You are on page 1of 11

PBL 1

Initial Assesetment

1. Persiapan

A. Fase Pra-rumah Sakit (Pre-hospital)

Umumnya terdapat 3 kategori personel pada kegawat daruratan, yaitu:

1. Penerima pertama,

Penerima pertama adalah orang yang sudah terlatih untuk memberikan

pertolongan pertama seperti, pembalutan, pembidaian, kontrol perdarahan,

dan resusitasi jantung paru. Umumnya, mereka adalah polisi, pemadam

kebakaran, dan relawan lain yang tiba pertama kali di tempat kejadian.

Penerima pertama umumnya tidak melakukan transportasi pada pasien.

2. Basic Emergency Medical Technicians (EMT-B),

EMT-B adalah orang yang terlatih untuk melakukan bantuan hidup dasar,

meliputi penilaian tanda dan gejala, membebaskan tubuh pasien yang

mungkin terperangkap dalam kendaraan, imobilisasi, dan memberikan

terapi non-invasif seperti pemberian oksigen.

3. Paramedis (EMT-P)
EMT-T adalah orang yang terlatih untuk melakukan bantuan hidup

lanjutan, termasuk pemasangan intubasi endotrakeal, interpretasi ritme

jantung, defibrilasi, serta pemberian obat parenteral

(Biddinger dan Thomas, 2005).

Koordinasi yang baik antara dokter di rumah sakit dengan petugas

lapangan akan menguntungkan pasien. Sebaiknya, rumah sakit sudah

diberitahukan sebelum pasien mulai diangkut dari tempat kejadian.

Pemberitahuan ini memungkinkan rumah sakit mempersiapkan timnya sehingga

sudah siap saat pasien tiba di rumah sakit. Pada fase pra-rumah sakit, titik berat

diberikan pada penjagaan airway, kontrol perdarahan dan syok, imobilisasi

pasien, dan segera ke rumah sakit terdekat yang cocok (American College of

Surgeons, 2012).

Cara Trasportasi

Prioritas pertama ketika penolong datang untuk pertama kali ialah

memastikan lokasi kejadian aman dari faktor lain yang berpotensi mempersulit

proses pertolongan, seperti kendaraan yang berlalu lalang, benda-benda

berbahaya, atau kabel listrik. Penolong harus memposisikan diri berada di jarak

yang aman. Sebelum tiba di rumah sakit, penolong dan korban harus

didekontaminasi untuk mencegah penularan infeksi ke pasien atau tenaga medis

lainnya (Biddinger dan Thomas, 2005). Dalam memilih cara transportasi,

prinsip Do no further harm harus menjadi pertimbangan utama. Transportasi


melalui udara, darat, dan air dapat dilakukan dengan aman apabila

memperhitungkan prinsip tersebut (American College of Surgeons, 2012).

Ekstrikasi adalah teknik pemindahan pasien secara aman dari tempat

kejadian ke alat transportasi penyelamatan. Ini mungkin menjadi sulit dilakukan

pada ruangan yang sempit, pasien obesitas, dan pasien trauma. Pemindahan

benda-benda yang mungkin masih menjerat pasien juga dilakukan pada proses

ekstrikasi. Keterlambatan pada proses ekstrikasi lebih dari 20 menit dapat

berpotensi menimbulkan trauma yang lebih berat (Biddinger dan Thomas,

2005). Perjalanan antar rumah sakit dapat berbahaya, kecuali apabila terhadap

pasien telah dilakukan stabilisasi,tenaga yang cukup terlatih, dan telah

diperhitungkan kemungkinan yang terjadi selama transportasi (American

College of Surgeons, 2012).

Selain itu, setiap penolong diharapkan terlatih untuk melakukan teknik

imobilisasi spinal. Kolar servikal keras dengan ukuran yang tepat harus

dipasang pada pasien dengan potensi cedera spinalis. Selain itu, pasien harus

dilakukan stabilisasi saat transportasi dengan menggunakan papan yang keras

yang dilengkapi dengan tali pengaman (Biddinger dan Thomas, 2005).

Gambar Teknik Imobilisasi Spinal


B. Fase Rumah Sakit

Harus dilakukan dengan perencanaan sebelum pasien tiba. Sebaiknya, ada

ruangan/daerah khusus untuk pasien trauma. Perlengkapan airway (laringoskop,

endotracheal tube, dsb.) sudah dipersiapkan, dicoba, dan diletakkan di tempat yang

mudah terjangkau. Cairan kristaloid (misalnya, Ringer Lactate) yang sudah

dihangatkan disiapkan dan diletakkan pada tempat yang mudah dicapai. Perlengkapan

monitoring yang diperlukan sudah dipersiapkan. Suatu sistem pemanggilan tenaga

medik tambahan sudah harus ada, demikian juga tenaga laboratorium dan radiologi.

Semua tenaga medis yang berhubungan dengan pasien harus dihindarkan dari

kemungkinan penularan penyakit menular, terutama hepatitis dan Acquired Immuno-

deficiency Syndrome (AIDS). Center for Disease Control (CDC) dan pusat kesehatan

lain sangat menganjurkan pemakaian alat-alat proteksi seperti masker (face mask),

proteksi mata (kacamata), baju kedap air, dan sarung tangan kedap air bila ada kontak

dengan cairan tubuh pasien (American College of Surgeons, 2012).


