Professional Documents
Culture Documents
1 Latar Belakang
Penyakit pada sistem pernafasan merupakan masalah yang sudah umum terjadi di masyarakat. Dan TB paru
merupakan penyakit infeksi yang menyebabkan kematian dengan urutan atas atau angka kematian
(mortalitas) tinggi, angka kejadian penyakit (morbiditas), diagnosis dan terapi yang cukup lama. Penyakit ini
biasanya banyak terjadi pada negara berkembang atau yang mempunyai tingkat sosial ekonomi menengah ke
bawah.
Di Indonesia TB paru merupakan penyebab kematian utama dan angka kesakitan dengan urutan teratas
setelah ISPA. Indonesia menduduki urutan ketiga setelah India dan China dalam jumlah penderita TB paru di
dunia.
Micobacterium tuberculosis (TB) telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia, menurut WHO sekitar 8 juta
penduduk dunia diserang TB dengan kematian 3 juta orang per tahun (WHO, 1993). Di negara berkembang
kematian ini merupakan 25% dari kematian penyakit yang sebenarnya dapat diadakan pencegahan.
Diperkirakan 95% penderita TB berada di negara-negara berkembang. Dengan munculnya epidemi
HIV/AIDS di dunia jumlah penderita TB akan meningkat. Hasil survey kesehatan rumah tangga (SKRT)
tahun 1995 menunjukkan bahwa tuberkulosis merupakan penyebab kematian nomor 3 setelah penyakit
kardiovaskuler dan penyakit saluran pernapasan pada semua golongan usia dan nomor I dari golongan
infeksi. Antara tahun 1979-1982 telah dilakukan survey prevalensi di 15 propinsi dengan hasil 200-400
penderita tiap 100.000 penduduk.
Diperkirakan setiap tahun 450.000 kasus baru TB dimana sekitar 1/3 penderita terdapat disekitar puskesmas,
1/3 ditemukan di pelayanan rumah sakit/klinik pemerintah dan swasta, praktek swasta dan sisanya belum
terjangku unit pelayanan kesehatan. Sedangkan kematian karena TB diperkirakan 175.000 per tahun.
Penyakit TB menyerang sebagian besar kelompok usia kerja produktif, penderita TB kebanyakan dari
kelompok sosio ekonomi rendah. Dari 1995-1998, cakupan penderita TB Paru dengan strategi DOTS
(Directly Observed Treatment Shortcourse Chemotherapy) atau pengawasan langsung menelan obat jangka
pendek/setiap hari baru mencapai 36% dengan angka kesembuhan 87%. Sebelum strategi DOTS (1969-1994)
cakupannya sebesar 56% dengan angka kesembuhan yang dapat dicapai hanya 40-60%. Karena pengobatan
yang tidak teratur dan kombinasi obat yang tidak cukup di masa lalu kemungkinan telah timbul kekebalan
kuman TB terhadap OAT (obat anti tuberkulosis) secara meluas atau multi drug resistance (MDR).
2. Apa tanda dan gejala yang muncul (manifestasi klinis) dari TB Paru pada klien dewasa ?
3. Apa pemeriksaan diagnostik pada pasien dengan TB Paru pada klien dewasa?
4. Bagaimana cara menangani gangguan pernapasan akibat penyakit TB Paru klien dewasa ?
5. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan TB Paru pada klien dewasa?
1.3 Tujuan
Tujuan Umum
Mampu menjelaskan asuhan keperawatan pada klien dewasa dengan gangguan TB Paru.
Tujuan Khusus
a) pengkajian TB paru
2. Mendapatkan pengetahuan tentang asuhan keperawatan pada klien dewasa dengan TB Paru
BAB II
PEMBAHASAN
TB Paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis).
Sebagian besar kuman menyerang Paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lain (Dep Kes, 2003).
Kuman TB berbentuk batang mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pewarnaan yang disebut
pula Basil Tahan Asam (BTA).
2.2 Etiologi
Penyakit TB Paru disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Kuman ini berbentuk batang,
mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan, Oleh karena itu disebut pula sebagai
Basil Tahan Asam (BTA), kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup
beberapa jam ditempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat Dormant, tertidur
lama selama beberapa tahun.
Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan
kuman ke udara dalam bentuk Droplet (percikan Dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di
udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam
saluran pernapasan. Selama kuman TB masuk kedalam tubuh manusia melalui pernapasan, kuman TB
tersebut dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran
limfe, saluran napas, atau penyebaran langsung kebagian-bagian tubuh lainnya. Daya penularan dari seorang
penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil
pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat
kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular.
secara genetik.
2. Jenis kelamin: pada akhir masa kanak-kanak dan remaja, angka kematian
4. Pada masa puber dan remaja dimana masa pertumbuhan yang cepat,
mudah.
2.3 Patofisiologi
Ketika seorang klien TB paru batuk, bersin, atau berbicara, maka secara tak sengaja keluarlah droplet nuklei
dan jatuh ke tanah, lantai, atau tempat lainnya. Akibat terkena sinar matahari atau suhu udara yang panas,
droplet nuklei tadi menguap. Menguapnya droplet bakteri ke udara dibantu dengan pergerakan angin akan
membuat bakteri tuberkolosis yang terkandung dalam droplet nuklei terbang ke udara. Apabila bakteri ini
terhirup oleh orang sehat, maka orang itu berpotensi terkena infeksi bakteri tuberkolosis. Penularan bakteri
lewat udara disebut dengan air-borne infection. Bakteri yang terisap akan melewati pertahanan mukosilier
saluran pernapasan dan masuk hingga alveoli. Pada titik lokasi di mana terjadi implantasi bakteri, bakteri
akan menggandakan diri (multiplying). Bakteri tuberkolosis dan fokus ini disebut fokus primer atau lesi
primer (fokus Ghon). Reaksi juga terjadi pada jaringan limfe regional, yang bersama dengan fokus primer
disebut sebagai kompleks primer. Dalam waktu 3-6 minggu, inang yang baru terkena infeksi akan menjadi
sensitif terhadap tes tuberkulin atau tes Mantoux.
