You are on page 1of 18

1.

Definisi
Anemia adalah gejala kondisi yang mendasari, seperti kehilangan komponen darah, elemen
tak adekuat, atau kurang nutrisi yang dibuahkan untuk pembentukan sel darah yang
mengakibatkan penurunan kapasitas pengangkutan oksigen darah.
a. Anemia Aplastik adalah anemia normokromik normositik yang disebabkan oleh
disfungsi sumsum tulang sedemikian sehingga sel-sel darah yang akan mati tidak dapat
diganti. Anemia Aplastik mungkin hanya mengenai sel sel darah merah, mungkin berkaitan
dengan defesiensi semua sel darah (pansitopenia) (Corwin, 1998).
b. Anemia Aplastik adalah suatu penyakit yang jarang tetapi mengakibatkan kekacauan
serius yang diakibatkan oleh kegagalan dari sumsum tulang untuk menghasilkan sel darah
(www.netdoctor.cu.uk, 2000).
c. Anemia Hipoplastik (Aplastik) adalah pansitopenia (anemia, neutropenia, dan
trombositopenia) sebagai hasil dari hipoplasia sumsum tulang yang beratnya bervariasi.
Anemia hipoplastik mungkin dihasilkan dari kegagalan atau Supresi sel induk yang
pluripoten. Ini sangat jarang, cacat yang timbul hingga mempengaruhi sel yang ditugasi
sebagai eritroid saja, sewaktu dihasilkan aplasia eritrosit yang murni (Underwood, 2000).
d. Anemia Aplastik adalah penyakit yang disebabkan oleh karena rusaknya sumsum tulang
berupa berkurangnya sel darah merah dan terhentinya pembekuan sel hematopeutik dalam
sumsum tulang aplasia dapat terjadi hanya satu, dua atau tiga sistem hematopoutik
( Eritrupoutik, granulapoutik dan trombopoutik ) ( Ngastiah, 1997).
Jadi Anemia Aplastik adalah kondisi dimana terbentuknya sel darah merah sehingga sel darah
merah kurang yang mengakibatkan kebutuhan tubuh akan oksigen dan nutrisi jaringan
berkurang.

2. Etiologi
Menurut Soeparman (2001) ada berapa penyebab Anemia Aplastik yaitu :
a. Faktor Genetik
Komplek ini dinamakan anemia aplastik konsitusional antara lain :
1) Anemia Fancosit suatu sindrom yang meliputi hipoplasi sumsum tulang yang disertai
pigmentasi coklat dikulit, hipoplasia ibu jari atau radius miksefali retardasi mental atau
seksual, kelainan ginjal dan limfa.
2) Anemia Asteren Dahesshek anemia tanpa kelainan fisik.
3) Anemia Aplastik Konsitusional tanpa kelainan kulit atau tulang.
4) Sindrom Aplastik Parsial.
a. Sindrom black fans diamond.
b. Trombositopenia bawaan.
c. Agranulositosis bawaan.
b. Obat obatan dan bahan kimia
Anemia Aplastik terdiri atas hipersensitivitas atau posisi obat yang berlebihan praktis semua
obat dapat menyebabkan Anemia Aplastik pada seseorang dengan periprodesisi genetik yang
sering menyebabkannya ialah kloramfenikol bahan kimia terkenal yang dapat menyebabkan
Anemia Aplastik ialah senyawa benzen.
c. Infeksi
Infeksi dapat menyebabkan Anemia Aplastik sementara atau permanen misalnya infeksi yang
disebabkan oleh virus Epstein Barr, Influenza A, dengan Tuberkulosis (millier). Setiap
infeksi virus dapat menyebabkan Anemia Aplastik sementara atau hepatitis A, hepatitis non A
/non B mungkin hepatitis mungkin dapat menyebabkan hepatitis C dapat menyebabkan
Anemia Aplastik berat sitomegalo virus dapat menekan produksi sel sumsum tulang.
d. Radiasi
Radiasi dapat menyebabkan Anemia Aplastik berat atau ringan. Bila sistem hemopoutik yang
terkena, maka terjadi Anemia Aplastik ringan. Ini terjadi akibat pengobatan penyakit
keganasan dengan sinar x.
e. Kelainan imunologis.
Zat anti terhadap sel-sel hematomik dan lingkungan makro dapat menyebabkan anemia
aplastik. Perbaikan fungsi homopoetik setelah pengobatan dengan inmonosubresi merupakan
argumen kuat terlibatnya mekanisme imun patofisiologi anemia aplastik.
f. Anemia Aplastik pada keadaan penyakit lain.
