You are on page 1of 11

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN

KEPERAWATAN PADA TUBERKULOSIS PARU PADA

ANAK

Dosen Pembimbing : Monika S,s.kep.Ns.,M.kep

Di Susun Oleh : Septian Eka Wardana (151702030)

D III KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

PEMKAB JOMBANG

2016/2017
LAPORAN PENDAHULUAN:

A. Pengertian TBC
Penyakit TBC adalah penyakit menular yang disebabkan oleh mikrobakterium
tuberkulosis. Kuman batang aerobik dan tahan asam ini dapat merupakan organisme patogen
maupun saprofit. Sebagian besar kuman TBC menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ
tubuh lainya(Depkes RI, 2002).Penyakit tuberkulosis disebabkan oleh kuman/bakteri
Mycobacteriumtuberculosis. Kuman ini pada umumnya menyerang paru - paru dan sebagianlagi
dapat menyerang di luar paru - paru, seperti kelenjar getah bening(kelenjar), kulit, usus/saluran
pencernaan, selaput otak, dan sebagianya(Laban, 2008).

B. Etiologi
Tuberkulosis anak merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis. Kuman ini menyebar dari satu orang ke orang lain melalui percikan dahak (droplet
nuclei) yang dibatukkan. Jadi kalau Cuma bersin atau tukar-menukar piring atau gelas minum
tidak akan terjadi penularan (Aditama, 2000).
1. Merokok pasif
Merokok pasif bisa berdampak pada sistem kekebalan anak, sehingga meningkatkan risiko
tertular. Pajanan pada asap rokok mengubah fungsi sel, misalnya dengan menurunkan tingkat
kejernihan zat yang dihirup dan kerusakan kemampuan penyerapan sel dan pembuluh darah
(Reuters Health, 2007).
2. Faktor Risiko TBC anak (admin., 2007)
a. Resiko infeksi TBC
Anak yang memiliki kontak dengan orang dewasa dengan TBC aktif, daerah endemis,
penggunaan obat-obat intravena, kemiskinan serta lingkungan yang tidak sehat. Pajanan terhadap
orang dewasa yang infeksius. Resiko timbulnya transmisi kuman dari orang dewasa ke anak akan
lebih tinggi jika pasien dewasa tersebut mempunyai BTA sputum yang positif, terdapat infiltrat
luas pada lobus atas atau kavitas produksi sputum banyak dan encer, batuk produktif dan kuat
serta terdapat faktor lingkungan yang kurang sehat, terutama sirkulasi udara yang tidak baik.
Pasien TBC anak jarang menularkan kuman pada anak lain atau orang dewasa disekitarnya,
karena TBC pada anak jarang infeksius, hal ini disebabkan karena kuman TBC sangat jarang
ditemukan pada sekret endotracheal, dan jarang terdapat batuk5. Walaupun terdapat batuk tetapi
jarang menghasilkan sputum. Bahkan jika ada sputum pun, kuman TBC jarang sebab hanya
terdapat dalam konsentrasi yang rendah pada sektret endobrokial anak.
b. Resiko Penyakit TBC
Anak 5 tahun mempunyai resiko lebih besar mengalami progresi infeksi menjadi sakit
TBC, mungkin karena imunitas selulernya belum berkembang sempurna (imatur). Namun, resiko
sakit TBC ini akan berkurang secara bertahap seiring pertambahan usia. Pada bayi < 1 tahun
yang terinfeksi TBC, 43% nya akan menjadi sakit TBC, sedangkan pada anak usia 1-5 tahun,
yang menjadi sakit hanya 24%, pada usia remaja 15% dan pada dewasa 5-10%. Anak < 5 tahun
memiliki resiko lebih tinggi mengalami TBC diseminata dengan angka kesakitan dan kematian
yang tinggi . Konversi tes tuberkulin dalam 1- 2 tahun terakhir, malnutrisi, keadaan
imunokompromis, diabetes melitus, gagal ginjal kronik dan silikosis. Status sosial ekonomi yang
rendah, penghasilan yang kurang, kepadatan hunian, pengangguran, dan pendidikan yang rendah.

