Professional Documents
Culture Documents
TRAUMA THORAK
2. KURNIASARI (10.320.0757)
Trauma dada adalah abnormalitas rangka dada yang disebabkan oleh benturan
pada dinding dada yang mengenai tulang rangka dada, pleura paru-paru, diafragma
ataupun isi mediastinal baik oleh benda tajam maupun tumpul yang dapat menyebabkan
gangguan system pernafasan.
Trauma thorax adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang dapat
menyebabkan kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari cavum thorax yang
disebabkan oleh benda tajam atau bennda tumpul dan dapat menyebabkan keadaan gawat
thorax akut.
Trauma thorax kebanyakan disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas yang umumnya
berupa trauma tumpul dinding thorax. Dapat juga disebabkanoleh karena trauma tajam
melalui dinding thorax. Kerangka rongga thorax, meruncing pada bagian atas dan
berbentuk kerucut terdiri dari sternum, 12 vertebra thoracalis, 10 pasang iga yang
berakhir di anterior dalam segmen tulang rawan dan 2 pasang yang melayang. Kartilago
dari 6 iga memisahkan articulasio dari sternum, kartilago ketujuh sampai sepuluh
berfungsi membentuk tepi kostal sebelum menyambung pada tepi bawah
sternum.Hipoksia, hiperkarbia, dan asidosis sering disebabkan oleh trauma thorax.
Hipokasia jaringan merupakan akibat dari tidak adekuatnya pengangkutan oksigen ke
jaringan oleh karena hipovolemia (kehilangan darah), pulmonaryventilation/perfusion
mismatch dan perubahan dalam tekanan intratthorax. Hiperkarbia lebih sering disebabkan
oleh tidak adekuatnya ventilasi akibat perubahan tekanan intrathorax atau penurunan
tingkat kesadaran. Asidosismetabolik disebabkan oleh hipoperfusi dari jaringan (syok)
B. Etiologi
1. Trauma Tembus
Trauma tembus, biasanya disebabkan tekanan mekanikal yang dikenakan
secara direk yang berlaku tiba-tiba pada suatu area fokal. Pisau atau projectile,
misalnya, akan menyebabkan kerusakan jaringan dengan stretching dan
crushing dan cedera biasanya menyebabkan batas luka yang sama dengan bahan
yang tembus pada jaringan. Berat ringannya cidera internal yang berlaku
2
tergantung pada organ yang telah terkena dan seberapa vital organ tersebut.
3
Gaya perusak berbanding lurus dengan massa dan percepatan (akselerasi); sesuai
dengan hukum Newton II (Kerusakan yang terjadi juga bergantung pada luas
jaringan tubuh yang menerima gaya perusak dari trauma tersebut).
Pada luka tembak perlu diperhatikan jenis senjata dan jarak tembak;
penggunaan senjata dengan kecepatan tinggi seperti senjata militer high velocity
(>3000 ft/sec) pada jarak dekat akan mengakibatkan kerusakan dan peronggaan
yang jauh lebih luas dibandingkan besar lubang masuk peluru.
2. Deselerasi
Kerusakan yang terjadi akibat mekanisme deselerasi dari jaringan.
Biasanya terjadi pada tubuh yang bergerak dan tiba-tiba terhenti akibat trauma.
Kerusakan terjadi oleh karena pada saat trauma, organ-organ dalam yang mobile
(seperti bronkhus, sebagian aorta, organ visera, dsb) masih bergerak dan gaya
yang merusak terjadi akibat tumbukan pada dinding thoraks/rongga tubuh lain
atau oleh karena tarikan dari jaringan pengikat organ tersebut.
3. Torsio dan rotasi
Gaya torsio dan rotasio yang terjadi umumnya diakibatkan oleh adanya
deselerasi organ-organ dalam yang sebagian strukturnya memiliki jaringan
pengikat/fiksasi, seperti Isthmus aorta, bronkus utama, diafragma atau atrium.
Akibat adanya deselerasi yang tiba-tiba, organ-organ tersebut dapat terpilin atau
terputar dengan jaringan fiksasi sebagai titik tumpu atau poros-nya.
4. Blast injury
Kerusakan jaringan pada blast injury terjadi tanpa adanya kontak langsung
dengan penyebab trauma. Seperti pada ledakan bom. Gaya merusak diterima oleh
tubuh melalui penghantaran gelombang energi.
4
3. Arah trauma
Arah gaya trauma atau lintasan trauma dalam tubuh juga sangat mentukan dalam
memperkirakan kerusakan organ atau jaringan yang terjadi. Perlu diingat adanya
efek ricochet atau pantulan dari penyebab trauma pada tubuh manusia. Seperti
misalnya : trauma yang terjadi akibat pantulan peluru dapat memiliki arah
(lintasan peluru) yang berbeda dari sumber peluru sehingga kerusakan atau organ
apa yang terkena sulit diperkirakan.