1. Pada Leukemia Limpoblastik akut kadang-kadang ditemukan pamrositopenia dengan
hipoplesia sumsum tulang.
2. Paroxysmal Noctural Hemoglobinuria (PHN): penyakit ini dapat bermanifestasi berupa
anemia, berupa anemia aplastik, hemolisis disertai pansitopenia termasuk kelainan (PHN).
3. Kelainan pada kehamilan kadang-kadang ditemukan pansitopenia disertai aplasia
sumsum tulang yang berlangsung sementara. Hal ini mungkin disebabkan oleh estrogen pada
seseorang dengan predisposisi genetik adanya zat penghambat dalam darah atau tidak ada
perangsang hematoplesis.
g. Kelompok idiopatik
Biasanya kelompok idiopatik tergantung dari usaha mencari faktor etiologi.
3. Klasifikasi
Menurut Soeparman (2001) Anemia Aplastik umumnya diklasifikasikan sebagai
berikut:
a. Klasifikasi menurut penyebab
1) Idiopatik bila penyebabnya tidak diketahui ditemukan pada 50 % penyebab.
2) Sekunder bila penyebabnya diketahui.
3) Konstitusional adanya kelainan DNA yang diturunkan.
b. Klasifikasi menurut prognosis.
1) Anemia Aplastik berat.
Kesempatan sembuh 10 % di defisiensi anemia aplastik berat bila :
a) Neotropil kurang dari 500/ mm3.
b) Trombosit kurang dari 20.000/ mm3.
c) Retikulosit kurang dari 1 %.
d) Sumsum tulang selulerasi kurang dari 2 % normal.
2) Anemia Aplastik sangat berat efisiensinya sama dengan anemia aplastik berat kecuali
neotrofil kurang dari 200 / mm 3.
3) Anemia aplastik bukan berat kesempatan sembuh mendekati 50 %.
4. Patofisiologi
Anemia Aplastik adalah suatu gangguan pada sel-sel induk di sumsum tulang dapat
menimbulkan kematian, pada keadaan ini jumlah sel yang dihasilkan tidak memadai.
Anemia aplastik disebabkan sel precursor dalam sum-sum tulang dan penggantian dengan
lemak dapat juga idiopatik (hal ini tanpa penyebab yang jelas) dan merupakan penyebab
utama. (Brunner and Suddarth, 2002).
Penderita mengalami pansitopenia yaitu kekurangan sel darah merah, sel darah putih
dan trombosit. Secara morfologi sel-sel darah merah terlihat normositik dan normokrom,
hitung retikulosit rendah atau hilang, dan biopsi sumsum tulang menunjukan suatu keadaan
yang disebut fungsi kering dengan hipoplasia yang nyata dan terjadi dengan penggantian
jaringan lemak.
Langkah-langkah pengobatan terdiri dari mengidentifikasi dan menghilangkan agen
penyebab dan keadaan ini disebut idiopatik. Beberapa kasus seperti ini diduga merupakan
keadan imunologis (Prince, 1998).
PATHWAY

5. Manifestasi Klinis
Menurut Elizabeth (2000), manifestasi klinik dari Anemia Aplastik adalah :
a. Tanda-tanda sistemik yang klasik adalah :
- Peningkatan denyut jantung karena tubuh berusaha memberi oksigen lebih banyak ke
jaringan.
- Peningkatan kecepatan pernafasan klien karena tubuh berusaha untuk menyediakan
lebih banyak oksigen pada darah.
- Pusing akibat berkurangnya aliran darah ke otak.
- Rasa lelah karena meningkatnya oksigen berbagai organ termasuk organ, otot jantung
dan rangka.
- Kulit pucat karena berkurangnya oksigen.
- Mual akibat penurunan aliran darah saluran cerna dan susunan saraf pusat.
- Penurunan kualitas rambut dan kulit.
b. Apabila trombosit dan sel darah putih terkena, maka gejala-gejala bertambah dengan :
- Pendarahan dan mudahnya timbul memar.
- Infeksi berulang.
- Luka kulit dengan selaput lendir yang sulit sembuh.
6. Pemeriksaan Diagnostik
Adapun pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada anemia aplastik sebagai berikut
a. Pemeriksaan darah
Hematokrit/ hemoglobin mengalami penurunan akibat dari penurunan sel darah
merah. Retikulosit menurun kurang dari 1%, neutrofil kurang dari 500 ml, trombosit kurang
dari 2.000/ ml kepadatan seluler sumsum tulang berkurang 20%. (Gannong, 1999).
