You are on page 1of 18

MAKALAH PERUNDANG-UNDANGAN KESEHATAN

FARMASI
PSIKOTROPIKA

DISUSUN
OLEH:

1. Ardina
2. Ardina Pakpahan
3. Beby Harum Sari
4. Bellina Elizabeth Doloksaribu
5. Bustami

KELAS: FARMASI SEMESTER VB


DOSEN : Hafizhatul Abadi, S.Farm, M.kes, Apt

PROGRAM STUDI D-III FARMASI


INSTITUT KESEHATAN HELVETIA
MEDAN
2016

DAFTAR ISI
Halaman

DAFTAR ISI ........................................................................................ i

BAB I PENDAHULUAN ................................................................... 5


1.1. Latar belakang................................................................ 5
1.2. Perumusan Masalah....................................................... 5
1.3. Tujuan Penulisan............................................................ 5

BAB II ISI
........................................................................................ 6
2.1
Pengertian Psikotropika................................................. 6
2.2
Jenis-jenis Psikotropika.................................................. 6
2.2.1 Menurut Farmakologi.......................................... 6
2.2.2 Menurut UU nomor 5 tahun 1997........................ 7
2.3 Produksi Psikotropika.................................................... 8
2.4 Pengedaran Psikotropika................................................ 9
2.4.1 Penyaluran............................................................ 9
2.4.2 `Penyerahan........................................................... 9
2.5 Ekspor dan Impor Psikotropika...................................... 10
2.5.1 Impor Psikotropika............................................... 10
2.5.2 Persyaratan dan Tata Cara Memperoleh Izin Importir 11
2.5.3 Persyaratan dan Tata cara Memperoleh SPI......... 11
2.5.4 Ekspor Psikotropika............................................. 11
2.6 Label dan Iklan............................................................... 12
2.7 Kebutuhan Tahunan dan Pelaporan................................ 12
2.8 Penggunaan Psikotropika dan Rehabilitas..................... 12
2.9 Standar Rehabilitasi Sosial Penyalahgunaan Narkotika,
Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya............................. 13
2.10 Pembinaan dan Pengawasan.......................................... 13
2.10.1 Pembinaan.......................................................... 13
2.10.2 Pengawasan........................................................ 14
2.11 Pemusnahan................................................................... 15
2.12 Peran Serta Masyarakat.................................................. 16
2.13 Penyidikan...................................................................... 16
2.14 Ketentuan Pidana........................................................... 18
BAB III PENUTUP.................................................................................... 20
3.1. Kesimpulan.................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA
...........................................................................
...........................................................................
30

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat dan karuniaNya kami dapat menyelesaikan makalah tentang Psikotropika
ini dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami
berterima kasih pada Ibu Hafizhatul Abadi, S.Farm,M.Si.,Apt selaku Dosen mata
kuliah Perundang-Undangan Farmasi yang telah memberikan tugas ini kepada
kami.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di
dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab
itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang
telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa saran yang membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang


membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami
sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila
terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan
saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Medan,13 Des 2016

Penulis

3
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar belakang
. Psikotropika adalah merupakan suatu zat atau obat, baik alamiah
maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada
susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.

Zat atau obat psikotropika ini dapat menurunkan aktivitas otak atau merangsang
susunan saraf pusat dan menimbulkan kelainan perilaku, disertai dengan
timbulnya halusinasi (mengkhayal), ilusi, gangguan cara berpikir, perubahan alam perasaan
dan dapat menyebabkan ketergantungan serta mempunyai efek stimulasi (merangsang) bagi
para pemakainya.

Pemakaian Psikotropika yang berlangsung lama tanpa pengawasan dan pembatasan


pejabat kesehatan dapat menimbulkan dampak yang lebih buruk, tidak saja menyebabkan
ketergantungan bahkan juga menimbulkan berbagai macam penyakit serta kelainan fisik
maupun psikis si pemakai, tidak jarang bahkan menimbulkan kematian

2. Perumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, pokok masalah yang akan dibahas pada makalah ini
yaitu : Bagaimana Pelaksanaan dan Penerapan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di
Rumah Sakit dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Lainnya?
3. Tujuan Makalah
Makalah ini dibuat agar dapat memberikan informasi tentang Psikotropika yang terdiri
dari jenis, pengedaran, produksi, penyaluran, penyerahan dan lain sebagainya.