5
memiliki kemungkinan 22% sampai 28% mengalami cedera splenn. Trauma tajam
lebih jarang mengakibatkan fraktur iga, oleh karena luas permukaan trauma yang
sempit, sehingga gaya trauma dapat melalui sela iga. Fraktur iga bagian bawah
juga dapat diserati adanya trauma pada diafragma. Fraktur iga, termasuk iga
pertama dan kedua, secara statistic tidak dihubungkan dengan cedera aorta. Pada
faktanya, bayak ahli bedah trauma merekomendasikan angiografi computed
tomografi (CT) dada sebagai suatu alat skrining untuk cedera intrathoraks
tersembnyi pada pasien dengan trauma tumpul dada yang parah yang tidak diikuti
oleh temuan radiografi thoraks. Delapan persen pasien-pasien yang dibawa ke
trauma center setelah tabrakan kendaraan bermotor dengan kecepatan tinggi,
terjatuh sepanjang lebih dari 4,5 meter, atau telah ditabrak oleh sebuah mobil dan
terlempar lebih dari 3 meter memiliki tampilan cedera aorta pada angiografi CT
thoraks.
Adanya fraktur iga terutama kurang baik pada anak-anak dan orang tua.
Tulang anak-anak cepat mengalami kalsifikasi, konsekuensinya, dinding dada
mereka lebih rapuh dari pada orang dewasa. Fraktur tulang iga pada anak-anak
mengindikasikan suatu tingkat absorpsi energi yang tinggi daripada mungkin pada
perkiraan orang dewasa. Dengan suatu kesimpulan, ketiadaan fraktur tulang iga
pada anak tidak akan mengurangi perhatian untuk cedera intrathoraks yang parah.
Pada suatu penelitian dari 986 pasien anak dengan trauma tumpul dada, 2%
memiliki cedera thoraks yang parah tanpa bukti adanya trauma dinding dada. Tiga
puluh delapan persen anak dengan kontusio paru tidak memiliki bukti radiografi
adanya fraktur tulang iga. Tiga atau lebih fraktur iga yang terjadi berhubungan
dengan meningkatnya resiko trauma organ dalam dan mortalitas.
2. Flail Chest
Flail chest jarang terjadi, tapi merupakan cedera tumpul dinding dada yang
serius. Prevalensi flail chest pada pasien-pasien dengan cedera dinding dada
diperkirakan antara 5% sampai 13%.
Flail chest adalah area thoraks yang melayang (flail) oleh sebab adanya
fraktur iga multipel berturutan lebih dari 3 iga , dan memiliki garis fraktur lebih
dari 2 (segmented) pada tiap iganya dapat tanpa atau dengan fraktur sternum.
6
Akibatnya adalah: terbentuk area flail segmen yang mengambang akan bergerak
paradoksal (kebalikan) dari gerakan mekanik pernapasan dinding dada. Area
tersebut akan bergerak masuk saat inspirasi dan bergerak keluar pada ekspirasi,
sehingga udara inspirasi terbanyak memasuki paru kontralateral dan banyak udara
ini akan masuk pada paru ipsilateral selama fase ekspirasi, keadaan ini disebut
dengan respirasi pendelluft. Fraktur pada daerah iga manapun dapat menimbulkan
flail chest. Dinding dada mengambang (flail chest) ini sering disertai dengan
hemothoraks, pneumothoraks, hemoperikardium maupun hematoma paru yang
akan memperberat keadaan penderita. Komplikasi yang dapat ditimbulkan yaitu
insufisiensi respirasi dan jika korban trauma masuk rumah sakit, atelectasis dan
berikut pneumonia dapat berkembang. Diagnosis flail chest ditetapkan dengan
mengobservasi gerakan paradoksal dari tempat yang dicurigai pada keadaan napas
spontan. Pada inspirasi, segmen flail ditarik kedalam oleh tekanan negative
intrathoraks. Dengan ekshalasi, kekuatan tekanan positif segmen akan menonjol
kearah luar.
Gambar 1. Tampak adanya gerakan nafas paradoksal pada flail chest (dikutip dari
www.doktermedis.com)
7
Gambar 2: Flail chest physiology. (From Mayberry JC, Trunkey DD. The fractured rib in
chest wall trauma, Chest Surg Clin N Am 1997;7:239 61; with permission.)
3. Fraktur Klavikula
Klavikula adalah salah satu tulang pada tubuh yang paling sering
mengalami cedera dan merupakan fraktur yang paling sering berhubungan dengan
proses kelahiran. Klavikula, atau tulang kerah, adalah tulang yang relative lurus
yang menghubungkan sternum dengan tulang scapula. Klavikula dapat mengalami
fraktur melalui pukulan langsung ke daerah tersebut, atau lebih umum, karena
terjatuh pada ujung bahu.