Berpangkal dari kompleks primer, infeksi dapat menyebar ke seluruh tubuh melalui berbagai jalan, yaitu:
1) Percabangan bronkhus
Dapat mengenai area paru atau melalui sputum menyebar ke laring (menyebabkan ulserasi laring), maupun
ke saluran pencernaan.
Menyebabkan adanya regional limfadenopati atau akhirnya secara tak langsung mengakibatkan penyebaran
lewat darah melalui duktus limfatikus dan menimbulkan tuberkulosis milier.
Aliran darah
Aliran vena pulmonalis yang melewati lesi paru dapat membawa atau mengangkut material yang
mengandung bakteri tuberkulosis dan bakteri ini dapat mencapai berbagai organ melalui aliran darah, yaitu
tulang, ginjal, kelenjar adrenal, otak, dan meningen.
Jika pertahanan tubuh (inang) kuat, maka infeksi primer tidak berkembang lebih jauh dan bakteri
tuberkulosis tak dapat berkembang biak lebih lanjut dan menjadi dorman atau tidur. Ketika suatu saat kondisi
inang melemah akibat sakit lama/keras atau memakai obat yang melemahkan daya tahan tubuh terlalu lama,
maka bakteri tuberkulosis yang dorman dapat aktif kembali. Inilah yang disebut reaktifasi infeksi primer atau
infeksi pasca-primer. Infeksi ini dapat terjadi bertahun-tahun setelah infeksi primer terjadi. Selain itu, infeksi
pasca-primer juga dapat diakibatkan oleh bakteri tuberkulosis yang baru masuk ke tubuh (infeksi baru),
bukan bakteri dorman yang aktif kembali. Biasanya organ paru tempat timbulnya infeksi pasca-primer
terutama berada di daerah apeks paru.
Infeksi Primer
Tuberkulosis primer adalah infeksi bakteri TB dari penderita yang belum mempunyai reaksi spesifik terhadap
bakteri TB. Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TB. Droplet yang
terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosillier bronkus, dan terus
berjalan sehinga sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TB berhasil berkembang
biak dengan cara pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan peradangan di dalam paru, saluran limfe akan
membawa kuman TB ke kelenjar limfe disekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu
antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah 4-6 minggu. Adanya infeksi dapat
dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah
infeksi primer tergantung kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada
umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TB. Meskipun
demikian, ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persister atau dormant (tidur). Kadang-kadang
daya tahan tubuh tidak mampu mengehentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang
bersangkutan akan menjadi penderita Tuberkulosis. Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai
terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan.
Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer,
misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari
tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura.
Tanpa pengobatan, setelah lima tahun, 50 % dari penderita TB akan meninggal, 25 % akan sembuh sendiri
dengan daya tahan tubuh tinggi, dan 25 % sebagai kasus kronik yang tetap menular (WHO 1996).
Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (Cellular Immunity), sehingga
jika terjadi infeksi oportunistik, seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah
bahkan mengakibatkan kematian. Bila jumlah horang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah penderita TB
akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.
1. a. TB Paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura
(selaput paru). Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB Paru dibagi menjadi 2, yaitu :
Disebut TB Paru BTA (+) apabila sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS (Sewaktu Pagi Sewaktu)
hasilnya positif, atau 1 spesimen dahak SPS positif disertai pemeriksaan radiologi paru menunjukan
gambaran TB aktif.
Apabila dalam 3 pemeriksaan spesimen dahak SPS BTA negatif dan pemeriksaan radiologi dada menunjukan
gambaran TB aktif. TB Paru dengan BTA (-) dan gambaran radiologi positif dibagi berdasarkan tingkat
keparahan, bila menunjukan keparahan yakni kerusakan luas dianggap berat.
1. b. TB ekstra paru yaitu tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya
pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang persendian, kulit, usus,
ginjal, saluran kencing dan alat kelamin. TB ekstra paru dibagi berdasarkan tingkat keparahan
penyakitnya yaitu :
a) TB ekstra paru ringan yang menyerang kelenjar limfe, pleura, tulang (kecuali tulang belakang), sendi
dan kelenjar adrenal
b) TB ekstra paru berat seperti meningitis, pericarditis, peritonitis, TB tulang belakang, TB saluran
kencing dan alat kelamin.
Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe penderita :
1. Kasus baru adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) kurang dari satu bulan.
2. Kambuh (relaps) adalah penderita TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan dan telah
dinyatakan sembuh, kemudian kembali berobat dengan hasil pemeriksaan BTA positif.
3. Pindahan (transfer in) yaitu penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu kabupaten lain
kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Penderita pindahan tersebut harus membawa surat
rujukan/pindah.
4. Kasus berobat setelah lalai (default/drop out) adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1
bulan atau lebih dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang kembali berobat.
1. TB anak lokasinya pada setiap bagian paru, sedangkan pada dewasa di daerah apeks dan infra
klavikuler
2. Terjadi pembesaran kelenjar limfe regional sedangkan pada dewasa tanpa pembesaran kelenjar limfe
regional
a. Batuk
Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang paling sering dikeluhkan. Mula-mula bersifat
non produktif kemudian berdahak bahkan bercampur darah bila sudah ada kerusakan jaringan.
b.Batuk darah
Darah yang dikeluarkan dalam dahak bervariasi, mungkin tampak berupa garis atau bercak-bercak darak,
gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah sangat banyak. Batuk darak terjadi karena pecahnya
pembuluh darah. Berat ringannya batuk darah tergantung dari besar kecilnya pembuluh darah yang pecah.
c.Sesak nafas
Gejala ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah luas atau karena ada hal-hal yang menyertai seperti
efusi pleura, pneumothorax, anemia dan lain-lain.
d. Nyeri dada
Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan. Gejala ini timbul apabila sistem persarafan di
pleura terkena.
a. Demam
Merupakan gejala yang sering dijumpai biasanya timbul pada sore dan malam hari mirip demam influenza,
hilang timbul dan makin lama makin panjang serangannya sedang masa bebas serangan makin pendek.
