You are on page 1of 86

Pendahuluan

Obstetri adalah bidang yang erat kaitannnya dengan masalah perdarahan.


Meskipun angka kematian ibu hamil telah berkurang signifikan dengan tindakan
rawat inap bagi ibu yang melahirkan dan tersedianya darah untuk transfusi, kematian
akibat perdarahan masih banyak pada sebagian besar laporan mortalitas maternal. Di
Amerika Serikat sejak tahun 1991 sampai 1997, Pregnancy Mortality Surveillance
System of the Centers for Diseases Control and Prevention menganalisis 18% dari
3201 kematian akibat perdarahan (Berg dkk., 1999). Di Inggris, perdarahan maternal
merupakan faktor utama pada lebih dari 150 kematian maternal antara tahun 1985
sampai 1996 (Bonnar, 2000). Lebih dari itu, pada kedua negara tersebut, perdarahan
merupakan penyebab utama wanita hamil dirujuk ke ruang perawatan khusus (ICU)
(Gilbert, 2003; Hazelgrove, 2001; Zeeman, 2003). Di negara-negara berkembang,
kontribusi perdarahan terhadap kematian maternal menunjukkan angka yang lebih
tinggi (Jegasothy, 2002; Rahman dkk., 2002). Pada akhirnya, perdarahan
diidentifikasi sebagai penyebab utama kematian maternal di seluruh dunia, terutama
hampir setengahnya terjadi di negara-negara berkembang (McCormick dkk., 2002).
Tidak diragukan lagi bahwa telah terjadi kemajuan besar dalam menangani
kematian akibat perdarahan dengan moderenisasi bidang obstetri di Amerika Serikat.
Sebagai contoh, Sachs dkk. (1987) melaporkan bahwa kematin akibat perdarahan
obstetri di Massachusetts menurun sepuluh kali lipat dari pertengahan 1950an sampai
pertengahan 1980an. Hal yang sama dilaporkan oleh Grady Memorial Hospital di
Atlanta bahwa terjadi penurunan sebanyak 13% antara tahun 1949 sampai 1971 dan
pada antara tahun 1972 sampai 2000 sebanyak 6% (Ho dkk., 2002).
Penyebab kematian ibu akibat perdarahan diperlihatkan di Tabel 35-1.
Perdarahan obstetri cenderung fatal jika tidak segera tersedianya darah atau
komponen-komponennya. Sebagai contoh, Singla dkk. (2001) melaporkan bahwa
wanita yang menganut sekte agama Saksi Yehovah memiliki risiko 44 kali lipat
terjadinya kematian maternal akibat suatu perdarahan. Pendirian dan pemeliharaan
fasilitas yang dapat menyediakan darah dengan cepat merupakan prasyarat mutlak
suatu layanan obstetri yang baik. Perdarahan dapat bersifat antepartum, seperti pada
plasenta previa atau solusio plasenta, atau yang lebih sering terjadi, perdarahan
postpartum akibat atonia uteri atau laserasi traktus genitalia.

1
Tabel 35-1. Penyebab 763 Kematian Maternal Berhubungan dengan Perdarahan
Penyebab Perdarahan Jumlah (%)
Solusio plasenta 141 (19)
Laserasi /ruptura uteri 125 (16)
Atonia uteri 115 (15)
Koagulopati 108 (14)
Plasenta previa 50 (7)
Perdarahan uterus 47 (6)
Plasenta akreta/ inkreta/ perkreta 44 (6)
Retensio plasenta 32 (4)

Insidensi dan Predisposisi


Insidensi perdarahan obstetri tidak dapat diketahui secara pasti. Dalam sebuah
penelitian terhadap wanita yang melahirkan pervaginam, Combs dkk. (1991b)
mendefinisikan perdarahan berdasarkan penurunan hematokrit pasien sebesar 10%
volume atau adanya kebutuhan akan transfusi. Dengan menggunakan kriteria ini,
insidensinya adalah 3.9%. Pada wanita yang menjalani seksio sesarea, angka ini
mencapai 6-8% (Combs dkk., 1991a; Naef dkk.,1994).
Dickason dan Dinsmoor (1992) melaporkan bahwa 6.8% wanita yang
menjalani seksio sesarea memerlukan transfusi. Klapholz (1990) meneliti lebih dari
30.000 persalinan di Beth Israel Hospital dari tahun 1976 sampai 1986. Sesuai
perkiraan, insiden tranfusi menurun selama periode tersebut; pada tahun 1976
angkanya 4.6%, pada tahun 1986 menjadi 1.9%.
Tabel 35-2 mencantumkan banyak situasi klinis yang menyebabkan
meningkatnya risiko perdarahan. Tampak nyata bahwa perdarahan serius dapat terjadi
kapan saja selama masa kehamilan dan masa nifas. Waktu terjadinya perdarahan pada
kehamilan digunakan secara luas untuk mengklasifikasikan perdarahan obstetris;
namun, istilah perdarahan trimester ketiga kurang tepat dan pemakainnya tidak
dianjurkan. Salah satu faktor yang umumnya tidak dianggap sebagai faktor
predisposisi kematian akibat perdarahan adalah tidak tersedianya layanan obstetri dan
anestesi. Menurut Bonnar (2000), di Inggris, sebagian besar kematian akibat
perdarahan yang disebutkan di atas berkaitan dengan pelayanan kesehatan di bawah
standar. Demikian juga, Nagaya dkk. (2000) mengkaji 197 kematian ibu hamil di
Jepang dalam periode 2 tahun antara tahun 1991 dan 1992. Perdarahan menyebabkan

2
40% kematian, dan mereka menyimpulkan bahwa banyak kasus kematian yang
sebenarnya dapat dicegah karena berkaitan dengan kurang memadainya fasilitas
kesehatan.

Tabel 35-2. Faktor Predisposisi yang Memperburuk Perdarahan Obstetri


Plasentasi Abnormal
Plasenta previa
Solusio plasenta
Plasenta akreta/ inkreta/ perkreta
Kehamilan Ektopik
Mola hidatidosa
Trauma Saat Kehamilan dan Persalinan
Episiotomi
Persalinan pervaginam dengan penyulit
Persalinan dengan menggunakan forseps
Seksio sesarea atau histerektomi
Ruptura uteri dengan risiko tinggi pada :
o Jaringan parut pada uterus akibat persalinan terdahulu
o Paritas tinggi
o Hiperstimulasi
o Persalinan yang terhambat
o Manipulasi intrauterin
o Rotasi mid-forseps
Volume Darah Maternal yang Sedikit
Wanita berpostur kecil
Hipervolemia pada kehamilan
Konstriksi akibat hipervolemia pada kehamilan
Preeklamsia berat
Eklamsia
Faktor Lain
Obesitas
Etnis Amerika pribumi
Riwayat perdarahan postpartum
Atonia uteri
Overdistensi uterus

3
Janin besar
Janin multipel
Hidroamnion
Distensi akibat bekuan
Anestesia atau Analgesia
o Agen-agen halogenasi
o Konduksi analgesik dengan hipotensi
Kelelahan miometrium
o Persalinan yang terlalu cepat
o Persalinan yang lama
o Stimulasi oleh oksitosin atau prostaglandin
o Korioamnionitis
Riwayat atonia uteri sebelumnya
Defek Koagulasi dan Penyebab lainnya
Solusio plasenta
Tertahannya pelahiran janin mati
Emboli cairan amnion
Aborsi dengan induksi
Sindroma sepsis
Hemolisis intravaskular berat
Transfusi yang berlebihan
Preeklamsia berat dan eklamsi
Koagulopati kongenital
Pengobatan antikoagulan

Perdarahan Antepartum
Perdarahan pervaginam ringan merupakan hal yang lazim selama persalinan
aktif. Bloody show ini terjadi akibat pendataran dan pembukaan serviks disertai
robeknya pembuluh-pembuluh vena halus. Perdarahan uterus dari tempat di atas
serviks sebelum melahirkan merupakan hal yang mengkhawatirkan. Perdarahan dapat
disebabkan oleh robeknya sebagian plasenta yang melekat di dekat kanalis servikalis,
dikenal dengan plasenta previa. Perdarahan juga dapat berasal dari robeknya plasenta
yang terletak di tempat lain di rongga uterus, ini dikenal dengan solusio plasenta.
Walaupun jarang, perdarahan juga dapat terjadi akibat insersi vilamentosa tali pusat

4
disertai ruptur dan perdarahan dari pembuluh darah janin pada saat pecahnya selaput
ketuban, yang dikenal dengan vasa previa.
Sumber perdarahan uterus yang berasal dari daerah di atas serviks tidak selalu
teridentifikasi. Pada keadaan ini, perdarahan biasanya dimulai dengan sedikit atau
tanpa gejala, kemudian berhenti, dan saat persalinan tidak ditemukan adanya
penyebab anatomis. Perdarahan tersebut hampir selalu disebabkan oleh robekan
marginal plasenta yang sedikit dan tidak meluas. Kehamilan dengan perdarahan
seperti ini tetap berisiko walaupun perdarahan segera berhenti dan kemungkinan
adanya plasenta previa tampaknya telah dapat disingkirkan dengan ultrasonografi
(USG). Lipitz dkk. (1991) meneliti 65 wanita yang mengalami perdarahan dari uterus
antara umur kehamilan 14 minggu sampai 26 minggu, hasilnya hampir seperempatnya
mengalami solusio plasenta atau plasenta previa. Total kematian janin termasuk
abortus dan kematian perinatal adalah 32%. Leung dkk. (2001) menemukan
perdarahan antepartum yang tidak dapat dikenali penyebabnya sebelum umur
kehamilan 34 minggu berhubungan dengan risiko kehamilan sebanyak 62% diantara 1
minggu ketika dihubungkan dengan kontraksi uterus dan 13% ketika tidak adanya
kontraksi uterus. Kehamilan dengan perdarahan setelah minggu ke-26 yang tidak
disebabkan oleh solusio plasenta atau plasenta previa, Ajayi dkk. (1992) melaporkan
bahwa terjadi prognosis yang jelek pada sepertiga kasus. Karena itu, harus
dipertimbangkan untuk melakukan persalinan bagi setiap wanita hamil aterm yang
mengalami perdarahan tanpa diketahui sebabnya.

Solusio Plasenta
Terlepasnya plasenta dari tempat implantasinya sebelum janin lahir diberi
beragam sebutan, yaitu placental abruption (solusio plasenta), abruption placentae,
dan di Inggris, dikenal dengan accidental hemorrhage (perdarahan yang tidak
disengaja). Pernyataan pemisahan plasenta prematur yang berimplantasi normal
merupakan istilah deskriptif karena membedakan plasenta yang terpisah secara
prematur tetapi tertanam jauh dari ostium interna serviks dengan plasenta yang
tertanam di ostium internum, yang dikenal dengan plasenta previa.
Namun, nama ini terlalu panjang, sehingga digunakan istilah yang lebih
singkat yaitu solusio plasenta (placental abruption). Kata Latin abruptio placentae,
yang berarti mengoyak plasenta hingga remuk, mengisyaratkan kejadian yang
mendadak, suatu gambaran klinis yang dijumpai pada sebagaian besar kasus penyulit

5
ini. Beberapa jenis perdarahan akibat solusio plasenta biasanya merembes di antara
selaput ketuban dan uterus, dan kemudian keluar melalui serviks, menyebabkan
perdarahan eksternal (Gambar 35-1). Yang lebih jarang, darah tidak keluar dari uterus,
tetapi tertahan di antara plasenta yang terlepas dan uterus sehingga menyebabkan
perdarahan tersembunyi (Gambar 35-1 dan 35-2). Solusio plasenta dapat terjadi total
atau parsial (Gambar 35-1 dan 35-2). Solusio plasenta dengan perdarahan tertutup
menimbulkan bahaya yang lebih besar bagi ibu, tidak saja karena kemungkinan
koagulopati konsumptif tetapi juga karena jumlah darah yang keluar sulit diperkirakan
(Chang dkk., 2001).

6
Gambar 35-2. Solusio plasenta total disertai perdarahan tersembunyi.

Frekuensi dan Signifikan


Frekuensi diagnosis solusio plasenta akan bervariasi karena kriteria yang
digunakan untuk diagnosis berbeda-beda. Intensitas solusio bervariasi bergantung
pada seberapa cepat wanita yang besangkutan mendapat pertolongan dan perawatan
setelah gejala muncul. Apabila tertunda, kecenderungan pemisahan luas yang
menyebabkan kematian janin akan meningkat pesat.

7
Frekuensi solusio plasenta yang dilaporkan adalah sekitar 1 dari 200
persalinan. Berdasarkan data kelahiran di Amerika Serikat pada tahun 2001, insidensi
solusio plasenta adalah 1 dari 185 dari persalinan (Martin dkk., 2002). Di Parkland
Hospital sejak tahun 1988 sampai 2003, insiden solusio plasenta pada lebih dari
235.000 persalinan adalah sekitar 1 dari 290. Insiden serta mortalitas solusio plasenta
menurun seiring dengan waktu. Dengan menerapkan kriteria pemisahan plasenta,
insidensinya adalah 1 dari 420 persalinan dari tahun 1956-1967 (Pritchard dan
Brekken, 1967). Seiring dengan berkurangnya jumlah wanita dengan paritas tinggi
yang dirawat serta tersedianya perawatan prenatal secara luas di masyarakat dan
membaiknya transportasi darurat, frekuensi solusio yang menyebabkan kematian
janin telah menurun menjadi sekitar 1 dari 830 persalinan dari tahun 1974 sampai
1989 (Pritchard dkk., 1991). Dari tahun 1996-2003, angka ini menurun menjadi 1 dari
1600.

Morbiditas dan Mortalitas Perinatal


Ketika angka lahir mati akibat penyebab lain berkurang secara bermakna,
angka lahir mati akibat solusio plasenta menjadi lebih menonjol. Sebagai contoh,
seluruh janin yang mengalami lahir mati pada trimester ketiga di Parkland Hospital
antara tahun 1992 dan 1994, 12% disebabkan oleh solusio plasenta (Cunningham dan
Hollier, 1997).
Gambaran ini menetap, dan dari tahun 2000 sampai 2002, solusio plasenta
yang menyebabkan lahir mati pada trimester ketiga adalah sekitar 10% dari sekitar
45.000 persalinan. Frekuensi serupa dengan yang dilaporkan Fretts dan Usher (1997)
yang meneliti di Royal Victoria Hospital di Montreal antara tahun 1978 sampai tahun
1995. Berdasarkan analisis mereka pada lebih dari 7 juta persalinan di Amerika
Serikat antara tahun 1995 dan 1996, Ananth dan Wilcox (2001) menghitung bahwa
mortalitas perinatal yang berhubungan dengan solusio plasenta adalah 119 dari 1000
kelahiran dibandingkan dengan 8.2 dari 1000 dari penyebab kematian lainnnya.
Solusio plasenta telah menjadi penyebab tersering dan menyebabkna sekitar 15% bayi
lahir mati. Mortalitas yang tinggi merupakan bagian yang erat berhubungan dengan
solusio plasenta dan kelahiran prematur. Bahkan pada janin yang lahir aterm,

8
bagaimanapun, mortalitas perinatal menjadi 25 kali lipat lebih tinggi akibat solusio
plasenta.
Yang terpenting, bahkan apabila janinnya selamat, masih mungkin terjadi
sekuele. Dari 182 bayi yang selamat dalam penelitian oleh Abdella dkk. (1984),
sekitar 15% di antaranya teridentifikasi mengalami defisit neurologis yang signifikan
dalam tahun pertama kehidupan. Hal yang sama terdapat pada 39 bayi yang selamat di
antara umur kehamilan 26 sampai 36 minggu yang diteliti oleh Matsuda dkk (2003),
sekitar 20% telah didiagnosis dengan Cerebral Palsy dibandingkan dengan 1% dari
kontrol yang sesuai dengan umur kehamilan tersebut.

Etiologi
Penyebab utama solusio plasenta tidak diketahui, tetapi terdapat beberapa
kondisi terkait. Beberapa kondisi terkait. Beberapa diantaranya tercantum di Tabel 35-
3. Seperti diperlihatkan di Gambar 35-4, insidensinya meningkat seiring dengan usia
ibu. Meski Prtichard dkk. (1991) juga memperlihatkan bahwa insiden lebih tinggi
pada wanita dengan paritas tinggi, Toohey dkk. (1995) tidak mendapatkan hal ini pada
wanita yang memiliki 5 anak atau lebih. Ras atau etnisitas tampaknya memegang
peranan penting. Pada lebih dari 170.000 persalinan di Parkland Hospital, solusio
lebih sering terjadi pada wanita Ameriak-Afrika dan Kaukasia (1 dari 200)
dibandingkan Asia (1 dari 300) atau Amerika Latin (1 dari 450).

Tabel 35-3. Faktor Risiko Solusio Plasenta


Faktor Risiko Hubungan dengan risiko
Meningkatnya usia dan paritas 1.31.5
Preeklampsia 2.14.0
Hipertensi kronik 1.83.0
Ketuban pecah dini 2.44.9
Kehamilan ganda 2.1
Hidroamnion 2.0
Wanita perokok 1.41.9
Trombofilia 37
Penggunaan kokain NA
Riwayat solusio plasenta 1025
Leiomioma uteri NA

9
Sejauh ini, kondisi yang paling sering berkaitan adalah beberapa tipe
hipertensi, antara lain mencakup preeklampsia, hipertensi gestational, atau hipertensi
kronik. Pada penelitian terdahulu di Parkland Hospital terhadap 408 kasus solusio
plasenta berat sehingga mematikan janin, hipertensi ibu dijumpai pada sekitar separuh
wanita setelah kompartemen intravaskular yang berkurang diisi kembali hingga
adekuat (Pritchard dkk., 1991). Separuhnya mengidap hipertensi kronik dan sisanya
menderita hipertensi gestational atau preeklamsi. Morgan dkk. (1994) mendapatkan
bahwa wanita hipertensi cenderung mengalami solusio yang lebih berat. Namun,
menurut Witlin dkk (1999), keparahan preeklampsi tidak berkorelasi dengan insiden
solusio pada 445 wanita. Dari The Maternal-Fetal Medicine Network, Sibai dkk.
(1998) melaporkan bahwa 1.5% wanita dengan hipertensi kronik menderita solusio
plasenta. Ananth dkk. (1999a) melaporkan peningkatan insiden solusio tiga kali lipat
pada hipertensi kronik dan empat kali lipat pada preeklamsi berat. Menariknya,
berdasarkan hasil dari the Magpie Trial Collaborative Group (2002) menyarankan
bahwa wanita dengan preeklamsia mungkin dapat mengurangi risiko terjadinya
solusio plasenta ketika diterapi dengan magnesium sulfat.
Terdapat peningkatan insiden solusio plasenta pada ketuban pecah dini
preterm. Major dkk. (1995) melaporkan insiden 5% pada 756 wanita dengan
pecahnya ketuban pada kehamilan antara 20 dan 36 minggu. Kramer dkk (1997)
menemukan insiden 3.1% pada semua pasien apabila selaput ketuban telah pecah
lebih dari 24 jam. Dalam sebuah meta-analisis pada 54 studi, Ananth dkk. (1996)
mendapatkan peningkatan risiko solusio sebesar tiga kali lipat pada ketuban pecah
dini.

10
Pada penelitian-penelitian awal, dari Collaborative Perinatal Project,
merokok dikaitkan dengan peningkatan risiko solusio (Misra dan Ananth, 1999;
Naeye, 1980). Dalam meta-analisis mereka terhadap 1.6 juta kehamilan, Ananth dkk
(1999a,1999b) mendapatkan risiko solusio sebesar dua kali lipat pada perokok. Angka
ini meningkat menjadi lima sampai delapan kali lipat apabila perokok tersebut
mengidap hipertensi kronik dan atau preeklamsia berat. Hal yang sama telah
dilaporkan oleh Odendal dkk. (2001) dan Mortensen dkk. (2001).
Penyelahgunaan kokain dilaporkan berkaitan dengan peningkatan mencolok
frekuensi solusio plasenta. Dalam sebuah laporan mengenai 50 wanita yang
menyalahgunakan kokain selama hamil, terjadi 8 kelahiran mati akibat solusio
plasenta (Bingol dkk., 1987). Addis dkk (2001) secara sistematis melihat dari 15 studi
yang meneliti wanita pengguna kokain, kesemuanya menunjukkan bahwa solusio
plasenta umum ditemukan dibandingkan dengan kontrol.
Selama dekade terakhir, sejumlah trombofilia herediter atau didapat
dilaporkan berkaitan dengan gangguan thromboemboli selama kehamilan. Berbagai
gangguan pembekuan ini juga berkaitan dengan solusio dan infark plasenta (Gherman
dan Goodwin, 2000). Sebagai contoh, Kupferminic dkk. (1999) mendapatkan risiko
solusio plasenta meningkat secara cepat pada wanita dengan mutasi faktor V Leiden
atau mutasi gen protrombin.
Trauma eksternal diperkirakan berperan hanya pada 3 di antara 207 kasus
solusio plasenta yang menyebabkan kematian janin di Parkland Hospital. Pengalaman
serupa dengan yang dialami Kettel dkk. (1988) serta Stafford (1988), yang
menekankan bahwa solusio plasenta yang disebabkan oleh trauma yang relatif ringan
dapat membahayakan janin walaupun tidak selalu berkaitan dengan tanda-tanda
terlepasnya plasenta. Pada kasus-kasus ini, diperlukan periode pemantauan paling
sedikit 2 sampai 6 jam untuk menyingkirkan solusio subklinis, dimana tidak ada
kontraksi uterus, atau uterus yang tegang, atau perdarahan (American Academy of
Pediatrics and American College of Obstetricians and Gynecologysts, 2002).
Leiomioma uterus, terutama yang terletak di belakang tempat implantasi
plasenta, merupakan predisposisi solusio. Rice dkk. (1989) melaporkan bahwa 8 di
antara 14 wanita denga mioma retroplasenta mengalami solusio plasenta; pada 4
kasus, janin meninggal. Sebaliknya, solusio terjadi hanya pada 2 di antara 79 wanita
yang miomanya tidak terletak retroplasenta.

11
Solusio Plasenta Rekuren
Pritchard dkk. (1970) mengidentifikasi angka kekambuhan solusio plasenta
yang parah pada 1 dari 8 kehamilan. Yang utama, dari 14 solusio plasenta rekuren, 8
kasus menyebabkan kematian janin untuk kedua kalinya. Furuhashi dkk. (2002)
menganalisis prognosis dari 27 wanita yang mengalami solusio plasenta. 6 wanita
(22%) mengalami rekurensi, 4 kasus pada masa gestational lebih awal sekitar 1
sampai 3 minggu ketika terjadinya solusio plasenta pertama kalinya. Pentalaksanaan
kehamilan berikutnya menjadi sulit karena terlepasnya plasenta dapat terjadi
mendadak kapan saja, bahkan saat masih jauh dari aterm. Pada sebagian besar kasus,
keadaan janin sebelumnya masih normal, sehingga metode-metode evaluasi janin
yang tersedia saat ini biasanya belum bersifat prediktif (Toivonen dkk., 2002). Pada
satu contoh kasus ekstrem, Seski dan Compton (1976) melaporkan hasil uji non stress
(NST) dan uji stress kontraksi yang normal 4 jam sebelum awitan solusio plasenta
yang akhirnya menyebabkan kematian janin.

