You are on page 1of 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kuntowijoyo mengalami kegelisahan intelektual melihat fenomena

keberagamaan umat Islam di Indonesia yang masih di belenggu oleh berbagai mitos

sebagai akibat dari proses agrarisasi masuknya Islam ke Indonesia. Selain itu,

dibukanya kran industrialisasi-informasi, semakin mengarah pada sekularisasi agama.

Untuk itulah kemudian Kunto melontarkan gagasannya mengenai Paradigma Islam.

Sebuah tawaran konsep mendekati dan memahami agama Islam dengan

menggunakan pendekatan historis-sosiologis yang darinya akan melahirkan lima

program re-interpretasi. Kelima program dimaksud adalah pengembangan penafsiran

dari individual menjadi sosial struktural, mengubah Islam normatif menjadi teoritis,

mengubah pemahaman a historis menjadi historis, reorientasi berfikir dari subjektif

ke arah objektif, dan mereformulasi wahyu yang bersifat umum menjadi khusus.
BAB II

PEMBAHASAN

Sejarah pertumbuhan gerakan pembaruan Islam di Indonesia sudah berjalan

hampir satu abad. Selama rentang waktu itu banyak terjadi perubahan, baik yang

bersifat sosial, politik, ekonomi maupun perubahan sikap dan pandangan hidup umat

Islam yang disebabkan oleh adanya perubahan-perubahan masa dan situasi politik

yang penuh gejolak dan pergolakan.

Pola, sasaran dan unsur-unsur gerakan pembaruan tersebut sangat dipengaruhi

oleh perubahan-perubahan ini. Semangat dan kecenderungannya pun menjadi berbeda

dilihat dari tingkat pemahaman terhadap corak perubahan yang terjadi, ruang lingkup

dan batas-batas yang memungkinkan ditolelirnya perubahan dan pembaharuan.

Karena itu, dalam makalah ini penulis mencoba membahas unsur-unsur gerakan

pembaruan tersebut, lewat pemikiran Kuntowijoyo yang tertuang dalam beberapa

karya dan tulisannya di berbagai tempat, terutama yang berkaitan dengan gagasan

paradigma Islam dan transformasi sosialnya.

I. Pemikiran Kuntowijoyo

Kuntowijoyo (selanjutnya disebut Kunto), pemikir yang dikenal sangat

optimis akan masa depan Islam, dan sosok yang oleh Fakhri Ali dan Bachtiar Efendy

dimasukkan dalam kelompok sosialisme-demokrasi Islam disamping Dawam Raharjo

dan Adi Sasono ini, lahir di Yogyakarta, 18 September 1943. Pemikiran keislamannya

ditempa dalam berbagai aktivitas sosial dan budaya. Ia pernah aktif di PII dan

kelompok diskusi Limited Group. Selama menjadi mahasiswa dia banyak aktif dalam

bidang kesenian dan kebudayaan sehingga dia lebih dikenal sebagai seorang
sastrawan dan budayawan. Karya sastranya banyak yang diterbitkan dan mendapat

penghargaan. Interesnya yang sangat besar terhadap masalah sosial umat Islam juga

dilatarbelakangi oleh bidang keilmuan yang ditekuninya, yaitu ilmu sejarah. Dia

menyelesaikan sarjananya di fakultas sastra jurusan sejarah UGM pada 1969. Gelar

MA-nya diperoleh dari University of Connecticut, USA, sedang Ph.D dalam studi

sejarah dari University of Columbia pada 1980 dengan disertasi berjudul: Social

Change in Agrarian Society: Madura 1850-1940.

Selain hal di atas, ada dua hal penting yang melatar belakangi pemikirannya

terutama dalam merumuskan gagasan-gagasannya tentang Islam. Pertama,

perhatiannya yang sangat besar terhadap pola pikir masyarakat yang masih

dibelenggu mitos-mitos dan kemudian berkembang hanya sampai pada tingkat

ideologi. Menurutnya, Islam yang masuk ke Indonesia telah mengalami agrarisasi.

Peradaban Islam yang bersifat terbuka, global, kosmopolit dan merupakan mata-

rantai penting peradaban dunia telah mengalami penyempitan dan stagnasi dalam

bentuk budaya-budaya lokal.

Untuk itu dia melakukan analisis-analisis historis dan kultural untuk melihat

perkembangan umat Islam di Indonesia. Kondisi seperti ini telah mendorongnya

untuk melontarkan gagasan-gagasan transformasi sosial melalui re-interpretasi nilai-

nilai Islam, yang menurutnya sejak awal telah mendorong manusia berpikir secara

rasional dan empiris.