Gejala sistemik lain ialah keringat malam, anoreksia, penurunan berat badan serta malaise. Timbulnya gejala
biasanya gradual dalam beberapa minggu-bulan, akan tetapi penampilan akut dengan batuk, panas, sesak
napas walaupun jarang dapat juga timbul menyerupai gejala pneumonia.
Tergantung pada organ yang terkena, misalnya : limfedanitis tuberkulosa. Meningitsis tuberkulosa, dan
pleuritis tuberkulosa.
1. Batuk darah
a. Darah dibatukkan dengan rasa panas di tenggorokan
b. Darah berbuih bercampur udara
c. Darah segar berwarna merah muda
d. Darah bersifat alkalis
e. Anemia kadang-kadang terjadi
f. Benzidin test negatif
2. Muntah darah
a. Darah dimuntahkan dengan rasa mual
b. Darah bercampur sisa makanan
c. Darah berwarna hitam karena bercampur asam lambung
d. Darah bersifat asam
e. Anemia seriang terjadi
f. Benzidin test positif
3. Epistaksis
a. Darah menetes dari hidung
b. Batuk pelan kadang keluar
c. Darah berwarna merah segar
d. Darah bersifat alkalis
e. Anemia jarang terjadi
Gejala-gejala tersebut diatas dijumpai pula pada penyakit paru selain TBC. Oleh sebab itu orang yang datang
dengan gejala diatas harus dianggap sebagai seorang suspek tuberkulosis atau tersangka penderita TB, dan
perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung. Selain itu, semua kontak penderita TB Paru
BTA positif dengan gejala sama, harus diperiksa dahaknya.
Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang kuman BTA pada satu
sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5.000 kuman dalam 1 mil sputum Hasil pemeriksaan BTA (basil tahan
asam) (+) di bawah mikroskop memerlukan kurang lebih 5000 kuman/ml sputum, sedangkan untuk
mendapatkan kuman (+) pada biakan yang merupakan diagnosis pasti, dibutuhkan sekitar 50 - 100 kuman/ml
sputum. Hasil kultur memerlukan waktu tidak kurang dan 6 - 8 minggu dengan angka sensitiviti 18-30%.
Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan paling bermanfaat untuk menunjukkan sedang/pernah
terinfeksi Mikobakterium tuberkulosa dan sering digunakan dalam "Screening TBC". Efektifitas dalam
menemukan infeksi TBC dengan uji tuberkulin adalah lebih dari 90%.
Penderita anak umur kurang dari 1 tahun yang menderita TBC aktif uji tuberkulin positif 100%, umur 12
tahun 92%, 24 tahun 78%, 46 tahun 75%, dan umur 612 tahun 51%. Dari persentase tersebut dapat dilihat
bahwa semakin besar usia anak maka hasil uji tuberkulin semakin kurang spesifik. Ada beberapa cara
melakukan uji tuberkulin, namun sampai sekarang cara mantoux lebih sering digunakan. Lokasi penyuntikan
uji mantoux umumnya pada bagian atas lengan bawah kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam
kulit). Penilaian uji tuberkulin dilakukan 4872 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter dari
pembengkakan (indurasi) yang terjadi.
Pada hasil pemeriksaan rontgen thoraks, sering didapatkan adanya suatu lesi sebelum ditemukan adanya
gejala subjektif awal dan sebelum pemeriksaan fisik menemukan kelainan pada paru. Bila pemeriksaan
rontgen menemukan suatu kelainan, tidak ada gambaran khusus mengenai TB paru awal kecuali di lobus
bawah dan biasanya berada di sekitar hilus. Karakteristik kelainan ini terlihat sebagai daerah bergaris-garis
opaque yang ukurannya bervariasi dengan batas lesi yang tidak jelas. Kriteria yang kabur dan gambar yang
kurang jelas ini sering diduga sebagai pneumonia atau suatu proses edukatif, yang akan tampak lebih jelas
dengan pemberian kontras.
Pemeriksaan rontgen thoraks sangat berguna untuk mengevaluasi hasil pengobatan dan ini bergantung pada
tipe keterlibatan dan kerentanan bakteri tuberkel terhadap obat antituberkulosis, apakah sama baiknya dengan
respons dari klien. Penyembuhan yang lengkap serinng kali terjadi di beberapa area dan ini adalah observasi
yang dapat terjadi pada penyembuhan yang lengkap. Hal ini tampak paling menyolok pada klien dengan
penyakit akut yang relatif di mana prosesnya dianggap berasal dari tingkat eksudatif yang besar.
2.6.4 Pemeriksaan CT Scan
Pemeriksaan CT Scan dilakukan untuk menemukan hubungan kasus TB inaktif/stabil yang ditunjukkan
dengan adanya gambaran garis-garis fibrotik ireguler, pita parenkimal, kalsifikasi nodul dan adenopati,
perubahan kelengkungan beras bronkhovaskuler, bronkhiektasis, dan emifesema perisikatriksial.
Sebagaimana pemeriksaan Rontgen thoraks, penentuan bahwa kelainan inaktif tidak dapat hanya berdasarkan
pada temuan CT scan pada pemeriksaan tunggal, namun selalu dihubungkan dengan kultur sputum yang
negatif dan pemeriksaan secara serial setiap saat. Pemeriksaan CT scan sangat bermanfaat untuk mendeteksi
adanya pembentukan kavasitas dan lebih dapat diandalkan daripada pemeriksaan Rontgen thoraks biasa.
TB paru milier terbagi menjadi dua tipe, yaitu TB paru milier akut dan TB paru milier subakut (kronis).