BAB II

i
ISI

2.1. Pengertian Psikotropika

Menurut Undang-undang Republik Indonesia No.5 tahun 1997, menteri kesehatan

reublik Indonesia nomor 10 tahun 2013, yang merupakan dasar hukum tentang psikotropika

menyatakan psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika,

yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang

menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.

Psikotropika merupakan zat atau obat yang dapat menurunkan aktivitas otak atau

meransang susunan saraf pusat dan menimbulkan kelainan perilaku, disertai dengan

timbulnya halusinasi (mengkhayal), ilusi, gangguan cara berpikir, perubahan alam perasaan

dan dapat menyebabkan ketergantungan serta menpunyai efek stimulasi (meransang) bagi

para pemakainya. Psikotropika juga diartikan sebagai zat-zat dalam berbagai bentuk pil dan

obat yang mempengaruhi kesadaran karena sasaran obat tersebut adalah pusat-pusat tertentu

di sistem saraf pusat.

2.2. Jenis-jenis Psikotropika

2.2.1. Menurut Farmakologi

1. Obat-obat yang menekan fungsi-fungsi psikis tertentu di SSP


Obat golongan Neuroptika

Disebut juga obat antipsikotika, adalah obat-obat yang menekan fungsi psikis tertentu,

tanpa menekan fungsi-fungsi umum seperti berpikir dan berkelakuan normal. obat-obatan ini

dapat meredakan emosi dan agresi yang pada umumnya diderita oleh psikosis, yaitu penderita

penyakit jiwa seperti schizophrenia.

Obat yang tergolong Transquillizer


Adalah obat-obat penenang yang berkhasiat selektif terutama pada bagian obat yang

menguasai emosi-emosi kita, yakni sistem limbis dan menekan SSP. Bedanya dengan

neuroptika adalah bukan merupakan antipsikotika.

i
2. Obat-obat yang menstimulir (meransang) fungsi-fungsi tertentu di SSP
Obat golongan anti depressive

Adalah obat yang dipergunakan untuk menghilangkan, memperbaiki dan meringankan

gejala-gejala suasana jiwa seperti murung dan lain sebagainya.

Obat golongan Psikostimulansia

Obat ini memiliki kemammpuan untuk mempertinggi inisiatif, kewaspadaan serta

prestasi fisik dan mental, rasa letih dapat diminimalisir bahkan dihilangkan. Termasuk dalam

golongan ini adalah amfetamin-amfetamin serta doping lain.

3. Obat-obat yang mengacaukan mental tertentu

Obat ini justru kebalikan dari golongan neuroptika yang berguna meredakan emosi

serta khayalan, obat ini justru menimbulkan halusinasi, pikiran-pikiran, dan impian-impian

khayalan. obat ini termasuk golongan psikodisleptika.

2.2.2. Menurut UU nomor 5 tahun 1997

Psikotropika yang mempunyai potensi mengakibatkan sindroma ketergantungan

digolongkan menjadi :

1. Psikotropika Golongan I

Adalah psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan

tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai potensi amat kuat, mengakibatkan sindroma

ketergantungan. Obat-obat yang termasuk golongan ini adalah :

Contohnya : Broloamfetamine, Cathinone, DET, DMA, DMHP, DMT, DOET, Eticyclidine-

PCE, Etrytamine, Lysergide-LSD, MDMA, Mescaline, Methacathinone, Methyllaminore

2. Psikotropika Golongan II

Adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan ddalam terapi

dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan

sindroma ketergantungan.

i
Obat-obat yang termasuk golongan ini adalah :