Kedua, adanya respon terhadap tantangan masa depan yang cenderung

mereduksi agama dan menekankan sekularisasi sebagai keharusan sejarah.

Industrialisasi dan teknokratisasi akan melahirkan moralitas baru yang menekankan

pada rasionalitas ekonomi, pencapaian perorangan dan kesamaan. Ini mendorongnya


melontarkan gagasannya tentang paradigma Islam, terutama yang berkaitan dengan

rumusan teori ilmu-ilmu sosial Islam.

II. Al-Quran Sebagai Paradigma : Interpretasi Untuk Aksi

Uraian-uraian tentang Islam di Indonesia yang disoroti oleh Kunto lewat

pendekatan historis-sosiologis, sebenarnya ingin diarahkan pada suatu grand project,

yaitu menjadikan al-Quran sebagai paradigma Islam. Paradigma ini dimaksudkan

untuk membangun teori-teori sosial khas Islam yang disebutnya ilmu-ilmu sosial

profetik. Paradigma ini dimaksudkan sebagai mode of thought, mode of inquiry, yang

kemudian menghasilkan mode of knowing. Dengan pengertian paradigmatik ini, dari

al-Quran dapat diharapkan suatu konstruksi pengetahuan yang memungkinkan

memahami realitas sebagaimana al-Quiran memahaminya. Demikian lebih lanjut,

Kunto menjelaskan:

Paradigma al-Quran berarti suatu konstruksi pengetahuan. Konstruksi

pengetahuan itu pada mulanya dibangun dengan tujuan agar kita memeiliki hikmah

untuk membentuk perilaku yang sejalan dengan sistem Islam, termasuk sistem ilmu

pengetahuannya. Jadi, disamping memberikan gambaran aksiologis, paradigma al-

Quran juga dapat berfungsi untuk memberikan wawasan epistemologis.

Sebagai contoh, kata Kunto, statemen-statemen yang terdapat dalam al-

Quran dan hadits adalah nilai-nilai normatif. Nilai-nilai normatif ini ada dua, yaitu

niali-nilai praktis yang dapat diaktualkan dalam perilaku sehari-hari dan nilai-nilai

yang harus diterjemahkan dulu dalam bentuk teori sebelum diterapkan dalam

perilaku. Nilai-nilai pertama menurutnya telah dikembangkan dalam bentuk ilmu


fiqh, sedang yang kedua perlu ditransformasikan dalam bentuk ilmu-ilmu sosial

Islam. Cara yang kedua ini lebih relevan pada saat ini, jika kita ingin melakukan

restorasi terhadap masyarakat Islam dalam konteks masyarakat industri. Sampai

sekarang ini menurut Konto, kita kekurang ini. Kita memang sudah didesak untuk

segera memikirkan metode transformasi nilai Islam pada level yang empiris melalui

diciptakannya ilmu-ilmu sosial Islam.

Tampaknya pemikiran Kunto tentang paradigma al-Quran ini dipengaruhi

oleh pemikiran Fazlur Rahman tentang operasi metodologi tafsir. Cara kerja

metodologis penafsiran Rahman yang berusaha memehami al-Quran, aktivitas Nabi

dan latar sosio-historisnya diarahkan pada perumusan kembali suatu Islam yang utuh,

koheren serta berorientasi kepada masa kini. untuk itu menurut Rahman perlu lebih

dahulu perumusan pandangan dunia al-Quran.

Sehubungan dengan perumusan worldview al-Quran ini, Rahman

mengemukakan bahwa prinsip penafsiran dengan latar belakang sosio-historis tidak

diterapkan dengan cara yang sama dengan perumusan etika al-Quran, atau oleh

Kunto disebut nilai normatif praktis. Menurut Rahman, untuk pertanyaan-pertanyaan

teologis atau metafisis, latar belakang spesisfik turunnya wahyu tidak dibutuhkan.

Hanya saja dalam merumuskan pandangan dunia al-Quran tersebut, Rahman

tampaknya lebih cenderung menggunakan prosedur sintesis.