Penyebaran milier terjadi setelah infeksi primer. TB milier akut diikuti oleh invasi pembuluh darah secara
masif/menyeluruh serta mengakibatkan penyakit akut yang berat dan sering disertai akibat yang fatal
sebelum penggunaan OAT. Hasil pemeriksaan rontgen thoraks bergantung pada ukuran dan jumlah tuberkel
milier. Nodul-nodul dapat terlihat pada rontgen akibat tumpang tindih dengan lesi parenkim sehingga cukup
terlihat sebagai nodul-nodul kecil. Pada beberapa klien, didapat bentuk berupa granul-granul halus atau
nodul-nodul yang sangat kecil yang menyebar secara difus di kedua lapangan paru. Pada saat lesi mulai
bersih, terlihat gambaran nodul-nodul halus yang tak terhitung banyaknya dan masing-masing berupa garis-
garis tajam.
Diagnosis terbaik dari penyakit diperoleh dengan pemeriksaan mikrobiologi melalui isolasi bakteri. Untuk
membedakan spesies Mycobacterium antara yang satu dengan yang lainnya harus dilihat sifat koloni, waktu
pertumbuhan, sifat biokimia pada berbagai media, perbedaan kepekaan terhadap OAT dan kemoterapeutik,
perbedaan kepekaan tehadap binatang percobaan, dan percobaan kepekaan kulit terhadap berbagai jenis
antigen Mycobacterium. Pemeriksaan darah yang dapat menunjang diagnosis TB paru walaupun kurang
sensitif adalah pemeriksaan laju endap darah (LED). Adanya peningkatan LED biasanya disebabkan
peningkatan imunoglobulin terutama IgG dan IgA.
2.7 Penatalaksanaan
Pemeriksaan kontak, yaitu pemeriksaan terhadap individu yang bergaul erat dengan penderita
tuberkulosis paru BTA positif. Pemeriksaan meliputi tes tuberkulin, klinis, dan radiologis. Bila tes
tuberkulin positif, maka pemeriksaan radiologis foto thorax diulang pada 6 dan 12 bulan mendatang.
Bila masih negatif, diberikan BCG vaksinasi. Bila positif, berarti terjadi konversi hasil tes tuberkulin
dan diberikan kemoprofilaksis.
Mass chest X-ray, yaitu pemeriksaan massal terhadap kelompok-kelompok populasi tertentu
misalnya: karyawan rumah sakit/Puskesmas/balai pengobatan, penghuni rumah tahanan, dan siswa-
siswi pesantren.
o Vaksinasi BCG
o Kemoprofilaksis dengan menggunakan INH 5 mg/kgBB selama 6-12 bulan dengan tujuan
menghancurkan atau mengurangi populasi bakteri yang masih sedikit. Indikasi
kemoprofilaksis primer atau utama ialah bayi yang menyusu pada ibu dengan BTA positif,
sedangkan kemoprofilaksis sekunder diperlukan bagi kelompok berikut: bayi di bawah lima
tahun dengan hasil tes tuberkulin positif karena resiko timbulnya TB milier dan meningitis
TB, anak dan remaja di bawah 20 tahun dengan hasil tes tuberkulin positif yang bergaul erat
dengan penderita TB yang menular, individu yang menunjukkan konversi hasil tes tuberkulin
dari negatif menjadi positif, penderita yang menerima pengobatan steroid atau obat
imunosupresif jangka panjang, penderita diabetes mellitus.
o Komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) tentang penyakit tuberkulosis kepada masyarakat
di tingkat Puskesmas maupun di tingkat rumah sakit oleh petugas pemerintah maupun petugas
LSM (misalnya Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Paru Indonsia PPTI).
3. Aktivitas bakteriostatis, obat-obatan yang mempunyai aktivitas bakteriostatis terhadap bakteri tahan
asam.
Tujuan tahapan awal adalah membunuh kuman yang aktif membelah sebanyak-banyaknya dan secepat-
cepatnya dengan obat yang bersifat bakterisidal. Selama fase intensif yang biasanya terdiri dari 4 obat, terjadi
pengurangan jumlah kuman disertai perbaikan klinis. Pasien yang infeksi menjadi noninfeksi dalam waktu 2
minggu. Sebagian besar pasien dengan sputum BTA positif akan menjadi negatif dalam waktu 2 bulan.
Menurut The Joint Tuberculosis Committee of the British Thoracic Society, fase awal diberikan selama 2
bulan yaitu INH 5 mg/kgBB, Rifampisin 10 mg/kgBB, Pirazinamid 35 mg/kgBB dan Etambutol 15
mg/kgBB.
Selama fase lanjutan diperlukan lebih sedikit obat, tapi dalam waktu yang lebih panjang. Penggunaan 4 obat
selama fase awal dan 2 obat selama fase lanjutan akan mengurangi resiko terjadinya resistensi selektif.
Menurut The Joint Tuberculosis Committee of the British Thoracic Society fase lanjutan selama 4 bulan
dengan INH dan Rifampisin untuk tuberkulosis paru dan ekstra paru. Etambutol dapat diberikan pada pasien
dengan resistensi terhadap INH.
Pada pasien yang pernah diobati ada resiko terjadinya resistensi. Paduan pengobatan ulang terdiri dari 5 obat
untuk fase awal dan 3 obat untuk fase lanjutan. Selama fase awal sekurang-kurangnya 2 di antara obat yang
diberikan haruslah yang masih efektif.
Paduan obat yang digunakan terdiri atas obat utama dan obat tambahan. Jenis obat utama yang digunakan
sesuai dengan rekomendasi WHO adalah Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid, Streptomisin, dan Etambutol
(Depkes RI, 2004).