1) Sel Darah Merah (Eritrosit)
Sel darah merah membawa hemoglobin ke dalam sirkulasi. Pada stadium awal
penyakit pansitopenia tidak selalu ditemukan jenis anemia adalah normokom, normositik
kadang-kadang pula makrositosis, anisitosis dan polisitosis adanya eritrosit muda atau dalam
darah tepi menandakan bukan anemia aplastik granolosit dan tromabosit ditemukan rendah,
limpositosis relatif terdapat pada lebih dari 75 % kasus.
Persentasi retikulosit, umumnya normal atau rendah pada sebagian kecil kasus persentasi
retikulosit ditemukan lebih dari 2% akan tetapi bila nilai ini dikoreksi terhadap anemia maka
diperoleh persentasi normal atau rendahnya juga, adanya retikulositosis setelah dikoreksi
menandakan bukan anemia aplastik.
2) Laju Endap Darah
Laju endap darah umumnya meningkat penelitian menunjukkan bahwa 62 dari 70 kasus (89
%) mempunyai endapan darah lebih dari 100 mm dalam jam pertama.
3) Faal Hemotasis
Waktu pendarahan memanjang yang disebabkan oleh trombositopenia, sedangkan faal
hematosis lainnya normal.
4) Sumsum tulang
Karena adanya sarang-sarang hematopoesis hiperaktif yang mungkin teraspirasi maka sering
diperlukan aspirasi beberapa kali.
Diharuskan melakukan biopsi sumsum tulang pada setiap kasus pada anemia aplastik, hasil
pemeriksaan sumsum tulang sesuai dengan kriteria diagnosis.
5) Virus
Evaluasi diagnosis anemia aplastik meliputi pemeriksaan virus hepatitis, parvovirus dan
sitomegalovirus.
6) Tes Hemolisis Sukrosa.
Tes ini diperlukan untuk mengetahui adanya PNH (Paroxymal Noctural Hemoglobunuria)
sebagai penyebab.
7) Kromosom.
Pada anemia aplastik tidak ditemukan kromosom tetapi pada anemia aplastik konsitusional
kadar eritropoetin ditemukan meningkat.
8) Defesiensi imun.
Adanya defesiensi diketahui melalui melalui penentuan titer imunoglobin dan pemeriksaan
imunitas sel T.
b. Pemeriksaan radiologi.
1. Noclear Manetik Resonance Imaging (NMRI).
Merupakan pemeriksaan ini merupakan cara terbaik untuk mengetahui luasnya perlemakan
karena dapat membuat pemisahan darah sumsum tulang berlemak dan sumsum selular.
2. Radio Noklid Bonemarrow Imaging (Bonemarow Skening)
Luasnya kelainan sumsum tulang dapat ditemukan oleh skening tubuh setelah di suntik
dengan koloic radiatif teknitum sulfur yang akan terkait pada makrofag sumsum tulang atau
indium klorida yang akan terikat pada transfering/ koma dengan bantuan sken sumsum tulang
dapat ditentukan daerah hematosis aktif untuk memperoleh sel-sel progenitor.
7. Penatalaksanaan
Menurut Soeparman (2001) pengobatan anemia aplastik terdiri atas :
a) Identifikasi dan eliminasi penyebab.
b) Pengobatan suportif terhadap infeksi dan anemia.
c) Mempercepat penyembuhan dan mengatasi pansitopenia dapat melalui
imunosupresif, transplantasi sumsum tulang, obat-obat anabolic, dan kostenoid pansitopenia
yang relatif ringan cukup di observasi.
1. Tranfusi Eritrosit
Bila terdapat keluhan seperti anemia di berikan tranfusi eritrosit berupa Paket Red
Cell (PRC) sampai kadar hemoglobin 7-8 % atau lebih pada orang tua dengan penyakit
kardiovaskuler.
2. Tranfusi Trombosit
Jika trombosit kurang dari 20.000/ mm3, tranfusi trombosit diberi dapat pendarahan
atau kadar trombosit kadar acak.
3. Tranfusi
Leukosit masih terdapat kontrol atau pemberian tranfusi leukosit sebagai proferasi
tidak dianjurkan karena akibat-akibat tranfusi yang lebih parah dari pada manfaatnya. Masa
hidup leukosit yang ditranfusikan sangat berat pada infeksi berat, khasiatnya hanya sedikit
hingga pemberian antibiotik masih diberikan.