Menurut Kunto, salah satu pendekatan yang menurutnya perlu diperkenalkan

dalam rangka mendapatkan pemahaman yang konprehensif terhadap al-Quran

adalah apa yang dinamakan pendekatan sintetik-analitik. Pendekatan ini menganggap

bahwa pada dasarnya kandungan al-Quran itu terdiri dari dua bagian, pertama berisi
konsep-konsep yang disebut ideal-type, dan kedua berisi kisah-kisah sejarah dan

amsal-amsal yang disebut arche-type.

Dalam bagian yang berisi konsep-konsep, al-Quran bermaksud membentuk

pemahaman yang konprehensif mengenai ajaran Islam. Sedang dalam bagian yang

berisi kisah-kisah historis, al-Quran ingin mengajak melakukan perenungan untuk

memperoleh wisdom. Dengan pendekatan sintetik dimaksudkan untuk menonjolkan

nilai subjektif-normatifnya, dengan tujuan mengembangkan perspektif etik dan moral

individual. Sedangkan dengan pendekatan analitik dimaksudkan untuk

menterjemahkan nilai-nilai normatif ke dalam level objektif. Ini berarti al-Quran

harus dirumuskan dalam bentuk konstruk-konstruk teoritis.

Untuk dapat menjadikan al-Quran sebagai paradigma dan kemudian

merumuskan nilai-nilai normatifnya ke dalam teori-teori sosial, menurut Kunto,

diperlukan adanya lima program reinterpretasi, yaitu:

1. Pengembangan penafsiran sosial struktural lebih daripada penafsiran

individual ketika memahami ketentuan-ketentuan al-Quran.

Ketentuan larangan berfoya-foya misalnya, bukan diarahkan kepada

individualnya, tetapi kepada struktur sosial yang menjadi

penyebabnya.

2. Reorientasi cara berpikir dari subjektif ke objektif. Tujuan

dilakukannya reorientasi berpikir secara objektif ini adalah untuk

menyuguhkan Islam pada cita-cita objektifnya. Misalnya zakat yang

secara subjektif adalah untuk membersih diri, tetapi juga untuk

tertcapainya kesejahteraan umat.


3. Mengubah Islam yang normatif menjadi teoritis, misalnya konsep

fuqara dan masakin yang normatif dapat diformulasikan menjadi teori-

teori sosial.

4. Mengubah pehaman yang a historis menjadi historis. Kisah-kisah

dalam al-Quran yang selama ini dipandang a historis, sebenarnya

menceriterakan peristiwa yang benar-benar historis, seperti kaum

tertindas pada zaman nabi Musa dan lain-lain.

5. Merumuskan formulasi wahyu yang bersifat umum menjadi formulasi

yang spesifik dan empiris. Dalam hal konsep umum tentang kecaman

terhadap sirkulasi kekayaan yang hanya berputar pada orang-orang

kaya harus dapat diterjemahkan ke dalam formulasi-formulasi spesifik

dan empiris ke dalam realitas yang kita hadapi sekarang. Dengan

menterjemahkan pernyataan umum secara spesifik untuk menatap

gejala yang empiris, pemahaman terhadap Islam akan selalu menjadi

kontekstual, sehingga dapat menumbuhkan kesadaran mengenai

realitas sosial dan pada gilirannya akan menyebabkan Islam menjadi

agama yang lebih mengakar di tengah-tengah gejolak sisal.

Dari uraian tentang paradigma al-Quran dan program reinterpretasi, bisa dilihat

bahwa Kunto ingin merintis metode baru penafsiran al-Quran. Metode tafsir yang

ditawarkan adalah memandang al-Quran sebagai akumulasi konsep-konsep normatif.

Nilai-nilai yang ada di dalamnya bersifat transendental yang bebas dari konteks dan

bias-bias yang mengitarinya. Tampaknya di sini, dia berpegang pada kaidah al-ibrah

bi umum al-lafaz la bi khusus as-sabab.


Dari konsep-konsep al-Quran, menurutnya dapat diciptakan teori-teori ilmu sosial

profetik yang pada dasarnya bersifat transformatif. Yang dimaksud transformatif di

sini oleh Kunto adalah perubahan sosial, baik cara berpikir, sikap dan perilaku secara

individual maupun sosial.

Sebagaimana diungkapkan oleh Abu Baker A. Bagder, ilmu-ilmu sosial telah

mendapatkan penghargaan tertinggi di dunia modern karena diyakini bahwa ia

menampilkan analisis terhadap peristiwa-peristiwa kontemporer dalam masyarakat.