Untuk program nasional pemberantasan TB paru, WHO menganjurkan panduan obat sesuai dengan kategori
penyakit. Kategori didasarkan pada urutan kebutuhan pengobatan dalam program. Untuk itu, penderita dibagi
dalam empat kategori sebagai berikut:
1. 1. Kategori I (2HRZE/4H3R3)
Kategori I adalah kasus baru dengan sputum positif dan penderita dengan keadaan yang berat seperti
meningitis, TB milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis massif atau bilateral, spondiolitis dengan gangguan
neurologis, dan penderita dengan sputum negatif tetapi kelainan parunya luas, TB usus, TB saluran
perkemihan, dan sebagainya. Selama 2 bulan minum obat INH, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol setiap
hari (tahap intensif), dan 4 bulan selanjutnya minum obat INH dan rifampisin tiga kali dalam seminggu
( tahap lanjutan ).
1. 2. Kategori II ( HRZE/5H3R3E3 )
Kategori II adalah kasus kambuh atau gagal dengan sputum tetap positif.
diberikan kepada :
1. Penderita kambuh
2. Penderita gagal terapi
Kategori III adalah kasus sputum negatif tetapi kelainan parunya tidak luas dan kasus TB di luar paru selain
yang disebut dalam kategori I.
4. Kategori IV
Kategori IV adalah tuberkulosis kronis. Prioritas pengobatan rendah karena kemungkinan keberhasilan
rendah sekali.
1. 1. Isoniazid (INH) : merupakan obat yang cukup efektif dan berharga murah. Seperti rifampisin,
INH harus diikutsertakan dalam setiap regimen pengobatan, kecuali bila ada kontra-indikasi. Efek
samping yang sering terjadi adalah neropati perifer yang biasanya terjadi bila ada faktor-faktor yang
mempermudah seperti diabetes, alkoholisme, gagal ginjal kronik dan malnutrisi dan HIV. Dalam
keadaan ini perlu diberikan peridoksin 10 mg/hari sebagai profilaksis sejak awal pengobatan. Efek
samping lain seperti hepatitis dan psikosis sangat jarang terjadi.
3. 3. Pyrazinamid : bersifat bakterisid dan hanya aktif terhadap kuman intrasel yang aktif memlah
dan mycrobacterium tuberculosis. Efek terapinya nyata pada dua atau tiga bulan pertama saja. Obat
ini sangat bermanfaat untuk meningitis TB karena penetrasinya ke dalam cairan otak. Tidak aktif
terhadap Mycrobacterium bovis. Toksifitas hati yang serius kadang-kadang terjadi.
4. 4. Etambutol : digunakan dalam regimen pengobatan bila diduga ada resistensi. Jika resiko
resistensi rendah, obat ini dapat ditinggalkan. Untuk pengobatan yang tidak diawasi, etambutol
diberikan dengan dosis 25 mg/kg/hari pada fase awal dan 15 mg/kg/hari pada fase lanjutan (atau 15
mg/kg/hari selama pengobatan). Pada pengobatan intermiten di bawah pengawasan, etambutol
diberikan dalam dosis 30 mg/kg 3 kali seminggu atau 45 mg/kg 2 kali seminggu. Efek samping
etambutol yang sering terjadi adalah gangguan penglihatan dengan penurunan visual, buta warna dan
penyempitan lapangan pandang. Efek toksik ini lebih sering bila dosis berlebihan atau bila ada
gangguan fungsi ginjal. Gangguan awal penglihatan bersifat subjektif; bila hal ini terjadi maka
etambutol harus segera dihentikan. Bila segera dihentikan, biasanya fungsi penglihatan akan pulih.
Pasien yang tidak bisa mengerti perubahan ini sebaiknya tidak diberi etambutol tetapi obat alternative
lainnya. Pemberian pada anak-anak harus dihindari sampai usia 6 tahun atau lebih, yaitu disaat
mereka bisa melaporkan gangguan penglihatan. Pemeriksaan fungsi mata harus dilakukan sebelum
pengobatan.
5. Streptomisin : saat ini semakin jarang digunakan, kecuali untuk kasus resistensi. Obat ini
diberikan 15 mg/kg, maksimal 1 gram perhari. Untuk berat badan kurang dari 50 kg atau usia lebih dari 40
tahun, diberikan 500-700 mg/hari. Untuk pengobatan intermiten yang diawasi, streptomisin diberikan 1 g tiga
kali seminggu dan diturunkan menjadi 750 ng tiga kali seminggu bila berat badan kurang dari 50 kg. Untuk
anak diberikan dosis 15-20 mg/kg/hari atau 15-20 mg/kg tiga kali seminggu untuk pengobatan yang diawasi.
Kadar obat dalam plasma harus diukur terutama untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Efek samping
akan meningkat setelah dosis kumulatif 100 g, yang hanya boleh dilampaui dalam keadaan yang sangat
khusus. Obat-obat sekunder diberikan untuk TBC yang disebabkan oleh kuman yang resisten atau bila obat
primer menimbulkan efek samping yang tidak bisa ditoleransi. Termasuk obat sekunder adalah kapreomisin,
sikloserin, makrolid generasi baru (azitromisin dan klaritromisin), 4-kuinolon (siprofloksasin dan ofloksasin)
dan protionamid.
Rekomendasi Dosis
(mg/kgBB)
Obat anti-TB
Aksi Potensi
esensial Per minggu
Per hari
3x 2x
2.7 Komplikasi
Penyakit TB Paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan komplikasi, diantaranya :
2. Komplikasi lanjut :
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 PENGKAJIAN
3.1.1 Identitas
Identitas pada klien yang harus diketahui diantaranya: nama, umur, agama, pendidikan, pekerjaan,
suku/bangsa, alamat, jenis kelamin, status perkawinan, dan penanggung biaya.
1. 1. Keluhan utama
Keluhan yang sering menyebabkan klien dengan TB paru meminta pertolongan dari tim kesehatan dapat
dibagi menjadi dua golongan, yaitu:
- Batuk darah, seberapa banyak darah yang keluar atau hanya berupa blood streak, berupa garis, atau
bercak-bercak darah
- Sesak napas
- Nyeri dada
Tabrani Rab (1998) mengklasifikasikan batuk darah berdasarkan jumlah darah yang dikeluarkan:
- Batuk darah masif, darah yang dikeluarkan lebih dari 600 cc/24 jam.