4. Kortikosteroid.
Penggunaan kortikosteroid tidak memuaskan tidak diberikan karena menentukan
angka kematian yang lebih besar 92% pada 15 kasus, hasil ini kebanyakan dilaporkan karena
kebanyakan penulis dapatkan pada perpustakaan.
5. Androgen.
Androgen merangsang eritroprotein dan sel-sel progesteron sumsum tulang, androgen
terutama neotrondrotolon 1 mg/kg BB/ hari.
Pemberian androgen harus jangka panjang karena hasil biasanya baru terlihat setelah 3 bulan.
Bila tidak bermanfaat sedikitnya dihentikan.
6. Imunosupresif.
Tergolong sebagai imunosupresif antara lain Antithimosit Globulin (ATG), Anti
Limposit Globulin (ALG) dan sikloporin.
7. Kombinasi obat
Kombinasi obat ATG, sikloporin dan menty prednisolon, memberikan angka resmi
kombinasi dan methypredison angka resmi sebesar 46 % dosis sikloporin yang diberikan 6
mm/ kg BB selama 3 bulan.
8. Transplantasi.
Bagi klien yang berusia dibawah 20 tahun Transplantasi sumsum tulang merupakan
pilihan sedangkan pada anemia aplastik sangat berat, perlu dilakukan transplantasi sumsum
tulang.

Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Anemia Aplastik

A. Pengkajian
1) Aktvitas / istirahat
Gejala : Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.
Tanda : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, quadriplegia, ataxia, cara berjalan tak
tegap, masalah dalam keseimbangan, cedera atau trauma ortopedi, kehilangan tonus otot, otot
spastik.
2) Sirkulasi
Gejala : Perubahan tekanan darah (hipertensi), perubahan frekuensi jantung (bradikardia,
takikardia yang diselingi bradikardia, disritmia).
Tanda : Pucat pada kulit dan membran mukosa (konjungtiva, mulut, faring, bibir dan
dasar kuku).
3) Integritas Ego
Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis).
Tanda : Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung. depresi dan impulsif.
4) Eliminasi
Gejala : Kandung kemih / usus atau mengalami gangguan fungsi.
5) Makanan / cairan
Gejala : Mual, muntah dan mengalami perubahan selera.
Tanda : Muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, air liur keluar dan
disphagia).
6) Neurosensori
Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope,
tinitus, kehilangan pendengaran, tingling, baal pada ekstremitas, perubahan dalam
penglihatan (ketajaman, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, photo phobia),
gangguan pengecapan dan juga penciuman.
Tanda : Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan status mental (orientasi,
kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh hemofilia dan memori),
perubahan pupil, defiasi pada mata, ketidakmampuan mengikuti gerakan, kehilangan
pengindraan, wajah tidak simetris, genggaman lemah, tidak seimbang, reflek tendon dalam
tidak ada atau lemah, atraksia, hemiparese, quadriplegia, postur (dekortikasi, deserebrasi),
kejang, sangat sensitive terhadap sentuhan dan gerakan, kehilangan sensasi sebagian tubuh,
kesulitan dalam menentukan posisi tubuh.
7) Nyeri / Kenyamanan
Gejala : Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama.
Tanda : Wajah meringis, respon menarik pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah tidak
bisa beristirahat, merintih.
8) Pernafasan
Tanda : Perubahan pola nafas (apnoe yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas berbunyi
stridor, tersedak, ronchi, mengi positif.
9) Keamanan
Gejala : Trauma baru / trauma karena kecelakaan
Tanda : Fraktur / dislokasi, gangguan penglihatan, kulit (laserasi, abrasi), perubahan
warna seperti raccon eye, tanda betel disekitar telinga, adanya aliran cairan dari telinga atau
hidung (CSS), gangguan kognitif, gangguan rentang serak, tonus otot hilang, kekuatan secara
umum mengalami paralisis, demam, gangguan dalam regulasi tubuh.
10) Interaksi Sosial
Tanda : Aphasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen seluler yang
diperlukan untuk pengiriman oksigen/ nutrien ke sel.
2. Intoleransi aktivitas berhubungan ketidakseimbangan antara suplai oksigen (pengiriman)
dan kebutuhan.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kegagalan untuk
mencerna atau ketidakmampuan mencerna makanan/ absorbsi nutrien yang diperlukan untuk
pembentukan SDM normal.
4. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan sirkulasi dan neurologi
(Anemia), gangguan mobilitas, defisit nutrisi.
