Professional Documents
Culture Documents
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah I (KMB I)
Disusun oleh:
Dewi Desviana
Fadhilah Ramdhani
Juwita Yuniar A
Lia Yulianti
Muhamad Asep
Reyza Apandi
Ujang Mashur
2011
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang progresif,
artinya penyakit ini berlangsung seumur hidup dan semakin memburuk secara
lambat dari tahun ke tahun. Dalam perjalanan penyakit ini terdapat fase-fase
eksaserbasi akut. Berbagai faktor berperan pada perjalanan penyakit ini, antara lain
faktor resiko yaitu faktor yang menimbulkan atau memperburuk penyakit seperti
kebiasaan merokok, polusi udara, polusi lingkungan, infeksi, genetik dan perubahan
cuaca.
Derajat obtruksi saluran nafas yang terjadi, dan identifikasi komponen yang
memugkinkan adanya reversibilitas. Tahap perjalanan penyakit dan penyakit lain
diluar paru seperti sinusitis dan faringitis kronik. Yang pada akhirnya faktor-faktor
tersebut membuat perburukan makin lebih cepat terjadi. Untuk melakukan
penatalaksanaan PPOK perlu diperhatikan faktor-faktor tersebut, sehingga
pengobatan PPOK menjadi lebih baik.
1.2. Tujuan
1. Tujuan Umum
2. Tujuan Khusus
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (COPD) merupakan suatu istilah yang sering
digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan
ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran
patofisiologi utamanya. Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan yang
dikenal dengan COPD adalah : Bronchitis kronis, emfisema paru-paru dan asthma
bronchiale (S Meltzer, 2001 : 595).
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) adalah istilah umum yang digunakan untuk
menggambarkan kondisi obstruksi ireversible progresif aliran udara ekspirasi.
Individu dengan PPOK mengalami kesulitan bernapas, batuk produktif dan
intoleransi aktivitas.
Adalah tabung fleksibel dengan panjang kira-kira 10 cm dengan lebar 2,5 cm.
trachea berjalan dari cartilago cricoidea kebawah pada bagian depan leher dan
dibelakang manubrium sterni, berakhir setinggi angulus sternalis (taut manubrium
dengan corpus sterni) atau sampai kira-kira ketinggian vertebrata torakalis kelima
dan di tempat ini bercabang mcnjadi dua bronckus (bronchi). Trachea tersusun atas
16 20 lingkaran tak- lengkap yang berupan cincin tulang rawan yang diikat
bersama oleh jaringan fibrosa dan yang melengkapi lingkaran disebelah belakang
trachea, selain itu juga membuat beberapa jaringan otot.
2. Bronchus
Bronchus yang terbentuk dari belahan dua trachea pada ketinggian kira-kira
vertebrata torakalis kelima, mempunyai struktur serupa dengan trachea dan dilapisi
oleh jenis sel yang sama. Bronkus-bronkus itu berjalan ke bawah dan kesamping ke
arah tampuk paru. Bronckus kanan lebih pendek dan lebih lebar, dan lebih vertikal
daripada yang kiri, sedikit lebih tinggi darl arteri pulmonalis dan mengeluarkan
sebuah cabang utama lewat di bawah arteri, disebut bronckus lobus bawah.
Bronkus kiri lebih panjang dan lebih langsing dari yang kanan, dan berjalan di
bawah arteri pulmonalis sebelurn di belah menjadi beberapa cabang yang berjalan
kelobus atas dan bawah.
Cabang utama bronchus kanan dan kiri bercabang lagi menjadi bronchus lobaris
dan kemudian menjadi lobus segmentalis. Percabangan ini berjalan terus menjadi
bronchus yang ukurannya semakin kecil, sampai akhirnya menjadi bronkhiolus
terminalis, yaitu saluran udara terkecil yang tidak mengandung alveoli (kantong
udara). Bronkhiolus terminalis memiliki garis tengah kurang lebih I mm. Bronkhiolus
tidak diperkuat oleh cincin tulang rawan. Tetapi dikelilingi oleh otot polos sehingga
ukurannya dapat berubah. Seluruh saluran udara ke bawah sampai tingkat
bronkbiolus terminalis disebut saluran penghantar udara karena fungsi utamanya
adalah sebagai penghantar udara ke tempat pertukaran gas paru-paru.