- Batuk darah ringan. Darah yang dikeluarkan kurang dari 250 cc/24 jam.
- Demam, timbul pada sore atau malam hari mirip demam influenza, hilang timbul, dan semakin lama
semakin panjang serangannya, sedangkan masa bebas serangan semakin pendek
- Keluhan sistemis lain: keringat malam, anoreksia, penurunan berat badan, dan malaise.
Pengkajian ringkas dengan PQRST dapat lebih memudahkan perawat dalam melengkapi pengkajian.
Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi faktor penyebab sesak napas, apakah sesak napas
berkurang apabila beristirahat?
Quality of Pain: seperti apa rasa sesak napas yang dirasakan atau digambarkan klien, apakah rasa sesaknya
seperti tercekik atau susah dalam melakukan inspirasi atau kesulitan dalam mencari posisi yang enak dalam
melakukan pernapasan?
Time: berapa lama rasa nyeri berlangsung, kapan, bertambah buruk pada malam hari atau siang hari, apakah
gejala timbul mendadak, perlahan-lahan atau seketika itu juga, apakah timbul gejala secara terus-menerus
atau hilang timbul (intermitten), apa yang sedang dilakukan klien saat gejala timbul, lama timbulnya (durasi),
kapan gejala tersebut pertama kali timbul (onset).
Pengkajian yang mendukung adalah dengan mengkaji apakah sebelumnya klien pernah menderita TB paru,
keluhan batuk lama pada masa kecil, tuberkulosis dari organ lain, pembesaran getah bening, dan penyakit
lain yang memperberat TB paru seperti diabetes mellitus. Tanyakan mengenai obat-obat yang biasa diminum
oleh klien pada masa lalu yang relevan, obat-obat ini meliputi obat OAT dan antitusif. Catat adanya efek
samping yang terjai di masa lalu. Kaji lebih dalam tentang seberapa jauh penurunan berat badan (BB) dalam
enam bulan terakhir. Penurunan BB pada klien dengan TB paru berhubungan erat dengan proses
penyembuhan penyakit serta adanya anoreksia dan mual yang sering disebabkan karena meminum OAT.
Secara patologi TB paru tidak diturunkan, tetapi perawat perlu menanyakan apakah penyakit ini pernah
dialami oleh anggota keluarga lainnya sebagai faktor predisposisi di dalam rumah.
5. Pengkajian Psiko-sosio-spiritual
Pengkajian psikologis klien meliputi beberapa dimensi yang memungkinkan perawat untuk memperoleh
persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien. Perawat mengumpulkan data hasil
pemeriksaan awal klien tentang kapasitas fisik dan intelektual saat ini. Data ini penting untuk menentukan
tingkat perlunya pengkajian psiko-sosio-spiritual yang seksama. Pada kondisi, klien dengan TB paru sering
mengalami kecemasan bertingkat sesuiai dengan keluhan yang dialaminya.
Pemeriksaan fisik pada klien dengan TB paru meliputi pemerikasaan fisik umum per system dari observasi
keadaan umum, pemeriksaan tanda-tanda vital, B1 (breathing), B2 (Blood), B3 (Brain), B4 (Bladder), B5
(Bowel), dan B6 (Bone) serta pemeriksaan yang focus pada B2 dengan pemeriksaan menyeluruh system
pernapasan.
Keadaan umum pada klien dengan TB paru dapat dilakukan secara selintas pandang dengan menilai
keadaaan fisik tiap bagian tubuh. Selain itu, perlu di nilai secara umum tentang kesadaran klien yang terdiri
atas compos mentis, apatis, somnolen, sopor, soporokoma, atau koma.
Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital pada klien dengan TB paru biasanya didapatkan peningkatan suhu tubuh
secara signifikan, frekuensi napas meningkat apabila disertai sesak napas, denyut nadi biasanya meningkat
seirama dengan peningkatan suhu tubuh dan frekuensi pernapasan, dan tekanan darah biasanya sesuai dengan
adanya penyulit seperti hipertensi.
B1 (Breathing)
Pemeriksaan fisik pada klien dengan TB paru merupakan pemeriksaan fokus yang terdiri atas inspeksi,
palpasi, perkusi, dan auskultasi.
Inspeksi
Bentuk dada dan pergerakan pernapasan. Sekilas pandang klien dengan TB paru biasanya tampak kurus
sehingga terlihat adanya penurunan proporsi diameter bentuk dada antero-posterior dibandingkan proporsi
diameter lateral. Apabila ada penyulit dari TB paru seperti adanya efusi pleura yang masif, maka terlihat
adanya ketidaksimetrian rongga dada, pelebar intercostals space (ICS) pada sisi yang sakit. TB paru yang
disertai atelektasis paru membuat bentuk dada menjadi tidak simetris, yang membuat penderitanya
mengalami penyempitan intercostals space (ICS) pada sisi yang sakit. Pada klien dengan TB paru minimal
dan tanpa komplikasi, biasanya gerakan pernapasan tidak mengalami perubahan. Meskipun demikian, jika
terdapat komplikasi yang melibatkan kerusakan luas pada parenkim paru biasanya klien akan terlihat
mengalami sesak napas, peningkatan frekuensi napas, dan menggunakan otot bantu napas.
Batuk dan sputum. Saat melakukan pengkajian batuk pada klien dengan TB paru, biasanya didapatkan batuk
produktif yang disertai adanya peningkatan produksi secret dan sekresi sputum yang purulen. Periksa jumlah
produksi sputum, terutama apabila TB paru disertai adanya brokhiektasis yang membuat klien akan
mengalami peningkatan produksi sputum yang sangat banyak. Perawat perlu mengukur jumlah produksi
sputum per hari sebagai penunjang evaluasi terhadap intervensi keperawatan yang telah diberikan.