Para pejabat mengambil keputusan dan para perencana program yang menaruh

perhatian pada masalah sosial meminta bantuan kepada para pakar ilmu sosial. Para

ahli ilmu sosial sendiri mengambil alih berbagai metodologi penelitian ilmu-ilmu

kealaman.

Dengan demikian, ilmu-ilmu sosial tidak lagi dikategorikan dengan ilmu-ilmu

humaniora dan tidak juga di anggap membawa pendapat-pendapat yang bersifat

impresionistik, intuitif ataupun subyektif.

Salah satu kepentingan besar Islam sebagai sebuah ideologi sosial adalah bagaimana

mengubah masyarakat sesuai dengan cita-cita dan visinya mengenai transformasi

sosial. Semua ideologi atau filsafat sosial menghadapai suatu pertanyaan pokok, yaitu

bagaimana mengubah masyarakat dari kondisinya sekarang menuju keadaan yang

lebih dekat dengan tataanan idealnya. Elaborasi terhadaap pertanyaan pokok

semacam ini biasanya menghasilkan teori-teori sosial yang berfungsi untuk

menjelaskan kondisi masyarakat yang empiris pada masa kini,dan sekaligus

memberikan insight mengenai perubahan dan transformasinya. Karena teori-teori

yang diderivasi dari ideologi-ideologi sosial sangat berkepentingan terhadap


terjadinya transformasi sosial, maka dapat dikatakan bahwa hampir semua teori sosial

tersebut bersifat transformatif.

Muslim Abdurrahman pernah menawarkan teologi transformatif, yaitu menekankan

hubungan dialogis antara teks dengan konteks dan tidak cenderung melakukan

pemaksaan realitas menurut model ideal suatu upaya untuk menghidupkan teks

dalam realitas empiris dan mengubah keadaan masyarakat ke arah transformasi sosial

yang diridhoi Allah SWT. Pengembangan teologi transformatif menurutnya

merupakan upaya untuk mengatasi perdebatan tentang pilihan antara pendekatan

budaya atau pendekatan struktural dalam pengembangan masyarakat.

Ilmu-ilmu sosial profetik yang ditawarkan Kunto pada mulanya lebih bersifat tawaran

alternatif, karena dia kurang sependapat dengan istilah teologi transformatifnya

Muslim. Dia mengatakan bahwa dilingkungan kita, gagasan mengenai pembaruan

teologi dan sejenisnya tampak belum dapat diterima. Ini terjadi karena beberapa

alasan, terutama berkenaan dengan konsep teologi itu sendiri. Umat Islam memehami

teologi dengan persepsi yang berbeda-beda, sebgaian besar mengartikan konsep

tersebut sebagai suatu cabang dari khazanah ilmu pengetahuan keislaman yang

membahas doktrin tentang ketuhanan (tauhid). Mereka menganggap masalah teologi

sudah selesai dan tidak perlu dirombak.

Ini berbeda dengan persepsi penganjur pembaruan teologi yang mengartikan teologi

sebagai usaha untuk melakukan reorientasi pemahaman keagamaan baik secara

individual maupun kolektif untuk menyikapi kenyataan-kenyataan yang empiris

menurut perspektif ketuhanan. Yang mereka tawarkan bukan rekomendasi untuk

mengubah doktrin, tetapi mengubah interpretasi terhadapnya, agar ajaran agama


diberi tafsir baru dalam rangka memahami realitas. Istilah teologi menurut Kunto

sebaiknya diganti dengan ilmu sosial yaitu mengelaborasi ajaran-ajaran agama ke

dalam bentuk teori sosial, sehingga lingkupnya tidak lagi pada aspek-aspek normatif

yang bersifat permanen seperti pada teologi, tapi pada aspek-aspek yang bersifat

empiris, historis dan temporal.

Optimisme Kunto untuk membangun paradigma baru ilmu sosial ini didasari oleh

keyakinan bahwa ilmu itu bersifat relatif, atau dalam bahasa Thomas Khun

paradigmatik, Marx, bersifat ideologis dan Wittgenstain, bersifat cagar bahasa.

Dalam pandangan Kunto, ilmu-ilmu sosial sekarang mengalami kemandekan,

fungsinya hanya terbatas pada memberi penjelasan terhadap gejala-gejala saja. Ini

menurutnya tidak cukup. Ilmu-ilmu sosial disamping menjelaskan, juga harus dapat

memberi petunjuk ke arah transformasi, sesuai dengan cita-cita profetiknya, yaitu

humanisasi atau emansipasi, liberalisasi dan transendental.

You might also like