C. Patofisologi
Berbeda dengan TBC pada orang dewasa, TBC pada anak tidak menular. Pada TBC anak,
kuman berkembang biak di kelenjar paru-paru. Jadi, kuman ada di dalam kelenjar, tidak terbuka.
Sementara pada TBC dewasa, kuman berada di paru-paru dan membuat lubang untuk keluar
melalui jalan napas. Nah, pada saat batuk, percikan ludahnya mengandung kuman. Ini yang
biasanya terisap oleh anak-anak, lalu masuk ke paru-paru (Wirjodiardjo, 2008).
Proses penularan tuberculosis dapat melalui proses udara atau langsung, seperti saat
batuk. Terdapat dua kelompok besar penyakit ini diantaranya adalah sebagai berikut: tuberculosis
paru primer dan tuberculosis post primer. Tuberculosis primer sering terjadi pada anak, proses ini
dapat dimulai dari proses yang disebut droplet nuklei, yaitu statu proses terinfeksinya partikel
yang mengandung dua atau lebih kuman tuberculosis yang hidup dan terhirup serta diendapkan
pada permukaan alveoli, yang akan terjadi eksudasi dan dilatasi pada kapiler, pembengkakan sel
endotel dan alveolar, keluar fibrin serta makrofag ke dalam alveolar spase. Tuberculosis post
primer, dimana penyakit ini terjadi pada pasien yang sebelumnya terinfeksi oleh kuman
Mycobacterium tuberculosis (Hidayat, 2008).
Sebagian besar infeksi tuberculosis menyebar melalui udara melalui terhirupnya nukleus
droplet yang berisikan mikroorganisme basil tuberkel dari seseorang yang terinfeksi.
Tuberculosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh respon imunitas yang diperantarai oleh sel
dengan sel elector berupa makropag dan limfosit (biasanya sel T) sebagai sel imuniresponsif.
Tipe imunitas ini melibatkan pengaktifan makrofag pada bagian yang terinfeksi oleh limfosit dan
limfokin mereka, responya berupa reaksi hipersentifitas selular (lambat). Basil tuberkel yang
mencapai permukaan alveolar membangkitkan reaksi peradangan yaitu ketika leukosit
digantikan oleh makropag. Alveoli yang terlibat mengalami konsolidasi dan timbal pneumobia
akut, yang dapat sembuh sendiri sehingga tidak terdapat sisa, atau prosesnya dapat berjalan terus
dengan bakteri di dalam sel-sel (Price dan Wilson, 2006).
Drainase limfatik basil tersebut juta masuk ke kelenjar getah bening regional dan
infiltrasi makrofag membentuk tuberkel sel epitelloid yang dikelilingi oleh limfosit. Nekrosis sel
menyebabkan gambaran keju (nekrosis gaseosa), jeringan grabulasi yang disekitarnya pada sel-
sel epitelloid dan fibroblas dapat lebih berserat, membentuk jatingan parut kolagenosa,
menghasilkan kapsul yang mengeliligi tuberkel. Lesi primer pada paru dinamakan fokus ghon,
dan kombinasi antara kelenjar getah bening yang terlibat dengan lesi primer disebut kompleks
ghon. Kompleks ghon yang mengalami kalsifikasi dapat terlihat dalam pemeriksaan foto thorax
rutin pada seseorang yang sehat (Price dan Wilson, 2006).
Tuberculosis paru termasuk insidias. Sebagian besar pasien menunjukkan demam tingkat
rendah, keletihan, anorexia, penurunan berat badan, berkeringat malam, nyeri dada dan batuk
menetal. Batuk pada awalnya mungkin nonproduktif, tetapi dapat berkembang ke arah
pembentukan sputum mukopurulen dengan hemoptisis. Tuberculosis dapat mempunyai
manifestasi atipikal pada anak seperti perilaku tidak biasa dan perubahan status mental, demam ,
anorexia dan penurunan berat badan. Basil tuberkulosis dapat bertahan lebih dari 50 tahun dalam
keadaan dorman (Smeltzer dan Bare, 2002).
Menurut Admin (2007) patogenesis penyakit tuberkulosis pada anak terdiri atas :
1. Infeksi Primer
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TBC. Droplet
yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosilier
bronkus, dan terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat
kuman TBC berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru, yang
mengakibatkan peradangan di dalam paru. Saluran limfe akan membawa kuman TBC ke kelenjar
limfe di sekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer predileksinya disemua lobus,
70% terletak subpelura. Fokus primer dapat mengalami penyembuhan sempurna, kalsifikasi atau
penyebaran lebih lanjut. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer
adalah sekitar 4-6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi
tuberkulin dari negatif menjadi positif.
Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang masuk dan
besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh
tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TBC2. Meskipun demikian, ada beberapa
kuman akan menetap sebagai kuman persister atau dormant (tidur). Kadang kadang daya tahan
tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang
bersangkutan akan menjadi penderita TBC. Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai
terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan.
2. TBC Pasca Primer (Post Primary TBC)
TBC pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi
primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang
buruk. Ciri khas dari TBC pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya
kavitas atau efusi pleura.