Patologi
Solusio plasenta diawali oleh perdarahan ke dalam desidua basalis. Desidua
kemudian terpisah, meninggalkan satu lapisan tipis yang melekat ke miometrium.
Akibatnya, proses ini pada tahapnya yang paling awal memperlihatkan pembentukan
hematom desidua yang menyebabkan pemisahan, penekanan, dan akhirnya destruksi
plasenta yang berada di dekatnya. Pada tahap awal ini, mungkin belum ada gejala
klinis. Keadaan ini hanya ditemukan pada pemeriksaan terhadap plasenta yang baru
dilahirkan, yang memperlihatkan cekungan berbatas tegas dengan diameter beberapa
sentimeter di permukaan maternal yang ditutupi oleh bekuan darah hitam. Tidak
diragukan lagi, perlu waktu paling sedikit beberapa menit sebelum perubahan-
perubahan anatomis ini bergejala. Karena itu, plasenta yang baru terlepas mungkin
tidak berbeda dari plasenta normal saat keluar. Menurut Bernischke dan Kauffmann
(2000), usia bekuan darah retroplasenta tidak dapat ditentukan dengan pasti.
Pada beberapa kasus, arteri spiralis desidua mengalami ruptur sehingga
menyebabkan hematom retroplasenta, yang sewaktu membesar menyebabkan
semakin banyak pembuluh darah dan plasenta yang terlepas. Bagian plasenta yang
terpisah dengan cepat meluas dan mencapai tepi plasenta. Karena masih teregang oleh

12
hasil konsepsi, uterus tidak dapat berkontraksi dengan memadai untuk menjepit
pembuluh darah yang robek yang memperdarahi tempat implantasi plasenta. Darah
yang keluar dapat memisahkan selaput ketuban dari dinding uterus dan akhirnya
muncul sebagai perdarahan eksternal, atau mungkin tetap tertahan di dalam uterus
(Gambar 35-1 dan 35-2).

Perdarahan Tersembunyi
Perdarahan yang tertahan atau tersembunyi kemungkinan terjadi apabila :
1. Terdapat efusi darah di belakang plasenta tetapi tepi-tepinya masih lekat
2. Plasenta seluruhnya terlepas tetapi selaput ketuban masih melekat ke dinding
uterus
3. Darah masuk ke rongga amnion setelah merusak selaput ketuban
4. Kepala janin menekan erat segmen bawah uterus sehingga darah tidak dapat
melewatinya
Namun, pada sebagian besar kasus, selaput ketuban secara bertahap terlepas
dari dinding uterus dan darah cepat atau lambat akan keluar.

Solusio Plasenta Kronik


Pada sebagian wanita, perdarahan disertai pembentukan hematom
retroplasenta sedikit banyak terhenti total tanpa disertai persalinan. Kami dapat
membuktikan fenomena ini dengan memberikan label 51Cr (kromium) ke sel-sel darah
merah ibu. Teknik ini berfungsi untuk membuktikan bahwa sel-sel darah merah yang
membentuk bekuan di dalam uterus saat persalinan 3 minggu kemudian tidak
mengandung kromium sehingga sudah dikeluarkan sebelum pemberian label.

Perdarahan Janin-ke-Ibu
Perdarahan pada solusio plasenta hampir selalu bersifat maternal. Pada solusio
plasenta non-traumatik, bukti-bukti perdarahan fetomaternal dijumpai pada 20% di
antara 78 kasus; namun, dari seluruh kasus jumlah perdarahan ini kurang dari 10 ml
(Stettler dkk., 1992). Perdarahan janin yang bermakna lebih sering dijumpai pada
solusio traumatik. Pearlman dkk. (1990) mendapatkan perdarahan janin rata-rata
berjumlah 12 ml pada sepertiga wanita dengan solusio traumatik. Stettler dkk. (1992)
melaporkan bahwa terjadi perdarahan fetomaternal sebanyak 80 sampai 100 ml pada
3 di antara 8 kasus solusio plasenta traumatik.

13
Diagnosis Klinis
Ditekankan bahwa tanda dan gejala pada solusio plasenta dapat sangat
bervariasi. Sebagai contoh, pedarahan eksternal dapat deras, namun plasenta yang
terlepas tidak terlalu luas sehingga belum membahayakan janin secara langsung.
Walaupun jarang, mungkin tidak terjadi perdarahan eksternal tetapi plasenta terlepas
total dan sebagai akibatnya janin meninggal. Pada satu kasus yang sangat tidak lazim,
seorang wanita multipara menjelang aterm datang ke ruang darurat obstetri di
Parkland Hospital karena mimisan. Tidak ada nyeri spontan atau nyeri tekan di
abdomen atau uterus serta tidak ada perdarahan pervaginam, tetapi janinnya
meninggal. Darah pasien ini tidak membeku dan kadar fibrinogen plasma 25 mg/dl.
Pasien menjalani induksi persalinan, dan setelah janin keluar, ditemukan solusio
plasenta total dengan bekuan yang masih segar.
Hurd dkk. (1983) dalam sebuah penelitian prospektif yang relatif kecil
tentang solusio plasenta, mengidentifikasi frekuensi berbagai gejala dan tanda yang
berhubungan (Tabel 35-4). Perdarahan dan nyeri abdomen adalah temuan tersering.
Pada 22% kasus, partus prematur idiopatik dianggap sebagai diagnosis sampai terjadi
gawat janin atau kematian. Temuan lain yang didapatkan adalah perdarahan serius,
nyeri punggung, nyeri tekan uterus, kontraksi uterus yang sering, dan hipertonus
uterus menetap.
Pada penelitian-penelitian lama, USG jarang mengkonfirmasi diagnosis
solusio plasenta. Sebagai contoh, Sholl (1987) memastikan diagnosis secara
sonografis hanya pada 25% wanita. Hal yang sama dikemukakan oleh Glantz dan
Purnell (2002), yang mengkalkulasi hanya 24% dari 149 wanita yang melakukan USG
dapat menyingkirkan kemungkinan adanya solusio plasenta. Yang penting, temuan
negatif pada pemeriksaan USG tidak menyingkirkan solusio plasenta.

Tabel 35-4. Gejala dan Tanda yang Terdapat pada 59 Wanita Solusio Plasenta
Gejala dan Tanda Frekuensi (%)
Perdarahan pervaginam 78
Uterus tegang atau nyeri pinggang 66
Gawat janin 60
Partus prematurus 22
Kontraksi yang terus menerus tinggi 17
Hipertonus 17
Kematian janin 15

14
Syok
Dahulu dipercaya bahwa syok pada solusio plasenta kadang-kadang tidak
sebanding dengan jumlah perdarahannya. Diperkirakan bahwa tromboplastin dari
desidua dan plasenta masuk ke sirkulasi ibu dan memicu koagulasi intravaskular serta
gambaran lain sindroma emboli cairan amnion, termasuk hipotensi. Rangkaian
kejadian ini jarang terjadi dan intensitas syok jarang melebihi jumlah darah ibu yang
hilang. Pritchard dan Brekken (1967) meneliti jumlah darah yang hilang pada 141
wanita dengan solusio plasenta berat yang mematikan janin dan mendapatkan bahwa
jumlah tersebut sering mencapai separuh volume darah selama hamil. Baik hipotensi
maupun anemia tidak harus terjadi pada kasus perdarahan tersembunyi, bahkan
apabila perdarahan akutnya sudah mencapai jumlah yang cukup besar. Pada keadaan
ini, dapat dijumpai oliguria yang disebabkan oleh kurang memadainya perfusi ginjal,
tetapi oliguria ini responsif terhadap terapi hipovolemia yang agresif.

Diagnosis Banding
Pada kasus solusio plasenta yang parah, diagnosis biasanya jelas. Bentuk-
bentuk solusio yang lebih ringan dan lebih sering terjadi sulit diketahui dengan pasti
dan diagnosis sering ditegakkan berdasarkan eksklusi. Karena itu, pada kehamilan
variabel dengan penyulit perdarahan pervaginam, perlu menyingkirkan plasenta
previa dan penyebab lain perdarahan dengan pemeriksaan klinis dan evaluasi USG.
Telah lama diajarkan, mungkin dengan beberapa pembenaran, bahwa perdarahan
uterus yang nyeri adalah solusio plasenta sementara perdarahan uterus yang tidak
nyeri mengindikasikan plasenta previa. Sayangnya, diagnosis banding tidak
sesederhana itu. Persalinan yang menyertai plasenta previa dapat menimbulkan nyeri
yang mengisyaratkan solusio plasenta. Di pihak lain, solusio plasenta mungkin
memberikan gambaran mirip persalinan, atau tidak menimbulkan nyeri sama sekali.
Solusio plasenta tanpa nyeri sama sekali lebih besar kemungkinan terjadi pada
plasenta yang berimplantasi di posterior. Penyebab perdarahan pervaginam kadang-
kadang tetap tidak jelas bahkan setelah persalinan.

Koagulopati Konsumtif

15
Salah satu penyebab tersering koagulopati konsumtif yang secara klinis
signifikan di bidang obstetri adalah solusio plasenta. Hipofibrinogenemia yang nyata,
kadar dalam plasma kurang dari 150 mg/dl, disertai peningkatan kadar FDP, D-Dimer,
dan penurunan bervariasi faktor koagulasi lain dijumpai pada sekitar 30% wanita
dengan solusio plasenta yang cukup berat sehingga mematikan janinnya. Defek
koagulasi berat semacam ini lebih jarang dijumpai pada kasus-kasus yang janinnya
dapat bertahan hidup. Pengalaman menunjukkan bahwa koagulopati serius, bila
terjadi, biasanya tampak saat wanita simtomatik mencari pertolongan.
Mekanisme utama yang hampir pasti berperan adalah induksi koagulasi
intravaskular dan pada derajat yang lebih ringan, retroplasenta. Walaupun pada kasus
solusio plasenta berat dan hipofibrinogenemia sering terjadi pengendapan fibrin
dalam jumlah cukup besar di dalam rongga uterus, jumlah tersebut belum memadai
untuk menyebabkan hilangnya fibrinogen dari sirkulasi (Pritchard dan Brekken,
1967). Lebih lanjut, Bonnar dkk. (1969), demikian juga kami, mengamati bahwa
kadar FDP lebih tinggi di dalam serum darah perifer daripada di serum darah yang
terdapat di rongga uterus. Apabila tidak terjadi koagulasi intravaskular yang
signifikan, hal yang sebaliknyalah yang harus diantisipasi.
Konsekuensi penting koagulasi intravaskular adalah aktivasi plasminogen
menjadi plasmin, yang melisiskan mikroemboli fibrin sehingga potensi mikrosirkulasi
dapat dipertahankan. Pada setiap kasus solusio plasenta berat yang mematikan janin,
kami mengidentifikasi kadar FDP dalam serum ibu yang jelas patologis, lebih dari
100 ug/ml. Namun, setelah transfusi darah berulang, sering terjadi juga
trombositopenia.

Gagal Ginjal
Gagal ginjal akut yang menetap selama suatu periode waktu dijumpai pada
solusio plasenta berat. Hal ini terjadi juga pada kasus yang terapi hipovolemianya
mengalami penundaan atau tidak lengkap. Dari 57 kasus gagal ginjal akut pada wanita
hamil yang dilaporkan oleh Grunfeld dan Pertuiset (1987), 23% dikaitkan dengan
solusio plasenta. Untungnya, tigaperempat kasus gagal ginjal disebabkan oleh
nekrosis tubular akut reversibel (Turney dkk., 1989). Menurut Lindheimer dkk.
(2000), nekrosis kortikal akut pada kehamilan biasanya disebabkan oleh solusio
plasenta, dan 7 di antara 19 wanita dengan lesi ini memang mengalami solusio
plasenta dalam laporan Grunfeld dan Pertuiset (1987).

16
Gangguan serius pada perfusi ginjal adalah konsekuensi perdarahan masif.
Karena preeklamsia sering menyertai solusio plasenta, vasospaseme ginjal
kemungkinan besar makin intensif (Haulth dan Cunningham, 1999). Bahkan apabila
solusio plasenta disertai penyulit koagulasi intravaskular berat, terapi perdarahan
secara dini dan agresif dengan darah dan larutan kristaloid sering dapat mencegah
disfungsi ginjal yang bermakna secara klinis. Atas alasan yang tidak diketahui,
proteinuria sering dijumpai, terutama pada solusio plasenta yang parah. Proteinuria ini
biasanya mereda segera setelah persalinan.

Uterus Couvelaire
Mungkin terjadi ekstravasasi luas darah ke dalam otot uterus dan di bawah
lapisan serosa uterus (Gambar 35-5). Apa yang disebut sebagai apoplekso
uteroplasental ini, yang pertama kalinya dilaporkan oleh Couvelaire pada awal tahun
1900-an, sekarang sering disebut sebagai uterus couvelaire. Efusi darah semcam ini
juga kadang-kadang dijumpai bahwa di serosa tuba, di jaringan ikat ligamentum
latum, dan di ovarium, serta bebas di rongga peritoneum. Insiden pastinya tidak
diketahui karena ekstravasasi ini hanya dapaat diketahui pasti dengan laparotomi.
Perdarahan miometrium ini jarang sampai mengganggu kontraksi uterus sehingga
terjadi perdarahan postpartum berat dan bukan merupakan indikasi untuk
histerektomi.

17
Gambar 35-5. Uterus Couvelaire dengan solusio plasenta total sebelum SC. Darah menginfiltrasi
sebagian besar miometrium hingga mencapai serosa. Setelah janin dikeluarkan dan uterus ditutup,
uterus tetap berkontraksi baik walaupun terjadi ekstravasasi luas darah ke dalam dinding uterus.

Penatalaksanaan
Terapi solusio plasenta akan berbeda-beda tergantung pada usia gestasi serta
status ibu dan janin. Pada janin yang hidup dan matur, dan apabila persalinan
pervaginam tidak terjadi dalam waktu dekat, sebagian besar akan memilih seksio
sesaria darurat. Seperti dibahas kemudian di bagian syok hipovolemik, pada
perdarahan masif, resusitasi intensif dengan darah dan kristaloid serta persalinan
dengan segera untuk menghentikan perdarahan dapat menyelamatkan nyawa ibu, dan
diharapkan juga janinnya. Apabila diagnosis tidak jelas dan janin hidup tetapi tanpa
tanda-tanda gangguan janin, dapat dilakukan pengawasan ketat, dengan fasilitas untuk
intervensi segera.

Penatalaksanaan Menunggu pada Kehamilan Prematur


Menunda persalinan mungkin bermanfaat apabila janin masih imatur. Bond
dkk. (1989) menerapkan penatalaksanaan menunggu terhadap 43 wanita dengan
solusio plasenta sebelum 35 minggu; 31 dari mereka mendapat terapi tokolitik. Rerata
waktu sampai pelahiran pada ke-43 kasus tersebut adalah sekitar 12 hari dan tidak ada
kelahiran mati. Seksio sesarea dilakukan pada 75% kasus.
Wanita dengan tanda-tanda solusio dini sering mengalami oligohidroamnion,
dengan atau tanpa ketuban pecah dini. Elliot dkk. (1998) melaporkan 24 wanita yang
mengalami solusio dengan rerata usia wanita yang mengalami solusio dengan rerata
usia gestasi 20 minggu dan juga mengalami oligohidroamnion. Mereka melahirkan
pada usia gestasi rerata 28 minggu.
Tidak adanya deselerasi yang merugikan tidak menjamin lingkungan
intrauterin aman. Plasenta dapat mengalami pemisahan lebih lanjut setiap saat dan
dapat sangat membahayakan atau mematikan janin kecuali apabila janin segera
dilahirkan. Beberapa kausa langsung gawat janin akibat solusio plasenta diperlihatkan
di Gambar 35-6 harus segera dilakukan langkah-langkah untuk memperbaiki
hipovolemia, anemia dan hipoksia ibu, sehingga fungsi plasenta yang masih
berimplantasi dapat dipulihkan dan dipertahankan demi kesejahteraan janin yang
mengalami kegawatan. Tidak banyak yang dapat dilakukan untuk memperbaiki
penyebab lain gawat janin kecuali dengan melahirkan janin.

18
Tokolitik
Beberapa ahli menganjurkan tokolitik untuk kehamilan preterm yang dicurigai
dipersulit oleh solusio plasenta. Hurd dkk. (1983) mendapatkan bahwa solusio
berlangsung dalam waktu yang lama dan membahayakan apabila diberikan tokolitik.
Sebaliknya, Sholl (1987) serta Combs dkk. (1992) menyajikan data bahwa tokolitik
memperbaiki hasil akhir pada sebagian tertentu kehamilan preterm dengan penyulit
solusio plasenta parsial. Towers dkk. (1999) memberikan magnesium sulfat,
terbutalin, atau keduanya kepada 95 di antara 131 wanita dengan solusio plasenta
yang didiagnosis sebelum minggu ke-36. Angka kematian perinatal sebesar 5% dan
tidak berbeda dari kelompok yang tidak diterapi. Mereka menyimpulkan bahwa dapat
dilakukan uji klinik acak secara aman. Namun, kami berpandangan bahwa solusio
plasenta yang secara klinis nyata harus dianggap kontraindikasi bagi terapi tokolitik.

Seksio Sesarea
Pelahiran secara cepat janin yang hidup tetapi mengalami gawat janin hampir
selalu berarti seksio sesarea. Kayani dkk. (2003) meneliti hubungan antara cepatnya

19
persalinan dan prognosis janinnya pada 33 wanita hamil dengan gejala klinis berupa
solusio plasenta dan bradikardi janin. 22 bayi secara neurologis dapat selamat, 15 bayi
dilahirkan dalam waktu 20 menit setelah keputusan akan dilakukan operasi. 11 bayi
meninggal atau berkembang menjadi Cerebral Palsy, 8 bayi dilahirkan di bawah 20
menit setelah pertimbangan waktu, sehingga cepatnya respons adalah faktor yang
penting bagi prognosis bayi ke depannya.
Elektrode yang dipasang langsung di janin dapat, walaupun jarang, memberi
informasi yang menyesatkan, seperti pada kasus yang diperlihatkan pada Gambar 35-
7. Paling tidak pada kesan pertama, dijumpai denyut 80-90 x/menit disertai
variabilitas denyut demi denyut. Namun, janin ternyata sudah meninggal. Tidak
terdengar denyut jantung janin, dan denyut nadi ibu identik dengan yang terekam
melalui eletrode kepala janin. Seksio sesarea pada saat ini besar kemungkinan dapat
membahayakan ibu karena mengalami hipovolemia berat dan koagulopati konsumtif
yang parah.

Persalinan Pervaginam
Apabila terlepasnya plasenta sedemikian parah sehingga menyebabkan janin
meninggal, lebih dianjurkan persalinan pervaginam kecuali apabila perdarahannya
sedemikian deras sehingga tidak dapat diatasi bahkan dengan penggantian darah
secara agresif, atau terdapat penyulit obstetri yang menghambat persalinan
pervaginam. Defek koagulasi berat kemungkinan besar dapat menimbulkan kesulitan
pada seksio sesarea. Insisi abdomen dan uterus rentan terhadap perdarahan hebat
apabila koagulasi terganggu. Hemostasis di tempat implantasi plasenta terutama
bergantung pada kontraksi miometrium. Dengan demikian, pada persalinan

20
pervaginam, stimulasi miometrium secara farmakologis atau dengan massage uterus
akan menyebabkan pembuluh-pembuluh darah berkontriksi sehingga perdarahan
serius dapat dihindari walaupun defek koagulasinya masih ada. Lebih lanjut,
perdarahan yang sudah terjadi akan dikeluarkan melalui vagina. Salah satu indikasi
untuk seksio sesarea walaupun terbukti janin meninggal diilustrasikan berikut ini :
Walaupun dicurigai terjadi solusio plasenta, karena ruptur akibat riwayat
seksio sesarea belum dapat disingkarkan, dilakukan seksio sesarea berulang terhadap
janin 26 minggu yang sudah meninggal. Pasien menderita hipofibrinogemia berat dan
pada semua insisi bedah terjadi perdarahan serius. Perdarahan yang menetap
mengharuskan dilakukannya histerektomi diikuti oleh ligasi arteri illiaka interna.
Pasien mendapat larutan Ringer Laktat bersama dengan 17 unit darah, 8 unit plasma,
dan 10 unit trombosit untuk mempertahankan perfusi dan mengatasi koagulopati,
yang akhirnya mereda saat operasi.

Persalinan
Pada solusio plasenta yang luas, uterus kemungkinan besar mengalami
hipertonus menetap. Tekanan intra amnion basal mungkin mencapai 50 mmHg atau
lebih, dengan peningkatan ritmik sampai 75-100 mmHg. Karena hipertonusnya
menetap, kadang-kadang sulit diketahui dengan palpasi apakah uterus mengalami
kontraksi dan relaksasi sampai tahap tertentu (Gambar 35-8).

Amniotomi
Pemecahan selaput ketuban sedini mungkin telah lama dianggap penting
dalam penatalaksanaan solusio plasenta. Alasan dilakukannya amniotomi ini adalah
bahwa keluarnnya cairan amnion dapat mengurangi perdarahan dari tempat implantasi

21
dan mengurangi masuknya tromboplastin dan mungkin faktor-faktor pembekuan aktif
dari bekuan retroplasenta ke dalam sirkulasi ibu. Namun, tidak ada bukti keduanya
tercapai dengan amniotomi. Apabila janin sudah cukup matur, pemecahan selaput
ketuban dengan mempercepat persalinan. Apabila janin imatur, ketuban yang utuh
mungkin lebih efisien untuk mendorong pembukaan serviks daripada tekanan yang
ditimbulkan bagian tubuh janin yang berukuran kecil dan kurang menekan serviks.

Oksitosin
Walaupun pada sebagian besar kasus solusio plasenta berat terjadi
hipertonisitas yang mencirikan kerja miometrium, apabila tidak terjadi kontraksi
uterus yang ritmik, pasien diberi oksitosin dengan dosis standar. Stimulasi uterus
untuk menimbulkan persalinan pervaginam memberikan manfaat yang lebih besar
daripada risiko yang didapat. Pemakaian oksitosin pernah dipertanyakan berdasarkan
anggapan bahwa tindakan ini dapat meningkatkan masuknya tromboplastin ke dalam
sirkulasi ibu sehingga memacu atau memperparah kaogulopati konsumtif atau
sindroma emboli cairan amnion. Belum ada bukti yang menunjang kekhawatiran ini
(Clark dkk., 1995; Pritchard dan Brekken, 1967).