1. Pneumothoraks
8
menyebabkan peningkatan tekanan negatif intrapleura dan akan mengganggu
proses pengembangan paru. Pneumothoraks merupakan salah satu akibat dari
trauma tumpul yang sering terjadi akibat adanya penetrasi fraktur iga pada
parenkim paru dan laserasi paru. Pneumothoraks terbagi atas tiga yaitu:
a. Simple pneumothoraks
Simple pneumothoraks yaitu pneumothoraks yang tidak disertai
peningkatan tekanan intra thoraks yang progresif. Ciri-cirinya adalah paru
pada sisi yang terkena akan kolaps (parsial atau total), tidak ada
mediastinal shift. Pada pemeriksaan fisik didapatkan bunyi nafas
melemah, hyperresonance (perkusi), pengembangan dada menurun.
b. Tension pneumothoraks
Tension Pneumothoraks adalah pneumothoraks yang disertai
peningkaan tekanan intra thoraks yang semakin lama, semakin bertambah
(progresif). Pada tension pneumothoraks ditemukan mekanisme ventil
yaitu udara dapat masuk dengan mudah, tetapi tidak dapat keluar. Ciri-
cirinya yaitu terjadi peningkatan intra thoraks yang progresif, sehingga
terjadi kolaps paru total, mediastinal shift (pendorongan mediastinum ke
kontralateral), deviasi trakea. Pada pemeriksaan fisik di dapatkan sesak
yang bertambah berat dengan cepat, takipneu, hipotensi.
9
Gambar 3. Tension Pneumothoraks
c. Open Pneumothorak
10
11
Gambar4. Open Pneumothoraks (dikutip dari www.anatomyaatlasses.org)
2. Hemothoraks (Hematothoraks)
12
Gambar 5. Tampak gambaran hemothoraks pada sisi kiri foto thoraks
3. Kontusio Paru
Kontusio paru terjadi pada kecelakaan lalu lintas dengan kecepatan tinggi,
jatuh dari tempat yang tinggi dan luka tembak dengan peluru cepat (high velocity)
maupun setelah trauma tumpul thoraks, dapat pula terjadi pada trauma tajam
dengan mekanisme perdarahan dan edema parenkim. Penyulit ini sering terjadi
pada trauma dada dan potensial menyebabkan kematian. Proses, tanda dan gejala
mungkin berjalan pelan dan makin memburuk dalam 24 jam pasca trauma. Tanda
dan gejalanya adalah sesak nafas/dyspnea, hipoksemia, takikardi, suara nafas
berkurang atau tidak terdengar pada sisi kontusio, patah tulang iga, sianosis.
4. Laserasi Paru
Laserasi paru adalah robekan pada parenkim paru akibat trauma tajam atau
trauma tumpul keras yang disertai fraktur iga sehingga dapat menimbulkan
hemothoraks dan pneumothoraks. Mekanisme terjadinya pneumothoraks oleh
karena meningkatnya tekanan intraalveolar yang disebabkan adanya tubrukan
yang kuat pada thoraks dan robekan pada percabangan trakeobronchial atau
esophagus. Perdarahan dari laserasi paru dapat berhenti, menetap, atau berulang.
13
Foto dada PA menunjukkan massa
lobus kanan atas berbatasan dengan
permukaan pleura terkait metalik
fragmen peluru.
Pada foto follow up pasien 72jam kemudian menunjukkan adanya massa cavitas
(dikutip dari http://radiology.med.miami.edu)
1. Ruptur Trakeobronkial
Ruptur trakea dan bronkus utama
(rupture trakeobronkial) dapat
disebabkan oleh trauma tajam maupun
trauma tumpul dimana angka kematian
akibat penyulit ini adalah 50%. Pada
trauma tumpul ruptur terjadi pada saat
glottis tertutup dan terdapat
peningkatan hebat dan mendadak dari
tekanan saluran trakeobronkial yang
melewati batas elastisitas saluran
trakeobronkial ini. Kemungkinan
14
kejadian ruptur bronkus utama meningkat pada trauma tumpul thoraks yang disertai
dengan fraktur iga 1 sampai 3, lokasi tersering adalah pada daerah karina dan
percabangan bronkus. Pneumothoraks, pneumomediatinum, emfisema subkutan dan
hemoptisis, sesak nafas,dan sianosis dapat merupakan gejala dari ruptur ini.(5)
2. Ruptur Esofagus
Ruptur esofagus lebih sering terjadi pada trauma tajam dibanding trauma
tumpul thoraks dan lokasi ruptur oleh karena trauma tumpul paling sering pada 1/3
bagian bawah esofagus. Akibat ruptur esofagus akan terjadi kontaminasi rongga
mediastinum oleh cairan saluran pencernaan bagian atas sehingga terjadi mediastinitis
yang akan memperburuk keadaan penderitanya. Keluhan pasien berupa nyeri tajam
yang mendadak di epigastrium dan dada yang menjalar ke punggung. Sesak nafas,
sianosis dan syok muncul pada fase yang sudah terlambat
3. Tamponade Jantung
Tamponade jantung terdapat pada 20% penderita dengan trauma thoraks yang
berat, trauma tajam yang mengenai jantung akan menyebabkan tamponade jantung
dengan gejala trias Beck yaitu distensi vena leher, hipotensi dan menurunnya suara
jantung. Kontusio miokardium tanpa disertai ruptur dapat menjadi penyebab
tamponade jantung. Patut dicurigai seseorang mengalami trauma jantung bila
terdapat: trauma tumpul di daerah anterior, fraktur pada sternum, trauma
tembus/tajam pada area prekordial (parasternal kanan, sela iga II kiri, garis mid
klavikula kiri, arkus kosta kiri). Pada otopsi ditemukan sebuah daerah yang terbatas
dan tersering pada ventrikel kanan dan menyerupai suatu infark, perdarahan yang
mencolok
4. Kontusio Jantung
Cedera ini mengacu pada luka atau memar pada miokardium (otot jantung).