Contohnya : Amphetamine, Dexamphetamine, Fenetylline, Levamphetamine,

Levomethampheta-mine, Mecloqualone, Methamphetamine, Methamphetamineracemate,

Methaqualone, Methylphenidate, Phencyclidine-PCP, Phenmetrazine, Secobarbital,

Dronabinol, Zipeprol

3. Psikotropika Golongan III


Adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi
dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang, mengakibatkan
sindroma ketergantungan.
obat-obat yang termasuk golongan ini adalah : Amobarbital, Buprenorphine, Butalbital,
Cathine/Norpseudoephedrine, Cyclobarbital, Flunitrazepam, Glutethimine, Katina,
Pentazosina, Pentobarbital, Sikolobarbital.
4. Psikotropika Golongan IV
Psikotropikayang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan
atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan
sindroma ketergantungan.
Contohnya : Allobarbital, alprazolam, amfrepramona, aminorex, barbital, benzfetamina,
Bromazepam, brotizolam, butobarbital, delorazepam, diazepam, estazolam, etil amfetamina,
etilloflazepate, etinamat, etklorvinol, fencamfamina, fendimetrazina, fenobarbital,
fenproporeks, fentermina, fludiazepam, flurazepam, halazepam, haloksazolam, kamazepam,
ketazolam, klobazam, kloksazolam, klonazepam dll.
2.3. Produksi Psikotropika

Psikotropika hanya dapat diproduksi oleh pabrik obat yang telah memiliki izin sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Psikotropika golongan I dilarang diproduksi dan/atau digunakan dalam proses

produksi. Psikotropika, yang diproduksi untuk diedarkan berupa obat, harus memenuhi

standar dan/atau persyaratan farmakope Indonesia atau buku standar lainnya.

2.4. Pengedaran Psikotropika

i
(Uu No. 5 Tahun 1997, Permenkes 688 Tahun 1997, Uu No. 36 Tahun 2009 Tentang

Kesehatan).

2.4.1. Penyaluran

Penyaluran psikotropika hanya dapat dilakukan oleh pabrik obat, pedagang besar

farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah. Penyaluran psikotropika

Golongan I hanya kepada lembaga penelitian dan atau lembaga pendidikan untuk tujuan ilmu

pengetahuan. Penyaluran Psikotropika Gol II, III, dan IV yang berupa obat dapat disalurkan

kepada PBF, Apotek, rumah sakit, Sarana Penyimpanan sediaan farmasi Pemerintah, lembaga

penelitian dan atau lembaga pendidikan. Penyaluran dari sarana penyimpanan pemerintah

hanya dapat disalurkan kepada Rumah-Sakit, Puskesmas dan balai pengobatan di lingkungan

pemerintah.

Penyaluran Psikotropika hanya dapat dilakukan berdasarkan surat pesanan yang

ditandatangani oleh penanggung jawab obat di sarana kesehatan, yaitu :

1) Lembaga penelitian, dan atau lembaga pendidikan adalah dokter atau apoteker
2) PBF adalah apoteker
3) Rumah sakit adalah apoteker
4) Sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah adalah apoteker.
5) Puskesmas adalah apoteker

2.4.2. Penyerahan

Penyerahan Psikotropika golongan II, III, dan golongan IV yang berupa obat dapat

dilakukan oleh apotek kepada :

1) Apotik lainnya : surat permintaan ditulis Apoteker Pengelola Apotik


2) Rumah sakit : surat permintaan ditulis Direktur Rumah Sakit
3) Puskesmas : surat permintaan ditulis Kepala Puskesmas
4) Balai pengobatan : surat permintaan ditulis Dokter Penanggung Jawab Balai Pengobatan
5) Dokter/pasien : berdasarkan resep dokter

2.5 Ekspor dan Impor Psikotropika

(Uu No.5 Tahun 1997, Permenkes No. 10 Tahun 2013)

i
Ekspor dan impor Psikotropika hanya boleh dilakukan oleh pabrik obat atau pedagang

besar farmasi yang telah memiliki izin sebagai eksportir dan importir sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Ekspor dan impor Psikotropika hanya dapat dilakukan

untuk kepentingan pelayanan kesehatan atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

2.5.1 Impor Psikotropika

Pelaksanaan impor Psikotropika hanya dapat dilaksanakan setelah mendapat SPI

(Surat Persetujuan Importir) dari menteri melalui Direktur Jendral. SPI hanya berlaku untuk

setiap kali pelaksanaan impor.

IP Psikotropika hanya dapat mengimpor Psikotropika untuk kebutuhan proses produksi

sendiri dan tidak untuk diperdagangkan atau dipindahtangankan


IT Psikotropika hanya dapat mengimpor Psikotropika berdasarkan pesanan dari industri

farmasi atau lembaga ilmu pengetahuan dan wajib didistribusikan langsung kepada

industri atau lembaga ilmu pengetahuan pemesan


IP dan IT Psikotropika wajib menunjukkan lembaran asli SPI kepada petugas bea cukai

setempat untuk pengisian kartu kendali realisasi impor dalam setiap pelaksanaan

impornya.