Penentuan Waktu Kelahiran setelah Solusio Plasenta Berat


Apabila janin meninggal atau belum viable, tidak ada bukti bahwa diperlukan
penentuan batas waktu secara tegas. Pengalaman di Universitiy of Virginia dan
Parkland Hospital mengisyaratkan bahwa prognosis ibu lebih bergantung pada
ketekunan memberi terapi sulih darah dan cairan yang memadai dibandingkan pada
interval sampai persalinan (Brame dkk., 1968; Pritchard dan Brakken, 1967). Di
University of Virginia Hospital, wanita dengan solusio plasenta berat yang mendapat
transfusi selama 18 jam atau lebih sebelum melahirkan, mengalami penyulit yang
tidak lebih banyak atau lebih parah daripada kelompok yang melahirkan lebih awal.

Plasenta previa
Definisi
Pada plasenta previa, plasenta terletak menutupi atau sangat dekat dengan
ostium uteri interna. Diketahui terdapat 4 derajat kelainan ini :
1. Plasenta previa totalis ostium internum seluruhnya tertutupi plasenta

22
2. Plasenta previa parsialis sebagian ostium internum tertutup oleh plasenta
3. Plasenta previa marginalis tepi plasenta terletak di batas ostium internum
4. Plasenta letak rendah plasenta tertanam di segmen bawah uterus sehingga
tepi plasenta sebenarnya tidak mencapai ostium internum tetapi sangat dekat
dengannya

Gambar 35-9. Plasenta previa totalis. Bahkan dengan dilatasi serviks paling ringan yang dapat
digambarkan, dapat terjadi perdarahan hebat.

Gambar 35-10. Plasenta previa parsialis yang terlihat melalui pembukaan serviks 3-4 cm pada usia
gestasi 22 minggu. Tanda panah menunjukkan mukus yang keluar dari serviks. Kejang pada uterus
tampak jelas, tetapi perdarahan intermitten telah berhenti 1 bln sebelumnya. Janin memiliki berat 410 g
saat dikeluarkan pervaginam keesokan harinya. Kehilangan darah tidak terlalu banyak.

Keadaan lain, yang disebut vasa previa, adalah keadaan dengan pembuluh-
pembuluh janin berjalan melewati selaput ketuban dan terdapat di ostium uteri
internum. Kondisi ini merupakan penyebab perdarahan anterpartum yang jarang dan

23
memiliki angka kematian janin yang tinggi. Diagnosis prenatal dengan USG
memperbaiki prognosis perinatal (Lee dkk., 2000).
Derajat plasenta previa sebagian besar akan bergantung pada pembukaan
serviks saat diperiksa. Sebagai contoh, plasenta letak rendah pada luar tepi
pembukaan 2 cm dapat menjadi plasenta previa parsial pada pembukaan 8 cm karena
serviks yang berdilatasi akan memajankan plasenta. Sebaliknya, plasenta previa yang
tampak total sebelum pembukaan serviks dapat menjadi parsial pada pembukaan 4 cm
karena serviks berdilatasi di luar tepi plasenta (Gambar 35-11). Palpasi dengan jari
untuk memastikan hubungan perubahan antara tepi plasenta dengan ostium uteri
internum sewaktu serviks membuka dapat memicu perdarahan hebat.
Pada plasenta previa totalis dan parsialis, terlepasnya plasenta secara spontan
sampai tahap tertentu merupakan konsekuensi yang tidak terhindarkan dari
pembetukan segmen bawah uterus dan pembukaan serviks. Pelepasan ini
menyebabkan perdarahan akibat robeknya pembuluh darah.

Insidensi
Berdasarkan pusat data kelahiran dari tahun 2001, plasenta previa terjadi pada
1 dari 305 persalinan (Martin dkk., 2002). Di Prentice Womans Hospital, Frederiksen
dkk. (1999) melaporkan bahwa 0.55% (1 dari 180) pada hampir 93.500 pelahiran
mengalami penyulit plasenta previa. Crane dkk. (1999) mendapatkan insiden 0.33%
(1 dari 300) pada hampir 93.000 persalinan di Nova Scotia. Di Parkland Hospital,
insidensinya adalah 0.26% (1 dari 390) pada lebih dari 169.000 persalinan selama 12
tahun. Angka-angka statistik ini sangat serupa walaupun terdapat keseragaman dalam
definisi dan identifikasi untuk alasan-alasan yang sudah dibahas. Pertanyaan yang
sulit dijawab adalah apakah perdarahan asimptomatik akibat pemisahan fokal palsenta
yang tertanam di segmen bawah uterus tetapi jauh dari ostium interum serviks yang
membuka parsial harus diklasifikasikan sebagai plasenta previa atau solusio plasenta.
Tak pelak lagi, kasus ini termasuk keduanya.

Etiologi
Usia ibu yang lanjut meningkatkan risiko plasenta previa. Seperti
diperlihatkan di Gambar 25.4, pada lebih dari 169.000 pelahiran di Parkland Hospital
dari tahun 1988 sampai 1999, insiden plasenta previa meningkat secara bermakna di
setiap kelompok usia. Pada kedua ujung, insidennya adalah 1 dari 1500 untuk wanita

24
berusia 19 tahun atau kurang dan 1 dari 100 wanita untuk berusia lebih dari 35 tahun.
Frederiksen dkk. (1999) melaporkan bahwa insiden plasenta previa meningkat dari
0.3% pada tahun 1967 menjadi 0.7% pada tahun 1997. Mereka memperkirakan bahwa
hal ini disebabkan oleh bergesernya usia populasi obstetri ke arah yang lebih tua.

Multiparitas
Dilaporkan berkaitan dengan plasenta previa. Dalam sebuah studi terhadap
314 wanita para 5 atau lebih, Babinszki dkk. (1999) melaporkan bahwa insiden
plasenta previa adalah 2.2% dan meningkat dengan para yang lebih rendah. Pada lebih
dari 169.000 wanita di Parkland Hospital, insidensinya untuk wanita para 3 atau lebih
adalah 1 dari 175.

Riwayat Seksio Sesarea


Meningkatkan kemungkinan terjadinya plasenta previa. Nielsen dkk. (1989)
mendapatkan peningkatan insiden plasenta previa lima kali lipat pada wanita Swedia
dengan riwayat seksio sesarea. Di Parkland, insiden meningkat dua kali lipat dari 1 di
antara 40 menjadi 1 di antara 200 pada riwayat seksio sesarea minimal satu kali.
Miller dkk. (1996), dari 150.000 lebih pelahiran di Los Angeles County Womens
Hospital, menyebutkan peningkatan tiga kali lipat plasenta previa pada wanita dengan
riwayat seksio sesarea. Insiden meningkat seiring dengan jumlah seksio sesarea yang
pernah dijalani-angkanya 1.9% pada riwayat seksio sesarea dua kali dan 4.1% pada
riwayat seksio sesarea tiga kali atau lebih. Jelaslah, riwayat seksio sesarea disertai
plasenta previa meningkatkan insiden histerektomi. Frederiksen dkk. (1999)
melaporkan angka histerektomi 25% pada wanita dengan seksio sesarea berulang atas
indikasi plasenta previa dibandingkan dengan hanya 6% pada mereka yang menjalani
seksio sesarea primer atas indikasi plasenta previa.
Williams dkk. (1991b) mendapatkan risiko relatif untuk plasenta previa
meningkat dua kali lipat akibat merokok. Mereka berteori bahwa hipoksemia akibat
karbonmonoksida menyebabkan hipertrofi plasenta kompensatorik. Temuan-temuan
ini dikonfirmasi oleh Handler dkk. (1994). Mungkin terdapat kaitan antara gangguan

25
vaskularisasi desidua, yang mungkin disebabkan oleh peradangan atau atrofi dengan
terjadinya plasenta previa.

Manifestasi Klinis
Karakteristik yang khas untuk suatu plasenta previa adalah perdarahan
pervaginam tanpa disertai rasa nyeri, yang mana biasanya tidak tampak sampai pada
akhir trimester kedua atau sesudahnya. Beberapa kasus aborsi, mungkin berupa hasil
dari lokasi yang abnormal dari insersi plasenta di uterus. Seringnya, perdarahan dari
plasenta previa memiliki onset yang tidak menunjukkan suatu tanda yang khas, tidak
adanya rasa sakit pada wanita yang tidak melakukan pemeriksaan prenatal dengan
baik. Untungnya, perdarahan jarang masif dan tidak menyebabkan suatu yang fatal.
Biasanya perdarahan dapat berhenti secara spontan namun dapat timbul kembali. Pada
beberapa wanita, sebagian dari mereka memiliki plasenta yang impantasinya dekat
dengan ostium uteri internum namun tidak menutupinya, perdarahan pun tidak terjadi
sampai dekat dengan proses persalinan.
Penyebab perdarahan dapat dijelaskan ketika plasenta yang lokasinya
menutupi ostium uteri internum, struktur dari segmen bawah uterus dan dilatasi dari
ostium uteri internum menyebabkan lepasnya plasenta dari tempat impantasinya.
Perdarahan ditambah dengan ketidakmampuan dari bagian segmen bawah uterus
untuk berkontraksi.
Perdarahan dari tempat implantasi plasenta di segmen bawah uterus dapat
berlanjut setelah pelahiran plasenta, karena kontraksi dari segmen bawah uterus yang
kurang dibandingkan dengan bagian korpus uteri. Perdarahan dapat juga berasal dari
laserasi serviks dan segmen bawah uterus, terutama setelah dilakukan manual plasenta
akibat susah lepasnya plasenta.

Plasenta Akreta, Inkreta, dan Perkreta


Plasenta previa mungkin disertai oleh plasenta akreta atau salah satu bentuk
lanjutnya, plasenta inkreta atau perkreta. Perlekatan plasenta yang terlalu kuat tersebut
diperkirakan terjadi apabila desidua di segmen bawah uterus kurang berkembang.
Hampir 7% di antara 514 kasus plasenta previa yang dilaporkan oleh Frederiksen dkk.
(1999) juga disertai kelainan perlekatan plasenta. Biswas dkk. (1999) melakukan
biopsi jaringan plasenta saat seksio sesarea pada 50 wanita dengan plasenta previa dan
50 wanita kontrol. Sementara sekitar separuh spesimen dari plasenta previa

26
memperlihatkan arteriol spiralis miometrium mengalami infiltrasi sel raksasa
trofoblastik, hanya 20% dari spesimen yang impantasinya normal memperlihatkan
temuan serupa.

Gangguan Pembekuan Darah


Menurut pengalaman kami, koagulopati jarang terjadi pada plasenta previa
walaupun telah terjadi pemisahan luas di tempat implantasi. Wing dkk. (1996)
meneliti 87 wanita dengan perdarahan antepartum akibat plasenta previa dan tidak
mendapatkan bukti adanya koagulopati. Mungkin tromboplastin, yaitu pemicu
koagulasi intravaskular yang sering terjadi pada solusio plasenta, segera keluar
melalui kanalis servikalis dan tidak dipaksa masuk ke sirkulasi ibu.

Diagnosis
Pada wanita dengan perdarahan uterus selama paruh terakhir kehamilan,
plasenta previa atau solusio plasenta harus selalu dicurigai. Kemungkinan plasenta
previa tidak boleh disingkirkan sampai pemeriksaan yang sesuai, termasuk USG, jelas
membuktikan tidak adanya diagnosis tersebut. Diagnosis plasenta previa jarang dapat
dipastikan dengan pemeriksaan klinis, kecuali apabila satu jari tangan dimasukkkan
melalui serviks dan plasenta diraba. Pemeriksaan serviks seperti ini jarang dilakukan
kecuali apabila wanita yang bersangkutan sudah di meja operasi dengan segala
persiapan untuk seksio sesarea segera karena bahan pemeriksaan yang paling hati-hati
pun dapat menyebabkan perdarahan masif. Selain itu, pemeriksaan ini jangan
dilakukan, kecuali apabila memang telah direncanakan pelahiran, karena dapat terjadi
perdarahan yang sedemikian rupa sehingga janin perlu segera dilahirkan walaupun
masih imatur. Pemeriksaan double set-up semacam ini jarang diperlukan karena
lokasi plasenta hampir selalu dapat diketahui dengan USG.

Penentuan Lokasi dengan USG


Metode paling sederhana, tepat, dan aman untuk mengetahui lokasi plasenta
adalah dengan USG transabdominal (Gambar 35-11 dan 35-12). Menurut Laing
(1996), rata-rata tingkat akurasinya adalah sekitar 96%, dan angka setinggi 98%
pernah dicapai. Hasil positif palsu sering disebabkan oleh distensi kandung kemih.
Karena itu, USG pada kasus yang tampaknya positif harus diulang setelah kandung
kemih dikosongkan. Sumber kesalahan yang jarang terjadi adalah identifikasi plasenta

27
yang sebagian besar berimplantasi di fundus tetapi tidak disadari bahwa plasenta
tersebut besar dan meluas ke bawah sampai ke ostium uteri internum.

Pemakaian USG transvaginal telah secara nyata menyempurnakan tingkat


ketepatan diagnosis plasenta previa. Meskipun tampak berbahaya ketika memasukkan
probe USG ke dalam vagina dengan plasenta previa, teknik ini menunjukkan tindakan
yang aman (Timor-Tritsch dan Yunis, 1993). Farine dkk. (1998) mampu melakukan
visualisasi ostum uteri internum serviks pada semua kasus dengan teknik transvaginal,
berbeda dengan hanya 70% pada penggunaan alat transabdominal. Pada studi lanjut
yang membandingkan USG transabdominal dengan transvaginal, Smith (1997) dan
Taipale (1998) menemukan bahwa teknik USG transvaginal menunjukkan hasil yang
lebih superior.

Hertzberg dkk. (1992) membuktikan bahwa USG tranperineal memungkinkan


kita melihat ostium internum pada semua kasus yang diteliti (164 kasus) karena USG

28
transabdominal memperlihatkan adanya plasenta previa atau tidak konklusif. Plasenta
previa dapat tepat disingkirkan pada 154 wanita dan pada 10 wanita yang semula
didiagnosis secara sonografis, 9 wanita mengalami plasenta previa yang terbukti saat
persalinan. Nilai prediksi positif adalah 90% dan nilai prediksi negatif adalah 100%.

Magnetic Resonance Imaging (MRI)


Sejumlah peneliti menggunakan MRI untuk memvisualisasikan kelainan
plasenta, termasuk plasenta previa. Meskipun banyak hal positif pada penggunaan
MRI, kecil kemungkinan bahwa dalam waktu dekat teknologi ini akan menggantikan
USG untuk digunakan pada evaluasi rutin.

Migrasi Plasenta
Sejak dilaporkan oleh King (1973), telah dipastikan bahwa plasenta memiliki
sifat berkeliling (peripatetic). Sanderson dan Milton (1991) mendapatkan bahwa
plasenta letak rendah terdapat 12 % pada 4300 wanita dengan usia kehamilan 18
sampai 20 minggu. Dari kasus-kasus plasenta yang tidak menutupi ostium internum,
plasenta previa tidak menetap dan tidak terjadi perdarahan. Sebaliknya, dari kasus
plasenta yang menutupi ostium uteri internum pada pertengahan kehamilan, sekitar
40% menetap sebagai plasenta previa. Dengan demikian, plasenta yang terletak dekat
dengan ostium internum, tetapi tidak menutupinya, selama trimester kedua, atau
bahkan pada awal trimester ketiga, kecil kemungkinan akan tetap previa pada aterm.
Seperti diperlihatkan pada Gambar 35-13, tampak bahwa plasenta previa
menjadi persisten setelah diidentifikasi dengan USG sebelum umur kehamilan 28
minggu lebih banyak pada wanita yang pernah mengalami seksio sesarea (Dashe dkk.,
2002). Tidak adanya abnormalitas yang lain, USG tidak perlu diulang untuk
mengetahui letak plasenta. Pembatasan akan aktivitas tidak diperlukan jika tidak
didapatkan plasenta previa yang persisten sebelum umur kehamilan 28 minggu, atau
tampak secara klinis sebelum waktunya.

29
Mekanisme pergerakan plasenta ini masih belum jelas dipahami sepenuhnya.
Namun, istilah migrasi jelas kurang tepat karena invasi vili korionik ke dalam desidua
di kedua sisi ostium internum serviks akan menetap. Pergerakan yang dijumpai pada
plasenta letak rendah relatif terhadap ostium internum mungkin disebabkan
ketidakmampuan mendefinisikan secara pasti hubungan ini dalam tiga dimensi
dengan menggunakan USG dua dimensi pada awal kehamilan. Kesulitan ini
diperberat oleh perbedaan pertumbuhan segmen miometrium bagian atas dan bawah
seiring dengan perkembangan kehamilan. Karena itu, pada plasenta yang
memperlihatkan migrasi, kemungkinan besar invasi vilus di tepi plasenta memang
tidak pernah benar-benar mencapai os internum serviks.

Penatalaksanaan
Wanita dengan plasenta previa dapat dibagi sebagai berikut :
1. Mereka yang janinnya preterm tetapi belum ada indikasi untuk pelahiran
2. Mereka yang janinnya sudah cukup matur
3. Mereka yang sudah inpartu
4. Mereka yang perdarahannya sedemikian berat sehingga janin harus dilahirkan
walaupun masih imatur
Penatalaksanaan pada janin prematur tetapi tanpa perdarahan aktif adalah
pengawasan ketat. Pada sebagian kasus mungkin perlu dilakukan rawat inap
bekepanjangan, namun wanita yang bersangkutan biasanya dipulangkan setelah
perdarahan berhenti dan janin dinilai baik. Wanita tersebut dan keluarganya harus
benar-benar memahami masalah plasenta previa dan keluarganya harus siap sedia
mengantar ke rumah sakit. Pada pasien plasenta previa yang telah diseleksi dengan

30
benar, tampaknya tidak terdapat keuntungan penatalaksanaan rawat inap
dibandingkan dengan rawat jalan (Mouer, 1994). Drost dan Keil (1994) membuktikan
adanya pengurangan hari rawat inap sebesar 50%, dan penurunan biaya pada
pasangan ibu-janin 40% tanpa perbedaan morbiditas ibu atau janin pada
penatalaksanaan rawat jalan dibandingkan rawat inap. Wing dkk. (1996a) melaporkan
hasil awal dari uji klinis acak mereka tentang penatalaksanaan rawat inap
dibandingkan rawat di rumah terhadap 53 wanita dengan perdarahan akibat plasenta
previa pada 24 sampai 36 minggu. Morbiditas ibu dan janin setara di kedua
kelompok, tetapi penatalaksanaan di rumah menghemat sekitar 15.000 USD per
kasus. Yang utama, 33 (62%) di antara 53 wanita ini mengalami perdarahan berulang
dan pada 28 (52%) orang diperlukan tindakan seksio sesarea segera.

Persalinan
Seksio sesarea diperlukan pada hampir semua kasus plasenta previa. Pada
sebagian besar kasus dilakukan insisi uterus tranversal. Karena perdarahan janin dapat
terjadi akibat insisi ke dalam plasenta anterior, kadang-kadang dianjurkan insisi
vertikal pada keadaan ini. Namun, bahkan apabila insisi meluas hingga mencapai
plasenta, prognosis ibu dan janin jarang terganggu.
Teknik bedah alternatif yang menghindari dilakukannya insisi pada plasenta
telah dijelaskan oleh Ward (2003). Mengikuti insisi uterus, rencana yang hati-hati
dilakukan dengan jari tangan di antara uterus dan plasenta sehingga tercipta ruang
yang cukup dalam melakukan persalinan.
Karena sifat kontraktil segmen bawah uterus yang sangat lemah mungkin
terjadi perdarahan yang tidak terkendali setelah plasenta dikeluarkan. Hal ini dapat
terjadi walaupun secara histologis tidak terbukti adanya plasenta akreta. Pada situasi
ini, diindikasikan penatalaksanaan yang sesuai untuk plasenta akreta. Apabila plasenta
previa dipersulit oleh adanya plasenta akreta sehingga cara-cara konservatif untuk
mengendalikan perdarahan dari tempat perlekatan plasenta tidak berhasil diperlukan
metode hemostasis yang lain. Penjahitan tempat implantasi dengan benang kromik 0
mungkin dapat menghentikan perdarahan. Pada sebagian kasus, perlu dilakukan ligasi
bilateral arteri uterina, dan pada yang lain perdarahan berhenti setelah ligasi arteri
iliaka interna. Cho dkk. (1991) menerangkan tindakan penjahitan sirkuler interrupted
dengan benang kromik 0 di sekitar segmen bawah, di atas dan di bawah insisi
melintang, untuk mengendalikan perdarahan pada seluruh (8 orang) pasien yang

31
menjalani metode ini. Druzin (1989) melaporkan 4 kasus dengan segmen bawah
uterus ditampon ketat menggunkan kassa yang berhasil menghentikan perdarahan.
Tampon kassa dikeluarkan melalui vagina 12 jam kemudian. Pada sebagian kasus,
ligasi arteri uterina atau iliaka interna seperti dijelaskan dapat menghentikan
perdarahan. Embolisasi arteri pelvika juga pernah dilakukan (Hansch dkk., 1999;
Palage dkk., 1999). Apabila tindakan-tindakan konservatif ini gagal, dan
perdarahannya deras, perlu dilakukan histerektomi. Bagi wanita yang plasenta
previanya tertanam di anterior pada bekas insisi seksio sesarea, maka kemungkinan
plasenta akreta dan perlunya histerektomi meningkat.

Prognosis
Telah terjadi penurunan mencolok angka kematian ibu akibat plasenta previa,
suatu kecenderungan yang dimulai pada tahun 1927 saat Bill menyarankan transfusi
yang memadai dan seksio sesarea. Sejak tahun 1945, saat Macafee dan Johnson secara
terpisah menyarankan terapi menunggu untuk pasien yang jauh dari aterm,
kecenderungan serupa terjadi pada angka kematian perinatal. Walaupun separuh
wanita memiliki kehamilan mendekati aterm saat perdarahan pertama kali terjadi,
persalinan prematur masih menimbulkan masalah besar bagi sisanya, karena tidak
semua wanita dengan plasenta previa dan janin prematur dapat menjalani
penatalaksanaan menunggu. Menariknya, Buler dkk., 2001, menemukan bahwa
wanita dengan plasenta previa yang juga memiliki serum alfa fetoprotein (AFP)
setidaknya 2.0 multilpes of the median (MOM) dimana terdapat peningkatan risiko
dari perdarahan dini pada trimester ketiga dan persalinan prematur.

Perdarahan Postpartum
Perdarahan setelah melahirkan adalah konsekuensi perdarahan berlebihan dari
tempat implantasi plasenta, trauma di traktus genitalia dan struktur di sekitarnya, atau
keduanya (Tabel 35-5). Dengan demikian, perdarahan postpartum merupakan
penjelasan suatu kejadian, dan bukan diagnosis.