Kontusio (memar) miokardium adalah hasil dari cedera yang melibatkan kekuatan
tumpul yang mengarah ke dada (misalnya kecelakaan lalu lintas).
15
Tidak terdapat gejala spesifik yang timbul dari contusio jantung. Kondisi ini
sering hadir bersamaan dengan kontusio paru dan fraktur sternum, yang keduanya
dapat menyebabkan nyeri dada dan sesak napas. Setiap kecelakaan kendaraan
bermotor yang mengakibatkan benturan dada dengan alat kemudi dapat menghasilkan
cedera miokard.
5. Ruptur Aorta
Aorta adalah arteri terbesar dalam tubuh. Aorta bertanggung jawab terhadap
pengiriman oksigen darah ke seluruh jaringan tubuh. Saat aorta keluar dari jantung,
aorta turun dari dada menuju perut/ abdomen. Aorta thorakalis sering bermasalah
terhadap kekuatan deselerasi cepat, yang sering terjadi pada suatu kecelakaan
kendaraan bermotor (cedera depan), ketika dada terbentur dengan alat kemudi. Ruptur
aorta sering menyebabkan kematian penderitanya, diperkirakan penyebab kedua
tersering kematian pada pasien dengan cedera dada dan lokasi ruptur tersering adalah
di bagian proksimal arteri subklavia kiri dekat ligamentum arteriosum. Hanya kira-
kira 15% dari penderita trauma dada dengan ruptur aorta ini dapat mencapai rumah
sakit untuk mendapatkan pertolongan. Kecurigaan adanya ruptur aorta dari foto
thoraks bila didapatkan mediastinum yang melebar, fraktur iga 1 dan 2, trakea
terdorong ke kanan, gambaran aorta kabur, dan penekanan bronkus utama kiri.(5)
6. Ruptur Diafragma
16
diafragma akibat trauma tembus pada daerah thoraks inferior. Pada keadaan ini
trauma tembus juga akan melukai organ-organ lain (intra thoraks atau intra
abdominal). Ruptur umumnya terjadi di puncak kubah diafragma, ataupun kita bisa
curigai bila terdapat luka tusuk dada yang didapatkan pada: dibawah ICS 4 anterior, di
daerah ICS 6 lateral, di daerah ICS 8 posterior. Kejadian ruptur diafragma lebih sering
terjadi di sebelah kiri daripada sebelah kanan. Kematian dapat terjadi dengan cepat
setelah terjadinya trauma oleh karena shock dan perdarahan pada cavum pleura kiri.
1. General Impressions
17
a. Memeriksa kondisi yang mengancam nyawa secara umum.
b. Menentukan keluhan utama atau mekanisme cedera
c. Menentukan status mental dan orientasi (waktu, tempat, orang)
2. Pengkajian Airway
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa responsivitas
pasien dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada atau tidaknya
sumbatan jalan nafas. Seorang pasien yang dapat berbicara dengan jelas maka jalan
nafas pasien terbuka (Thygerson, 2011). Pasien yang tidak sadar mungkin
memerlukan bantuan airway dan ventilasi. Tulang belakang leher harus dilindungi
selama intubasi endotrakeal jika dicurigai terjadi cedera pada kepala, leher atau
dada. Obstruksi jalan nafas paling sering disebabkan oleh obstruksi lidah pada
kondisi pasien tidak sadar (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara lain :
a. Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara atau bernafas
dengan bebas?
b. Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain:
1) Adanya snoring atau gurgling
2) Stridor atau suara napas tidak normal
3) Agitasi (hipoksia)
4) Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest movements
5) Sianosis
c. Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian atas dan
potensial penyebab obstruksi :
1) Muntahan
2) Perdarahan
3) Gigi lepas atau hilang
4) Gigi palsu
5) Trauma wajah
d. Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien terbuka.
e. Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada pasien yang
berisiko untuk mengalami cedera tulang belakang.
f. Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien sesuai
indikasi :
18
1) Chin lift/jaw thrust
2) Lakukan suction (jika tersedia)
3) Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal Mask
Airway
4) Lakukan intubasi
19
4) Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced airway
procedures
5) Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa lainnya dan
berikan terapi sesuai kebutuhan.
4. Pengkajian Circulation
20
a. A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi perintah
yang
diberikan
b. V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang tidak bisa
dimengerti
c. P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika
ekstremitas
awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk merespon)
d. U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus nyeri
maupun stimulus verbal.
Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien. Jika pasien
diduga memiliki cedera leher atau tulang belakang, imobilisasi in-line penting untuk
dilakukan. Lakukan log roll ketika melakukan pemeriksaan pada punggung pasien.