5. Konstipasi atau diare berhubungan dengan penurunan masukan diet; perubahan proses
pencernaan, efek samping terapi obat.
6. Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan sekunder tidak adekuat (penurunan
hemoglobin, leukopenia, penurunan granulasit, respon inflamasi tertekan), pertahanan utama
tidak adekuat misalnya kerusakan kulit, statis cairan tubuh, prosedur invasif, penyakit kronis,
malnutrisi.
7. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi prognosis, dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan kurang mengingat, salah interpretasi informasi, tidak
mengenal sumber-sumber informasi.
C. Penatalaksanaan
1) Perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan komponen
seluler yang diperlukan untuk pengiriman oksigen/ nutrien ke sel.
Tujuan : Mempertahankan suplai Oksigen dan nutrisi ke sel.
Kriteria hasil : Menunjukkan perfusi jaringan perifer adekuat, misal tanda-tanda vital
stabil, membran mukosa warna merah muda, pengisian kapiler baik, haluaran urine adekuat;
mental seperti biasa.
Rencana tindakan :
Mandiri :
a) Awasi tanda vital, kaji pengisian kapiler, warna kulit/ membran mukosa, dasar kuku.
R: Memberikan informasi tentang derajat/ keadekuatan perfusi jaringan dan membantu
menentukan kebutuhan intervensi.
b) Tinggikan kepala tempat tidur sesuai toleransi.
R: Meningkatkan ekspansi paru dan memaksimalkan oksigenasi untuk kebutuhan seluler.
Catatan : Kontraindikasi bila ada hipotensi.
c) Awasi upaya pernafasan; auskultasi bunyi nafas perhatikan bunyi adventisius.
R: Dispnea, gemericik menunjukkan GJK karena regangan jantung lama/ peningkatan
kompensasi curah jantung.
d) Selidiki keluhan nyeri dada, palpitasi.
R: Iskemia seluler mempengaruhi jaringan miokardial/ potensial resiko infark.
e) Kaji untuk respon verbal melambat, mudah terangsang, agitasi, gangguan memori,
bingung.
R: Dapat mengidentifikasikan gangguan fungsi serebral karena hipoksia atau defisiensi
vitamin B12.
f) Orientasikan ulang pasien sesuai kebutuhan. Catat jadwal aktifitas pasien untuk
dirujuk. Berikan cukup waktu untuk pasien berpikir, komunikasi dan aktifitas.
R: Membantu memperbaiki proses pikir dan kemampuan melakukan/ mempertahankan
kebutuhan AKS.
g) Catat keluhan rasa dingin, pertahankan suhu lingkungan dan tubuh hangat sesuai
indikasi.
R: Vasokontriksi (ke organ vital) menurunkan sirkulasi perifer. Kenyamanan pasien/
kebutuhan rasa hangat seimbang dengan kebutuhan untuk menghindari panas berlebih
pencetus vasodilatasi (penurunan perfusi organ).
h) Hindari penggunaan bantalan penghangat atau botol air panas. Ukur suhu air mandi
dengan termometer.
R: Termoreseptor jaringan dermal dangkal karena gangguan oksigen.
Kolaborasi :
i) Awasi pemeriksaan laboratorium misal Hb/ Ht dan jumlah SDM, GDA.
R: Mengidentifikasi defisiensi dan kebutuhan pengobatan/ respon terhadap terapi.
j) Berikan SDM darah lengkap/ packed, proses darah sesuai indikasi. Awasi ketat untuk
komplikasi transfusi.
R: Meningkatkan jumlah sel pembawa oksigen; memperbaiki defisiensi untuk menurunkan
resiko perdarahan.
k) Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi.
R: Memaksimalkan transpor oksigen ke jaringan.
l) Siapkan intervensi pembedahan sesuai indikasi.
R: Transplantasi sumsum tulang dilakukan pada kegagalan sumsum tulang.
2) Intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
oksigen (pengiriman) dan kebutuhan.
Tujuan : Aktifitas dapat kembali normal.
Kriteria hasil : Melaporkan peningkatan toleransi aktifitas (termasuk aktifitas sehari-hari),
menunjukkan penurunan tanda fisiologis intoleransi, misal nadi, pernafasan, dan TD masih
dalam rentang normal.
Rencana tindakan :
Mandiri
a) Kaji kemampuan pasien untuk melakukan tugas/ AKS normal, catat laporan kelelahan,
keletihan, dan kesulitan menyelesaikan tugas.
R: Mempengaruhi intervensi/ bantuan.
b) Kaji kehilangan/ gangguan keseimbangan gaya jalan, kelemahan otot.