Tabel 35-5. Faktor Predisoposisi dan Penyebab Pedarahan Postpartum

32
Perdarahan dari Tempat Implantasi Plasena
Miometrium hipotonik-atonia uteri
o Beberapa obat anestetik
o Kurangnya perfusi miometrium-hipotensi
Perdarahan
Konduksi analgesik
o Uteris overdistensi-janin besar, gemelli, hidroamnion
o Persalinan yang lama
o Persalinan yang terlalu cepat
o Induksi dan augmentasi oleh oksitosin
o Paritas tinggi
o Riwayat atonia uteri
o Korioamnionitis
Retensi sisa plasenta
o Avulsi kotiledon, lobus suksenturia
o Perlekatan abnormal-akreta, inkreta, perkreta
Trauma Traktus Genitalis
Episiotomi yang terlalu lebar
Laserasi perineum, vagina, dan serviks
Ruptura uteri
Defek Koagulasi

Definisi
Secara tradisional, perdarahan postpartum didefinisikan sebagai hilangnya 500
ml atau lebih darah setelah kala tiga persalinan selesai. Bagaimanapun, hampir
separuh wanita yang melahirkan pervaginam mengeluarkan darah dalam jumlah
tersebut atau lebih, apabila diukur secara kuantitatif (Gambar 35-14). Karena itu,
perdarahan selama persalinan pervaginam yang sedikit banyak melebihi 500 ml
berdasarkan pengukuran yang akurat tidak selalu berarti penyimpangan. Pritchard
dkk. (1962) mendapatkan bahwa sekitar 5% wanita yang melahirkan per vaginam
kehilangan lebih dari 1000 ml darah. Mereka juga mengamati bahwa jumlah darah
yang diperkirakan keluar sering hanya separuh jumlah sebenarnya. Berdasarkan

33
patokan perkiraan darah yang keluar 500 ml, perdarahan postpartum terjadi pada
sekitar 5% persalinan. Karena itu, di banyak institusi perkiraan perdarahan yang lebih
dari 500 ml seharusnya menyebabkan ibu yang mengalami perdarahan berlebihan
perlu diperhatikan dan mengingatkan dokter bahwa terdapat ancaman perdarahan
yang berbahaya.

Hal ini setara dengan pengeluaran darah 1000 ml pada seksio sesarea, 1400 ml
pada histerektomi sesarea elektif, dan 3000 sampai 3500 ml untuk histerektomi
sesarea darurat (Chestnut dkk., 1985; Clark dkk., 1984). Wanita yang secara normal
mengalami hipervolemia selama hamil biasanya akan mengalami peningkatan volume
darah sebesar 30 sampai 60%, yang untuk wanita berukuran tubuh rata-rata setara
dengan 1.5 sampai 2 L (Pritchard, 1965). Karenanya, ia dapat mentoleransi, tanpa
mengalami penurunan bermakna hemtokrit postpartum, perdarahan saat persalinan
yang volumenya mendekati jumlah pertambahan darah selama hamil. Pada satu
penelitian, rerata hematokrit postpartum menurun sebesar 2.6% sampai 4.3% volume;
sepertiga wanita tidak memperlihatkan penurunan atau bahkan mengalami
peningkatan (Combs dkk., 1991b). Wanita yang menjalani seksio sesarea mengalami
penurunan rerata hematokrit 4.2% volume, tetapi 20% tidak memperlihatkan
penurunan (Combs dkk., 1991a). Pedarahan setelah 24 jam pertama disebut
perdarahan postpartum lanjut.

Hemostasis di Tempat Implantasi Plasenta


Menjelang aterm, diperkirakan bahwa sekitar 600 ml/menit darah mengalir
melalui ruang antarvilus. Dengan terlepasnya plasenta, arteri-arteri dan vena-vena

34
uterina yang mengangkut dari dan ke plasenta terputus secara tiba-tiba. Di bagian
tubuh lain, hemostasis tanpa ligasi bedah bergantung pada vasospasme intrinsik dan
pembentukan bekuan darah lokal. Di tempat implantasi plasenta, yang paling penting
untuk hemostasis adalah kontraksi dan retraksi miometrium untuk menekan pembuluh
darah dan menutup lumennya. Potongan plasenta atau bekuan darah besar yang
melekat akan menghambat kontraksi dan retraksi miometrium yang efektif sehingga
hemostasis di tempat implantasi plasenta terganggu. Perdarahan postpartum yang fatal
dapat terjadi akibat uterus hipotonik walaupun mekanisme koagulasi ibu cukup
normal. Sebaliknya, apabila miometrium di tempat implantasi atau di dekatnya
berkontraksi dan retraksi dengan kuat, kecil kemungkinan terjadi perdarahan fatal dari
tempat implantasi plasenta walaupun mekanisme pembekuan darah sangat terganggu.

Gambaran Klinis
Perdarahan postpartum sebelum plasenta lahir disebut perdarahan kala tiga.
Berbeda dengan pendapat umum, apabila perdarahan dimulai sebelum atau setelah
pelahiran plasenta, atau pada keduanya, mungkin tidak terjadi perdarahan masif,
tetapi jarang terjadi perdarahan terus menerus yang tampaknya sedang tetapi menetap
sampai timbul hipovolemia serius. Perembesan yang terus menerus ini, terutama pada
perdarahan setelah plasenta lahir, dapat menyebabkan kehilangan darah dalam jumlah
besar.
Efek perdarahan banyak bergantung pada volume darah sebelum hamil,
derajat hipervolemia terinduksi kehamilan, dan derajat anemia saat persalinan.
Gambaran perdarahan postpartum yang dapat mengecohkan adalah kegagalan nadi
dan tekanan darah untuk mengalami perubahan besar sampai terjadi kehilangan darah
sangat banyak. Wanita normotensif mungkin sebenarnya mengalami hipovolemia
berat. Yang tragis, hipovolemia ini mungkin belum diketahui sampai tahap sangat
lanjut.
Wanita dengan preeklamsia berat biasanya tidak mengalami hipervolemia
terinduksi kehamilannya. Karena itu, ia sering sangat peka atau bahkan tidak toleran
terhadap apa yang sebenarnya merupakan perdarahan normal. Karena itu, apabila
dicurigai terjadi perdarahan berlebihan pada wanita dengan hipertensi berat, harus
dilakukan upaya-upaya untuk segera mengidentifikasi berbagai gambaran klinis dan
laboratorium yang mengharuskan pemberian larutan kristaloid dan darah dalam
jumlah besar.

35
Apabila fundus kurang terpantau setelah melahirkan, darah mungkin tidak
keluar dari vagina, tetapi tertimbun di dalam uterus. Dalam hal ini rongga uterus dapat
teregang oleh 1000 ml atau lebih darah sementara petugas kesehatan yang membantu
lalai mengidentifikasi uterus yang besar atau, setelah mengidentifikasinya, secara
salah memijat gumpalan lemak abdomen. Karena itu, perawatan uterus postpartum
jangan diserahkan kepada petugas yang kurang berpengalaman.

Diagnosis
Kecuali apabila penimbunan darah intrauterin dan intravagina mungkin tidak
teridentifikasi, atau pada beberapa kasus ruptura uteri dengan perdarahan
intraperitoneum, diagnosis perdarahan postpartum sebenarnya mudah. Perbedaan
sementara antara perdarahan akibat atonia uteri dan akibat laserasi ditegakkan
berdasarkan kondisi uterus. Apabila perdarahan berlanjut walaupun uterus
berkontraksi kuat, penyebab perdarahan kemungkinan besar adalah laserasi. Darah
merah segar juga mengisyaratkan adanya laserasi. Untuk memastikan peran laserasi
sebagai penyebab perdarahan, harus dilakukan inspeksi yang cermat terhadap vagina,
serviks, dan uterus.
Kadang-kadang perdarahan disebabkan baik oleh atonia maupun trauma,
terutama setelah pelahiran operatif. Secara umum, harus dilakukan inspeksi serviks
dan vagina setelah setiap persalinan untuk mengidentifikasi perdarahan akibat
laserasi. Anestesi harus adekuat untuk mencegah rasa tidak nyaman saat pemeriksaan.
Pemeriksaan terhadap rongga uterus, serviks, dan keseluruhan vagina harus dilakukan
setelah ekstrasi bokong, versi podalik internal, dan persalinan pervaginam pada
wanita yang pernah menjalani seksio sesarea. Hal yang sama berlaku pada perdarahan
berlebihan selama kala dua persalinan.

Sindroma Sheehan
Perdarahan intrapartum atau postpartum dini yang parah kadang-kadang
diikuti kegagalan hipofisis. Pada kasus klasik sindroma Sheehan, hal ini ditandai oleh
kegagalan laktasi, amenorrhea, atrofi payudara, hilangnya rambut pubis dan aksila,
hipotiroidisme, dan insufisiensi korteks adrenal. Patogenesis pasti belum sepenuhnya
diketahui karena kelainan endokrin semacam ini tidak terjadi pada sebagian besar
wanita yang mengalami perdarahan hebat. Pada sebagian namun tidak semua
sindroma Sheehan, kelainan endokrin disebabkan oleh nekrosis hipofisis anterior

36
dengan derajat bervariasi yang disertai gangguan sekresi satu atau lebih hormon
trofik. Hipofisis anterior sebagian wanita yang mengalami hipopituitarisme setelah
perdarahan masa nifas berespons terhadap pemberian berbagai releasing hormon,
yang paling tidak mengisyaratkan adanya gangguan fungsi hipotalamus. Selain itu,
Whitehead (1963) secara histologis mengidentifikasi perubahan-perubahan atrofik
spesifik di nukleus hipotalamus pada sebagian kasus. Laktasi setelah melahirkan
biasanya, tetapi tidak selalu, menyingkirkan kemungkinan nekrosis hipofisis yang
luas. Pada sebagian wanita, kegagalan menyusui mungkin tidak diikuti oleh gejala-
gejala lain insufisiensi hipofisis sampai beberapa tahun kemudian. Dalam penelitian
yang dilaporkan oleh Ammini dan Mathur (1994), rata-rata durasi awitan gejala
adalah 5 tahun.
Insiden sindroma Sheehan semula diperkirakan 1 per 10.000 persalinan
(Sheehan dan Murdoch, 1938). Di Amerika Serikat, saat ini sindroma tersebut
tampaknya sudah semakin jarang dijumpai. Serangkaian tes fungsi hipotalamus dan
hipofisis yang sekarang tersedia seharusnya dapat mengidentifikasi bentuk-bentuk
ringan sindroma ini dan menentukan prevalensinya (Grimes dan Brooks, 1980).
Bakiri dkk. (1991) menggunakan CT scan untuk meneliti 54 wanita yang terbukti
mengalami sindroma Sheehan. Pada kesemuanya, gambaran hipofisis abnormal; sella
tursika kosong baik secara parsial atau total.

Perdarahan Kala Tiga


Sebagian perdarahan selama kala tiga akibat terpisahnya sebagian plasenta
secara transien tidak dapat dihindari. Sewaktu plasenta terlepas, darah dari tempat
implantasi mungkin langsung keluar melalui vagina (mekanisme Duncan) atau
tersembunyi di balik plasenta dan selaput ketuban (mekanisme Schultze) sampai
plasenta lahir.
Apabila terjadi perdarahan eksternal selama kala tiga, uterus harus dipijat
apabila belum berkontraksi kuat. Jika muncul tanda-tanda pemisahan plasenta,
pengeluaran plasenta harus diupayakan dengan tekanan manual ke fundus. Penurunan
plasenta diisyaratkan oleh mengedurnya tali pusat. Apabila perdarahan berlanjut,
harus dilakukan pengeluaran plasenta secara manual. Turunnya plasenta diindikasikan

37
oleh tali pusat yang memanjang. Jika perdarahan berlanjut, manual plasenta sebaiknya
dilakukan. Pelahiran plasenta dengan traksi tali pusat, terutama ketika uterus
mengalami atonia, dapat menyebabkan inversio uteri. Pencegahan dan terapi dari
keadaan ini akan dibahas lebih lanjut.

Memanjangnnya Kala Tiga


Kadang-kadang, plasenta tidak segera terlepas. Suatu pertanyaan yang belum
mendapat jawaban yang pasti adalah berapa lama waktu berlalu pada keadaan tanpa
perdarahan sebelum plasenta harus dikeluarkan secara manual. Bidang obstetri secara
tradisional membuat batas-batas durasi kala tiga secara agak ketat sebagai upaya
untuk mendefinisikan retensio plasenta sehingga perdarahan akibat terlalu lambatnya
pemisahan plasenta dapat dikurangi. Combs dan Laros (1991) meneliti 12.275
persalinan pervaginam tunggal dan melaporkan median durasi kala tiga adalah 6
menit, dan 3.3% berlangsung lebih dari 30 menit. Beberapa tindakan untuk mengatasi
perdarahan, termasuk kuretase atau transfusi, meningkat pada kala tiga yang
mendekati 30 menit atau lebih.

Teknik Pengeluaran Secara Manual


Harus diberikan analgesia atau anestesia yang adekuat serta digunakan teknik
bedah yang aseptik. Setelah fundus dipegang melalui dinding abdomen oleh salah satu
tangan, tangan yang lain dimasukkan ke dalam vagina dan didorong ke dalam uterus
menelusuri tali pusat. Segera setelah plasenta tercapai, tepinya diidentifikasi, dan sisi
ulnar tangan disisipkan di antara plasenta dan dinding uterus (Gambar 35-15).
Kemudian dengan punggung tangan berkontak dengan uterus, plasenta dikupas dari
perlekatannya di uterus dengan gerakan seperti memisahkan halaman-halaman buku.
Setelah seluruhnya dilepaskan, plasenta dipegang dengan seluruh tangan, kemudian
secara perlahan dikelurkan. Selaput ketuban dikeluarkan pada saat yang sama dengan
menyisirnya dari desidua secara hati-hati, bila perlu menggunakan forceps cincin
untuk menjepitnya. Sebagian dokter cenderung mengusap rongga uterus dengan
spons. Apabila hal ini dilakukan, perlu dipastikan bahwa spons tidak tertinggal di
uterus atau vagina.

38
Penatalaksanan setelah Plasenta Lahir
Fundus harus selalu dipalpasi setelah plasenta lahir untuk memastikan bahwa
uterus berkontraksi dengan baik. Apabila tidak keras, pemijatan fundus diperlukan.
Biasanya oksitosin 20 U dalam 1L Ringer Laktat atau saline normal yang diberikan
secara intravena dengan kecepatan sekitar 10 ml/menit (200 mU Oksitosin /menit)
ditambah pemijatan uterus akan menimbulkan kontraksi yang efektif. Oksitosin
jangan pernah diberikan sebagai dosis bolus tanpa diencerkan karena dapat terjadi
hipotensi serius atau aritmia jantung.

Atonia uteri
Perdarahan obstetri sering disebabkan kegagalan uterus untuk berkontraksi
secara baik setelah persalinan. Pada banyak kasus, perdarahan postpartum dapat
diperkirakan jauh sebelum persalinan (Tabel 35-6). Uterus yang mengalami
overdistensi besar kemungkinan mengalami hipotonia setelah persalianan. Dengan
demikian, wanita dengan janin besar, janin multipel, atau hidroamnion rentan
terhadap perdarahan akibat atonia uteri. Wanita yang persalinannya ditandai dengan
his yang terlalu kuat atau tidak efektif juga besar kemungkinan mengalami perdarahan
berlebihan akibat atonia uteri seletelah melahirkan. Demikian juga, persalinan yang
dipicu atau dipacu oksitosin lebih rentan mengalami atonia uteri dan perdarahan
postpartum.
Wanita dengan paritas tinggi mungkin berisiko besar mengalami atonia uteri.
Fuchs dkk. (1985) melaporkan hasil akhir pada hampir 5800 wanita para 7 atau lebih.

39
Mereka melaporkan bahwa insiden perdarahan postpartum sebesar 2.7% pada para
wanita ini meningkat empat kali lipat dibandingkan dengan populasi obstetri umum.
Babinszki dkk. (1999) melaporkan insiden perdarahan postpartum sebesar 0.3% pada
wanita dengan paritas rendah, tetapi 1.9% pada mereka dengan para 4 atau lebih.
Risiko lain adalah apabila wanita yang bersangkutan pernah mengalami perdarahan
postpartum. Akhirnya, kesalahan penatalaksanaan persalinan kala tiga berupa upaya
untuk mempercepat pelahiran plasenta selain daripada mengeluarkannya secara
manual. Pemijatan dan penekanan secara terus-menerus terhadap uterus yang sudah
berkontraksi dapat mengganggu mekanisme fisiologis pelepasan plasenta sehingga
pemisahan plasenta tidak sempurna dan pengeluaran darah meningkat.

Turunan Ergot
Apabila oksitosin yang diberikan melalui infus cepat tidak efektif, beberapa
dokter memberikan metilergonovin 0.2 mg intramuskular atau intravena. Obat ini
dapat merangsang uterus berkontraksi cukup kuat untuk menghentikan perdarahan.
Semua klaim efek terapi turunan ergot yang lebih superior daripada oksitosin masih
bersifat spekulatif dan apabila diberikan secara intravena, obat ini dapat menyebabkan
hipertensi yang berbahaya, terutama pada wanita dengan preeklamsia.

Prostaglandin
Turunan 15-metil dari prostaglandin F2 (karboprost trometamin) disetujui oleh
Food and Drug Administration pada pertengahan tahun 1980-an sebagai obat atonia
uteri. Dosis awal yang direkomendasikan adalah 250 ug (0.25 mg) yang diberikan
secara intramuskular, dan dosis ini bila perlu diulang dengan interval 15 sampai 90
menit sampai maksimal delapan dosis. Oleen dan Mariano (1990) mempelajari
pemakaian karboprost untuk perdarahan postpartum di 12 unit obstetris. Penghentian
perdarahan dianggap berhasil pada 208 di antara 237 (88%) wanita yang diterapi.
Sebanyak wanita memerlukan oksitosik lain untuk mengendalikan perdarahan. Sisa
12 wanita yang gagal diterapi memerlukan intervensi bedah.
Karboprost menimbulkan efek samping pada sekitar 20% wanita (Oleen dan
Mariano, 1990). Efek-efek samping tersebut, berdasarkan urutan frekuensinya dari
yang tertinggi, antara lain diare, hipertensi, muntah, demam, flushing, takikardia.
Kami pernah menjumpai hipertensi serius pada beberapa wanita yang mendapat obat
ini. Selain itu, Hankins dkk. (1998) mengamati bahwa pemberian karboprost

40
intramuskular akan diikuti oleh desaturasi oksigen arteri yang rata-rata besarnya 10%
dan timbul dalam 15 menit. Mereka menyimpulkan bahwa hal in disebabkan oleh
konstriksi jalan napas dan pembuluh paru.
Supositoria prostaglandin E2 20 mg yang diberikan per rektal pernah
digunakan untuk atonia uteri, tatapi belum diteliti mengenai uji coba klinis. Beberapa
laporan menyarankan misoprostol (Cytotec), analog dari sintetis prostaglandin E1,
dapat efektif digunakan pada kasus atonia uteri (Abdel-Aleem dkk., 2001; OBrien
dkk., 1998). Pada suatu studi luas tanpa menggunakan kontrol, dilaporkan bahwa
misoprostol, yang diberikan dalam dosis 1000 ug per rektal, efektif pada 16 wanita
dari 18 wanita yang tidak berespons terhadap oksitosik biasa. Respons rerata yang
didapat adalah 1.4 menit. Misoprostol juga telah dipelajari sebagai obat profilasksis
yang potensial dalam mencegah perdarahan post partum. Berdasarkan penelitian
terhadap 325 wanita, Gerstenfeld dan Wing (2001) menyimpulkan bahwa misoprostol
per rektal (400 ug) tidak lebih efektif dibandingkan dengan pemberian oksitosin
intravena dalam mencegah perdarahan postpartum. Lebih dari itu, Villar dkk., (2002)
menemukan bahwa preparat oksitosin dan ergot yang diberikan selama kala tiga
persalinan lebih efektif dibandingkan dengan misoprostol dalam mencegah
perdarahan post partum.

Perdarahan yang Tidak Responsif terhadap Oksitosik


Perdarahan yang berlanjut setelah pemberian oksitosik berkali-kali mungkin
berasal dari laserasi traktus genitalia yang tidak terdeteksi, termasuk pada beberapa
kasus ruptura uteri. Dengan demikian, apabila perdarahan menetap, jangan sia-siakan
waktu untuk mengupayakan pengendalian perdarahan yang sembarangan,
penatalaksanaan berikut harus segera dimulai :
1. Lakukan kompresi uterus bimanual (Gambar 35-16). Teknik ini berupa
pemijatan aspek posterior uterus dengan tangan yang terletak di abdomen dan
pemijatan dengan kepalan tangan yang lain melalui vagina aspek anterior
uterus. Prosedur ini akan mengendalikan sebagian besar perdarahan.
2. Cari bantuan !
3. Pasang satu lagi kateter intravena diameter besar sehingga kristaloid dan
oksitosik dapat diberikan bersama dengan transfusi darah.
4. Mulai transfusi darah. Golongan darah setiap pasien kebidanan harus
diketahui, bila mungkin sebelum persalinan, dan dilakukan uji Coombs

41
indirekta untuk mendeteksi antibodi eritrosit. Apabila uji tersebut negatif,
cross-match darah tidak diperlukan. Pada keadaan darurat yang ekstrim, dapat
diberikan darah donor universal golongan O rh-negatif.
5. Lakukan eksplorasi rongga uterus secara manual untuk mencari retensi sisa
plasenta atau laserasi.
6. Lakukan inspeksi menyeluruh terhadap serviks dan vagina dengan pemajanan
yang memadai.
7. Pasang kateter Folley untuk memantau pengeluaran urine, yang merupakan
parameter yang baik untuk perfusi ginjal.

Resusitasi kemudian dilakukan seperti yang dijelaskan berikut ini. Transfusi


darah harus dipertimbangkan pada setiap kasus perdarahan postpartum ketika
massage uterus perabdominam dan obat oksitosik gagal mengatasi perdarahan.
Dengan transfusi serta kompresi uterus secara manual dan oksitosin intravena secara
simultan, tindakan lain jarang diperlukan. Atonia yang membandel mungkin
mengharuskan dilakukannya histerektomi sebagai tindakan penyelamatan nyawa.
Sebagai alternatif, ligasi arteri uterina, ligasi arteri iliaka interna, atau embolisasi
angiografik.

Perdarahan akibat Retensi Sisa Plasenta


Perdarahan postpartum dini jarang disebabkan oleh retensi potongan plasenta
yang kecil, tetapi plasenta yang tersisa sering menyebabkan perdarahan pada akhir

42
masa nifas. Inspeksi plasenta setelah pelahiran harus dilakukan secara rutin. Apabila
ada bagian plasenta yang hilang, uterus harus dieksplorasi dan sisa plasenta
dikeluarkan, terutama pada perdarahan postpartum yang berlanjut. Walaupun jarang,
retensi lobus suksenturiata dapat menyebabkan perdarahan postpartum. Perdarahan
lanjut dapat berasal dari polip plasenta.

Plasenta Akreta, Inkreta, dan Perkreta


Pada sebagian besar kasus, plasenta terlepas secara spontan dari tempat
implantasinya dalam waktu beberapa menit setelah janin lahir. Penyebab pasti
tertundanya pelepasan setalah waktu ini tidak selalu jelas, tetapi tampaknya cukup
sering disebabkan oleh kontraksi uterus yang tidak adekuat. Walaupun sangat jarang,
plasenta dapat melekat erat ke tempat implantasi, dengan sedikit atau tanpa desidua,
sehingga tidak terdapat garis pemisah fisiologis melalui lapisan desidua spongiosa.
Akibatnya, satu atau lebih kotiledon melekat erat ke desidua basalis yang cacat atau
bahkan ke miometrium. Apabila plasenta tertanam kuat dengan cara ini, kondisinya
disebut plasenta akreta.