Yang perlu diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan pada pasien adalah
mengekspos pasien hanya selama pemeriksaan eksternal. Setelah semua
pemeriksaan telah selesai dilakukan, tutup pasien dengan selimut hangat dan jaga
privasi pasien, kecuali jika diperlukan pemeriksaan ulang.
Dalam situasi yang diduga telah terjadi mekanisme trauma yang mengancam
jiwa, maka Rapid Trauma Assessment harus segera dilakukan:
a. Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada pasien
b. Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam nyawa
pasien luka dan mulai melakukan transportasi pada pasien yang
berpotensi tidak stabil atau kritis.
21
Pemeriksaan Primary Survey Pada Kasus Trauma Thorak
1. Open Pnemothorak
Apabila lubang ini lebih besar daripada 2/3 diameter trachea, maka pada
inspirasi udara mungkin lebih mudah melewati lubang pada dinding dada
disbanding melewati mulut, sehingga terjadi sesak yang hebat. Dengan demikian
maka pada open pneumothorak, usaha pertama adalah menutup lubang pada
dinding dada ini sehinggaopen pneumothorak menjadi close pneumothorak
(tertutup). Harus segara ditambahkan bahwa apabila selain lubangpada dinding
dada, juga ada lubang pada paru, maka usaha menutup lbang ini secara total
(occlusive dressing) dapat mengakibatkan terjadinya tension pneumothorak.
Dengan demikian maka yang harus dilakukan adalah:
22
Pemeriksaan fisik menunjukkan adanya hipersonor dan hilangnya suara
napas pada sisi paru yang terkena. Diagnosis tension pneumothorak harus segera
ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis dan terapi tidak boleh terlambat oleh
karena menunggu konfirmasi radiologis.
3. Hematothorak Masif
Pada keadaan ini terjadi perdarahan hebat dalam rongga dada (lebih 1500
cc). Hal ini sering disebabkan oleh luka tembus/tumpul yang merusak pembuluh
darah sistemik atau pembuluh darah sistemik atau pembuluh darah pada hilus paru.
Tidak banyak yang dapat dilakukan pra rumah sakit pada keadaan ini.
Satu-satunya cara adalah membawa penderita secepat mungkin ke rumah sakit
dengan harapan masih dapat terselamatkan dengan tindakan operatif. Terapi awal
adalah dengan penggantian volume darah yang dilakukan bersama dengan
dekompresi rongga pleura dan keputusan torakotomi diambil bila didapatkan
kehilangan darah awal lebih dari 1500 ml atau kehilangan terus-menerus 200
cc/jam dalam waktu 2-4 jam.
4. Flail Chest
Tulang iga patah pada 2 tempat, pada lebih dari 2 iga, sehingga ada satu
segmen dinding dada yang tidak ikut pada pernapasan. Pada ekspirasi, segmen
23
akan menonjol keluar, pada inspirasi justru akan masuk ke dalam. Ini dikenal
sebagai pernapasan paradoksal. Kelainan ini akan mengganggu ventilasi, namun
lebih diwaspadai adalah adanya kontusio paru. Sesak berat yang mungkin terjadi
harus dibantu dengan oksigenasi dan mungkin diperluka ventilasi tambahan. Di
rumah sakit penderita akan dipasang pada respirator, apabila analisis gas darah
menunjukkan pO2 yang rendah atau pCO2 yang tinggi.
5. Temponade Jantung
24
Alur Primary Survey pada Pasien Medical Dewasa (Pre-Hospital Emergency Care
Council, 2012) :
25
Alur Primary Survey pada Pasien Trauma Dewasa (Pre-Hospital Emergency Care
Council, 2012) :
26
F. Pemeriksaan Secondary Survey
1. Anamnesis
Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat pasien yang
merupakan bagian penting dari pengkajian pasien. Riwayat pasien meliputi
keluhan utama, riwayat masalah kesehatan sekarang, riwayat medis, riwayat
keluarga, sosial, dan sistem. (Emergency Nursing Association, 2007). Pengkajian
riwayat pasien secara optimal harus diperoleh langsung dari pasien, jika berkaitan
dengan bahasa, budaya, usia, dan cacat atau kondisi pasien yang terganggu,
konsultasikan dengan anggota keluarga, orang terdekat, atau orang yang pertama
kali melihat kejadian. Anamnesis yang dilakukan harus lengkap karena akan
memberikan gambaran mengenai cedera yang mungkin diderita. Beberapa contoh:
a. Tabrakan frontal seorang pengemudi mobil tanpa sabuk pengaman: cedera
wajah, maksilo-fasial, servikal. Toraks, abdomen dan tungkai bawah.
b. Jatuh dari pohon setinggi 6 meter perdarahan intra-kranial, fraktur servikal atau
vertebra lain, fraktur ekstremitas.
c. Terbakar dalam ruangan tertutup: cedera inhalasi, keracunan CO.
Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari
pasien dan keluarga (Emergency Nursing Association, 2007):
A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester, makanan)
M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang menjalani
pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau penyalahgunaan
obat
P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang
pernah
diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan herbal)
L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi
berapa
27
jam sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi termasuk dalam
komponen ini)
E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian yang
menyebabkan adanya keluhan utama)
Ada beberapa cara lain untuk mengkaji riwayat pasien yang disesuaikan
dengan kondisi pasien. Pada pasien dengan kecenderungan konsumsi alkohol,
dapat digunakan beberapa pertanyaan di bawah ini (Emergency Nursing
Association, 2007):
C. have you ever felt should Cut down your drinking?
A. have people Annoyed you by criticizing your drinking?
G. have you ever felt bad or Guilty about your drinking?
E. have you ever had a drink first think in the morning to steady your nerver
or get rid of a hangover (Eye-opener)
Jawaban Ya pada beberapa kategori sangat berhubungan dengan masalah
konsumsi alkohol.
Pada kasus kekerasan dalam rumah tangga akronim HITS dapat digunakan
dalam proses pengkajian. Beberapa pertanyaan yang diajukan antara lain : dalam
setahun terakhir ini seberapa sering pasanganmu (Emergency Nursing
Association, 2007):
Hurt you physically?
Insulted or talked down to you?
Threathened you with physical harm?
Screamed or cursed you?
Akronim PQRST ini digunakan untuk mengkaji keluhan nyeri pada pasien
yang meliputi :
Provokes/palliates : apa yang menyebabkan nyeri? Apa yang membuat
nyerinya lebih baik? apa yang menyebabkan nyerinya lebih buruk? apa yang
anda lakukan saat nyeri? apakah rasa nyeri itu membuat anda terbangun saat
tidur?
28
Quality : bisakah anda menggambarkan rasa nyerinya?apakah seperti diiris,
tajam, ditekan, ditusuk tusuk, rasa terbakar, kram, kolik, diremas? (biarkan
pasien mengatakan dengan kata-katanya sendiri.
Radiates: apakah nyerinya menyebar? Menyebar kemana? Apakah nyeri
terlokalisasi di satu titik atau bergerak?
Severity : seberapa parah nyerinya? Dari rentang skala 0-10 dengan 0 tidak
ada nyeri dan 10 adalah nyeri hebat
Time : kapan nyeri itu timbul?, apakah onsetnya cepat atau lambat? Berapa
lama nyeri itu timbul? Apakah terus menerus atau hilang timbul?apakah
pernah merasakan nyeri ini sebelumnya?apakah nyerinya sama dengan nyeri
sebelumnya atau berbeda?
Berikut ini adalah ringkasan tanda-tanda vital untuk pasien dewasa menurut
Emergency Nurses Association,(2007).
Suhu 36,5-37,5
Dapat di ukur melalui oral, aksila, dan
rectal. Untuk mengukur suhu inti
menggunakan kateter arteri pulmonal,
kateter urin, esophageal probe, atau
monitor tekanan intracranial dengan
pengukur suhu. Suhu dipengaruhi oleh
aktivitas, pengaruh lingkungan, kondisi
penyakit, infeksi dan injury.
29
inspeksi dari usaha bernafas. Tada dari
peningkatan usah abernafas adalah
adanya pernafasan cuping hidung,
retraksi interkostal, tidak mampu
mengucapkan 1 kalimat penuh.
2.
30
3. Pemeriksaan Fisik
a. Kulit kepala
Seluruh kulit kepala diperiksa. Sering terjadi pada penderita yang datang
dengan cedera ringan, tiba-tiba ada darah di lantai yang berasal dari bagian
belakang kepala penderita. Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan
wajah untuk adanya pigmentasi, laserasi, massa, kontusio, fraktur dan luka
termal, ruam, perdarahan, nyeri tekan serta adanya sakit kepala (Delp &
Manning. 2004).
b. Wajah
Ingat prinsip look-listen-feel. Inspeksi adanya kesimterisan kanan dan kiri.
Apabila terdapat cedera di sekitar mata jangan lalai memeriksa mata, karena
pembengkakan di mata akan menyebabkan pemeriksaan mata selanjutnya menjadi
sulit. Re evaluasi tingkat kesadaran dengan skor GCS.
1) Mata : Periksa kornea ada cedera atau
tidak, ukuran pupil apakah
isokor atau anisokor serta bagaimana reflex cahayanya,
apakah pupil mengalami miosis atau midriasis, adanya
ikterus, ketajaman mata (macies visus dan acies campus),
apakah konjungtivanya anemis atau adanya kemerahan,
rasa nyeri, gatal-gatal, ptosis, exophthalmos,
subconjunctival perdarahan, serta diplopia
2) Hidung :Periksa adanya perdarahan, perasaan
nyeri, penyumbatan
penciuman, apabila ada deformitas (pembengkokan)
lakukan palpasi akan kemungkinan krepitasi dari suatu
fraktur.