3. Alveolus
Alveolus yaitu tempat pertukaran gas assinus terdiri dari bronkhiolus dan
respiratorius yang terkadang memiliki kantong udara kecil atau alveoli pada
dindingnya. Ductus alveolaris seluruhnya dibatasi oleh alveoilis dan sakus alveolaris
terminalis merupakan akhir paru-paru, asinus atau.kadang disebut lobolus primer
memiliki tangan kira-kira 0,5 s/d 1,0 cm. Terdapat sekitar 20 kali percabangan mulai
dari trachea sampai Sakus Alveolaris. Alveolus dipisahkan oleh dinding yang
dinamakan pori-pori kohn.
4. Paru-Paru
Merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri dari gelembung-
gelembung (gelembung hawa = alveoli). Gelembung-gelembung alveoli ini terdiri
dari sel-sel epitel dan endotel. Jika dibentangkan luas permukaannya lebih kurang
90 m2 pada lapisan inilah terjadi pertukaran udara, O2 masuk ke dalam darah dan
CO2 dikeluarkan dari darah. Banyaknya gelembung paru-paru ini kurang lebih
700.000.000 buah (paru-paru kiri dan kanan).
Paru-paru kanan, terdiri dari 3 lobus, Lobus Pulmo dekstra superior, Lobus media,
dan lobus inferior. Tiap lobus tersusun oleh lobulus.
Paru-paru kiri, terdiri dari; Pulmo sinester lobus supeirior dan lobus inferior. Tiap-tiap
lobus terdiri dari belahan-belahan yang lebih kecil bernama segment.
Paru-paru kiri mempunyai 10 segmen yaitu; 5 (lima) buah segment pada lobus
superior, dan 5 (lima) buah segment pada inferior. Paru-paru kanan mempunyai 10
segmen yaitu;5 (lima) buah segmen pada lobus superior; 2 (dua) buah segmen
pada lobus medialis, dan 3 (tiga) buah segmen pada lobus inferior. Tiap-tiap
segmen ini masih terbagi lagi menjadi belahan-belahan yang bernama lobulus.
Diantara lobulus satu dengan yang lainnya dibatasi oleh jaringan ikal yang berisi
pembuluh-pembuluh darah getah bening dan saraf-saraf, dalam tiap-tiap lobulus
terdapat sebuah bronkiolus. Di dalam lobulus, bronkiolus ini bercabang-cabang
banyak sekali, cabang-cabang ini disebut duktus alveolus. Tiap-tiap duktus alveolus
berakhir pada alveolus yang diameternya antara 0,2 - 0,3 mm.
2.3. Klasifikasi
Penyakit yang termasuk dalam Penyakit Obstruktif Kronik (PPOK) antara lain:
1. Bronkitis kronik
A. Etiologi
b. Infeksi sinus paranasalis dan Rongga mulut, merupakan sumber bakteri yang
dapat menyerang dinding bronchus.
B. Patofisiologi
Dinding bronchial meradang dan menebal (seringkali sampai dua kali ketebalan
normal) dan mengganggu aliran udara. Mukus kental ini bersama-sama dengan
produksi mukus yang banyak akan menghambat beberapa aliran udara kecil dan
mempersempit saluran udara besar. Bronchitis kronis mula-mula mempengaruhi
hanya pada bronchus besar, tetapi biasanya seluruh saluran nafas akan terkena.
Mukus yang kental dan pembesaran bronchus akan mengobstruksi jalan nafas,
terutama selama ekspirasi. Jalan nafas mengalami kollaps, dan udara terperangkap
pada bagian distal dari paru-paru. Obstruksi ini menyebabkan penurunan ventilasi
alveolar, hypoxia dan asidosis.
Klien terlihat cyanosis. Sebagai kompensasi dari hipoxemia, maka terjadi polisitemia
(overproduksi eritrosit). Pada saat penyakit memberat, diproduksi sejumlah sputum
yang hitam, biasanya karena infeksi pulmonary.
Selama infeksi klien mengalami reduksi pada FEV dengan peningkatan pada RV dan
FRC. Jika masalah tersebut tidak ditanggulangi, hypoxemia akan timbul yang
akhirnya menuju penyakit cor pulmonal dan CHF.
Peningkatan PaCO2
Penurunan PaO2
C. Manifestasi Klinis
Batuk produktif, kronis pada bulan-bulan musim dingin adalah tanda dini bronkhitis
kronis. Batuk mungkin dapat diperburuk oleh cuaca yang dingin, lembab, dan iritan
paru. Pasien biasanya mempunyai riwayat merokok dan sering mengalami infeksi
pernafasan.