Definisi
Istilah plasenta akreta digunakan untuk menjelaskan semua implantasi
plasenta yang perlekatannya ke dinding uterus terlalu kuat. Akibat tidak adanya
desidua basalis dan kelainan perkembangan lapisan fibrionoid (lapisan Nitabuch)
secara parsial atau total, vilus plasenta melekat ke miometrium (plasenta akreta),
benar-benar menginvasi miometrium (plasenta inkreta), atau menembus miometrium
(palsenta perkreta) (Gambar 35-21 dan 35-22). Perlekatan abnormal ini mungkin
melibatkan seluruh kotiledon (plasenta akreta parsialis), atau sebuah kotiledon
(plasenta akreta fokal). Menurut Bernischke dan Kaufmann (2000), diagnosis

43
histologis plasenta akreta tidak dapat ditegakkan hanya dari plasenta saja melainkan
dibutuhkan keseluruhan uterus atau kuretase miometrium.

Makna
Plasenta yang terlalu melekat, walaupun jarang dijumpai, memiliki makna
klinis yang cukup penting karena morbiditas, dan kadang-kadang, mortalitas yang
ditimbulkan oleh perdarahan berat, perforasi uterus, dan infeksi. Insiden plasenta
akreta, inkreata, perkreta telah meningkat karena meningkatnya angka seksio sesarea.
Pada akhirnya, Zelop dkk. (1993) melaporkan bahwa plasentasi yang terlalu lekat
menyebabkan 65% kasus perdarahan intrapartum membandel yang mengharuskan
dilakukannya histerektomi peripartum darurat di Brigham and Women Hospital.
Insidensi plasenta akreta, inkreta, dan perkreta meningkat, terutama disebabkan
meningkatnya angka persalinan dengan seksio sesarea. The American College of
Obstetricians and Gynecologists (2002) memastikan bahwa komplikasi plasenta
akreta pada 1 dari 2500 persalinan, meningkat sepuluh kali lipat dalam 50 tahun.

Etiologi
Perlekatan plasenta yang abnormal terjadi apabila pembentukan desidua
terganggu. Keadaan-keadaan terkait mencakup implantasi di segmen bawah uterus; di
atas jaringan perut seksio sesarea atau insisi uterus lainnya; atau setelah kuretase
uterus. Dalam ulasannya terhadap 622 kasus yang dikumpulkan antara tahun 1945 dan
1969, Fox (1972) mencatat karakteristik berikut :
1. Plasenta previa diidentifikasikan pada sepertiga kehamilan yang terkena.
2. Seperempat pasien pernah menjalani seksio sesarea
3. Hampir seperempat pasien menjalani kuretase
4. Seperempatnya adalah gravida 6 atau lebih

44
Gambar 35-22. Plasenta perkreta. Plasenta menembus melalui fundus di atas jaringan parut bekas
seksio sesarea. Tampak jelas bahwa penetrasi fundus oleh plasenta bervariasi.

Zaki dkk. (1998) mendapatkan bahwa 10% di antara 112 kasus plasenta previa
berurutan juga memperlihatkan adanya plasenta akreta. Hardardottir dkk. (1996)
mengamtai bahwa hampir separuh plasenta pada wanita dengan riwayat seksio sesarea
memperlihatkan perlekatan serat-serat miometrium secara mikroskopis.
Faktor risiko lain untuk plasenta akreta dianalisis oleh Hung dkk. (1999)
dalam studi mereka terhadap lebih dari 9300 wanita yang menjalani pemeriksaan
panapisan untuk sindroma Down pada usia kehamilan 14 sampai 22 minggu.
Dibandingkan dengan populasi normal, mereka mendapatkan peningkatan risiko 54
kali lipat untuk akreta pada plasenta previa; 8.3 kali lipat apabila kadar alfafetoprotein
serum ibu melebihi 2.5 multiple of median (MOM) ; atau peningkatan risiko 3.9 kali
lipat apabila kadar -hCG bebas ibu lebih besar dari 2.5 MOM; dan 3.2 kali lipat
apabila usia ibu 35 tahun atau lebih.

Perjalanan Penyakit dan Diagnosis


Pada awal kehamilan, kadar alfafetoprotein serum ibu mungkin meningkat.
Perdarahan antepartum sering terjadi, tetapi pada sebagian besar kasus, perdarahan
sebelum persalinan disebabkan adanya plasenta previa yang menyertai. Invasi
miometrium oleh vilus plasenta di tempat bekas jaringan parut seksio sesarea dapat
menyebabkan ruptur uteri sebelum persalinan (Berchuck dan Sokol, 1983). Kami

45
pernah menjumpai kasus seperti ini pada usia kehamilan sedini 12 minggu pada
seorang wanita yang menjalani eksplorasi atas indikasi kehamilan ektopik. Archer dan
Furlong (1987) melaporkan hemoperitoneum masif akibat plasenta perkreta pada usia
gestasi 21 minggu. Namun, pada wanita yang kehamilannya besar akan normal
apabila tidak ada plasenta previa atau jaringan parut uterus yang terlibat.
Terdapat kemungkinan bahwa plasenta inkreta dapat didiagnosis antepartum.
Lam dkk., (2002) menemukan bahwa USG memiliki sensitivitas sebesar 33% dalam
mendiagnosis plasenta akreta. Bagaimanapun, dengan menggunakan USG Doppler
berwarna, Twickler dkk. (2000) menemukan dua faktor dengan tingkat prediksi tinggi
dari invasi miometrium (sensitivitas 100% dan prediksi positif berkisar antara 78%) :
1). jarak kurang dari 1 mm antara daerah serosa uterus dengen pembuluh darah
retroplasenta, dan 2). adanya cekungan intraplasenta yang luas. Chou dkk. (2001)
menjelaskan keberhasilan pencitraan Doppler 3 dimensi yang berwarna dalam
menegakkan diagnosis plasenta perkreta. Maldjian dkk. (1999) menggunakan MRI
untuk mendiagnosis plasenta akreta, tetapi Lam dkk. (2002) melaporkan bahwa
sensitivitasnya hanya 38%. Baxi dkk. (2004) menemukan bahwa meningkatnya D-
Dimer dapat memprediksi kehilangan darah secara signifikan dan morbiditas wanita
dengan plasenta akreta, mungkin merefleksikan invasi trofoblastik ke dalam
miometrium dan jaringan ikat.

Penatalaksanaan
Masalah yang menyertai pelahiran plasenta dan perkembangan selanjutnya
cukup bervariasi, bergantung pada tempat implantasi, kedalaman penetrasi
miometrium, dan jumlah kotiledon yang terlibat. Besar kemungkinan plasenta akreta
fokal dengan implantasi di segmen atas uterus lebih sering terjadi daripada yang
diketahui. Kotiledon yang terlibat mungkin terlepas dari miometrium dengan
perdarahan yang cukup banyak, atau kotiledon terlepas dari plasenta dan melekat ke
tempat implantasi disertai peningkatan perdarahan, segera setelahnya atau terjadi
sesudahnya. Menurut Bernischke dan Kaufmann (2000), plasenta akreta fokal seperti
itu mungkin merupakan salah satu mekanisme pembentukan apa yang disebut sebagai
polip plasenta.
Pada plasenta akreta totalis, perdarahan mungkin sangat sedikit atau tidak ada,
paling tidak sampai dilakukan upaya pengeluaran plasenta secara manual. Kadang-
kadang, tarikan tali pusat dapat menyebabkan inversio uteri, seperti yang akan

46
dijelaskan di bagian berikut. Selain itu, upaya-upaya yang biasa dilakukan pada
pengeluaran secara manual tidak akan berhasil karena bidang pemisah antara
permukaan maternal plasenta dan dinding uterus tidak terbentuk. Dahulu, bentuk
tersering penatalaksanaan konservatif adalah pengeluaran secara manual sebanyak
mungkin plasenta dan melakukan tampon uterus. Dalam ulasan Fox (1972), 25%
wanita yang ditangani secara konservatif meninggal. Dengan demikian, terapi paling
aman bagi kasus seperti ini adalah histerektomi segera.

Inversio Uteri
Inversi total uterus setelah janin lahir hampir selalu disebabkan oleh tarikan
kuat terhadap tali pusat yang melekat ke plasenta yang tertanam di fundus (Gambar
35-23). Inversio uteri inkomplit juga dapat terjadi (Gambar 35-24). Yang ikut
berperan dalam inversio uteri adalah tali pusat yang kuat dan tidak mudah terlepas
dari plasenta ditambah dengan tekanan pada fundus dan uterus yang lemas, termasuk
segmen bawah uterus dan serviks. Plasenta akreata mungkin berperan walaupun
inversio uteri dapat terjadi meski plasenta tidak terlalu lekat. Shah-Hosseini dan
Evrard (1989) melaporkan insiden sekitar 1 dari 6400 pesalinan di Women and Infants
Hospital of Rhode Islands. Dari 11 inversio yang teridentifikasi, sebagian besar terjadi
pada wanita primipara; pengembalian segera uterus yang mengalami inversi tersebut
melalui vagina berhasil pada 9 kasus. Platt dan Druzin (1981) melaporkan 28 kasus
dari lebih 60.000 pelahiran, dengan insiden sekitar 1 per 2100. Pada layanan obstetrik
di Parkland Hospital, kami menjumpai beberapa kasus dalam setahun dan sebagian
besar adalah persalinan risiko rendah.

Gambar 35-23. Kemungkinan terbesar letak implantasi plasenta pada kasus inversio uteri. Tarikan
terhadap tali pusat sementara plasenta masih melekat jelas memperbesar kemungkinan inversio uteri.

47
Perjalanan Klinis
Inversio uteri paling sering menimbulkan perdarahan akut yang mengancam
nyawa, dan bila tidak ditangani segera dapat mematikan (Gambar 35-25). Dahulu
dinyatakan bahwa syok cenderung tidak sesuai dengan banyaknya darah yang keluar.
Evaluasi yang cermat terhadap efek transfusi darah dalam jumlah besar pada kasus-
kasus semacam itu tidak mendukung konsep tersebut tetapi malah semakin
menjelaskan bahwa perdarahan pada kasus ini sering sangat deras, tetapi seringkali
kurang diperhitungkan (Watson dkk., 1980).

48
Terapi
Tertundanya penanganan akut sangat meningkatkan angka kematian. Sejumlah
langkah perlu dilakukan segera dan secara simultan.
1. Asisten, termasuk ahli anestesiologi, segera dipanggil
2. Uterus yang baru mengalami inversi dengan plasenta yang sudah terlepas
mungkin dengan mudah dapat dikembalikan dengan cara mendorong fundus
dengan telapak tangan dan jari tangan mengarah ke sumbu panjang vagina
3. Sebaiknya dipasang dua sistem infus intravena, dan pasien diberi larutan
Ringer Laktat serta darah untuk mengatasi hipovolemia
4. Apabila masih melekat, plasenta jangan dilepas sampai sistem infus terpasang,
cairan dialirkan dan anestesia, sebaiknya halotan atau enfluran telah
diberikam. Obat tokolitik, misalnya terbutalin, ritodrin, atau magnesium sulfar,
dilaporkan berhasil digunakan untuk relaksasi uterus dan reposisi (Catanzarite
dkk., 1986; Kovacs dan DeVore, 1984; Thiery dan Delbeke, 1985). Sementara
itu, uterus yang mengalami inversio, apabila prolapsnya melebihi vagina,
dimasukkan ke dalam vagina.
5. Setelah plasenta dikeluarkan, telapak tangan diletakkan di bagian tengah
fundus dengan jari terekstensi untuk mengidentifikasi tepi-tepi serviks.
Kemudian dimasukkan tekanan dengan tangan sehingga fundus terdorong ke
atas melalui serviks.
6. Segera setelah uterus dikembalikan ke posisi normalnya, obat yang digunakan
untuk relaksasi dihentikkan dan secara bersamaan pasien diberi oksitosin agar
uterus berkontraksi sementara operator mempertahankan fundus dalam posisi
normal.
Pada awalnya, kompresi bimanual (Gambar 35-16) akan membantu
mengendalikan perdarahan lebih lanjut sampai tonus uterus pulih. Setelah uterus
berkontraksi dengan baik, operator harus memantau uterus melalui vagina untuk
mencari tanda-tanda inversio lebih lanjut.

Intervensi Bedah
Umumnya uterus yang mengalami inversio dapat dipulihkan ke posisinya
yang normal dengan teknik-teknik di atas. Apabila uterus tidak dapat direposisi
dengan manipulasi vagina karena adanya cincin konstriksi tebal (Gambar 35-26),
wajib dilakukan laparotomi. Secara bersamaan, fundus kemudian dapat didorong dari

49
bawah dan ditarik dari atas. Apabila cincin konstriksi tetap menghambat reposisi,
secara hati-hati serviks diinsisi di sebelah posterior agar fundus terpajan. Teknik
bedah ini dijelaskan Van Vught dkk. (1981). Setelah fundus direposisi, obat anestetik
yang digunakan untuk relaksasi miometrium dihentikan, infus oksitosin dimulai, dan
insisi uterus diperbaiki.

Gambar 35-26. Inversio uteri total dilihat dari atas.

Laserasi Traktus Genitalia


Laserasi Perineum
Semua laserasi perineum, kecuali yang paling superfisial, disertai oleh cedera
bagian bawah vagina dengan derajat bervariasi. Robekan semacam ini dapat cukup
dalam untuk mencapai sphincter ani dan meluas menembus dinding vagina dengan
kedalaman bervariasi. Laserasi bilateral ke dalam vagina biasanya memiliki panjang
yang tidak sama dan dipisahkan oleh bagian mukosa vagina yang berbentuk lidah.
Perbaikan laserasi ini harus menjadi bagian setiap operasi untuk memperbaiki laserasi
perineum.

Laserasi Vagina
Laserasi terbatas yang mengenai sepertiga tengah atau atas vagina tetapi tidak
berkaitan dengan laserasi perineum atau serviks lebih jarang dijumpai. Laserasi ini
biasanya longitudinal dan sering terjadi akibat cedera yang ditimbulkan oleh tindakan
forseps atau vakum, tetapi dapat juga terjadi pada persalinan spontan. Laserasi ini
sering meluas ke dalam menuju jaringan di bawahnya yang biasanya dapat diatasi
dengan penjahitan yang tepat. Laserasi ini mungkin terlewatkan, kecuali apabila

50
dilakukan inspeksi yang cermat terhadap vagina bagian atas. Perdarahan pada
keadaan uterus berkontraksi kuat merupakan bukti adanya laserasi saluran genitalia,
retensi sisa plasenta, atau keduanya.
Laserasi dinding anterior vagina yang terletak di dekat urethra sering terjadi.
Laserasi ini sering superfisial dengan sedikit atau tanpa perdarahan, dan perbaikan
biasanya tidak diindikasikan. Apabila laserasinya cukup besar sehingga diperlukan
perbaikan, dapat terjadi kesulitan berkemih sehingga perlu dipasang kateter Foley
(indwelling).

Cedera Levator Ani


Cedera ini terjadi akibat regangan berlebihan jalan lahir. Serat-serat otot
terpisah dan penurunan tonus serat-serat ini mungkin dapat mengganggu fungsi
diafragma panggul. Pada kasus semacam ini, wanita yang bersangkutan mungkin
mengalami relaksasi panggul. Apabila cederanya mengenai otot pubokoksigeus, dapat
juga terjadi inkontinensia urin.

Cedera pada Serviks


Serviks mengalami laserasi pada lebih dari separuh persalinan (Fahmy dkk.,
1991). Sebagian besar laserasi ini berukuran <0.5 cm. Robekan serviks yang dalam
dapat meluas ke sepertiga atas vagina. Namun, pada kasus-kasus yang jarang serviks
dapat mengalami avulsi total atau parsial dari vagina, disertai kolpaporeksis di forniks
anterior, posterior, atau lateral. Cedera ini kadang-kadang terjadi setelah rotasi forseps
yang sulit atau persalinan yang dilakukan pada serviks yang belum membuka penuh
dengan daun forseps terpasang pada serviks. Meski jarang, robekan serviks dapat
meluas ke segmen bawah uterus dan arteri uterina serta cabang-cabang utamanya,
bahkan ke peritoneum. Robekan ini mungkin sama sekali tidak diperkirakan, tetapi
umumnya bermanifestasi sebagai perdarahan eksternal yang deras atau pembentukan
hematom.
Robekan luas di rongga vagina harus dieksplorasi secara hati-hati. Apabila ada
kecurigaan perforasi peritoneum, atau perdarahan retro atau intraperitoneum, perlu
dipertimbangkan laparotomi. Pada cedera separah ini, eksplorasi intrauterin untuk
mencari kemungkinan ruptur juga harus dilakukan. Biasanya diperlukan, perbaikan
secara bedah, serta anestesia yang efektif, transfusi darah dalam jumlah besar, dan
asisten yang cakap.

51
Pada persalinan, laserasi serviks berukuran 2 cm harus dianggap sebagai suatu
yang tidak dapat dihindari. Robekan ini biasanya cepat sembuh dan jarang
menimbulkan kesulitan. Dalam penyembuhan, robekan ini menyebabkan perubahan
signifikan terhadap bentuk bulat ostium eksternum sebelum pendataran dan
pembukaan serviks menjadi bentuk yang cukup memanjang ke lateral setelah
persalinan. Sebagai akibat robekan ini, mungkin terjadi eversio serviks disertai
pemajanan kelenjar-kelenjar endoserviks penghasil mukus.
Kadang-kadang, selama persalinan bibir anterior serviks yang edematosa
terjepit dan tertekan di antara kepala janin dan simfisis pubis. Apabila iskemianya
parah, bibir serviks dapat mengalami nekrosis dan avulsi. Walaupun jarang,
keseluruhan porsio vaginalis servisis dapat mengalami avulsi. Terlepasnya serviks
secara anular atau sirkular ini jarang terjadi pada obestetri modern.

Diagnosis
Robekan serviks yang dalam harus selalu dicurigai pada kasus perdarahan
masif selama dan setelah kala tiga persalinan, terutama apabila uterus berkontraksi
dengan kuat. Perlu dilakukan pemeriksaan yang cermat, dan pemeriksaan dengan jari
tangan saja pada serviks yang lunak kurang memuaskan. Karena itu, luas cedera
hanya dapat benar-benar diketahui setelah dilakukan pemajanan yang adekuat dan
inspeksi terhadap serviks. Pemajanan terbaik diperoleh dengan menggunakan
retraktor vagina sudut tegak lurus yang dipegang oleh asisten sementara operator
menjepit serviks dengan forseps cincin (Gambar 35-27).

Gambar 35-27. Laserasi serviks saat diperbaiki.

52
Berdasarkan kekerapan terjadinya robekan dalam prosedur operatif mayor,
serviks harus selalu diinspeksi setelah kala tiga semua persalinan sulit, bahkan apabila
tidak terjadi perdarahan.

Terapi
Robekan serviks yang dalam memerlukan perbaikan bedah. Apabila laserasi
terbatas pada serviks, atau bahkan apabila meluas ke dalam forniks vagina, penjahitan
serviks dipajankan di vulva biasanya akan memberi hasil memuaskan. Visualisasi
paling jelas diperoleh apabila asisten melakukan tekanan kuat pada uterus ke arah
bawah sementara operator menarik porsio dengan forseps ovum atau spons (Gambar
35-27). Karena perdarahan biasanya datang dari sudut atas luka, jahitan pertama
dipasang tepat di atas sudut dan diarahkan ke operator. Laserasi vagina yang
menyertai dapat ditampon dengan kassa untuk menghambat perdarahan sementara
dilakukan perbaikan laserasi serviks. Dapat digunakan jahitan interrupted atau jelujur
dengan benang yang dapat diserap. Penjahitan yang terlalu bersemangat dalam upaya
untuk memulihkan penampakan normal serviks dapat menyebabkan stenosis saat
uterus mengalami involusi. Lichtenberg (2003) menjelaskan keberhasilan dari
angiografi untuk pengobatan robekan serviks letak tinggi setelah intervensi bedah
menemui kegagalan.

Hematom Puerperium
Dari ulasan enam penelitian, insiden hematom puerperium diketahui berkisar
dari 1 per 300 sampai 1 per 1000 pelahiran (Cunningham, 2002). Nulliparitas,
episiotomi, dan pelahiran dengan forseps merupakan faktor risiko yang paling sering
(Propst dan Thorp, 1998; Ridgway, 1995). Namun, pada banyak kasus lain, hematom
terjadi setelah cedera pembuluh darah tanpa laserasi jaringan superfisial. Hal ini dapat
terjadi pada persalinan spontan atau dengan tindakan. Kadang-kadang hematom
terbentuk belakangan.
Hematom masa nifas ini dapat diklasifikasikan sebagai hematom vulva,
vulvovagina, paravagina, atau retroperitoneal. Hematom vulva paling sering berasal
dari cabang-cabang arteria pudenda, termasuk arteria labialis posterior, perinealis
transversal, atau rektalis superior. Hematom paravaginam mungkin disebabkan oleh
cabang descendens arteri uterina (Zahn dan Yeomans, 1990). Sangat jarang pembuluh
darah yang robek terletak di atas fascia panggul. Pada kasus demikian, hematom

53
terbentuk di atasnya. Pada stadium awal, hematom membentuk pembengkakan bulat
yang menonjol ke dalam bagian atas saluran vagina dan mungkin hampir menutupi
lumennya. Apaabila berlanjut, perdarahan dapat merembes ke arah retroperitoneum
dan membentuk suatu tumor yang teraba di atas ligamentum Pouparti, atau ke arah
atas dan akhirnya mencapai batas bawah diafragma. Cabang-cabang arteri uterina
mungkin terlibat dalam hematom tipe ini.

Hematom Vulva
Hematom ini, seperti yang diperlihatkan di Gambar 35-28, terutama hematom
yang cepat membesar, dapat menimbulkan nyeri hebat yang sering merupakan gejala
pertama. Hematom berukuran sedang dapat diserap secara spontan. Jaringan di atas
hematom dapat berlubang akibat nerkrosis yang ditimbulkan oleh tekanan, dan dapat
terjadi perdarahan deras. Pada kasus yang lain, isi hematom mungkin keluar dalam
bentuk gumpalan-gumpalan besar bekuan darah. Pada varian subperitoneum,
ekstravasasi darah di bawah peritoneum dapat masif dan kadang-kadang fatal.