D. Manifestasi Klinik
Menurut Wirjodiardjo (2008) gejala TBC pada anak tidak serta-merta muncul. Pada saat-
saat awal, 4-8 minggu setelah infeksi, biasanya anak hanya demam sedikit. Beberapa bulan
kemudian, gejalanya mulai muncul di paru-paru. Anak batuk-batuk sedikit. Tahap berikutnya (3-
9 bulan setelah infeksi), anak tidak napsu makan, kurang gairah, dan berat badan turun tanpa
sebab. Juga ada pembesaran kelenjar di leher, sementara di paru-paru muncul gambaran vlek.
Pada saat itu, kemungkinannya ada dua, apakah akan muncul gejala TBC yang benar-benar atau
sama sekali tidak muncul. Ini tergantung kekebalan anak. Kalau anak kebal (daya tahan tubuhnya
bagus), TBC-nya tidak muncul. Tapi bukan berarti sembuh. Setelah bertahun-tahun, bisa saja
muncul, bukan di paru-paru lagi, melainkan di tulang, ginjal, otak, dan sebagainya. Ini yang
berbahaya dan butuh waktu lama untuk penyembuhannya.
Riwayat penyakit TBC anak sulit dideteksi penyebabnya, Penyebab TBC adalah kuman
TBC (mycobacterium tuberculosis). Sebetulnya, untuk mendeteksi bakteri TBC (dewasa) tidak
begitu sulit. Pada orang dewasa bisa dideteksi dengan pemeriksaan dahak langsung dengan
mikroskop atau dibiakkan dulu di media. Mendeteksi TBC anak sangat sulit, karena tidak
mengeluarkan kuman pada dahaknya dan gejalanya sedikit. Diperiksa dahaknya pun tidak akan
keluar, sehingga harus dibuat diagnosis baku untuk mendiagnosis anak TBC sedini mungkin.
Yang harus dicermati pada saat diagnosis TBC anak adalah riwayat penyakitnya. Apakah ada
riwayat kontak anak dengan pasien TBC dewasa. Kalau ini ada, agak yakin anak positif TBC
(Wirjodiardjo, 2008).
Gejala-gejala lain untuk diagnosa antara lain (Wirjodiardjo, 2008):
1. Apakah anak sudah mendapat imunisasi BCG semasa kecil. Atau reaksi BCG sangat cepat.
Misalnya, bengkak hanya seminggu setelah diimunisasi BCG. Ini juga harus dicurigai TBC,
meskipun jarang.
2. Berat badan anak turun tanpa sebab yang jelas, atau kenaikan berat badan setiap bulan
berkurang.
3. Demam lama atau berulang tanpa sebab. Ini juga jarang terjadi. Kalaupun ada, setelah diperiksa,
ternyata tipus atau demam berdarah.
4. Batuk lama, lebih dari 3 minggu. Ini terkadang tersamar dengan alergi. Kalau tidak ada alergi
dan tidak ada penyebab lain, baru dokter boleh curiga kemungkinan anak terkena TBC.
5. Pembesaran kelenjar di kulit, terutama di bagian leher, juga bisa ditengarai sebagai kemungkinan
gejala TBC. Yang sekarang sudah jarang adalah adanya pembesaran kelenjar di seluruh tubuh,
misalnya di selangkangan, ketiak, dan sebagainya.
6. Mata merah bukan karena sakit mata, tapi di sudut mata ada kemerahan yang khas.
7. Pemeriksaan lain juga dibutuhkan diantaranya pemeriksaan tuberkulin (Mantoux Test, MT) dan
foto. Pada anak normal, Mantoux Test positif jika hasilnya lebih dari 10 mm. Tetapi, pada anak
yang gizinya kurang, meskipun ada TBC, hasilnya biasanya negatif, karena tidak memberikan
reaksi terhadap MT.
Menurut Supriyatno (2009) skrining tuberkulosis pada anak antara lain : Sesungguhnya
mendiagnosa tuberculosis pada anak, terlebih pada anak-anak yang masih sangat kecil, sangat
sulit. Diagnosa tepat TBC tak lain dan tak bukan adalah dengan menemukan adanya
Mycobacterium tuberculosis yang hidup dan aktif dalam tubuh suspect TB atau orang yang
diduga TBC. Caranya? Yang paling mudah adalah dengan melakukan tes dahak. Pada orang
dewasa, hal ini tak sulit dilakukan. Tapi lain ceritanya, pada anak-anak karena mereka, apalagi
yang masih usia balita, belum mampu mengeluarkan dahak. Karenanya, diperlukan alternatif
lain untuk mendiagnosa TB pada anak.
Kesulitan lainnya, tanda-tanda dan gejala TB pada anak seringkali tidak spesifik (khas).
Cukup banyak anak yang overdiagnosed sebagai pengidap TB, padahal sebenarnya tidak. Atau
underdiagnosed, maksudnya terinfeksi atau malah sakit TB tetapi tidak terdeteksi sehingga tidak
memperoleh penanganan yang tepat. Diagnosa TBC pada anak tidak dapat ditegakkan hanya
dengan 1 atau 2 tes saja, melainkan harus komprehensif. Karena tanda-tanda dan gejala TB pada
anak sangat sulit dideteksi, satu-satunya cara untuk memastikan anak terinfeksi oleh kuman TB,
adalah melalui uji Tuberkulin (tes Mantoux). Tes Mantoux ini hanya menunjukkan apakah
seseorang terinfeksi Mycobacterium tuberculosis atau tidak, dan sama sekali bukan untuk
menegakkan diagnosa atas penyakit TB. Sebab, tidak semua orang yang terinfeksi kuman TB
lalu menjadi sakit TB.
Sistem imun tubuh mulai menyerang bakteri TB, kira-kira 2-8 minggu setelah terinfeksi.
Pada kurun waktu inilah tes Mantoux mulai bereaksi. Ketika pada saat terinfeksi daya tahan
tubuh orang tersebut sangat baik, bakteri akan mati dan tidak ada lagi infeksi dalam tubuh.
Namun pada orang lain, yang terjadi adalah bakteri tidak aktif tetapi bertahan lama di dalam
tubuh dan sama sekali tidak menimbulkan gejala. Atau pada orang lainnya lagi, bakteri tetap
aktif dan orang tersebut menjadi sakit TB.
Uji ini dilakukan dengan cara menyuntikkan sejumlah kecil (0,1 ml) kuman TBC, yang
telah dimatikan dan dimurnikan, ke dalam lapisan atas (lapisan dermis) kulit pada lengan bawah.
Lalu, 48 sampai 72 jam kemudian, tenaga medis harus melihat hasilnya untuk diukur. Yang
diukur adalah indurasi (tonjolan keras tapi tidak sakit) yang terbentuk, bukan warna
kemerahannya (erythema). Ukuran dinyatakan dalam milimeter, bukan centimeter. Bahkan bila
ternyata tidak ada indurasi, hasil tetap harus ditulis sebagai 0 mm.
Secara umum, hasil tes Mantoux ini dinyatakan positif bila diameter indurasi berukuran
sama dengan atau lebih dari 10 mm. Namun, untuk bayi dan anak sampai usia 2 tahun yang
tanpa faktor resiko TB, dikatakan positif bila indurasinya berdiameter 15 mm atau lebih. Hal ini
dikarenakan pengaruh vaksin BCG yang diperolehnya ketika baru lahir, masih kuat.
Pengecualian lainnya adalah, untuk anak dengan gizi buruk atau anak dengan HIV, sudah
dianggap positif bila diameter indurasinya 5 mm atau lebih.
Namun tes Mantoux ini dapat memberikan hasil yang negatif palsu (anergi), artinya hasil
negatif padahal sesungguhnya terinfeksi kuman TB. Anergi dapat terjadi apabila anak
mengalami malnutrisi berat atau gizi buruk (gizi kurang tidak menyebabkan anergi), sistem imun
tubuhnya sedang sangat menurun akibat mengkonsumsi obat-obat tertentu, baru saja divaksinasi
dengan virus hidup, sedang terkena infeksi virus, baru saja terinfeksi bakteri TB, tata laksana tes
Mantoux yang kurang benar. Apabila dicurigai terjadi anergi, maka tes harus diulang.