2. Secondary Survey Care
Secondary survey care adalah pemeriksaan teliti dan menyeluruh dari kepala

sampai kaki (head to toe examination), termasuk reevaluasi tanda vital. Secondary

survey care baru dilakukan setelah primary survey care selesai, resusitasi dilakukan

dan ABC dalam keadaan stabil (American College of Surgeons, 2012).

Tahapan tahapan Secondary survey care yaitu sebagai berikut

1) Anamnesis
Riwayat AMPLE menurut American College of Surgeons (2012)

yaitu :

A : Allergy

M : Medication (obat yang diminum saat ini)

P : Past illness (penyakit penyerta)

L : Last meal

E : Event (berhubungan dengan kejadian trauma).

Mekanisme perlukaan juga sangat menentukan keadaan pasien dan

dapat memprediksi jenis perlukaan yang terjadi. Jenis perlukaan terbagi

menjadi dua, yakni trauma tumpul dan trauma tajam. Pada kasus kecelakaan

lalu lintas, trauma tumpul sering kali terjadi. Keterangan lain yang dibutuhkan

pada kecelakaan lalu lintas ialah pemakaian sabuk pengaman, deformasi

kemudi, arah tabrakan,kerusakan kendaraan, dan adanya penumpang

terlempar ke luar.
2) Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan secara detail dari kepala sampai kaki hanya dimulai jika

keadaan mengancam jiwa pasien sudah terevaluasi dan tertangani selama

primary survey care. Menurut Mancini (2011) pemeriksaan dimulai dari:

1. Kepala, mata, telinga, hidung, dan tenggorokan

a. Nilai adakah tanda-tanda fraktur basis kranii dengan mengidentifikasi

adanya battles sign (adanya ekimosis di daerah mastoid), raccoons eyes

(ekimosis di daerah mata), atau hemotimpanum (kumpulan darah di


belakang gendang telinga). Lihat apakah adanya kebocoran cairan

serebrospinal yang ditandai dengan adanya rhinorrhea atau otorrhea

b. Nilai apakah adanya depresi fraktur tengkorak dengan palpasi secara

hati-hati. Adanya benda asing atau bagian tulang yang menusuk tidak

boleh dimanipulasi.

c. Nilai perlukaan pada wajah dan kestabilannya dengan mempalpasi

tulang wajah. Fraktur fasialis berat dapat berakibat pada gangguan jalan

napas.

d. Nilai laserasi yang perlu ditangani.

e. Nilai ukuran pupil dan fungsinya.

f. Periksa septum hidung untuk memastikan ada atau tidaknya hematoma

2. Leher

a. Palpasi servikal dan tentukan apakah ada nyeri tekan, pembengkakan,

atau deformitas.

b. Lihat apakah ada emfisema subkutan yang mungkin berkaitan dengan

pneumotoraks atau trauma laringotrakeal.

3. Toraks

a. Palpasi daerah sternum, klavikula, dan iga untuk menentukan adanya

nyeri tekan atau krepitasi.

b. Lihat apakah ada memar atau deformitas yang mungkin berkaitan

dengan adanya trauma pada paru.

4. Abdomen
a. Nilai apakah ada distensi, dan nyeri tekan. Dua sumber perdarahan yang

paling sering menyebabkan pasien kehilangan banyak darah ialah hepar

dan limpa.

b. Ekimosis pada daerah punggung mungkin berkaitan dengan adanya

perdarahan retroperitoneal.

5. Punggung

a. Pemeriksaan ini dilakukan dengan log-roll pasien dengan dibantu oleh

asisten sambil tetap menjaga servikal tetap stabil. Palpasi daerah servikal

untuk menentukan apakah ada nyeri tekan atau tidak.

b. Nilai luka tersembunyi pada bagian ketiak, dibawah kolar servikal, dan

daerah bokong.

6. Perineum,rektum, dan uretra

a. Pada perineum, lihat apakah ada ekimosis ,yang mengarahkan pada

adanya fraktur pelvis. Pada uretra, lihat apakah ada akumulasi darah

yang menjadi tanda adanya disrupsi uretra sebelum dilakukan

pemasangan kateter uretra. Pada daerah rektum, periksa apakah adanya

letak prostat tinggi yang mengindikasikan adanya disrupsi pada

membran uretra dan menjadi kontraindikasi pemasangan kateter urin.

7. Ekstremitas

a. Evaluasi kembali status vaskular pasien di setiap ekstremitas, yaitu

pulsasi nadi , warna kulit, capillary refill time, dan suhunya.


b. Inspeksi dan palpasi secara keseluruhan, evaluasi range of motion dari

setiap persendian. Nilai apakah ada deformitas, krepitasi, nyeri tekan,

pembengkakan, dan laserasi. Fraktur femur dapat menjadi sumber

perdarahan tersembunyi

3) Pemeriksaan Neurologis

Pemeriksaan neurologis harus dilakukan dengan teliti meliputi

pemeriksaan tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, serta pemeriksaan

motorik dan sensorik. Perubahan dalam status neurologis dapat dinilai dengan

penilaian skor GCS.

You might also like