R: Menunjukkan perubahan neurologi karena defisiensi vitamin B12 mempengaruhi keamanan
pasien/ resiko cedera.
c) Awasi TD, nadi, pernafasan, selama dan sesudah aktifitas. Catat respon terhadap tingkat
aktifitas (peningkatan denyut jantung/ TD, disritmia, pusing, dispnea, Takipnea, dan
sebagainya).
R: Manifestasi kardiopulmonal dari upaya jantung dan paru untuk membawa jumlah oksigen
adekuat ke jaringan.
d) Berikan lingkungan tenang. Pertahankan tirah baring bila diindikasikan. Pantau dan
batasi pengunjung, Telepon, dan gangguan berulang tindakan yang tak direncanakan.
R: Meningkatkan istirahat untuk menurunkan kebutuhan oksigen tubuh dan menurunkan
regangan jantung dan paru.
e) Ubah posisi pasien dengan perlahan dan pantau terhadap pusing.
R: Hipotensi postural atau hipoksia serebral dapat menyebabkan pusing, berdenyut, dan
peningkatan resiko cedera.
f) Prioritaskan jadwal asuhan keperawatan untuk meningkatkan istirahat. pilih periode
istirahat dengan periode aktifitas.
R: Mempertahankan tingkat energi dan meningkatkan regangan pada sistem jantung dan
pernafasan.
g) Berikan bantuan dalam aktifitas/ ambulasi bila perlu, memungkinkan pasien untuk
melakukannya sebanyak mungkin.
R: Membantu bila perlu, harga diri ditingkatkan bila pasien melakukan sesuatu sendiri.
h) Rencanakan kemajuan aktifitas dengan pasien, termasuk aktifitas yang dianggap pasien
perlu. Tingkatkan tingkat aktifitas sesuai toleransi.
R: Meningkatkan secara bertahap tingkat aktifitas sampai normal dan memperbaiki tonus
otot/ stamina tanpa kelemahan. Meningkatkan harga diri dan rasa terkontrol.
i) Gunakan teknik penghematan energi, misal mandi dengan duduk, duduk untuk
melakukan tugas-tugas.
R: Mendorong pasien melakukan banyak dengan membatasi penyimpangan energi dan
mencegah kelemahan.
j) Anjurkan pasien untuk melakukan aktivitas bila palpitasi, nyeri dada, nafas pendek,
kelemahan, atau pusing terjadi.
R: Regangan/ stress kardiopulmonal berlebihan/ stress dapat menimbulkan dekompensasi/
kegagalan.
3) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh terhadap berhubungan dengan
perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunan tingkat kesadaran).
Tujuan : Mendemonstrasikan pemeliharaan kemajuan peningkatan berat badan.
Kriteria hasil : Tidak mengalami tanda-tanda malnutrisi, dengan nilai laboratorium dalam
rentang normal.
Rencana tindakan :
a) Kaji kemampuan pasien untuk mengunyah, menelan, batuk dan mengatasi sekresi.
R : Faktor ini menentukan pemilihan terhadap jenis makanan sehingga pasien terlindungi
dari aspirasi.
b) Auskultasi bising usus.
R : Fungsi saluran cerna biasanya tak baik pada kasus cedera kepala. Jadi bising usus
membantu menentukan respon untuk makan atau berkembangnya komplikasi seperti
paralitik illeus.
c) Timbang berat badan sesuai indikasi.
R : Mengevaluasi keefektifan atau kebutuhan mengubah pemberian nutrisi.
d) Berikan makanan dalam jumlah kecil dan dalam waktu yang sering dan teratur.
R : Meningkatkan proses pencernaan dan toleransi pasien terhadap nutrisi yang diberikan
dan dapat meningkatkan kerjasama pasien saat makan.
e) Tingkatkan kenyamanan, lingkungan yang santai saat makan.
R : Meningkatkan nafsu untuk makan makanan yang disediakan.
f) Kaji feses, cairan lambung, muntah darah dan sebagainya.
R : Perdarahan sub akut / akut dapat terjadi (ulkus lambung) dan perlu intervensi dan
metode alternatif pemberian makan.
g) Konsultasi dengan ahli gizi
R : Merupakan sumber yang efektif untuk mengidentifikasi kebutuhan kalori / nutrisi
tergantung pada usia, berat badan, ukuran tubuh, keadaan penyakit sekarang ( trauma,
penyakit jantung dan masalah metabolic ).
4) Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan sirkulasi dan
neurologi (anemia), gangguan mobilitas, defisit nutrisi.
Tujuan : Tidak terjadi kerusakan integritas kulit.
Kriteria hasil : Mempertahankan integritas kulit.
Rencana tindakan :
a) Kaji integritas kulit, catat perubahan pada turgor, gangguan warna, hangat lokal,
eritema, ekskoriasi.
R: Kondisi kulit dipengaruhi oleh sirkulasi, nutrisi dan imobilisasi. Jaringan dapat menjadi
rapuh dan cenderung untuk infeksi dan rusak.
b) Ubah posisi secara periodik dan pijat permukaan tulang bila pasien tidak bergerak atau
di tempat tidur.
R: Meningkatkan sirkulasi ke semua area kulit membatasi iskemia jaringan/ mempengaruhi
hipoksia seluler.
c) Ajarkan permukaan kulit kering dan bersih. Batasi penggunaan sabun.
R: Area lembab, terkontaminasi memberikan media yang sangat baik untuk pertumbuhan
organisme patogenik. Sabun dapat mengeringkan kulit secara berlebihan dan meningkatkan
iritasi.
d) Bantu untuk latihan rentang gerak aktif atau pasif.
R: Meningkatkan sirkulasi jaringan, mencegah stasis.
Kolaborasi
e) Gunakan alat pelindung
R: Menghindari kerusakan kulit dengan mencegah/ menurunkan tekanan terhadap
permukaan kulit.
5) Konstipasi atau Diare berhubungan dengan penurunan masukan diet, perubahan
proses pencernaan, efek samping terapi obat.
Tujuan : Tidak terjadi konstipasi atau diare.
Kriteria hasil : Fungsi usus dan pola eliminasi; konstipasi kembali normal.
a) Observasi warna feses, konsistensi, frekuensi, dan jumlah
R: Membantu mengindentifikasi penyebab/ faktor pemberat dan intervensi yang tepat.
b) Auskultasi bunyi usus.
R: Bunyi usus secara umum meningkat pada diare dan menurun pada konstipasi.
c) Awasi masukan cairan 2500-3000 ml/ hari dalam toleransi jantung.
R: Dapat mengidentifikasi dehidrasi, kehilangan berlebihan atau alat dalam mengidentifikasi
defisiensi diet.
d) Hindari makanan yang membentuk gas.
R: Menurunkan distres gastrik dan distensi abdomen.
e) Kaji kondisi kulit perianal dengan sering, catat perubahan dalam kondisi kulit atau mulai
kerusakan. Lakukan perawatan perianal setiap defekasi bila terjadi diare.
R: Mencegah ekskoriasi kulit dan kerusakan.
Kolaborasi
f) Konsultasi dengan ahli gizi untuk memberikan makanan diet seimbang dengan tinggi
serat dan bulk.
R: Serat menahan enzim pencernaan dan mengabsorbsi air dalam alirannya sepanjang
traktus intestinal dan dengan demikian menghasilkan bulk, yang bekerja sebagai perangsang
untuk defekasi.
g) Berikan pelembek feses, stimulan ringan, laksatif pembentuk bulk atau enema sesuai
indikasi. Pantau keefektifan.
R: Mempermudah defekasi bila konstipasi terjadi
h) Berikan obat antidiare (Diflenoxilat Hidroklorida dengan atropin, dan obat
pengabsorbsi air (Metamucil).
R: Menurunkan motilitas usus bila diare terjadi.
6) Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan sekunder tidak adekuat (penurunan
hemoglobin, leukopenia, penurunan granulasit, respon inflamasi tertekan), pertahanan utama
tidak adekuat misal kerusakan kulit, statis cairan tubuh; prosedur invasif, penyakit kronis,
malnutrisi.
Tujuan : Tidak terjadi infeksi
Kriteria hasil : mengidentifikasi perilaku untuk mencegah/ menurunkan resiko infeksi,
meningkatkan penyembuhan luka, bebas drainase purulen atau eritema dan demam.
Rencana tindakan :
a) Tingkatkan cuci tangan yang baik bagi klien dan keluarga.
R: Mencegah kontaminasi silang/ kolonisasi bakterial.
b) Petahankan teknik aseptik pada prosedur/ perawatan.
R: Menurunkan kolonisasi infeksi bakteri.
c) Berikan perawatan kulit, perianal dan oral dengan cermat.
R: Menurunkan resiko kerusakan kulit/ jaringan dan infeksi.
d) Dorong perubahan posisi/ ambulasi yang sering, latihan batuk dan nafas dalam.