3) Telinga :Periksa adanya nyeri, tinitus,
pembengkakan, penurunan
atau hilangnya pendengaran, periksa dengan senter
mengenai keutuhan membrane timpani atau adanya
hemotimpanum
4) Rahang atas : Periksa stabilitas rahang atas
31
5) Rahang bawah : Periksa akan adanya fraktur
6) Mulut dan faring : Inspeksi pada bagian mucosa terhadap
tekstur, warna,
kelembaban, dan adanya lesi; amati lidah tekstur, warna,
kelembaban, lesi, apakah tosil meradang, pegang dan
tekan daerah pipi kemudian rasakan apa ada massa/ tumor,
pembengkakkan dan nyeri, inspeksi amati adanya tonsil
meradang atau tidak (tonsillitis/amandel). Palpasi adanya
respon nyeri
d. Toraks
e. Abdomen
32
kelumpuhan (penderita tidak sadar akan nyeri perutnya dan gejala defans otot dan
nyeri tekan/lepas tidak ada). Inspeksi abdomen bagian depan dan belakang, untuk
adanya trauma tajam, tumpul dan adanya perdarahan internal, adakah distensi
abdomen, asites, luka, lecet, memar, ruam, massa, denyutan, benda tertusuk,
ecchymosis, bekas luka , dan stoma. Auskultasi bising usus, perkusi abdomen,
untuk mendapatkan, nyeri lepas (ringan). Palpasi abdomen untuk mengetahui
adakah kekakuan atau nyeri tekan, hepatomegali,splenomegali,defans muskuler,,
nyeri lepas yang jelas atau uterus yang hamil. Bila ragu akan adanya perdarahan
intra abdominal, dapat dilakukan pemeriksaan DPL (Diagnostic peritoneal
lavage, ataupun USG (Ultra Sonography). Pada perforasi organ berlumen
misalnya usus halus gejala mungkin tidak akan nampak dengan segera karena itu
memerlukan re-evaluasi berulang kali. Pengelolaannya dengan transfer penderita
ke ruang operasi bila diperlukan
f. Pelvis (perineum/rectum/vagina)
Cedera pada pelvis yang berat akan nampak pada pemeriksaan fisik (pelvis
menjadi stabil), pada cedera berat ini kemungkinan penderita akan masuk dalam
keadaan syok, yang harus segera diatasi. Bila ada indikasi pasang PASG/ gurita
untuk mengontrol perdarahan dari fraktur pelvis.
Pelvis dan perineum diperiksa akan adanya luka, laserasi , ruam, lesi,
edema, atau kontusio, hematoma, dan perdarahan uretra. Colok dubur harus
dilakukan sebelum memasang kateter uretra. Harus diteliti akan kemungkinan
adanya darah dari lumen rectum, prostat letak tinggi, adanya fraktur pelvis, utuh
tidaknya rectum dan tonus musculo sfinkter ani. Pada wanita, pemeriksaan colok
vagina dapat menentukan adanya darah dalam vagina atau laserasi, jika terdapat
perdarahan vagina dicatat, karakter dan jumlah kehilangan darah harus dilaporkan
(pada tampon yang penuh memegang 20 sampai 30 mL darah). Juga harus
dilakuakn tes kehamilan pada semua wanita usia subur. Permasalahan yang ada
adalah ketika terjadi kerusakan uretra pada wanita, walaupun jarang dapat terjadi
pada fraktur pelvis dan straddle injury. Bila terjadi, kelainan ini sulit dikenali, jika
pasien hamil, denyut jantung janin (pertama kali mendengar dengan Doppler
ultrasonografi pada sekitar 10 sampai 12 kehamilan minggu) yang dinilai untuk
frekuensi, lokasi, dan tempat. Pasien dengan keluhan kemih harus ditanya tentang
33
rasa sakit atau terbakar dengan buang air kecil, frekuensi, hematuria, kencing
berkurang, Sebuah sampel urin harus diperoleh untuk analisis.(Diklat RSUP Dr.
M.Djamil, 2006).
g. Ektremitas
Pemeriksaan dilakukan dengan look-feel-move. Pada saat inspeksi, jangan
lupa untuk memriksa adanya luka dekat daerah fraktur (fraktur terbuak), pada saat
pelapasi jangan lupa untuk memeriksa denyut nadi distal dari fraktur pada saat
menggerakan, jangan dipaksakan bila jelas fraktur. Sindroma kompartemen
(tekanan intra kompartemen dalam ekstremitas meninggi sehingga membahayakan
aliran darah), mungkin luput terdiagnosis pada penderita dengan penurunan
kesadaran atau kelumpuhan. Inspeksi pula adanya kemerahan, edema, ruam, lesi,
gerakan, dan sensasi harus diperhatikan, paralisis, atropi/hipertropi otot,
kontraktur, sedangkan pada jari-jari periksa adanya clubbing finger serta catat
adanya nyeri tekan, dan hitung berapa detik kapiler refill (pada pasien hypoxia
lambat s/d 5-15 detik.