E. Penatalaksanaan Medis
Menurut Price dan Wilson (2006) pengobatan TBC terutama berupa pemberian obat
antimikroba dalam jangka waktu lama. Obat-obat ini juga dapat digunakan untuk mencegah
timbulnya penyakit klinis. ATS (1994) menekankan tiga prinsip dalam pengobatan tuberculosis
yang berdasarkan pada:
1. Regimen harus termasuk obat-obat multiple yang sensitif terhadap mikroorganisme.
2. Obat-obatan harus diminum secara teratur.
3. Terapi obat harus dilakukan terus menerus dalam waktu yang cukup untuk menghasilkan terapi
yang paling efektif dan paling aman pada waktu yang paling singkat.
Obat anti tuberculosis (OAT) harus diberikan dalam kombinasi sedikitnya dua obat yang
bersifat bakterisid dengan atau tanpa obat ketiga. Tujuan dari pengobatan ini adalah (FKUI,
2001):
1. Membuat konversi sputum BTA positif menjadi negatif secepat mungkin melalui kegiatan
bakterisid.
2. Mencegah kekambuhan dalam tahun pertama estela pengobatan dengan kegiatan sterilisasi.
3. Menghilangkan atau mengurangi gejala dan lesi melalui perbaikan daya tahan imunologis.