2. Emfisema Paru
A. Tipe:
B. Etiologi
C. Patofisiologi
Pada saat alveoli dan septa kollaps, udara akan tertahan diantara ruang alveolar
(disebut blebs) dan diantara parenkim paru (disebut bullae). Proses ini akan
menyebabkan peningkatan ventilatory pada "dead space" atau area yang tidak
mengalami pertukaran gas atau darah. Kerja nafas meningkat dikarenakan
terjadinya kekurangan fungsi jaringan paru untuk melakukan pertukaran oksigen
dan karbon dioksida.
Emfisema juga menyebabkan destruksi kapiler paru, lebih lanjut terjadi penurunan
perfusi oksigen dan penurunan ventilasi. Pada beberapa tingkat emfisema dianggap
normal sesuai dengan usia, tetapi jika hal ini timbul pada awal kehidupan (usia
muda), biasanya berhubungan dengan bronchitis kronis dan merokok.
Overdistensi
Penurunan ventilasi
D. Manifestasi Klinis
1. Dispnea
4. Pada perkusi: hiperesonans dan penurunan fremitus pada seluruh bidang paru
2.4. Etiologi
Penyakit ini dikaitkan dengan faktor-faktor risiko yang terdapat pada penderita
antara lain:
2. Polusi udara
4. Umur
5. Jenis kelamin
6. Ras
Pengaruh dari masing-masing faktor risiko terhadap terjadinya PPOK adalah saling
memperkuat dan faktor merokok dianggap yang paling dominan.
2.5. Patofisiologi
Fungsi paru mengalami kemunduran dengan datangnya usia tua yang disebabkan
elastisitas jaringan paru dan dinding dada makin berkurang. Dalam usia yang lebih
lanjut, kekuatan kontraksi otot pernapasan dapat berkurang sehingga sulit
bernapas.
Hal inilah yang menyebabkan adanya keluhan sesak napas dengan segala
akibatnya. Adanya obstruksi pada awal ekspirasi akan menimbulkan kesulitan
ekspirasi dan menimbulkan pemanjangan fase ekspirasi. Fungsi-fungsi paru:
ventilasi, distribusi gas, difusi gas, maupun perfusi darah akan mengalami
gangguan (Brannon, et al, 1993).
1. Kelemahan badan
2. Batuk
3. Sesak napas
1. Pemeriksaan radiologist
Pada bronchitis kronik secara radiologis ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
a. Tubular shadows atau farm lines terlihat bayangan garis-garis yang parallel,
keluar dari hilus menuju apeks paru. Bayangan tersebut adalah bayangan bronkus
yang menebal.
Pada bronchitis kronik terdapat VEP1 dan KV yang menurun, VR yang bertambah
dan KTP yang normal. Pada emfisema paru terdapat penurunan VEP1, KV, dan KAEM
(kecepatan arum ekspirasi maksimal) atau MEFR (maximal expiratory flow rate),
kenaikan KRF dan VR, sedangkan KTP bertambah atau normal. Keadaan diatas lebih
jelas pada stadium lanjut, sedang pada stadium dini perubahan hanya pada saluran
napas kecil (small airways). Pada emfisema kapasitas difusi menurun karena
permukaan alveoli untuk difusi berkurang.
Pada bronchitis PaCO2 naik, saturasi hemoglobin menurun, timbul sianosis, terjadi
vasokonstriksi vaskuler paru dan penambahan eritropoesis. Hipoksia yang kronik
merangsang pembentukan eritropoetin sehingga menimbulkan polisitemia. Pada
kondisi umur 55-60 tahun polisitemia menyebabkan jantung kanan harus bekerja
lebih berat dan merupakan salah satu penyebab payah jantung kanan.
3. Pemeriksaan EKG
Kelainan yang paling dini adalah rotasi clock wise jantung. Bila sudah terdapat kor
pulmonal terdapat deviasi aksis kekanan dan P pulmonal pada hantaran II, III, dan
aVF. Voltase QRS rendah Di V1 rasio R/S lebih dari 1 dan V6 rasio R/S kurang dari 1.
Sering terdapat RBBB inkomplet.
2.8. Penatalaksanaan
5. Pengobatan simtomatik.
3. Latihan dengan beban oalh raga tertentu, dengan tujuan untuk memulihkan
kesegaran jasmani.
c. Fisioterapi
6. Terapi oksigen jangka panjang bagi pasien yang mengalami gagal napas tipe
II dengan PaO2 (7,3 Pa (55 MMHg)
2.9. Komplikasi
1. Hipoxemia
2. Asidosis Respiratory
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia). Tanda yang muncul
antara lain : nyeri kepala, fatique, lethargi, dizzines, tachipnea.