Penilaian pulsasi dapat menetukan adanya gangguan vaskular. Perlukaan
berat pada ekstremitas dapat terjadi tanpa disertai fraktur.kerusakn ligament dapat
menyebabakan sendi menjadi tidak stabil, keruskan otot-tendonakan mengganggu
pergerakan. Gangguan sensasi dan/atau hilangnya kemampuan kontraksi otot
dapat disebabkan oleh syaraf perifer atau iskemia. Adanya fraktur torako lumbal
dapat dikenal pada pemeriksaan fisik dan riwayat trauma. Perlukaan bagian lain
mungkin menghilangkan gejala fraktur torako lumbal, dan dalam keadaan ini
hanya dapat didiagnosa dengan foto rongent. Pemeriksaan muskuloskletal tidak
lengkap bila belum dilakukan pemeriksaan punggung penderita. Permasalahan
yang muncul adalah
1) Perdarahan dari fraktur pelvis dapat berat dan sulit dikontrol, sehingga terjadi
syok yang dpat berakibat fatal
2) Fraktur pada tangan dan kaki sering tidak dikenal apa lagi penderita dalam
keadaan tidak sada. Apabila kemudian kesadaran pulih kembali barulah
kelainan ini dikenali.
3) Kerusakan jaringan lunak sekitar sendi seringkali baru dikenal setelah
penderita mulai sadar kembali (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006).
34
h. Bagian punggung
Memeriksa punggung dilakukan dilakukan dengan log roll, memiringkan
penderita dengan tetap menjaga kesegarisan tubuh). Pada saat ini dapat dilakukan
pemeriksaan punggung. Periksa`adanya perdarahan, lecet, luka, hematoma,
ecchymosis, ruam, lesi, dan edema serta nyeri, begitu pula pada kolumna vertebra
periksa adanya deformitas.
i. Neurologis
1. Fraktur Iga
Fraktur iga dicurigai apabila terdapat deformitas, nyeri, tekan pada palpasi
dan krepitas. Plester iga, pengikat iga, dan bidai eksternal merupakan
kontraindikasi, yang terpenting adalah menghilangkan rasa sakit agar penderita
35
dapat bernapas dengan baik. Terkadang hal ini memerlukan blok anastesi
interkostal, ataupun menggunakan analgesia sistemik. Patah tulang iga sendiri
tidak berbahaya dan pada pra rumah sakit tidak memerlukan tindakan apa-apa.
Yang harus lebih diwaspadai adalah timbulnya pneumothorak atau hematothorak.
2. Kontusio Paru
Pemadatan paru karena trauma timbulnya agak lambat sehingga fase pra
rumah sakit tidak menimbulkan masalah. Kegagalan bernafas dapat timbul
perlahan dan berkembang sesuai waktu, tidak langsung terjadi setelah kejadian,
sehingga penanganan definitive dapat berubah berdasarkan perubahan waktu.
Monitoring harus dilakukan ketat dan berhati-hati, juga diperlukan evaluasi
penderita yang berulang-ulang.
3. Ruptur Aorta
4. Ruptur Diafragma
36
5. Perforasi Eosofagus
37
e. Perhatikan keadaan dan banyaknya cairan suction.
Perdarahan dalam 24 jam setelah operasi umumnya 500 - 800 cc. Jika
perdarahan dalam 1 jam melebihi 3 cc/kg/jam, harus dilakukan torakotomi.
Jika banyaknya hisapan bertambah/berkurang, perhatikan juga secara
bersamaan keadaan pernapasan.
f. Suction harus berjalan efektif :
1) Perhatikan setiap 15 - 20 menit selama 1 - 2 jam setelah operasi dan
setiap 1 - 2 jam selama 24 jam setelah operasi.
2) Perhatikan banyaknya cairan, keadaan cairan, keluhan pasien, warna
muka, keadaan pernapasan, denyut nadi, tekanan darah.
3) Perlu sering dicek, apakah tekanan negative tetap sesuai petunjuk jika
suction kurang baik, coba merubah posisi pasien dari terlentang, ke 1/2
terlentang atau 1/2 duduk ke posisi miring bagian operasi di bawah
atau di cari penyababnya misal : slang tersumbat oleh gangguan darah,
slang bengkok atau alat rusak, atau lubang slang tertutup oleh karena
perlekatanan di dinding paru-paru
g. Perawatan "slang" dan botol WSD/ Bullow drainage.
1) Cairan dalam botol WSD diganti setiap hari , diukur berapa cairan
yang keluar kalau ada dicatat.
2) Setiap hendak mengganti botol dicatat pertambahan cairan dan adanya
gelembung udara yang keluar dari bullow drainage.
3) Penggantian botol harus "tertutup" untuk mencegah udara masuk yaitu
meng"klem" slang pada dua tempat dengan kocher.
4) Setiap penggantian botol/slang harus memperhatikan sterilitas botol
dan slang harus tetap steril.
5) Penggantian harus juga memperhatikan keselamatan kerja diri-sendiri,
dengan memakai sarung tangan.
6) Cegah bahaya yang menggangu tekanan negatip dalam rongga dada,
misal : slang terlepas, botol terjatuh karena kesalahan dll
h. Dinyatakan berhasil, bila :
1) Paru sudah mengembang penuh pada pemeriksaan fisik dan radiologi.
2) Darah cairan tidak keluar dari WSD / Bullow drainage.
3) Tidak ada pus dari selang WSD.
38
DAFTAR PUSTAKA
39