2.5.2 Persyaratan dan Tata Cara Memperoleh Izin Importir

Untuk memperoleh izin sebagai importir Psikotropika, Industri Farmasi atau PBF

harus mengajukan permohonan kepada Direktur Jendral secara online melalui http//e-

pharm.kemkes.go.id dengan disertai dokumen pendukung meliputi

a) Fotocopy izin usaha industri farmasi atau PBF


b) Fotokopi Tanda Daftar Perusahaan
c) Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak
d) Fotokopi SIK Apoteker Penanggungjawab Produksi

Izin IP atau IT Psikotropika berlaku dalam jangka waktu 3 tahun dan dapat

diperbaharui dengan memenuhi persyaratan.

i
2.5.3 Persyaratan dan Tata Cara memperoleh SPI

Sebelum mengajukan permohonan SPI, importir harus mengajukan permohonan

Analisa Hasil Pengawasan kepada Kepala Badan yang diatur oleh peraturan Kepala Badan.

Untuk memperoleh SPI untuk kepentingan pelayanan kesehatan, PBF milik negara yang

memiliki izin khusus kepada importir khusus sebagai importir Psikotropika mengajukan

permohonan kepada Direktur Jenderal secara online melalui http//e-pharm.kemkes.go.id

dengan disertai dokumen pendukung.


SPI berlaku selama 3 bulan dan dapat diperpanjang paling banyak dua kali
untuk izin perpanjangan SPI, PBF milik negara yang memiliki izin khusus sebagai

importir IP psikotropika mengajukan permohonan kepada Direktur Jendral secara online

2.5.4 Ekspor Psikotropika

Ekspor psikotropika hanya dapat dilakukan oleh Industri Farmasi atau PBF yang

memiliki izin sebagai EP psikotropika atau sebagai ET psikotropika dari Menteri kepada

Direktur Jenderal. Untuk pelaksanaan ekspor hanya dapat dilaksanakan setelah mendapatkan

SPE dari Menteri yang berlaku untuk setiap kali pelaksanaan ekspor.

Dalam rangka pelaksanaan ekspor, eksportir yang memiliki izin khusus sebagai

eksportir psikotropika wajib menyampaikan informasi secara tertulis kepada Direktur Jendral

dengan tebusan kepada badan yang memuat ;

a) Perkiraan tanggal pelaksanaan


b) Jenis transportasi (laut/udara) termasuk nama dan nomor penerbangan /nama dan nomor

kapal
c) Rincian pengiriman (nama pelabuhan/bandara negara importir dan transit bila ada); dan
d) Perkiraan tanggal tiba di negara importir
2.6 Label dan Iklan

(UU NO. 5 Tahun 1997)

Label psikotropika adalah setiap keterangan mengenai psikotropika yang dapat berbentuk

tulisan, kombinasi gambar, dan tulisan, atau bentuk lainnya yang disertakan pada

i
kemasan atau dimasukkan dalam kemasan, ditempelkan, atau merupakan bagian dari

wadah dan /kemasannya.


Psikotropika hanya dapat diiklankan pada media cetak ilmiah kedokteran/atau media

cetak ilmiah farmasi yang telah diatur oleh Menteri.

2.7 Kebutuhan Tahunan dan Pelaporan

Menteri menyusun rencana kebutuhan psikotropika untuk kepentingan pelayanan dan

kesehatan dan ilmu pengetahuan untuk setiap tahun. Pabrik obat, PBF, Sarana penyimpanan

sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, puskesmas, wajib membuat dan menyimpan

catatan mengenai kegiatan masing-masing yang berhubungan dengan psikotropika, yang

kemudian wajib melaporkan catatannya kepada menteri secara berkala.

2.8 Penggunaan Psikotropika dan Rehabilitas

Penggunaan psikotropika pada pasal 36 UU No. 5 tahun 1997, hanya dapat memiliki,

menyimpan, dan atau membawa psikotropika dalam rangka pengobatan dan perawatan yang

diperoleh secara sah. Untuk pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan

berkewajiban untuk ikut serta dalam pengobatan dan perawatan yang dilakukan pada fasilitas

rehabilitas. Menurut pasal 38, rehabilitas bagi pengguna psikotropika yang menderita

sindroma ketergantungan dimaksudkan untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan

fisik, mental dan sosialnya.

