasien dengan cara :
o Memberikan kesempatan pasien mengungkapkan perasaannya
o Memberikan pujian jika pasien dapat mengatakan perasaan
yang positif
o Meyakinkan pasien bahawa dirinya penting
o Mendiskusikan tentang keadaan yang sepatutnya disyukuri oleh
pasien
o Merencanakan yang dapat pasien lakukan
- Tingkatkan kemampuan menyelesaikan masalah dengan cara :
o Mendiskusikan dengan pasien cara menyelesaikan masalahnya
o Mendiskusikan dengan pasien efektfitas masing-masing cara
penyelesian masalah
o Mendiskusikan dengan pasien cara menyelesaikan masalah
yang lebih baik

You might also like