Diagnosis
Hematom vulva mudah didiagnosis berdasarkan nyeri perineum hebat dan
kemunculan mendadak benjolan yang tegang, fluktuatuf, dan sensitif dengan ukuran
beragam serta perubahan warna kulit di atasnya. Apabila terbentuk di dekat vagina,

54
kadang-kadang massa mungkin tidak terdeteksi; tetapi gejala-gejala penekanan,
apabila bukan nyeri, atau ketidakmampuam berkemih sebaiknya mendorong segera
dilakukannya pemeriksaan vagina. Pada pemeriksaan, ditemukan benjolan fluktuatif
bulat yang menginvasi lumen. Apabila meluas ke atas di antara lembar-lembar
ligamentum latum, hematom mungkin lolos deteksi, kecuali apabila sebagian dapat
diraba pada palpasi abdomen atau terjadi hipovolemia. Keadaan tersebut
mengkhawatirkan karena hematom yang besar pernah dilaporkan dapat menyebabkan
kematian.

Terapi
Hematom vulva yang kecil dan teridentifikasi setelah pasien keluar dari kamar
bersalin dapat dibiarkan (Propst dan Thorp, 1998). Namun, apabila nyerinya parah,
atau apabila hematom terus membesar, terapi terbaik adalah insisi segera. Insisi
dilakukan di titik distersi maksimum disertai evakuasi darah dan bekuan serta ligasi
titik-titik perdarahan. Rongga kemudian dapat diobliterasi dengan jahitan matras.
Setelah hematom dikeringkan sering tidak ditemukan titik-titik perdarahan. Pada
kasus seperti ini, vagina (bukan rongga hematomnya) ditampon selama 12 sampai 24
jam. Pada hematom traktus genitalia, kehilangan darah hampir selalu jauh lebih besar
daripada yang diperkirakan secara klinis. Hipovolemia dan anemia berat harus
dicegah dengan penggantian darah secara adekuat. Pada sekitar separuh wanita
dengan hematom yang memerlukan pembedahan untuk memperbaikinya, diperlukan
transfusi (Zahn dan Yeomans, 1990).
Hematom subperitoneum dan supravagina lebih sulit diterapi. Hematom jenis
ini dapat dievakuasi dengan insisi perineum; tetapi apabila terjadi hemostasis lengkap,
yang sulit dicapai dengan insisi, disarankan tindakan laparotomi.

Embolisasi Angiografik
Teknik ini populer untuk mengatasi hematoma puerperium yang membandel.
Teknik ini dapat digunakan secara primer, atau biasanya bila hemostasis dengan
metode bedah gagal. Satu kasus yang melakukan embolisasi disertai oklusi arteria
pudenda interna dan cabang vaginanya serta arteria uterina diperlihatkan di Gambar
35-29. Villella dkk. (2001) telah menemukan indikasi lain untuk embolisasi
angiografik dan juga menerangkan 2 wanita dengan hematom vulvovaginal dimana
itu digunakan.

55
Gambar 35-29. A. Arteriogram arteri iliaka interna kiri sebelum embolisasi. Perhatikan ekstravasasi
mencolok dari cabang vagina (tanda panah hitam) dan cabang vulva (tanda panah putih) arteri pudenda
interna kiri. B. Setelah embolisasi, cabang-cabang arteri pudenda interna kiri tersumbat. Tampak
patensi lumen arteri uterina kiri (tanda panah) dan kumparan di arteria iliaka interna kanan (mata
panah).

Embolisasi angiografik juga dapat digunakan pada wanita yang mengalami


perdarahan postpartum. Dalam laporan yang diberikan oleh Deux (2001) dan Chung
dkk. (2003), prosedur tersebut telah sukses pada 55 dari 58 wanita. Banyak dari
mereka berhasil dalam melakukan persalinan (Goldberg dkk., 2002). Hal yang sama,
pada pengamatan mereka dari 28 wanita yang mendapat embolisasi pelvis pada
perdarahan postpartum, Orman dkk. (2003) melaporkan bahwa 6 diantaranya
mengalami kehamilan yang baik. Tidak ada komplikasi mayor yang dilaporkan.
Bagaimanapun, Cottier dkk. (2002) menjelaskan bahwa ada seorang wanita yang
mengalami nekrosis uterus akibat suatu iskemik setelah dilakukan embolisasi pada
perdarahan postpartum.

Ruptura Uteri
Ruptura uteri dapat berkembang sebagai hasil dari trauma yang
berkepanjangan atau adanya suatu anomali, yang dapat berhubungan dengan trauma,
atau adanya penyulit pada persalinan sebelumnya. Klasifikasi berdasarkan etiologi
dari ruptura uteri diperlihatkan pada Tabel 35-7.

56
Table 357. Classification of Causes of Uterine Rupture
Uterine Injury or Anomaly Sustained Uterine Injury or Abnormality
Before Current Pregnancy During Current Pregnancy
1. Surgery involving the myometrium 1. Before delivery
Cesarean delivery or hysterotomy Persistent, intense, spontaneous
contractions
Previously repaired uterine rupture Labor stimulationoxytocin or
prostaglandins
Myomectomy incision through or to the Intra-amnionic instillationsaline or
endometrium prostaglandins
Deep cornual resection of interstitial Perforation by internal uterine pressure
oviduct catheter
Metroplasty External traumasharp or blunt
2. Coincidental uterine trauma External version
Abortion with instrumentationcurette, Uterine overdistentionhydramnios,
sound multifetal pregnancy
Sharp or blunt traumaaccidents, bullets, 2. During delivery
knives
Silent rupture in previous pregnancy Internal version
3. Congenital anomaly Difficult forceps delivery
Pregnancy in undeveloped uterine horn Breech extraction
Fetal anomaly distending lower
segment
Vigorous uterine pressure during
delivery
Difficult manual removal of placenta
3. Acquired
Placenta increta or percreta
Gestational trophoblastic neoplasia
Adenomyosis
Sacculation of entrapped retroverted
uterus

Penyebab tersering dari ruptura uteri adalah kelemahan dari jaringan parut
akibat seksio sesarea sebelumnnya. Predisposisi lainnya yang umum dijumpai adalah
adanya trauma pada operasi sebelumnya atau miomektomi (Fodorkow dkk., 1987;
Kieser dan Basket, 2002; Pelosi dan Pelosi, 1997). Stimulasi oksitosin yang
berlebihan atau tidak tepat, yang sebelumnya sebagai salah satu penyebab, menjadi
tidak umum dijumpai. Mishra dkk. (1995) menjelaskan seorang wanita berumur 43

57
tahun mengalami ruptur akibat insisi seksio sesarea secara vertikal dihubungkan
dengan inhalasi kokain.

Morbiditas dan Mortalitas


Mobiditas dan mortalitas prenatal dapat meningkat akibat ruptur dari insisi uterus
secara vertikal dalam persalinan. Rachagan dkk. (1991) melaporkan angka kematian
bayi hampir 70% pada ruptura uteri spontan atau traumatik. Pada 24 wanita dengan
ruptura uteri pada prinsipnya tidak berhubungan dengan insisi vertikal, Eden dkk.,
(1986) melaporkan 1 kematian maternal dan 46% hilangnya perinatal. Histerektomi
mungkin diperlukan untuk kontrol perdarahan.

Ruptur Traumatik
Walaupun uterus ternyata sangat tahan terhadap trauma tumpul, wanita
hamil yang mengalami trauma tumpul pada abdomen harus mewaspadai
timbulnya tanda-tanda ruptura uteri. Miller dan Paul (1996) hanya melaporlan 3
kasus trauma pada lebih dari 150 wanita dengan ruptura uteri. Dahulu, versi
podalik interna dan ekstraksi dapat menyebabkan traumatik ruptur selama
persalinan. Penyebab lain dari ruptur akibat suatu trauma adalah sulitnya persalinan
dengan forseps, kelainan ukuran janin seperti hidrosefalus, dan ekstraksi bokong.

Ruptur Spontan
Dalam studi oleh Miller dan Paul (1996) yang disebutkan . di atas, insiden
ruptur uteri spontan hanya sekitar 1 per 15.000 pelahiran. Mereka juga menemukan
bahwa ruptur lebih besar kemungkinannya terjadi pada wanita dengan paritas
tinggi (Miller dkk., 1997). Stimulasi persalinan dengan oksitosin agak sering
dikaitkan dengan ruptur uteri, terutama pada wanita dengan paritas tinggi
(Fuchs dkk., 1985; Rachagan dkk., 1991). Maymon dkk. (1991) serta Bennett
(1997) melaporkan ruptur uteri pada induksi persalinan yang menggunakan gel

prostaglandin atau tablet vagina prostaglandin . Karena itu, pemberian

oksitosin untuk stimulasi persalinan pada wanita dengan paritas tinggi harus
dilakukan dengan sangat hati-hati. Demikian juga, pada wanita dengan paritas
tinggi, partus percobaan pada kehamilan yang dicurigai mengalami disproporsi

58
sefalopelvik atau presentasi abnormal seperti dahi, harus dilakukan dengan hati-
hati.

Patologi Anatomi
Peran peregangan berlebihan segmen bawah uterus disertai pembentukan
cincin retraksi patologis pada ruptur uteri dibahas di bab sebelumnya. . Ruptur
pada uterus yang sebelumnya utuh saat persalinan paling sering mengenai segmen
bawah uterus yang menipis. Robekan, apabila terletak dekat dengan serviks,
sering meluas secara melintang atau oblik. Robekan biasanya longitudinal apabila
terjadi di bagian uterus yang terletak dekat dengan ligamentum latum (Gambar
35-30). Walaupun terutama terbentuk di segmen bawah uterus, laserasi biasanya
meluas ke atas menuju korpus uterus atau ke bawah melewati serviks menuju
vagina. Kadang-kadang, kandung kemih juga mengalami laserasi (Rachagan dkk.,
1991). Setelah ruptur komplet, isi uterus keluar dan memasuki rongga pe ritoneum,
kecuali apabila bagian terbawah janin sudah benar-benar cakap, saat hanya
sebagian janin yang mungkin keluar dari uterus.

Gambar 35-30. Ruptura uteri pada persalinan bokong pervaginam. Saat laparotomi, terdapat
perdarahan ekstensif di bawah serosa uterus, kandung kemih, dan ligamentum latum. Luas ruptur
ditunjukkan oleh tanda panah.

Pada ruptur uteri dengan peritoneum yang tetap utuh, perdarahan sering
meluas ke ligamentum latum. Pada keadaan ini, perdarahan cenderung tidak begitu
parah dibandingkan dengan ruptur intraperitoneum. Perdarahan semacam ini

59
menimbulkan pembentukan hematom retroperitoneum besar yang dapat
menyebabkan kekurangan darah hebat yang menimbulkan kematian. Kehilangan
darah yang fatal juga dapat terjadi apabila hematom pecah sehingga efek
tamponade ligamentum latum yang utuh hilang.

Syok Hipovolemik
Syok akibat perdarahan berkembang melalui beberapa stadium. Pada tahap
awal perdarahan masif, terjadi penurunan tekanan arteri rata-rata, isi sekuncup, curah
jantung, tekanan vena sentral, dan tekanan yang besar pada kapiler paru.
Meningkatnya perbedaan kandungan oksigen arteriovena mencerminkan
peningkatan relatif pelepasan oksigen di jaringan walaupun konsumsi oksigen
secara keseluruhan turun (Bland dkk., 1985).
Aliran darah ke jaringan kapiler di berbagai organ dikendalikan oleh
arteriol, yang merupakan pembuluh pengatur resistensi dan juga dikendalikan
oleh susunan saraf pusat. Paling tidak 70% volume darah terdapat di dalam
venula, yaitu pembuluh yang memberikan resistensi secara pasif yang
dikendalikan oleh faktor-faktor humoral. Katekolamin yang dibebaskan selama
perdarahan menyebabkan peningkatan generalisata tonus venula sehingga terjadi
autotransfusi dari reservoir kapasitas ini (Barber dkk., 1999). Perubahan-perubahan
ini disertai oleh peningkatan frekuensi denyut jantung kompensatorik, resistensi
vaskular sistemik dan pulmonal, dan kontraktilitas miokardium. Selain itu,
terjadi redistribusi curah jantung dan volume darah oleh konstriksi arteriol secara
selektif yang dikendalikan dari sentral. Hal ini menyebabkan berkurangnya
perfusi ke ginjal, jaringan kapiler splanknik, kulit, dan uterus sementara aliran darah
ke jantung, otak, dan kelenjar adrenal, organ-organ yang mengatur sendiri
(autoregulasi) aliran darah mereka, relatif dipertahankan (Barber dkk., 1999).
Apabila defisit volume darah melebihi 25% mekanisme kompensasi biasanya
tidak sanggup mempertahankan curah jantung dan tekanan darah. Pada tahap ini,
sedikit saja pertambahan darah yang keluar sudah dapat menyebabkan perburukan
keadaan klinis. Walaupun pada awalnya terjadi peningkatan pelepasan oksigen total
oleh jaringan ibu, gangguan distribusi aliran darah menyebabkan hipoksia jaringan
lokal dan asidosis metabolik, yang memicu lingkaran setan vasokontriksi, iskemia
organ, dan kematian sel. Perdarahan juga mengaktifkan lokus CD-18 limfosit dan
monosit, yang memperantarai interaksi leukosit-sel endotel. Proses-proses ini

60
menyebabkan hilangnya integritas membran kapiler dan meningkatnya defisit
volume intravaskular. Sebagian efek simpang ini tampaknya diperantarai oleh
sitokin dan leukotrien peptida dan mungkin secara eksperimental dapat diperbaiki
dengan memberikan mediator-mediator antagonisnya (Bitterman dkk., 1988).
Pada syok hipovolemik juga terjadi peningkatan agregasi trombosit sehingga
terjadi pembebasan sejumlah mediator vasoaktif yang menyebabkan oklusi
pembuluh halus dan semakin parahnya gangguan perfusi mikrosirkulasi.
Yang sering diabaikan adalah peran penting pergeseran elektrolit dan cairan
ekstraselular baik pada patofisiologi maupun keberhasilan terapi syok hipovolemik. Hal
ini melibatkan perubahan-perubahan dalam transportasi selular berbagai ion, yaitu
ketika natrium dan air masuk ke otot rangka dan kalium intraselular keluar ke
cairan ekstraselular (Chiao dkk., 1990). Dengan demikian, penggantian cairan
ekstraselular merupakan komponen penting terapi pada syok hipovolemik.
Memang, kelangsungan hidup tampaknya berkurang pada syok hemoragik akut
yang hanya mendapat darah, dibandingkan dengan yang mendapat darah dan
larutan Ringer laktat.

Perkiraan Banyaknya Kehilangan Darah


Inspeksi visual paling sering digunakan tetapi terkenal tidak akurat. Pada
beberapa laporan, jumlah darah yang diperkirakan hilang berdasarkan in speksi
visual rata-rata separuh dari kehilangan yang terukur. Perlu diingat, dalam obstetri,
sebagian atau seluruh perdarahan dapat tertutup (tersembunyi). Perlu disadari
bahwa dalam situasi perdarahan akut, hematokrit yang terukur pada awalnya
mungkin tidak mencerminkan kehilangan darah yang sebenarnya. Setelah
kehilangan darah 1000 ml, hematokrit biasanya hanya turun 3% volume pada jam
pertama. Namun, infus cepat kristaloid intravena akan mempercepat terjadinya
keseimbangan. Selama berada dalam episode akut perdarahan masif, hematokrit
selalu tampak meningkat. Ini dapat dilihat pada saat di ruang bersalin, ruang
operasi, dan ruang pemulihan.
Pengeluaran urine adalah salah satu parameter penting yang perlu diikuti
pada pasien perdarahan. Apabila diukur dengan cermat, kecepatan pengeluaran
urine, tanpa dipengaruhi oleh diuretik, mencerminkan tingkat keadekuatan
perfusi ginjal dan, berikutnya, perfusi ke organ vital lain, karena aliran
darah ginjal sangat peka terhadap perubahan volume darah. Pengeluaran urine

61
paling sedikit 30 ml, dan sebaiknya 60 ml, per jam harus diper tahankan. Pada
perdarahan yang berpotensi membahayakan, pasien harus segera dipasang kateter
Foley untuk mengukur aliran urin. Diuretik kuat seperti furosemid meniadakan
hubungan antara aliran urine dan perfusi ginjal. Namun, hal ini tidak menjadi
masalah dalam penatalaksanaan wanita dengan perdarahan karena pemakaian
diuretik dikontraindikasikan. Penurunan volume intravaskular lebih lanjut oleh
pemberian diuretik merupakan hal yang membahayakan pada pasien
hipovolemik. Efek lain furosemid adalah venodilatasi, yang semakin
menurunkan aliran balik vena ke jantung sehingga semakin mengurangi curah
jantung.

Resusitasi dan Penatalaksanaan Akut


Apabila terdapat kemungkinan perdarahan berlebihan, perlu segera
dilakukan langkah-langkah untuk mengidentifikasi ada tidaknya atonia uteri,
retensi sisa plasenta, atau laserasi traktus genitalia. Paling tidak satu atau dua
sistem infus intravena dengan kaliber besar segera dipasang agar kita dapat cepat
memberikan larutan kristaloid dan darah. Ruang operasi, tim bedah, dan ahli
anestesia harus selalu segera tersedia.

Resusitasi Cairan
Terapi perdarahan yang serius menuntut pengisian kembali
kompartemen intravaskular secara cepat dan memadai. Untuk resusitasi volume
pada tahap awal, biasanya digunakan larutan kristaloid. Larutan semacam ini
secara cepat membentuk keseimbangan ke ruang ekstravaskular dan pada pasien
sakit berat, hanya 20% kristaloid yang menetap di dalam sirkulasi setelah 1 jam
(Shoemaker dkk., 1991). Karena keseimbangan tersebut, infus cairan awal harus
menggunakan paling tidak larutan kristaloid yang banyaknya tiga kali lipat dari
kehilangan darah yang diperkirakan.
Terjadi silang pendapat mengenai resusitasi cairan pada syok hipovolemik
dengan larutan koloid versus kristaloid. Berdasarkan kajian mereka,
Schierhout dan Roberts (1998) mendapatkan peningkatan kematian sebesar 4
persen pada pasien nonhamil yang diresusitasi dengan cairan koloid dibandingkan
dengan cairan kristaloid. The Cochrane Injuries Group Albumin Reviewers (1998)
mendapatkan peningkatan mortalitas sebesar 6% pada pasien tidak hamil dengan

62
syok yang diterapi albumin. Kami sependapat dengan Bonnar (2000) bahwa
resusitasi cairan sebaiknya menggunakan larutan kristaloid dan darah.

Penggantian Darah
Perdebatan yang hangat juga mewarnai penetapan kadar hematokrit atau
konsentrasi hemoglobin sebagai indikasi transfusi. Berdasarkan hasil Consensus
Development Conference (1988), curah jantung tidak secara nyata meningkat sampai
konsentrasi hemoglobin turun menjadi sekitar 7 g/dl. Walaupun komite
melaporkan bahwa hewan sehat yang dianestesia dapat bertahan hidup dari anemia
isovolemik dengan hematokrit turun sampai 5% volume, mereka juga menyatakan
bahwa sebelum kadar tersebut tercapai, sudah terjadi kemunduran fungsi yang
bermakna. Mendefinisikan kadar hematokrit atau hemoglobin universal tertentu
sebagai indikasi atau kontraindikasi transfusi darah merupakan hal yang sulit.
Namun, rekomendasi dari Consensus Development Conference harus diper-
timbangkan dalam pembuatan keputusan klinis. Menurut pedoman itu, infus sel
darah merah tidak diindikasikan untuk anemia sedang pada wanita yang
keadaannya stabil.
Bagi wanita yang mengalami perdarahan akut, kami menganjurkan infus
darah secara cepat apabila hematokrit kurang dari 25% volume. Demikian juga,
Morrison dkk. (1993) merekomendasikan transfusi apabila hematokrit kurang
dari 24% volume atau apabila hemoglobin kurang dari 8 g/dl jika pasien akan
segera dioperasi atau terjadi perdarahan akut, hipoksia akut, kolaps vaskular,
atau adanya faktor lain. Dukungan lebih lanjut terhadap rekomendasi ini
datang dari Czer dan Shoemaker (1978). Pada 94 pasien paskaoperasi yang sakit
kritis, angka kematian paling rendah didapatkan apabila kadar hematokrit
dipertahankan antara 27 dan 33% volume.
Hebert dkk. (1999) melaporkan hasil-hasil dari Canadian Critical Care
Trials Group. Total 838 pasien tidak hamil yang sakit berat dibagi secara acak untuk
mendapat transfusi sel darah merah terbatas guna mempertahankan konsentrasi
hemoglobin di atas 7 g/dl atau mendapat transfusi dalam jumlah besar untuk
mempertahankan konsentrasi hemoglobin 10 sampai 12 g/dl. Angka kematian 30
hari setara (19 dibandingkan 23%), namun pada pasien yang sakitnya tidak
terlalu parah (skor APACHE 20 atau kurang) angka kematian 30 hari secara
bermakna lebih rendah pada kelompok terbatas (9 dibandingkan 26%). Morrison

63
dkk. (1991) melaporkan bahwa transfusi sel darah merah tidak bermanfaat
untuk wanita yang mengalami perdarahan postpartum dan yang isovolemik
namun mengalami anemia dengan hematokrit antara 18 sampai 25% volume.
Jelaslah, kadar patokan untuk transfusi bagi wanita bergantung tidak saja
pada massa sel darah merah yang ada, tetapi juga pada kemungkinan
bertambahnya kehilangan darah.

Penggantian Darah dan Komponennya


Isi dan efek transfusi berbagai komponen darah diperli hatkan di Tabel
35-8. Darah lengkap (whole blood) yang sesuai merupakan terapi ideal untuk
hipovolemia akibat perdarahan akut yang masif. Darah lengkap memiliki
waktu simpan 40 hari, dan 70% sel darah merah yang ditransfusikan tetap
hidup selama paling sedikit 24 jam setelah transfusi. Satu unit darah lengkap
akan meningkatkan hematokrit sebesar 3 sampai 4% volume. Darah ini
mengganti banyak faktor pembekuan, terutama fibrinogen, dan kandungan
plasmanya mengatasi hipovolemia akibat perdarahan. Pentingnya, wanita
dengan perdarahan berat yang diresusitasi akan mendapat paparan dari darah
donor dibandingkan dengan mendapat PRC dan komponennya. Dalam studi
acak dari 33 wanita hamil yang mendapat transplantasi hepar, Laine dkk.
(2003) menemukan bahwa darah lengkap, dibandingkan dengan komponen
terapi, telah dihubungkan dengan beberapa paparan donor yang sebanding
dengan efektivitas terapi dari kehilangan darah.