2.9 Standar Rehabilitasi Sosial Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan

Zat Adiktif lainnya

Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2012)

Dalam peraturan menteri sosial ini, yang dimaksud rehabilitasi adalah proses

refungisonalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan seseorang mampu melaksanakan

fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat.

Tujuan standar rehabilisasi sosial korban penyalahgunaan NAPZA, yaitu :

a) Menjadi acuan dalam melaksanakan rehabilitasi sosial bagi penyalahgunaan NAPZA

i
b) Memberi perlindungan terhadap korban dari kesalahan praktik
c) Memberikan arahan dan pedoman kinerja bagi penyelenggara rehabilitas sosial

penyalahgunaan NAPZA
d) Meningkatkan kualitas dan jangkauan pelayanan penyelenggara rehabilitasi sosial

penyalahgunaan NAPZA
Pada pasal 3 Permensos 2012, sasaran rehabilitas sosial meliputi pemerintah dan

pemerintah daerah, serta lembaga rehabilitasi sosial penyalahgunaan NAPZA.


Pasal 39 UU No.5 tahun 1997, rehabilitasi bagi penggunaan psikotropika

diselenggarakan oleh pemerintah dan atau masyarakat, yang meliputi rehabilitasi medis dan

rehabilitasi sosial.
2.10 Pembinaan dan Pengawasan
2.10.1 Pembinaan
Pemerintah melakukan pembinaan terhadap segala kegiata yang berhubungan dengan

psikotropika. Dalam rangka pembinaan, Pemerintah dapat memberikan penghargaan kepada

orang atau badan yang telah berjasa dalam membantu pencegahan penyalahgunaan

psikotropika dan/atau mengungkapkan peristiwa tindak pidana dibidang psikotropika.

Pembinaan tersebut diarahkan untuk :


a) Terpenuhinya kebutuhan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu

pengetahuan
b) Mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika
c) Melindungi masyarakat dari segala kemungkinan kejadian yang dapat menimbulkan

gangguan dan/atau bahaya atas terjadinya penyalahgunaan psikotropika


d) Memberantas peredaran gelap psikotropika
e) Mencegah pelibatan anak yang belum cukup berumur 18 (delapan belas) tahun dalam

kegiatan penyalahgunaan dan/atau peredaran gelap psikotropika


f) Mendorong dan menunjang kegiatan penelitian dan/atau pengembangan teknologi di

bidang psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan.


Dalam rangka pembinaan :
Pemerintah dapat melakukan kerja sama internasional di bidang psikotropika sesuai

dengan kepentingan nasional.


Pemerintah dapat memberikan penghargaan kepada orang atau badan yang telah berjasa

dalam membantu pencegahan penyalahgunaan psikotropika dan/atau mengungkapkan

peristiwa tindak pidana dibidang psikotropika.


2.10.2 Pengawasan

i
Pemerintah dapat melakukan pengawasan terhadap segala kegiatan yang berhubungan

dengan psikotropika, baik yang dilakukan oleh Pemerintah maupun oleh masyarakat

dilengkapi dengan surat tugas. Dalam rangka pengawasan, Menteri berwenang mengambil

tindakan administratif terhadap pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan

sediaan farmasi Pemerintah, apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter,

lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan, dan fasilitas rehabilitasi yang melakukan

pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini.


Tindakan administratif tersebut dapat berupa :
a) teguran lisan
b) teguran tertulis
c) penghentian sementara kegiatan
d) denda administratif
e) pencabutan izin praktik.
2.11 Pemusnahan
Berdasarkan UU No.5 Tahun 1997 pasal 53 tentang psikotropika Pemusnahan

psikotropika dilakukan bila berhubungan dengan tindak pidana, diproduksi tanpa memenuhi

standar dan persyaratan yang berlaku dan/atau tidak dapat digunakan dalam proses produksi

psikotropika, kadaluarsa atau tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan

kesehatan dan/atau untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Pemusnahan psikotropika, wajib

dibuatkan berita acara dan disaksikan oleh pejabat yang ditunjuk dalam waktu 7 hari setlah

mendapat kepastian.
Berita acara pemusnahan tersebut memuat :
a) Hari, tanggal, bulan dan tahun pemusnahan
b) Nama pemegang izin khusus atau apoteker pengelola apotek
c) Nama seorang saksi dari pemerintah dan seorang saksi lain dari apotek tersebut
d) Nama dan jumlah psikotropika yang dimusnahkan
e) Cara pemusnahan
f) Tanda tangan penanggung jawab apotek dan saksi-saksi (10)