3. Infeksi Respiratory
4. Gagal jantung
Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus
diobservasi terutama pada klien dengan dyspnea berat. Komplikasi ini sering kali
berhubungan dengan bronchitis kronis, tetapi klien dengan emfisema berat juga
dapat mengalami masalah ini.
5. Cardiac Disritmia
Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis
respiratory.
6. Status Asmatikus
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
Dari seluruh dampak di atas, maka diperlukan suatu asuhan keperawatan yang
komprehensif baik bio, psiko, sosial dan melalui proses perawatan yaitu mulai dari
pengkajian sampai evaluasi.
3.1. Pengkajian
6. Riwayat merokok?
5. Barrel chest?
a. Chest X-Ray :
c. TLC : Meningkat pada bronchitis berat dan biasanya pada asthma, menurun
pada emfisema.
Palpasi:
3. Perkusi:
6. Auskultasi:
1. Gagal/insufisiensi pernapasan
2. Hipoksemia
3. Atelektasis
4. Pneumonia
5. Pneumotoraks
6. Hipertensi paru
b. Intervensi keperawatan:
Bantu dalam pemberian tindakan nebuliser, inhaler dosis terukur, atau IPPB
Lakukan drainage postural dengan perkusi dan vibrasi pada pagi hari dan
malam hari sesuai yang diharuskan.
Ajarkan tentang tanda-tanda dini infeksi yang harus dilaporkan pada dokter
dengan segera: peningkatan sputum, perubahan warna sputum, kekentalan
sputum, peningkatan napas pendek, rasa sesak didada, keletihan.
b. Intervensi:
b. Intervensi keperawatan:
b. Intervensi keperawatan:
Kaji tingkat fungsi pasien yang terakhir dan kembangkan rencana latihan
berdasarkan pada status fungsi dasar.
Tingkatkan aktivitas secara bertahap; klien yang sedang atau tirah baring
lama mulai melakukan rentang gerak sedikitnya 2 kali sehari.
b. Intervensi keperawatan:
Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Catat derajat kesulitan
makan. Evaluasi berat badan dan ukuran tubuh.
Pesankan diet lunak, porsi kecil sering, tidak perlu dikunyah lama.
b. Intervensi keperawatan:
Atur posisi yang nyaman menjelang tidur, biasanya posisi high fowler.
b. Intervensi:
Ajarkan mengkoordinasikan pernapasan diafragmatik dengan aktivitas
seperti berjalan, mandi, membungkuk, atau menaiki tangga.
Dorong klien untuk mandi, berpakaian, dan berjalan dalam jarak dekat,
istirahat sesuai kebutuhan untuk menghindari keletihan dan dispnea berlebihan.
Bahas tindakan penghematan energi.
b. Intervensi keperawatan:
b. Intervensi keperawatan:
Ajarkan teknik relaksasi atau berikan rekaman untuk relaksasi bagi pasien.
Bantu pasien mengerti tentang tujuan jangka panjang dan jangka pendek;
ajarkan pasien tentang penyakit dan perawatannya.
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (COPD) merupakan suatu istilah yang sering
digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan
ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran
patofisiologi utamanya. Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan yang
dikenal dengan COPD adalah : Bronchitis kronis, emfisema paru-paru dan asthma
bronchiale (S Meltzer, 2001 : 595).
Ada beberapa penyebab Penyakit Paru Obstruktif Kronik (COPD) pengaruh dari
masing-masing faktor risiko terhadap terjadinya PPOK adalah saling memperkuat
dan faktor merokok dianggap yang paling dominan.
Asuhan keperawatan untuk pasien untuk pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK) di buat untuk memperingan penyakit, mencegah penyakit tersebut datang
kembali serta memperbaiki fungsi organ.
4.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Pasien, alih bahasa: I Made Kariasa, Ni Made
Sumarwati, edisi 3, Jakarta: EGC
Carpenito, Lynda Juall. 1997. Buku Saku Diagnosa Keperawatan, alih bahasa:
Yasmin Asih, edisi 6, Jakarta: EGC
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth, alih bahasa: Agung Waluyo (et. al.), vol. 1, edisi 8, Jakarta: EGC
http://kapukpkusolo.blogspot.com/2010/10/askep-ppok-penyakit-paru-
obstruktif.html
http://klinikblogger.blogspot.com/2009/03/emfisema-paru.html
http://nursingbegin.com/anatomi-fisiologi-saluran-pernafasan/
http://dhildhani.blogspot.com/2013/01/asuhan-keperawatan-pada-klien-
dengan_6.html