Table 358. Blood Products Commonly Transfused in Obstetrical Hemorrhage


One Unit Volume per Unit Contents per Unit Effect(s) in Obstetrical
Hemorrhage
Whole blood About 500 mL; RBCs, plasma, Restores TBV and
Hct40% 600700 mg of fibrinogen; increases Hct
fibrinogen, no 34 volume % per unit
platelets
Packed RBCs About 250 mL RBCs only, no Increases Hct 34
("packed cells") plus additive fibrinogen, no volume % per unit
solutions; Hct55 platelets
80%
Fresh-frozen About 250 mL; Colloid plus about Restores TBV and
plasma 30-minute thaw 600700 mg fibrinogen
needed before use fibrinogen, no

64
One Unit Volume per Unit Contents per Unit Effect(s) in Obstetrical
Hemorrhage
platelets
Cryoprecipitate About 15 mL, About 200 mg About 30004000 mg
frozen fibrinogen plus total is needed to restore
other clotting maternal fibrinogen to >
factors, no platelets 150 mg/dL
Platelets About 50 mL, One unit has 5.5 x 6 10 units usually
stored at room 1010 platelets in 50 transfused; each
temperature mL plasma increases platelets
5000/L

Untuk wanita yang lebih stabil dan tidak kehilangan darah secara masif,
PRC lebih sesuai untuk digunakan. Menurut National Institute of Health (1993),
terapi komponen merupakan pengobatan yang lebih baik karena hanya
komponen yang dibutuhkan yang diberikan. Terapi ini juga menghemat darah
karena komponen-komponen dari satu unit darah dapat digunakan untuk
beberapa pasien. Karena itu, infus darah lengkap biasanya tidak diperlukan
dan jarang tersedia (Barber dkk., 1999; Bonnar, 2000; Laine dkk., 2004).

Kagulopati Pengenceran
Apabila perdarahan yang terjadi masif, penggantian dengan larutan
kristaloid dan packed red blood cells (PRC) biasanya menyebabkan kadar trombosit
dan faktor pembekuan yang larut berkurang sehingga terjadi koagulopati
fungsional yang secara klinis tidak dapat dibedakan dari koagulopati
intravaskular diseminata. Koagulopati ini mengganggu hemostasis dan semakin
memperparah perdarahan. Defek koagulasi yang paling sering dijumpai pada
wanita dengan perdarahan dan transfusi multipel adalah trombositopenia
(Counts dkk., 1979; Wilson dkk., 1971). Karena darah lengkap yang disimpan
mengalami defisiensi faktor V, VIII, XI, dan trombosit, serta semua faktor
pembekuan larut tidak terdapat di dalam PRC, perdarahan yang berat tanpa
penggantian faktor pembekuan juga dapat menyebabkan hipofibrinogenemia
dan pemanjangan waktu protrombin dan tromboplastin parsial. Pada sebagian
kasus, syok dapat disertai oleh koagulopati konsumtif berat yang mempersulit
pembedaan antara koagulopati pengenceran dan koagulopati konsumtif.

65
Untungnya, pada sebagian besar situasi yang dijumpai di obstetri, terapi
untuk keduanya sama.
Walau telah diajukan berbagai algoritma sebagai penuntun untuk
penggantian trombosit dan faktor pembekuan sesuai volume darah yang
hilang, variabilitas di antara pasien sangatlah besar. Dengan demikian, pada
penggantian akut dengan 5 sampai 10 unit jarang diperlukan penggantian
komponen. Namun, apabila kehilangan darah melebihi jumlah ini, kita perlu
mempertimbangkan pemeriksaan laboratorium berupa hitung trombosit,
pemeriksaan pembekuan, dan radar fibrinogen. Untungnya, dalam praktek, kadar
berbagai faktor pembekuan yang diperlukan untuk hemostasis adekuat cukup
rendah.
Pada wanita yang mengalami perdarahan, hitung trombosit harus
dipertahankan di atas 50.000/l dengan infus konsentrat trombosit. Kadar
fibrinogen yang kurang dari 100 mg/dl atau waktu protrombin atau tromboplastin
parsial yang cukup memanjang pada pasien dengan perdarahan akibat pembedahan
merupakan indikasi pemberian fresh- frozen plasma (FFP) dengan dosis 10 sampai
15 ml/kg.

Penentuan dan Penapisan dibandingkan Pencocokan Silang


Prosedur penapisan dilakukan dengan mencampur serum ibu dengan sel
darah merah reagen standar yang mengandung antigen yang akan bereaksi
dengan kebanyakan antibodi (yang secara klinis signifikan). Pencocokan silang, di
lain pihak, melibatkan pemakaian eritrosit donor yang sebenarnya dan bukan sel darah
merah standar. Hanya 0,03 sampai 0,07% pasien yang pada prosedur penentuan dan
penapisan ditentukan tidak memiliki antibodi kemudian memiliki antibodi
berdasarkan pemeriksaan pencecokan silang (Boral dkk., 1979). Karena itu, dalam
keadaan darurat, pemberian darah yang sudah diuji penapisan sangat jarang
menimbulkan sekuele klinis menyimpang. Tidak meminta pemeriksaan pencocokan
silang juga akan mengurangi biaya bank darah. Selain itu, darah yang
dicocoksilangkan hanya digunakan untuk calon resipien, sementara pada
pemeriksaan penapisan, darah tersedia untuk lebih dari satu calon resipien sehingga
pemborosan darah di bank darah berkurang. Karena itu, dalam sebagian besar
situasi obstetris lebih disukai penentuan dan penapisan.

66
Packed Red Blood Cells (PRC)
Sel-sel yang berasal dari satu unit darah lengkap memiliki kadar hema-
tokrit 60 sampai 70% volume, bergantung pada metode yang digunakan untuk
persiapan dan penyimpanannya. Satu unit PRC mengandung volume eritrosit yang
sama dengan darah lengkap dan juga akan meningkatkan hematokrit sebesar 3
sampai 4% volume. PRC dan infus kristaloid merupakan hal pokok dalam terapi
transfusi bagi sebagian besar kasus perdarahan obstetri.

Trombosit
Apabila diperlukan transfusi, sebaiknya digunakan trombosit yang
diperoleh melalui aferesis dari satu donor. Dalam skema ini, ekivalen trombosit
dari enam donor individual diberikan sebagai transfusi satu unit satu donor.
Unit semacam ini umumnya tidak dapat disimpan lebih dari 5 hari.
Apabila trombosit satu-donor tidak tersedia, digunakan konsentrat
trombosit dari donor acak. Trombosit ini dipersiapkan dari masing-masing unit
darah lengkap dengan sentrifugasi, kemudian disuspensikan kembali dalam 50
sampai 70 ml plasma. Satu unit trombosit donor acak mengandung sekitar 5.5 x

trombosit; transfusi umumnya mengguna kan 6 sampai 10 unit ini. Setiap

unit yang ditransfusikan seyogyanya meningkatkan hitung trombosit sebesar


5000/l. Plasma donor harus kompatibel dengan eritrosit resipien. Selain itu,
karena ada sel darah merah yang ikut ditransfusikan bersama trombosit, hanva
trombosit dari donor Rh-negatif yang harus diberikan kepada resipien Rh-negatif.
Transfusi trombosit perlu dipertimbangkan bagi pasien perdarahan dengan hitung
trombosit kurang dari 50.000/l. Pada pasien nonbedah, perdarahan jarang
dijumpai apabila hitung trombosit lebih dari 5000 sampai 10.000/ l (Sachs,
1991).

Fresh Frozen Plasma (FFP)


Komponen ini dibuat dengan memisahkan plasma dari darah lengkap, ke-
mudian membekukannya. FFP (plasma segar-beku) adalah sumber semua faktor
pembekuan yang stabil dan labil, termasuk fibrinogen. Komponen ini sering
digunakan dalam terapi akut wanita dengan koagulopati konsumtif atau pengen-
ceran. FFP tidak cocok digunakan sebagai penambah volume (volume expander)

67
tanpa defisiensi faktor pembekuan spesifik. Pemberian komponen ini harus
dipertimbangkan pada wanita dengan perdarahan dan memiliki kadar fibrinogen
kurang dari 100 mg/d1 serta waktu protrombin dan tromboplastin parsialnya
abnormal.
Kriopresipitat
Komponen ini dibuat dari FFP. Kriopresipitat mengandung faktor VIII,
faktor VIII : faktor von Willebrand, fibrinogen (minimal 150 mg), faktor XIII, dan
fibronektin dalam kurang dari 15 ml plasma tempat komponen ini berasal
(American Association of Blood Banks, 1994). Kriopresipitat hanya diindikasikan
pada keadaan-keadaan defisiensi faktor umum yang memiliki kemungkinan
masalah kelebihan volume (overload) dan pada beberapa penyakit yang
melibatkan defisiensi faktor tertentu. Pada wanita yang mengalami perdarahan,
dibandingkan dengan plasma segar beku, pemakaian kriopresipitat sebagai
pengganti faktor pembekuan umum tidak lebih balk. Indikasi utama pemberian
fraksi ini adalah hipofibrinogenemia berat akibat solusio plasenta pada seorang
wanita dengan insisi bedah.

Trafusi Autolog
Pada beberapa keadaan, mungkin perlu dipertimbangkan penyimpanan
darah autolog untuk transfusi. McVay dkk. (1989) melaporkan pengamatan pada
273 wanita hamil yang darahnya diambil pada trimester ketiga. Persyaratan
minimal adalah konsentrasi hemoglobin 11 g/dl atau hematokrit 34% volume.
Namun, hampir tiga perempat wanita di atas ini hanya mendonorkan satu unit, suatu
jumlah yang manfaatnya dipertanyakan. Mereka melaporkan tidak adanya
penyulit.
Selain itu, kebutuhan akan transfusi umumnya tidak dapat diperkirakan.
Sherman dkk. (1992) meneliti 27 wanita yang mendapat dua atau lebih transfusi
pada lebih 16.000 persalinan. Hanya 40% yang dapat diidentifikasi adanya faktor
risiko antepartum. Andres dkk. (1990) serta Etchason dkk. (1995)
menyimpulkan bahwa transfusi autolog tidak efektif biaya.

Komplikasi Transfusi Darah


Tiap unit darah dan komponennya dihubungkan dengan risiko terpapar
infeksi melalui darah. Bagaimanapun, selama beberapa dekade lalu, telah

68
dikembangkan metode-metode yang dapat diterima demi keamanan melakukan
transfusi darah. Sekarang ini, masalah risiko paling utama dalam transfusi adalah
kesalahan administratif yang mengarah kepada inkompatibilitas ABO, transfusi
yang menyebabkan trauma akut paru (transfusion related acute lung injury =
TRALI), dan transmisi bakteri serta virus.

Reaksi Transfusi Hemolitik


Transfusi menggunakan komponen darah yang tidak sesuai akan
menghasilkan hemolisis akuta yang menyebabkan koagulasi intravaskular
diseminata (DIC), gagal ginjal akut (ARF), dan kematian. Untuk mencegah
kekeliruan, seperti keliru dalam memberikan label spesimen atau tranfusi pada
pasien yang tidak sesuai maka perlu adanya tanggung jawab dalam mengatasi
kondisi-kondisi tersebut. Meskipun tingkat kekeliruan di Amerika Serikat sekitar
1 dari 14.000 unit darah yang ditransfusi, mungkin fakta sebenarnya di lapangan
memberikan hasil yang lebih tinggi (Goodnough, 2003; Linden dkk., 2001).
Tanda dan gejala dari reaksi tranfusi berupa demam, hipotensi, takikardi,
dispneu, nyeri dada atau punggung, muka yang kemerahan (flushing), ansietas
berat, dan hemoglobinuria. Penanganan yang perlu segera dilakukan adalah
dengan menghentikan transfusi, mengobati hipotensi dan hiperkalemia,
memberikan diuretik, dan alkalinisasi urine. Pemeriksaan urine dan konsentrasi
hemoglobin dalam plasma serta antibodi membantu untuk menegakkan diagnosis.

Transfusion Related Acute Lung Injury (TRALI)


TRALI adalah komplikasi yang mengancam nyawa dengan karakteristik
berupa dispneu yang berat, hipoksia, dan edema pumonal non kardiogenik yang
timbul dalam 6 jam pertama setelah tranfusi (Silliman dkk., 2003). Dipastikan
sedikitnya sekitara 1 dari 5000 tranfusi terjadi TRALI. Meskipun patogenesis
TRALI tidak sepenuhnya dapat dimengerti, mekanisme dari jejas pada kapiler
pulmonal tampakya karena keterlibatan produk lemak dari komponen
penyimpanan akibat dari reaksi leukosit (Kopko dkk., 2002; Silliman dkk., 2003).

Kontaminasi Bakteri
Transfusi oleh komponen darah yang terkontaminasi dihubungkan dengan
60% tingkat mortalitas. Kontaminasi bakteri pada sel darah merah yang paling

69
sering dijumpai adalah Yersinia enterocolitica. Di Amerika Serikat, risiko
kontaminasi oleh bakteri kurang dari 1 per 1 juta unit transfusi. Dewasa ini, risiko
terbesar kontaminasi bakteri terdapat pada komponen darah lainnya, yaitu
trombosit, yang diperkirakan terjadi pada sekitara 1 per 200 unit transfusi
(Goodnough, 2003).

Kontaminasi Virus
Untungnya, infeksi yang paling ditakuti, yaitu human immunodeficiency
virus (HIV) merupakan yang paling jarang dijumpai. Perkiraan sebelumnya
dengan penapisan untuk antibodi virus terhadap donor menempatkan risiko
infeksi sebesar 1 per 40.000 sampai 1 per 310.000 (National Institutes of Health,
1993). Sayangnya, lebih dari 60 persen resipien darah positif-HIV menjadi
seropositif, dan separuh mengalami acquired immunodeficiency syndrome (AIDS)
dalam 7 tahun (Ward dkk., 1988). Karena meningkatnya sensitivitas pemeriksaan-
pemeriksaan enzyme immunosorbent, risiko penularan HIV dalam darah yang sudah
disaring saat ini dihitung sekitar 1 per 500.000 sampai 1 per 1 juta donasi (Cohn, 2000;
Lackritz dkk., 1995; Schreiber dkk., 1996).
Kemungkinan infeksi HIV-2 bahkan lebih rendah lagi. Setelah penerapan
pemeriksaan penapisan kombinasi HIV-1/HIV-2 terhadap donor darah pada tahun
1992, hanya tiga unit di antara 74 juta yang diperiksa sepanjang tahun 1995 yang
positif untuk HIV-2 (Centers for Disease Control and Prevention, 1995).
Sampai baru-baru ini, penularan virus hepatitis non-A, non-B jauh lebih
sering menjadi penyulit transfusi. Prevalensi hepatitis C adalah 1 sampai 2 persen
donor. Dahulu, sebagian besar kasus tidak terdeteksi karena virus ini
menyebabkan infeksi anikterik walaupun hepatitis kronik sering terjadi. Uji
serologis untuk antibodi hepatitis C mulai tersedia pada tahun 1990 dan American
Association of Blood Banks mengharuskan uji hepatitis C untuk semua donor.
Dengan teknik pemeriksaan yang sekarang, risiko penularan hepatitis C sekitar 1
per 3300 sampai 1 per 103.000 (Schreiber dkk., 1996; Sloand dkk., 1995). Risiko
penularan penyakit infeksi lain melalui transfusi, misalnya malaria dan
sitomegalovirus, diperkirakan kurang dari 1 per 1 juta (National Institutes of
Health, 1993).

Pengganti Sel Darah Merah

70
Pengganti ini terdiri atas tiga varian: perfluorochemicals, hemoglobin
terselubung liposome (liposome-encapsulated hemoglobin), dan pengangkut oksigen
berbasis hemoglobin (hemoglobin-base oxygen carrier). Sejarah dan perkembangan
pengganti eritrosit baru-baru ini diulas oleh Cohn (2000) dan Wright-Kanuth dan
Smith (2002). Hidrokarbon berfluorida adalah cairan yang secara biologis inert
dengan kelarutan oksigen yang relatif tinggi. Pemakaian emulsi semacam ini
memungkinkan oksigen diangkut dan disalurkan ke jaringan melalui proses difusi
sederhana. Emulsi yang paling sering digunakan, Fluosol, harus disimpan beku
dan dicairkan dalam 24 jam setelah penggunaan. Manfaat klinis berbagai emulsi ini
belum dipastikan, tetapi bahan-bahan ini mungkin dapat mengurangi kebutuhan
darah pada perdarahan masif (Klein, 2000). Hemoglobin terselubung liposom belum
terbukti menjanjikan. Satu formulasi pengangkut oksigen berbasis hemoglobin,
diaspirin cross-linked hemoglobin (DCLHb), terbukti berbahaya (Sloan dkk., 1999).
Yang terbaru, Mullon dkk. (2000) melaporkan keberhasilan pemakaian polimer
hemoglobin sapi, HBOC-201, sebagai pengganti darah untuk wanita tidak hamil
dengan anemia hemolitik yang parah.

Koagulopati Konsumtif
Pada 1901, DeLee melaporkan terjadinya "hemofilia temporer" pada seorang
wanita dengan solusio plasenta dan seorang lainnya dengan janin yang sudah
lama meninggal dan mengalami maserasi. Pengamatan bahwa solusio plasenta
yang ekstensif serta kasus-kasus lain pada kehamilan, sering disertai
hipofibrinogenemia, mendorong timbulnya keingintahuan terhadap penyebab
koagulasi intravaskular yang berat ini. Walaupun pengamatan-pengamatan ini
semula hampir seluruhnya berkaitan dengan kasus obstetris, kasus ini kemudian di-
jumpai di semua bidang kedokteran (Baglin, 1996). Sindrom-sindrom ini secara
umum disebut koagulopati konsumtif atau koagulasi intravaskular diseminata.

Hiperkoaguabilitas Kehamilan
Dalam keadaan normal, kehamilan memicu peningkatan bermakna
konsentrasi faktor pembekuan I (fibrinogen), VII, VIII, IX, dan X. Faktor plasma lain
dan trombosit tidak banyak berubah. Kadar plasminogen meningkat bermakna,
namun aktivitas plasmin antepartum biasanya menurun dibandingkan dengan
keadaan tidak hamil. Berbagai rangsangan bekerja untuk memicu perubahan

71
plasminogen menjadi plasmin, dan salah satunya yang paling kuat adalah
aktivasi koagulasi.

Aktivasi Koagulasi Secara Patologis


Pada keadaan normal, tidak terjadi koagulasi intravaskular fisiologis yang
kontinu secara bermakna. Selama kehamilan tampaknya memang terjadi peningkatan
aktivasi trombosit, mekanisme pembekuan, dan fibrinolitik in vivo. Gerbasi dkk.
(1990) mendapatkan peningkatan bermakna produk degradasi fibrinogen- fibrin,
fibrinopeptida A, -tromboglobulin, dan faktor trombosit 4. Mereka
menyimpulkan bahwa koagulasi intravaskular kompensatorik yang mengalami
akselerasi ini mungkin berfungsi untuk memelihara persambungan (interface)
uteroplasenta.
Dalam keadaan patologis, koagulasi mungkin diaktifkan melalui jalur
ekstrinsik oleh tromboplastin dari destruksi jaringan dan mungkin melalui jalur
intrinsik oleh kolagen dan komponen jaringan lain saat terjadi gangguan integritas
endotel (Gambar 35-31). Faktor jaringan dibebaskan dan berikatan dengan faktor VII.
Akibatnya terjadi pengaktifan kompleks tenase (faktor IX) dan protrombinase
(faktor X). Faktor-faktor yang sering menjadi pemicu di bidang obstetri adalah
tromboplastin dari solusio plasenta serta endotoksin dan eksotoksin. Mekanisme
lain adalah melalui aktivasi langsung faktor X, contohnya oleh protease, yang
terdapat di musin atau dihasilkan oleh neoplasma. Cairan amnion mengandung
banyak musin dari skuama janin dan mungkin menyebabkan defibrinasi cepat
pada emboli cairan amnion.

72
Koagulopati konsumtif hampir selalu dijumpai sebagai penyulit proses
patologis yang mendasarinya dan dapat diidentifikasi; terapi terhadap
proses ini harus ditujukan untuk membalikkan proses defibrinasi. Dengan
demikian, identifikasi dan eliminasi segera sumber koagulopati merupakan
prioritas utama dalam mengatasi koagulopati konsumtif. Pada aktivasi patologis
berbagai prokoagulan yang memicu koagulasi intravaskular diseminata, terjadi
konsumsi trombosit dan faktor pembekuan dalam jumlah bervariasi. Sebagai aki-
batnya, mungkin terjadi pengendapan .fibrin di pembuluh-pembuluh halus
hampir semua sistem organ. Untungnva, keadaan ini jarang menyebabkan
kegagalan organ. Pembuluh-pembuluh halus terlindungi karena koagulasi
membebaskan monomer-monomer fibrin yang berikatan dengan aktivator
plasminogen jaringan (t-PA) dan plasminogen, yang membebaskan plasmin.
Sebaliknya, plasmin melisiskan fibrinogen, monomer fibrin, dan polimer fibrin
untuk membentuk serangkaian turunan fibrinogen-fibrin. Zat-zat ini memiliki
determinan imunologis yang sama dan dikenal sebagai produk degradasi fibrin
atau produk hasil pemecahan.

Makna
Selain perdarahan dan obstruksi sirkulasi, yang dapat menyebabkan
iskemia akibat hipoperfusi, koagulopati konsumtif dapat disertai dengan

73
hemolisis mikroangiopati. Keadaan ini disebabkan oleh gangguan mekanis
membran eritrosit di dalam pembuluh-pembuluh halus tempat endapan fibrin
berada. Terjadi hemolisis dengan anemia, hemoglobinemia, hemoglobinuria, dan
perubahan morfologis eritrosit dengan derajat bervariasi. Proses ini
kemungkinan besar menyebabkan atau berperan dalam hemolisis yang
dijumpai pada apa yang disebut sebagai sindroma HELLP (Pritchard dkk., 1976).
Pada sindrom-sindrom obstetris yang melibatkan koagulopati konsumtif,
harus dilakukan pemulihan segera dan pemeliharaan sirkulasi untuk mengatasi
hipovolemia dan koagulasi intravaskular persisten. Dengan memadainya perfusi ke
organ-organ vital, faktor pembekuan yang aktif serta fibrin dan produk degradasi
fibrin dalam sirkulasi akan segera dibersihkan oleh sistem retikuloendotel. Pada
saat yang sama, sintesis prokoagulan oleh hati dan endotel meningkat.
Kemungkinan perdarahan yang mengancam nyawa dalam kasus-kasus
obstetri dengan penyulit gangguan koagulasi akan bergantung tidak saja pada
derajat gangguan koagulasi, tetapi, yang sangat penting, pada rusak tidaknya
sistem pembuluh darah. Pada gangguan koagulasi darah yang parah dapat terjadi
perdarahan yang fatal apabila integritas pembuluh darah terganggu, namun selama
pembuluh darah utuh tidak akan terjadi perdarahan.

Bukti Klinis dan Laboratorium adanya Gangguan Hemostasis


Bioassay adalah metode yang sangat baik untuk mendeteksi atau
mencurigai secara klinis adanya koagulopati yang bermakna. Perdarahan
berlebihan di tempat trauma ringan merupakan tanda gangguan hemostasis.
Perdarahan persisten dari tempat pungsi vena, luka sayat akibat irisan pada
perineum atau abdomen, atau trauma akibat insersi kateter, dan perdarahan spon-
tan dari gusi atau hidung adalah tanda-tanda kemungkinan adanya defek
pembekuan darah. Adanya purpura di lokasi penekanan mungkin mengisyaratkan
darah yang tidak dapat membeku, atau yang lebih sering, trombositopenia yang
secara klinis bermakna. Prosedur bedah merupakan bioassay terakhir untuk
mengetahui ada tidaknya gangguan koagulasi. Merembesnya darah secara terus-
menerus dari kulit, jaringan subkutis dan fasia, serta ruang retroperitoneum
vaskular, seyogyanya paling tidak mengisyaratkan koagulopati. Tanda ini juga
dapat diperoleh dengan mengamati perembesan darah terus menerus dari insisi
episiotomi atau laserasi perineum.