Pemusnahan psikotropika dilakukan oleh tim yang terdiri dari :

1) pejabat yang mewakili departemen yang bertanggung jawab dibidang kesehatan


2) Kepolisian Negara Republik Indonesia
3) Kejaksaan sesuai dengan Hukum Acara Pidana yang berlaku
4) Pejabat dari instansi terkait dengan tempat terungkapnya tindak pidana tersebut

2.12 Peran Serta Masyarakat

i
Sesuai dasar UU psikotropika pasal 54, masyarakat memiliki kesempatan yang seluas-

luasnya untuk berperan serta dalam membantu mewujudkan upaya pencegahan

penyalahgunaan psikotropika sesuai dengan undang-undang ini dan peraturan

pelaksanaannya. Masyarakat wajib melaporkan kepada pihak yang berwenang bila

mengetahui tentang psikotopika yang disalahgunakan dan/atau dimiliki secara tidak sah.

Peran serta masyarakat dapat dilakukan melalui upaya mencari, memperoleh dan

memberikan informasi, meyampaikan saran dan pendapat serta memperoleh jawaban atas

pertanyaan tentang laporannya mengenai adanya dugaan penyalahgunaan dan peredaran

gelap psikotropika. Selain hal tersebut diatas, peran serta masyarakat dapat dilakukan dengan

berbagai cara sesuai dengan lingkungan dengan mewujudkan keluarga yang humoris dan

lingkungan sosial yang sadar akan bahaya narkoba. Hal ini dapat juga dilakukan oleh

masyarakat melalui jalur/lingkungan pendidikan, kegiatan keagamaan dan kegiatan sosial

masyarakat lainnya.

2.13 Penyidikan

Selain yang ditentukan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum

Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor

3209), Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dapat :

Melakukan teknik penyidikan penyerahan yang diawasi dan teknik pembelian terselubung
Membuka dan memeriksa setiap barang kiriman melalui pos atau alat-alat perhubungan

lainnya yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang menyangkut

psikotropika yang sedang dalam penyidikan


Menyadap pembicaraan melalui telepon dan/atau alat telekomunikasi elektronika lainnya

yang dilakukan oleh orang yang dicurigai atau diduga keras membicarakan masalah yang

berhubungan dengan tindak pidana psikotropika. Jangka waktu penyadapan berlangsung

untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari.

i
Polisi sebagai penyidik dapat melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana

narkotika dan psikotropika dapat melakukan tugas sebagaimana yang diatur dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana dalam pasal 37 dinyatakan bahwa :

Pada waktu penangkapan tersangka, penyidik hanya berwenang menggeledah pakaian

termasuk benda yang dibawa serta, apabila terdapat dugaan keras dengan alasan yang

cukup bahwa pada tersangka tersebut terdapat benda yang dapat disita.
Pada waktu menangkap tersangka atau dalam hal tersangka sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) di bawah kepada penyidik, penyidik berwenang menggeledah pakaian dan

menggeledah badan tersangka.

Dengan adanya ketentuan yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana (selanjutnya disebut dengan KUHAP), maka langkah aparat kepolisian baik dalam

penggrebekan maupun dalam penangkapan pelaku tindak pidana narkotika dan psikotropika

sesuai dengan KUHAP. Hal tersebut dilakukan oleh aparat kepolisian juga untuk menjaga diri

agar dalam proses penangkapan tindak pidana narkotika dan psikotropika tidak menyalahi

aturan, sehingga tidak menimbulkan tuntutan hukum bagi aparat kepolisian yang melakukan

penangkapan pelaku tindak pidana untuk kepenntingan penyelidikan tindak pidana narkotika

dan psikotropika.