Palpasi
Gerakan dinding thoraks anterior/ekskrusi pernapasan. TB paru tanpa komplikasi pada saat dilakukan
palpasi, gerakan dada saat bernapas biasanya normal seimbang antara bagian kanan dan kiri. Adanya
penurunan gerakan dinding pernapasan biasanya ditemukan pada klien TB paru dengan kerusakan parenkim
paru yang luas.
Getaran suara (fremitus vokal). Getaran yang terasa ketika perawat meletakkan tangannya di dada klien saat
klien berbicara adalah bunyi yang dibangkitkan oleh penjalaran dalam laring arah distal sepanjang pohon
bronchial untuk membuat dinding dada dalam gerakan resonan, teerutama pada bunyi konsonan. Kapasitas
untuk merasakan bunyi pada dinding dada disebut taktil fremitus.
Perkusi
Pada klien dengan TB paru minimal tanpa komplikasi, biasanya akan didapatkan resonan atau sonor pada
seluruh lapang paru. Pada klien dengan TB paru yang disertai komplikasi seperti efusi pleura akan
didapatkan bunyi redup sampai pekak pada sisi yang sesuai banyaknya akumulasi cairan di rongga pleura.
Apabila disertai pneumothoraks, maka didapatkan bunyi hiperresonan terutama jika pneumothoraks ventil
yang mendorong posisi paru ke sisi yang sehat.
Auskultasi
Pada klien dengan TB paru didapatkan bunyi napas tambahan (ronkhi) pada sisi yang sakit. Penting bagi
perawat pemeriksa untuk mendokumentasikan hasil auskultasi di daerah mana didapatkan adanya ronkhi.
Bunyi yang terdengar melalui stetoskop ketika klien berbica disebut sebagai resonan vokal. Klien dengan TB
paru yang disertai komplikasi seperti efusi pleura dan pneumopthoraks akan didapatkan penurunan resonan
vocal pada sisi yang sakit.
B2 (Blood)
Perkusi : Batas jantung mengalami pergeseran pada TB paru dengan efusi pleura masif mendorong
ke sisi sehat.
Auskultasi : Tekanan darah biasanya normal. Bunyi jantung tambahan biasanya tidak didapatkan.
B3 (Brain)
Kesadaran biasanya compos mentis, ditemukan adanya sianosis perifer apabila gangguan perfusi jaringan
berat. Pada pengkajian objektif, klien tampak dengan meringis, menangis, merintih, meregang, dan
menggeliat. Saat dilakukan pengkajian pada mata, biasanya didapatkan adanya kengjungtiva anemis pada
TB paru dengan gangguan fungsi hati.
B4 (Bladder)
Pengukuran volume output urine berhubungan dengan intake cairan. Oleh karena itu, perawat perlu
memonitor adanya oliguria karena hal tersebut merupakan tanda awal dari syok. Klien diinformasikan agar
terbiasa dengan urine yang berwarna jingga pekat dan berbau yang menandakan fungsi ginjal masih normal
sebagai ekskresi karena meminum OAT terutama fifampisin.
B5 (Bowel)
Klien biasanya mengalami mual, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan.
B6 (Bone)
Aktivitas sehari-hari berkurang banyak pada klien dengan TB paru. Gejala yang muncul antara lain
kelemahan, kelelahan, insomnia, pola hidup menetap, jadwal olahraga menjadi tak teratur.
3.2. DIAGNOSA
1. Bersihan jalan nafas tak efektif, berhubungkan dengan sekret kental / sekret darah, upaya batuk
buruk, dapat ditandai dengan:
Dispnoe.-
2. Resiko tinggi infeksi ( penyebaran / aktivitas ulang ) berhubungan dengan pertahanan primer tak
adekuat, penurunan kerja silia / statis sekret, penurunan pertahanan / penekanan proses imflamasi,
malnutrisi, kurang pengetahuan untuk menghindari pemajanan patogen.
3. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan proses peradangan ditandai dengan peningkatan suhu
tubuh (hypertermi).
4. Resiko regimen terapi berhubungan dengan banyaknya kombinasi obat yang harus diminum.
1. Bersihan jalan nafas tak efektif, berhubungkan dengan sekret kental / sekret darah, kelemahan, upaya
batuk buruk, edema tracheal / faringeal dapat ditandai dengan:
- Dispnoe.
Rencana keperawatan
1.
1. Berikan pasien posisi semi atau fowler tinggi, bantu pasien untuk latihan nafas dalam.
2. Bersihkan sekret dari mulut dan trakea ; pengisapan sesuai dengan keperluan.
3. Catat kemampuan untuk mengeluarkan mukosa / batuk efektif, catat karakter, jumlah sputum
dan adanya hemoptisis.
4. Kaji fungsi pernafasan, contoh bunyi nafas, kecepatan, irama dan kedalaman serta
penggunaan otot aksesori.
Rasionalisasi
1.
1. Posisi membantu memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan upaya pernafasan, ventilasi
meksimal membuka area atelektasis dan meningkatkan gerakan sekret kedalam jalan nafas
besar untuk dikeluarkan.
1. Pengeluaran sulit bila sekret sangat tebal ( misalnya ; efek infeksi dan atau tidak adekuat hydrasi )
sputum berdarah kental atau darah cerah diakibatkan oleh kerusakan ( kapitasi ) paru atau luka
bronkial, dan dapat memerlukan evaluasi / intervensi lanjut.
1.
1. Mencegah obstruksi / aspirasi, penghisapan dapat diperlukan bila pasien tidak mampu
mengeluarkan sekret.
2. Penurunan bunyi nafas dapat menunjukan atelektasis, ronchi, mengi, menunjukan akumulasi
sekret/ketidakmampuan untuk membersihkan jalan nafas yang dapat menimbulkan
pengguanaan otot aksesori pernafasan dan peningkatan kerja pernafasan.
1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan permukaan efektif, atelektasis, kerusakan
membran alveolar kapiler, sekret kental, tebal, dan edema bronchial.