F. Penatalaksanaan Perawatan
Menurut Hidayat (2008) perawatan anak dengan tuberculosis dapat dilakukan dengan
melakukan :
1. Pemantauan tanda-tanda infeksi sekunder
2. Pemberian oksigen yang adekuat
3. Latihan batuk efektif
4. Fisioterapi dada
5. Pemberian nutrisi yang adekuat
6. Kolaburasi pemberian obat antutuberkulosis (seperti: isoniazid, streptomisin, etambutol,
rifamfisin, pirazinamid dan lain-lain)
7. Intervensi yang dapat dilakukan untuk menstimulasi pertumbuhan perkembangan anak yang
tenderita tuberculosis dengan membantu memenuhi kebutuhan aktivitas sesuai dengan usia dan
tugas perkembangan, yaitu (Suriadi dan Yuliani, 2001) :
a. Memberikan aktivitas ringan yang sesuai dengan usia anak (permainan, ketrampilan tangan,
vidio game, televisi)
b. Memberikan makanan yang menarik untuk memberikan stimulus yang bervariasi bagi anak
c. Melibatkan anak dalam mengatur jadual harian dan memilih aktivitas yang diinginkan
d. Mengijinkan anak untuk mengerjakan tugas sekolah selama di rumah sakit, menganjurkan anak
untuk berhubungan dengan teman melalui telepon jika memungkinkan
ASUHAN KEPERAWATAN:

1. Pengkajian
a. Identitas Data Umum (selain identitas klien, juga identitas orangtua; asal kota dan daerah,
jumlah keluarga)
b. Keluhan Utama (penyebab klien sampai dibawa ke rumah sakit)
c. Riwayat kehamilan dan kelahiran
d. Riwayat penyakit terdahulu
e. Riwayat Penyakit Sekarang (Tanda dan gejala klinis TB serta terdapat benjolan/bisul pada
tempat-tempat kelenjar seperti: leher, inguinal, axilla dan sub mandibula)
f. Riwayat Keluarga (adakah yang menderita TB atau Penyakit Infeksi lainnya, Biasanya keluarga
ada yang mempunyai penyakit yang sama)
g. Pola fungsi kesehatan.
- Keadaan umum: alergi, kebiasaan, imunisasi.
- Pola nutrisi metabolik. Anoreksia, mual, tidak enak diperut, BB turun, turgor kulit jelek, kulit
kering dan kehilangan lemak sub kutan, sulit dan sakit menelan, turgor kulit jelek.
- Pola aktifitas-latihan Sesak nafas, fatique, tachicardia, aktifitas berat timbul sesak nafas (nafas
pendek).
- Pola tidur dan istirahat : sulit tidur, berkeringat pada malam hari.
- Pola kognitif perseptual. Kadang terdapat nyeri tekan pada nodul limfa, nyeri tulang umum,
takut, masalah finansial, umumnya dari keluarga tidak mampu
- .Pola persepsi diri. Anak tidak percaya diri, pasif, kadang pemarah.
- Pola peran hubungan Anak menjadi ketergantungan terhadap orang lain (ibu/ayah)/tidak
mandiri.
h. Pemeriksaan fisik
- Demam: sub fibril, fibril (40-41C)
- Batuk: terjadi karena adanya iritasi pada bronkus; batuk ini membuang/ mengeluarkan produksi
radang, dimulai dari batuk kering sampai batuk purulen (menghasilkan sputum).
- Sesak nafas: terjadi bila sudah lanjut, dimana infiltrasi radang sampai setengah paru.
- Nyeri dada: ini jarang ditemukan, nyeri timbul bila infiltrasi radang sampai ke pleura.
- Malaise: ditemukan berupa anoreksia, berat badan menurun, sakit kepala, nyeri otot dan kering
diwaktu malam hari.
- Pada tahap dini sulit diketahui. Ronchi basah, kasar dan nyaring. Hipersonor/timpani bila
terdapat kavitas yang cukup dan pada auskultasi memberi suara limforik. Atropi dan retraksi
interkostal pada keadaan lanjut dan fibrosis. Bila mengenai pleura terjadi efusi pleura (perkusi
memberikan suara pekak).