74
Hipofibrinogenemia
Pada kehamilan tahap lanjut, kadar fibrinogen plasma biasanya 300 sampai
600 mg/dl. Dengan diaktifkannya koagulasi, kadar yang tinggi ini kadang-
kadang berfungsi melindungi tubuh dari hipofibrinogenemia. Untuk me-
ningkatkan koagulasi, kadar fibrinogen harus sekitar 150 mg/d1. Apabila
terdapat hipofibrinogenemia yang serius, bekuan yang terbentuk dari darah lengkap di
tabung reaksi pada awalnya mungkin lunak, tetapi volumenya tidak selalu
berkurang secara bermakna. Kemudian, dalam waktu sekitar setengah jam,
bekuan menjadi lumayan kecil sehingga banyak eritrosit yang keluar dan
volume cairan jelas melebihi volume bekuan.

Turunan Fibrin dan Fibrionogen


Produk degradasi fibrin dalam serum dapat dideteksi melalui sejumlah sistem
uji yang peka. Antibodi monoklonal untuk mendeteksi D-dimer sering digunakan.
Pada koagulopati konsumtif yang secara klinis bermakna, hasil dari berbagai uji ini
selalu sangat tinggi.

Trombositopenia
Trombositopenia serius besar kemungkinan terjadi apabila dijumpai banyak
petekie, darah yang membeku tidak mengalami retraksi dalam waktu satu jam atau
lebih, atau apabila jarang ditemukan trombosit di apusan darah yang sudah diwarnai.
Pemastian hal ini dilakukan dengan pemeriksaan hitung trombosit. Terdapat
disfungsi kualitatif trombosit pada preeklamsia berat dan eklamsi.

Waktu Protrombin dan Tromboplastin Parsial


Memanjangnya kedua uji koagulasi ini mungkin disebabkan oleh penurunan
bermakna kadar berbagai koagulan yang esensial untuk menghasilkan trombin,
konsentrasi fibrinogen yang lebih rendah dari ambang kritis sekitar 100 mg/dl, atau
banyaknya beredar produk degradasi fibrinogen-fibrin. Memanjangnya waktu
protrombin dan waktu tromboplastin parsial ini tidak harus merupakan
konsekuensi dari koagulasi intravaskular diseminata.

75
Heparin
Infus heparin sebagai usaha untuk menghentikan koagulasi intravaskular
diseminata akibat solusio plasenta atau situasi lain ketika integritas sistem
vaskular terganggu disebut hanya untuk mengecam penggunaannya.

Asama Epsilon Aminokaproat


Asam epsilonaminokaproat pernah diberikan sebagai upaya untuk
mengendalikan fibrinolisis dengan menghambat perubahan plasminogen menjadi
plasmin dan efek proteolitik plasmin pada fibrinogen, monomer fibrin, dan polimer
fibrin (bekuan). Kegagalan membersihkan polimer fibrin dari mikrosirkulasi dapat
menyebabkan iskemia dan infark organ, misalnya nekrosis korteks ginjal.
Pemakaian obat ini pada sebagian besar koagulopati obstetri tidak dianjurkan.

Solusio Plasenta
Solusio plasenta merupakan penyebab tersering koagulopati konsumtif yang
serius di bidang obstetri. Hal ini telah dibahas pada bagian sebelumnya.

Kematian Janin dan Pelahiran yang Tertunda


Walaupun pada sebagian besar wanita hamil dengan janin mati, biasanya
terjadi persalinan spontan, umumnya dalam 2 minggu, stres psikologis yang timbul
karena mengandung janin yang sudah meninggal biasanya segera memicu dilaku -
kannya induksi persalinan saat diagnosis ditegakkan. Tindakan ini juga
menghindari kemungkinan terjadinya gangguan pembekuan darah.

Perubahan Koagulasi
Weiner dkk. pada tahun 1950 melaporkan bahwa sebagian wanita D-Dimer
negatif yang mengalami isoimunisasi dan mengandung janin mati mengalami
gangguan pembekuan darah. Studi-studi prospektif mengisyaratkan bahwa
gangguan bermakna pada mekanisme pembekuan ibu jarang terjadi sebelum
kurang dari 1 bulan setelah kematian janin (Pritchard, 1959, 1973). Namun,
apabila janin tertahan lebih lama, sekitar 25% wanita akan mengalami koagulopati.
Biasanya konsentrasi fibrinogen turun ke kadar yang normal untuk keadaan tidak
hamil, dan pada sebagian kasus konsentrasi tersebut turun ke kadar yang berpotensi

76
membahayakan yaitu 100 mg/dl atau kurang (Pritchard, 1973). Kecepatan penurunan
yang sering dijumpai diperlihatkan di Gambar 35-32. Secara bersamaan, kadar
produk degradasi fibrin di dalam serum meningkat. Perubahan tersebut dengan
asumsi dimediasi oleh tromboplastin yang berasal dari kematian produk hasil
konsepsi (Jimenez dan Pritchard, 1968; Lerner dkk., 1967). Hitung trombosit
cenderung menurun pada kasus ini, tetapi trombositopenia yang parah jarang terjadi,
bahkan apabila kadar fibrinogen cukup rendah. Walaupun gangguan koagulasi
dapat membaik secara spontan sebelum evakuasi janin, hal ini jarang terjadi dan
berlangsung cukup lambat (Pritchard, 1959).

Heparin
Koreksi gangguan koagulasi pada wanita dengan sirlkulasi yang utuh
dilaporkan berhasil dilakukan dengan pemberian heparin dosis rendah, 5000 U
dua sampai tiga kali sehari, di bawah kondisi yang terkendali dengan baik
(Pacheco dkk., 2004). Heparin yang diberikan dengan sesuai dapat meng hentikan
konsumsi patologis lebih lanjut fibrinogen dan faktor pembekuan lain sehingga
memperlambat atau untuk sementara membalikkan siklus konsumsi dan
fibrinolisis. Koreksi semacam ini harus dilakukan hanya bila pasien tidak
mengalami perdarahan aktif dan disertai langkah-langkah untuk melahirkan janin
secara bersamaan.

Kematian Janin pada Kehamilan Multijanin

77
Gangguan nyata pada proses pembekuan tidak jarang terjadi pada
kehamilan multijanin yang mengalam penyulit kematian paling tidak satu janin
sementara janin yang lain masih hidup (Landy dan Weingold, 1989). Petersen dan
Nyholm (1999) mengikuti 22 kehamilan multijanin dengan 1 janin meninggal
setelah trimester pertama. Dari hampir 100 kasus ini, tidak ada satupun kasus
koagulopati yang terdeteksi.
Chescheir dan Seeds (1988) melaporkan seorang wanita yang, setelah
kematian salah satu janin kembarnya, mengalami penurunan konsentrasi fibrinogen
plasma dan peningkatan produk degradasi fibrin yang progresif, tetapi transien.
Kami hanva menemukan sedikit kasus seperti ini di Parkland Hospital, dan salah satu
diperlihatkan di Gambar 35-33. Perubahan-perubahan koagulasi secara spontan
terhenti dan janin yang selamat, saat lahir menjelang aterm, berada dalam keadaan
sehat. Plasenta janin yang sudah lama mati dipenuhi oleh fibrin. Sebagian besar
kasus adalah kembar monokorionik dengan anastomosis vaskular. Kembar yang
selamat mempunyai risiko sangat tinggi untuk mengalami cerebral palsy dan
gangguan otak lain (Pharoah dan Adi, 2000).

78
Emboli Cairan Amnion
Emboli cairan amnion adalah suatu gangguan kompleks yang secara klasik
oleh terjadinya hipotensi, hipoksia, dan koagulopati konsumtif secara
mendadak. Manifestasi klinis sangat bervariasi dan mungkin saja hanya salah satu
di antara ketiga tanda klinis ini yang dominan atau malah tidak terjadi sama
sekali. Sindrom ini mutlak jarang dijumpai; namun, sindrom ini merupakan kausa
umum kematian ibu (Berg dkk., 1996; Koonin dkk., 1997). Sebagai contoh, The
Pregnancy Mortality Sureveillance System of the Centers for Disease Control and
Prevention mencatat bahwa dari tahun 1991 sampai 1997 emboli cairan amnion
mengakibatkan kematian pada 275 (9%) dari 3201 kehamilan yang berhubungan
dengan kematian ibu (Berg dkk., 2003). Dengan menggunakan data dari 1,1 juta
pelahiran di California, Gilbert dan Danielsen (1999) memperkirakan frekuensinya
sekitar 1 kasus per 20.000 pelahiran.
Pada kasus-kasus yang jelas, gambaran klinis sering dramatik. Gambaran
klasik adalah seorang wanita yang berada dalam tahap akhir persalinan atau masa
postpartum dini mulai kehabisan napas, kemudian dengan cepat mengalami
kejang atau henti kardiorespirasi disertai penyulit koagulasi intravaskular
diseminata, perdarahan masif, dan kematian. Gambaran klinis keadaan ini
tampaknya sangat bervariasi. Kami pernah menangani sejumlah wanita yang
menjalani persalinan pervaginam nonkomplikata kemudian mengalami koagulasi
intravaskular diseminata akut dan parah tanpa gejalagejala kardiorespirasi.
Karenanya, pada sebagian wanita, koagulopati konsumtif tampaknya merupakan
forme fruste (bentuk atipikal) dari emboli cairan amnion (Awad dan Shorten, 2001;
Davies, 1999; Porter dkk., 1996). Gambaran yang sering ditemukan juga dari suatu
emboli cairan amnion adalah mekonium yang kental dan persalinan yang cepat.

Patogenesis
Emboli cairan amnion semula dilaporkan oleh Steiner dan Luschbaugh pada
tahun 1941, yang mendapatkan bukti adanya debris janin di sirkulasi paru
sekelompok wanita yang sekarat saat bersalin. Namun, studi-studi selanjutnya oleh
Adamsons dkk. (1971) serta Stolte dkk. (1967) jelas memperlihatkan bahwa cairan
amnion itu sendiri tidak berbahaya, bahkan apabila diinfuskan dalam jumlah besar.

79
Gambaran klinis serupa dijumpai pada anafilaksis manusia dan tidak menyerupai
fenomena emboli seperti yang selama ini dipahami (Clark dkk., 1995).
Cairan amnion masuk ke sirkulasi akibat rusaknya sawar fisiologis yang
biasanya terdapat antara kompartemen ibu dan janin. Kejadian ini tampaknya
sering berlangsung, kalau tidak mau dikatakan universal, dengan trofoblas dan
skuama yang diduga berasal dari janin sering dijumpai di dalam sirkulasi ibu
(Clark dkk., 1986; Lee dkk., 1986). Ibu mungkin terpajan ke berbagai elemen janin
sewaktu terminasi kehamilan, setelah amniosentesis atau trauma, atau yang lebih
sering selama persalinan atau pelahiran saat terbentuk laserasi-laserasi kecil di
segmen bawah uterus atau serviks. Selain itu, seksio sesarea memberikan banyak
kesempatan terjadinya pencampuran darah ibu dan jaringan janin.
Pada sebagian besar kasus, kejadian-kejadian ini tidak membahayakan.
Namun, pada sebagian wanita, pemajanan ini memicu serangkaian reaksi
fisiologis kompleks yang mirip dengan yang dijumpai pada anafilaksis dan sepsis
(Tabel 35-9). Proses serupa juga dibuktikan terjadi pada emboli lemak traumatik,
suatu proses yang semula diperkirakan hanya melibatkan obstruksi vaskular
sederhana setelah trauma (Peltier, 1984). Dari studi kontrol 9 wanita dengan asumsi
adanya emboli cairan amnion, Benson dkk (2001) menemukan bahwa beberapa
indikator anafilaktik (serum triptase dan histamin urine) meningkat pada beberapa
wanita, juga tidak ada bukti dari degranulasi sel Mast. Sebagai catatan, derajat
komplemen telah menurun secara tidak seragam, sehingga diduga bahwa aktivasi
komplemen memerankan peranan penting. Karena aktivasi seperti itu juga terjadi pada
pasien dengan sindroma gangguan pernapasan akut, bagaimanapun tidak diketahui
apakah aktivasi komplemen adalah akibat primer atau sekunder dari emboli cairan
amnion. Kaskade patofisiologi kemungkin besar disebabkan oleh sejumlah kemokin
dan sitokin. Sebagai contoh, Khong (1998) mendapatkan ekspresi endotelin-1 yang
intens pada skuama janin yang ditemukan di paru pada dua kasus fatal.

Table 359. Clinical Findings in 84 Women with Amnionic Fluid Embolism


Clinical Findings Clark et al (1995) (n = 46) Weiwen (2000) (n = 38)
Hypotension 43 38
Fetal distress 30/30a NS

Pulmonary edema or ARDS 28/30a 11

80
Clinical Findings Clark et al (1995) (n = 46) Weiwen (2000) (n = 38)
Cardiopulmonary arrest 40 38
Cyanosis 38 38
Coagulopathy 38 12/16a

Dyspnea 22/45a 38

Seizure 22 6

Patofisiologi
Studi-studi pada primata dengan menggunakan injeksi cairan amnion
homolog, serta studi yang dilakukan secara cermat terhadap model kambing,
menghasilkan pemahaman yang penting tentang kelainan hemodinamik sentral
(Adamsons dkk., 1971; Hankins dkk., 1993; Stolte dkk., 1967). Fase inisial terdiri
dari hipertensi pulmonal dan sistemik. Akhirnya, pada laporan yang telah disetujui,
Stenton dkk. (2003) menjelaskann hasil dari ekokaridiogram transesofageal dalam
waktu 10 menit dari kolapsnya sirkulasi yang berhubungan dengan emboli cairan
amnion. Penemuan-penemuan tersebut, termasuk dilatasi masif akinetik ventrikel
kanan dan kontraksi vigrosa, ventrikel kiri yang terobliterasi, semuanya konsisten
dengan kegagalan untuk transfer darah dari jantung kanan ke kiri karena
vasokontriksi pulmonal katostoprik. Desaturasi oksigen yang sementara tetapi dalam
menghasilkan jejas neurologis pada banyak orang yang selamat (Harvey dkk., 1996).
Pada wanita yang bertahan hidup melewati fase kolaps kardiovaskular awal, sering
terjadi fase sekunder berupa cedera paru dan koagulopati.
Keterkaitan hipertonisitas uterus dengan kolaps kardiovaskular tampaknya
lebih berupa efek daripada kausa emboli cairan amnion (Clark dkk., 1995). Memang,
aliran darah uterus berhenti total apabila tekanan intrauterin melebihi 35 sampai 40
mmHg (Towell, 1976). Dengan demikian, kontraksi hipertonik merupakan waktu
yang paling kecil kemungkinannya terjadi pertukaran janin-ibu. Demikian juga,
tidak terjadi hubungan sebab akibat antara pemakaian oksitosin dengan emboli
cairan amnion dan frekuensi pemakaian oksitosin tidak meningkat pada para
wanita ini (American College of Obstetricians and Gynecologists, 1993).

81
Diagnosis
Dahulu, ditemukannya sel skuamosa atau debris lain yang berasal dari
janin di sirkulasi paru sentral dianggap patognomonik untuk emboli cairan
amnion. Memang, pada kasus-kasus fatal, gambaran histopatologis mungkin
dramatik, terutama pada kasus dengan cairan amnion yang tercemar mekonium
(Gambar 35-34). Namun, deteksi debris semacam ini mungkin memerlukan
pewarnaan khusus yang ekstensif dan setelah itupun debris sering tidak
ditemukan. Sebagai contoh, Hankins dkk., (2002) menyuntikkan cairan amnion
yang mentah pada 8 domba. Menggunakan spesial pengentalan, terdapat bukti
mikroskopis dari embolisasi pada 25% kasus. Pada studi yang dilakukan Clark
dkk. (1995) elemen-elemen janin terdeteksi pada 75% autopsi dan 50%
spesimen yang dibuat dari aspirat buffy coat pekat yang diambil dari kateterisasi
arteri pulmonalis sebelum pasien meninggal. Selain itu, beberapa penelitian
memperlihatkan bahwa sel skuamosa, trofoblas, dan debris lain yang berasal dari
janin mungkin sering ditemukan di sirkulasi sentral wanita dengan kondisi selain
emboli cairan amnion. Dengan demikian, temuan ini tidak sensitif atau spesifik dan
diagnosis umurnnya ditegakkan berdasarkan gejala dan tanda klinis yang khas.
Pada kasus-kasus yang kurang khas, diagnosis didasarkan pada eksklusi kausa
lain.

82
Penatalaksanaan
Walaupun pada awal perjalanan klinis emboli cairan amnion terjadi
hipertensi sistemik dan pulmonal, fase ini bersifat sementara. Wanita yang dapat
bertahan hidup setelah menjalani resusitasi jantung paru seyogyanya mendapat
terapi yang ditujukan untuk oksigenasi dan membantu miokardium yang
mengalami kegagalan. Tindakan yang menunjang sirkulasi serta pemberian
darah dan komponen darah sangat penting dikerjakan. Belum ada data yang
menyatakan bahwa ada suatu intervensi yang dapat memperbaiki prognosis ibu
pada emboli cairan amnion. Wanita yang belum melahirkan dan mengalami henti
jantung harus dipertimbangkan untuk melakukan seksio sesarea perimortem
darurat sebagai upaya menyelamatkan janin. Namun, bagi ibu yang hemo-
dinamikanva tidak stabil, tetapi belum mengalami henti jantung, pengambilan
keputusan semacam itu menjadi semakin rumit.

Prognosis
Prognosis emboli cairan amnion yang buruk jelas berkaitan dengan bias
pelaporan Juga, sindroma ini kemungkinan besar kurang terdiagnosis
(underdiagnosed), kecuali pada kasus-kasus yang sangat parah. Pada laporan-
laporan National Registry, angka kematian ibu adalah 60%. Di data dasar 1,1 juta
persalinan di California oleh Gilbert dan Danielson (1999), hanya seperempat kasus
yang dilaporkan yang meninggal. Weiwen (2000) menyajikan data awal dari 38
kasus di daerah Suzhou di Cina. Hampir 90% wanita dengan kasus ini meninggal.

83
Kematian dapat terjadi sangat cepat, dan di antara 34 wanita yang meninggal
dalam penelitian di Cina, 12 meninggal dalam waktu 30 menit.
Kelainan neurologis yang parah sering terjadi pada mereka yang selamat.
Pada kasus yang dilaporkan oleh Clark dkk. (1995),hanya 8% yang selamat
tanpa mengalami kelainan neurologis di antara para wanita yang mengalami
henti jantung disertai gejala-gejala awal,. Hasil akhir juga buruk bagi janin ke -
lompok wanita yang selamat tersebut dan berkaitan dengan interval henti jantung
sampai pelahiran. Angka ketahanan hidup neonatus keseluruhan adalah 70%,
tetapi hampir separuh menderita kelainan neurologis residual.

Septikemia
Infeksi yang menyebabkan bakteremia dan syok septik di bidang obstetri
paling sering disebabkan oleh abortus septik, pielonefritis antepartum, atau sepsis
puerperium.

Koagulopati
Sifat letal toksin bakteri, terutama endotoksin, jelas diperantarai terutama
oleh kerusakan endotel vaskular. Namun, belum jelas apakah hal ini merupakan
mekanisme utama yang memicu koagulopati konsumtif. Sebagai contoh, pada hewan
percobaan, kerusakan endotel paling besar terjadi pada 24 jam setelah endotoksin
diberikan, tetapi koagulasi intravaskular biasanya dapat diidentifikasi dalam
beberapa jam pertama. Kemungkinan besar, seperti diperlihatkan di Gambar 35-
34, endotoksin mengaktifkan mekanisme pembekuan ekstrinsik melalui
ekspresi faktor jaringan di permukaan monosit aktif yang dipicu oleh sitokin (Levi
dkk., 1993). Jalur intrinsik tampaknya tidak penting dalam hal ini.

Penatalaksanaan
Umumnya, terapi terhadap kausa pemicu akan diikuti oleh berkurangnya
koagulopati. Pada sebagian kasus, terutama apabila prosedur bedah dilakukan
sebelum sepsis dikendalikan dan koagulopati diatasi, pemberian FFP dan trombosit
biasanya dapat menghentikan perdarahan tersebut. Terapi heparin berbahaya dan
jangan diberikan.

Abortus

84
Abortus dapat menyebabkan kehilangan darah yang cukup bermakna.
Perdarahan selama kehamilan tahap awal jarang parah, kecuali pada induksi
abortus dan prosedurnya traumatik. Apabila tahap kehamilan sudah lebih lanjut,
mekanisme yang berperan dalam perdarahan umumnya sama dengan yang
dijelaskan untuk solusio plasenta dan plasenta previa, yaitu rusaknya sejumlah
besar pembuluh darah ibu di tempat implantasi plasenta.

Defek Koagulasi
Gangguan serius mekanisme koagulasi sebagai akibat abortus dapat terjadi
pada keadaan-keadaan berikut:
1. Retensi janin mati berkepanjangan, seperti sudah dijelaskan.
2. Sepsis, suatu penyebab yang terkenal.
3. Pemberian larutan salin hipertonik atau larutan urea intrauterin.
4. Induksi medis dengan prostaglandin.
5. Saat terminasi kehamilan dengan instrumen.

Berbagai perubahan dalam koagulasi yang pernah dijumpai pada abortus


yang diinduksi oleh larutan hipertonik mengisyaratkan bahwa setidak-tidaknya
terjadi pelepasan tromboplastin dari plasenta, janin, desidua, atau ketiganya oleh
efek nekrobiotik larutan hipertonik. Hal ini kemudian memicu koagulasi di dalam
sirkulasi ibu (Burkman dkk., 1977). Defek koagulasi jarang terjadi pada abortus
yang diinduksi oleh prostaglandin. Saraiya dkk. (1999) melaporkan 62 kematian
akibat abortus spontan yang dilaporkan ke Pregnancy Mortality Surveillance System.
Hampir 60% kematian disebabkan oleh infeksi dan separuh di antara para wanita ini
mengalami koagulopati konsumtif.
Koagulopati konsumtif merupakan penyulit yang jarang tetapi serius pada
wanita dengan abortus septik. Dahulu, insiden gangguan pembekuan di Parkland
Hospital paling tinggi pada mereka yang menderita sepsis Clostridium perfringens dan
hemolisis intravaskular berat (Pritchard dan Whalley, 1971). Penatalaksanaan
berupa pemulihan segera dan pemeliharaan sirkulasi, serta langkah-langkah yang
tepat untuk mengatasi infeksi, termasuk evakuasi produk yang terinfeksi.

85
86

You might also like