Rencana jangka pendek : Menunjukan perbaikan ventilasi dan oksigenisasi jaringan adekuat dengan
GDA dalam rentang normal.
Rencana tindakan.
1. Tingkatkan tirah baring / batasi aktivitas dan bantu aktivitas perawatan diri sesuai dengan keperluan.
2. Tunjukan / dorong bernafas bibir selama ekhalasi, khususnya untuk pasien dengan fibrosis atau
kerusakan parenkhim.
3. Kaji diespnoe, tachipnoe, tak normal / menurunnya bunyi nafas, peningkatan upaya pernapasan,
terbatasnya ekspansi dinding dada & kelemahan.
4. Evaluasi perubahan pada tingkat kesadaran, catat sianosis dan / atau perubahan pada warna kulit,
termasuk membran mukosa dan kuku.
Rasionalisasi.
1. Menurunkan konsumsi O2 / kebutuhan selama periode penurunan pernafasan dapat menurunkan
beratnya gejala.
2. Membuat tahanan melawan udara luar, untuk mencegah kolaps / penyempitan jalan nafas, sehingga
membantu menyebarkan udara melalui paru dan menghilangkan / menurunkan nafas pendek.
3. TB paru menyebabkan efek luas pada paru dari bagian kecil bronchopneomonia sampai inflamasi
difus luas, necrosis, effusi pleural dan fibrosis luas, efek pernafasan dapat dari ringan sampai
diespnoe berat sampai diestres pernafasan.
4. Akumulasi sekret / pengaruh jalan nafas dapat mengganggu oksigenisasi organ vital dan jaringan.
3. Resiko tinggi infeksi ( penyebaran / aktivitas ulang ) berhubungan dengan pertahanan primer tak adekuat,
penurunan kerja silia / statis penurunan pertahanan / penekanan proses imflamasi, malnutrisi,sekret, kurang
pengetahuan untuk menghindari pemajanan patogen.
Tujuan jangka pendek : Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah / menurunkan resiko penyebaran
infeksi.
Tujuan jangka panjang : Menunjukan tehnik / melakukan perubahan pola hidup untuk meningkatkan
lingkungan yang aman.
Rencana tindakan.
1. Anjurkan pasien untuk batuk / bersin dan mengeluarkan pada tissue & menghindari meludah
di tempat umum serta tehnik mencuci tangan yang tepat.
2. Kaji patologi / penyakit ( aktif / tak aktif diseminasi infeksi melalui bronchus untuk
membatasi jaringan atau melalui aliran darah / sistem limfatik ) dan potensial penyebaran
melalui droplet udara selama batuk, bersin, meludah,bicara, dll.
3. Identifikasi orang lain yang beresiko, contoh anggota rumah, anggota, sahabat karib / teman.
Rasionalisasi.
1. Perilaku yng diperlukan untuk mencegah penyebaran infeksi dapat membantu menurunkan rasa
terisolir pasien & membuang stigma sosial sehubungan dengan penyakit menular.
2. Membantu pasien menyadari / menerima perlunya mematuhi program pengobatan untuk mencegah
pengaktifan berulang / komplikasi. pemahaman begaiman penyakit disebarkan & kesadaran
kemungkinan tranmisi membantu pasien / orang terdekat mengambil langkah untuk mencegah infeksi
ke orang lain.
3. Orang orang yang terpajan ini perlu program therapy obat untuk mencegah penyebaran infeksi.
4. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan proses peradangan ditandai dengan peningkatan suhu tubuh
(hypertermi).
Rencana tindakan :
4. Anjurkan pada pasien untuk memenuhi kebutuhan nutrisi yang optimal sehingga metabolisme dalam
tubuh dapat berjalan lancar
Rasionalisasi :
1. Cairan dalam tubuh sangat penting guna menjaga homeostasis (keseimbangan) tubuh. Apabila suhu
tubuh meningkat maka tubuh akan kehilangan cairan lebih banyak.
2. Suhu tubuh harus dipantau secara efektif guna mengetahui perkembangan dan kemajuan dari pasien.
4. Jika metabolisme dalam tubuh berjalan sempurna maka tingkat kekebalan/ sistem imun bisa melawan
semua benda asing (antigen) yang masuk.
5. Resiko regimen terapi berhubungan dengan banyaknya kombinasi obat yang harus diminum
Rencana tindakan :
Rasionalisasi :
1. Pengobatan terhadap penyakit TBC memerlukan kombinasi berbagai obat (obat antituberkulosis/
OAT) yang diberikan selama 6 bulan atau lebih untuk dinyatakan sembuh.
3. Kombinasi obat yang telah diberikan telah disesuaikan dengan fase TB paru. Sehingga
ketidakteraturan akan menyebabkan resiko resistensi.
BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN
Ketika seorang klien TB paru batuk, bersin, atau berbicara, maka secara tak sengaja keluarlah droplet nuklei
dan jatuh ke tanah, lantai, atau tempat lainnya. Akibat terkena sinar matahari atau suhu udara yang panas,
droplet nuklei tadi menguap. Menguapnya droplet bakteri ke udara dibantu dengan pergerakan angin akan
membuat bakteri tuberkolosis yang terkandung dalam droplet nuklei terbang ke udara. Apabila bakteri ini
terhirup oleh orang sehat, maka orang itu berpotensi terkena infeksi bakteri tuberkolosis.
5.2 SARAN
1. Hendaknya mewaspadai terhadap droplet yang dikeluarkan oleh klien dengan TB paru karena
merupakan media penularan bakteri tuberkulosis
2. Memeriksakan dengan segera apabila terjadi tanda-tanda dan gejala adanya TB paru.
3. Sebagai perawat hendaknya mampu memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan rencana
keperawatan pada penderita TB Paru.
DAFTAR PUSTAKA
Sudoyo, Aruw. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 2 Edisi IV. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI.
Soeparman dan sarwono Waspadji. 1990. Ilmu Penyakit Dalam jilid 2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.