Pasal 56, UU No.5 tahun 1997 menyatakan, selain penyidik pejabat polisi negara

Republik Indonesia, kepada pejabat pegawai negeri sipil tertentu diberi wewenang khusus

sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana sebagaimana diatur dalam

undang-undang ini.

Penyidik berwenang :

a) Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang tindak pidana

dibidang psikotropika
b) Melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana dibidang

psikotropika

i
c) Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan

tindak pidana dibidang psikotropika


d) Melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam perkara tindak

pidana dibidang psikotropika


e) Melakukan penyimpanan dan pengamanan terhadap barang bukti yang disita dalam

perkara tindak pidana dibidang psikotropika


f) Melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak pidana dibidang

psikotropika
g) Membuka atau memeriksa setiap barang kiriman melalui pos atau alat-alat perhubungan

lainnya yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang menyangkut

psikotropika yang sedang dalam penyidikan


h) Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana dibidang

psikotropika
i) Menetapkan saat dimulainya dan dihentikannya penyidikan.

2.14 Ketentuan Pidana

Tindak pidana yang berhubungan dengan narkoba termasuk tindakan pidana khusus,

dimana ketentuan yang dipakai termasuk diantaranya hukum acaranya menggunakan

ketentuan khusus. Disebut dengan tindak pidana khusus, karena tindak pidana narkoba tidak

menggunakan KUHP sebagai dasar pengaturan, akan tetapi menggunakan UU No.22 dan UU

No. 5 tahun 1997 tentang narkotika dan psikotropika. Secara umum hukum acara yang

dipergunakan mengacu pada tatacara yang dipergunakan oleh KUHAP, akan tetapi terdapat

beberapa pengecualian sebagaimana ditentukan oleh UU narkotika dan psikotropika.

Penyalahgunaan psikotropika termasuk kualifikasi perbuatan pidana yang diatur

dalam peraturan perundang-undangan tentang psikotropika. Hukum pidana menganut asas

legalitas, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 1 ayat (1) KUHP yang menegaskan : Tiada

suatu perbuatan dapat dipidanakan kecuali atas kekuatan aturan pidan dalam perundang-

undangan yang telah ada, sebelum perbuatan. Perkara narkoba termasuk perkara yang

didahulukan dari perkara lain untuk diajukan ke pengadilan guna penyelesaian secepatnya.

i
Demikian juga bagi pelaku delik psikotropika, dalam UU No. 5 Tahun 1997, Bab XIV

tentang Ketentuan Pidana, pasal 59-72, dapat dikenai hukuman pidana penjara sampai 20

tahun dan denda sampai Rp.750 juta. Berat ringannya hukuman tergantung pada tingkat

penyalahgunaan narkoba, apakah sebagai pemakai, pengedar, penyalur, pengimpor atau

pengekspor, produsen illegal, sindikat, membuat korporasi dan sebagainya.

BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang

berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan

perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Psikotropika merupakan zat atau obat

yang dapat menurunkan aktivitas otak atau meransang susunan saraf pusat dan menimbulkan

kelainan perilaku, disertai dengan timbulnya halusinasi (mengkhayal), ilusi, gangguan cara

berpikir, perubahan alam perasaan dan dapat menyebabkan ketergantungan serta menpunyai

efek stimulasi (meransang) bagi para pemakainya.

Menurut UU nomor 5 tahun 1997 Psikotropika yang mempunyai potensi

mengakibatkan sindroma ketergantungan digolongkan menjadi Psikotropika Golongan I,

II,III dan IV. Psikotropika Golongan I adalah psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk

i
tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai potensi amat

kuat, mengakibatkan sindroma ketergantungan. Psikotropika Golongan II adalah psikotropika

yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan ddalam terapi dan atau untuk tujuan ilmu

pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan.

Psikotropika Golongan III adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak

digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi

sedang, mengakibatkan sindroma ketergantungan. Psikotropika Golongan IV adalah

psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan atau

untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma

ketergantungan.

DAFTAR PUSTAKA

e-pharm.depkes.go.id/front/pdf/UU51997.pdf
www.scribd.com
www.bnn.go.id/portal/_uploads/.../2010-11-23__19-44-55.pdf
binfar.kemkes.go.id

You might also like