2. Diagnosa keperawatan
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi sputum
b. Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit
c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan nafsu
makan

3. Perencanaan
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi sputum
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan jalan nafas kembali efektif dalam waktu 324
jam. Dengan kriteria hasil :Sekret berkurang sampai dengan hilang, pernafasan dalam batas
normal 40-60x/menit
Intervensi:
- Kaji fungsi pernapasan: bunyi napas, kecepatan, kedalaman dan penggunaan otot aksesori.
R : untuk mengetahui tingkat sakit dan tindakan apa yang harus dilakukan
- Catat kemampuan untuk mengeluarkan secret atau batuk efektif, catat karakter, jumlah sputum,
adanya hemoptisis.
R : untuk mengetahui perkembangan kesehatan pasien
- Berikan pasien posisi semi atau fowler,
R: semi fowler memudahkan pasien untuk bernafas
- Bersihkan sekret dari mulut dan trakea, suction bila perlu.
R : untuk mencegah penyebaran infeksi
- Berikan terapi oksigen
R : pemberian oksigen dapat memudahkan pasien untuk bernafas
b. Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien tidak demam dalam waktu 324 jam.
Dengan kriteria hasil : tidak terjadi penyebaran infeksi
Intervensi:
- Mengidentifikasi orang-orang yang beresiko untuk terjadinya infeksi seperti anggota keluarga,
teman, orang dalam satu perkumpulan. Memberitahukan kepada mereka untuk mempersiapkan
diri untuk mendapatkan terapi pencegahan.
R : Pengetahuan dan terapi dapat meminimalkan kerentanan terjadinya penyebaran
- Anjurkan klien menampung dahaknya jika batuk
R : Kebiasaan ini untuk mencegah terjadinya penularan infeksi.
- Gunakan masker setiap melakukan tindakan
R : Masker dapat mengurangi resiko penyebaran infeksi
- Monitor temperature
R : untuk mengetahui adanya indikasi terjadinya infeksi. Febris merupakan indikasi terjadinya
infeksi.
- Kolaborasi Pemberian terapi untuk anak
R : Kerja sama akan mempercepat proses penyembuhan
- Monitor sputum BTA. Klien dengan 3 kali pemeriksaan BTA negatif, terapi diteruskan sampai
batas waktu yang ditentukan.
R : Pemantauan untuk terapi yang akan dilaksanakan selanjutnya
c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan nafsu
makan
Tujuan : setelah dilakukan tndakan keperawatn 3x24 jam nutrisi pasien adekuat.
Kriteria hasil : Keluarga klien dapat menjelaskan penyebab gangguan nutrisi yang dialami
klien, pemulihan kebutuhan nutrisi, susunan menu dan pengolahan makanan sehat seimbang.
Dengan bantuan perawat, keluarga klien dapat mendemonstrasikan pemberian diet (per sonde/per
oral) sesuai program diet.
Intervensi:
- Tekankan pentingnya asupan diet Tinggi Kalori Tinggi Protein (TKTP) dan intake cairan yang
adekuat.
R: agar pemenuhan nutrisi terpenuhi sehingga penyembuhan bisa lebih cepat
- Tunjukkan cara pemberian makanan per sonde, beri kesempatan keluarga untuk melakukannya
sendiri.
R : Meningkatkan partisipasi keluarga dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi klien, mempertegas
peran keluarga dalam upaya pemulihan status nutrisi klien.
- Laksanakan pemberian roborans sesuai program terapi.
R : Roborans, meningkatkan nafsu makan, proses absorbsi dan memenuhi defisit yang menyertai
keadaan malnutrisi.
- Timbang berat badan, ukur lingkar lengan atas dan tebal lipatan kulit setiap pagi.
R : Menilai perkembangan masalah klien.
- Memberi makan lewat parenteral ( D 5% )
R : Mengganti zat-zat makanan secara cepat melalui parenteral

4. Evaluasi
Tahap evaluasi dalam proses keperawatan menyangkut pengumpulan data subyektif dan
obyektif yang akan menunjukkan apakah tujuan pelayanan keperawatan sudah dicapai atau
belum. Bila perlu langkah evaluasi ini merupakan langkah awal dari identifikasi dan analisa
masalah selanjutnya.

You might also like