R: Meningkatkan ventilasi semua segmen paru dan membantu memobilisasi sekresi untuk
mencegah pneumonia.
e) Tingkatkan masukan cairan adekuat.
R: Membantu dalam pengenceran sekret pernafasan untuk mempermudah pengeluaran dan
mencegah stasis cairan tubuh.
f) Pantau/ batasi pengunjung. Berikan isolasi bila memungkinkan.
R: Membatasi pemajanan pada bakteri/ infeksi.
g) Pantau suhu. Catat adanya menggigil dan takikardia dengan atau tanpa demam.
R: Adanya proses inflamasi/ infeksi membutuhkan evaluasi/ pengobatan.
h) Amati eritema.
R: Indikator infeksi lokal.
Kolaborasi
i) Ambil spesimen untuk Kultur/ sensitivitas sesuai indikasi.
R: Membedakan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen khusus dan mempengaruhi
pilihan pengobatan.
j) Berikan aseptik topikal; antibiotik sistemik.
R: Mungkin digunakan secara profilaktik untuk menurunkan kolonisasi atau untuk
pengobatan proses infeksi lokal.
7) Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi prognosis, dan
kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang terpajan/ mengingat, salah
interpretasi informasi, tidak mengenal sumber-sumber informasi.
Tujuan : Berpartisipasi dalam proses belajar.
Kriteria Hasil :
- Mengungkapkan pemahaman tentang kondisi, aturan pengobatan, potensial komplikasi
- Memulai perubahan gaya hidup baru dan atau keterlibatan dalam program rehabilitasi.
- Melakukan prosedur yang diperlukan dengan benar.
Rencana tindakan :
a) Evaluasi kemampuan dan kesiapan untuk belajar dari pasien dan keluarganya.
R : Memungkinkan untuk menyampaikan bahan yang didasarkan atas kebutuhan secara
individual.
b) Berikan kembali informasi yang berhubungan dengan proses trauma dan pengaruh
sesudahnya.
R : Membantu dalam menciptakan harapan yang realistis dan meningkatkan pemahaman
pada keadaan saat ini dan kebutuhannya.
c) Berikan kembali atau berikan penguatan terhadap pengobatan yang diberikan sekarang.
R : Aktivitas, pembatasan, pengobatan/ kebutuhan terapi yang diberikan/ disusun atas dasar
pendekatan antar disiplin dan evaluasi yang amat penting untuk perkembangan pemulihan
atau pencegahan terhadap komplikasi.
d) Diskusikan rencana untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri.
R : Berbagai tingkat bantuan mungkin perlu direncanakan yang didasarkan atas kebutuhan
yang bersifat individual.
e) Diskusikan dengan pasien dan orang terdekat perkembangan dan gejala seperti
munculnya tanda dan gejala yang pernah dialaminya saat trauma terjadi.
R : Dapat menjadi tanda adanya eksaserbasi respon pasca traumatik yang dapat terjadi
dalam beberapa bulan sampai beberapa tahun setelah mengalami trauma.
f) Identifikasi sumber-sumber yang berada di masyarakat seperti kelompok penyokong,
pelayanan sosial, fasilitas rehabilitasi, program pasien di luar rumah sakit.
R : Diperlukan untuk memberi bantuan secara fisik, penanganan di rumah, perubahan
dalam gaya hidup, baik secara emosional maupun secara finansial.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol 3. Jakarta: EGC
Carpenito, L.J. 2000. Diagnosa Keperawatan, Aplikasi pada Praktik Klinis, edisi 6. Jakarta:
EGC
Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. New
Jersey: Upper Saddle River
Marlyn E. Doenges, 2002. Rencana Asuhan Keperawatan, Jakarta, EGC
Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC) Second Edition.
New Jersey: Upper Saddle River
Patrick Davay, 2002, At A Glance Medicine, Jakarta, EMS
Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta: Prima
Medika
Smeltzer & Bare. 2002. Keperawatan Medikal Bedah II. Jakarta: EGC
Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan, edisi 7. EGC : Jakarta.
http://askep-topbgt.blogspot.co.id/2010/12/asuhan-keperawatan-anemia-aplastik.html
(diambil pada tanggal 17 Mei 2016)
LAPORAN PENDAHULUAN

ANEMIA APLASTIK

Vinda Nordiana Santoso


1401100011 / IIA

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
JURUSAN KEPERAWATAN
PRODI DIII KEPERAWATAN MALANG
Mei 2016

You might also like