You are on page 1of 9

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil
Tabel 3.1 Penimbangan Bahan
No Bahan Jumlah Penimbangan (2 Sediaan)
1 Dextrosa monohidrat 12,42 gram
2 Karbon aktif 33 mg
3 Air bebas CO2 220 mL

Tabel 3.2 Hasil Pengamatan Evaluasi Infus Dekstrosa 5%


Uji partikulat
Organoleptis pH Kejernihan Kebocoran
dalam sediaan
Sebelum stetilisasi
Warna bening, akhir = 7,03 Tidak ada Tidak ada
Jernih
tidak berbau Sesudah sterilisasi partikulat kebocoran
akhir = 6,55

3.2 Pembahasan
Infus intravena adalah sediaan steril berupa larutan atau emulsi, bebas
pirogen dan sedapat mungkin dibuat isotonis terhadap darah, disuntikkan
langsung ke dalam vena dalam volume relatif banyak (Depkes RI, 1979). Sediaan
infus merupakan sediaan yang disyaratkan harus steril, oleh karena itu, sediaan
harus terbebas dari mikroorganisme, baik bentuk vegetatif, non-vegetatif, spora,
patogen, maupun non-patogen (Anief, 2005). Selain harus bebas dari
mikroorganisme, sediaan steril juga harus bebas dari pirogen. Pirogen merupakan
produk metabolisme dari suatu mikoorganisme gram negatif. Secara kimiawi,
pirogen merupakan suatu zat lemak yang berhubungan dengan molekul pembawa
yang biasanya polisakarida. Efek adanya pirogen ini dapat menyebabkan demam,
sakit badan, vasokonstriksi pada kulit dan kenaikan tekanan dalam arteri
(Lachman et al., 2008).
Praktikum kali ini dibuat sediaan steril yang berupa infus dekstrosa 5% yang
merupakan sediaan steril berupa infus yang mengandung 5% dekstrosa yang
diberikan melalui intravena. Infus ini biasa digunakan untuk memenuhi kebutuhan
glikogen otot rangka, hipoglikemia dan dehidrasi (Mc Evoy, 2002). Formula yang
digunakan dalam pembuatan infus dekstrosa 5% adalah sebagai berikut :
R/ Dekstrosamonohidrat 52,5 gram
Karbon aktif 0,15 gram
Aqua pro injeksi ad 100 mL
Sediaan infus dekstrosa 5% dibuat sebanyak 2 botol (200 mL). Sebelum
memulai tahapan kerja, disterilisasikan meja kerja dengan cara dibersihkan
menggunakan lap dan alkohol 70%. Alkohol 70% digunakan karena pada
konsentrasi 70-80% adalah konsentrasi optimal alkohol untuk membunuh
mikroorganisme. Alkohol 70% memiliki kemampuan menembus dinding sel
mikroorganisme yang lebih baik dibandingkan alkohol 96%. Konsentrasi 96%
kurang efektif digunakan karena mengandung air dalam jumlah sangat sedikit.
Dimana adanya air sangat diperlukan pada saat terjadi denaturasi protein.
Sehingga alkohol 96% hanya dapat mengkerutkan sel mikroorganisme dan tidak
menyebabkan lisis seperti pada mekanisme dari alkohol 70% (Pratiwi, 2008).
Setelah itu, disiapkan alat-alat yang diperlukan dan telah disterilisasikan terlebih
dahulu. Alat-alat tersebut disterilisasi dengan menggunakan metode sterilisasi
panas basah dengan menggunakan autoklaf pada suhu 115 oC selama 15 menit
dengan tekanan 15 psi. Pemilihan metode sterilisasi panas basah dikarenakan alat
yang disterilisasikan tahan terhadap panas dan lembab (Rachmawati, 2010).
Selain itu metode sterilisasi panas basah sangat efektif dalam memusnahkan
mikroorganisme dibandingkan dengan metode sterilisasi panas kering. Hal ini
dikarenakan uap jenuh pada autoklaf akan terpenetrasi dan kontak pada seluruh
permukaan alat yang akan disterilisasi (Allen, 2002).
Tahapan praktikum yang dilakukan untuk membuat sediaan infus dekstrosa
5% yaitu pembuatan air bebas CO2, aktivasi karbon aktif, penimbangan bahan,
pencampuran bahan serta setelah sediaan jadi dilakukan proses sterilisasi akhir,
serta dilakukan evaluasi sediaan. Dibuat air bebas CO2 dengan memanaskan
aquadest di atas hot plate dengan suhu 100C. Tujuan pemanasan ini adalah untuk
membunuh mikroba sekaligus menghilangkan CO2. Air sering digunakan sebagai
pembawa dalam sediaan parenteral karena kompatibilitas air dengan jaringan
tubuh yang baik, dapat digunakan untuk berbagai rute pemberian, mudah untuk
melarutkan elektrolit yang terionisasi karena konstanta dielektrik yang tinggi dan
ikatan hidrogen yang terjadi akan memfasilitasi pelarutan dari alkohol, aldehid,
keton, dan amin (Lachman, 2008).
Dilanjutkan dengan proses aktivasi karbon aktif. Karbon aktif berfungsi
sebagai adsorbing agent yang akan membebaskan sediaan dari pirogen.
Sebenarnya pembebasan pirogen dapat dilakukan dengan pemanasan di atas suhu
2500C pada oven, namun karena bahan aktif bersifat tidak tahan panas dilakukan
pembebasan pirogen dengan adsorbing agent. Dextrosa akan mulai
terdekomposisi apabila dipanaskan pada temperatur yang tinggi yaitu pada suhu
220C dan terutai seluruhnya pada suhu 280C menjadi senyawa 5-
(hidroksimetil) furfural dan levoglucosan (Fang et al., 2011). Karbon aktif harus
diaktivasi terlebih dahulu pada oven dengan suhu 80oC sebelum digunakan agar
pori yang terdapat pada karbon aktif dapat terbuka sehingga dapat menyerap
pirogen dan partikulat yang tidak terlihat (Pambayun et al., 2013; Niazi, 2004).
Meskipun aktivasi karbon aktif dilakukan pada 80oC (Niazi, 2004) tetapi menurut
Voigt (1995), aktivitas karbon aktif baik pada suhu 60oC, sehingga pada proses
pembuatan dapat dilakukan pemanasan pada suhu tersebut.
Berikutnya dilakukan proses penimbangan bahan. Dekstrosa monohidrat
ditimbang sebanyak 12,42 gram untuk 2 sediaan. Karbon aktif ditimbang
sebanyak 33 mg untuk 2 sediaan dengan menggunakan kertas perkamen steril.
Pada penimbangan ini dilakukan penambahan bobot 10% karena terdapat
kemungkinan selama pembuatan sediaan dapat terjadi kehilangan bobot bahan.
Pencampuran bahan dilakukan didekat nyala api spiritus untuk mengurangi
jumlah kontaminan yang mungkin akan masuk dan tercampur pada saat dilakukan
pencampuran bahan. Dekstrosa monohidrat yang telah ditimbang dilarutkan
dalam gelas beker yang telah berisi air bebas CO 2 pada suhu 60oC dan selanjutnya
diaduk selama 15 menit. Pengadukan dalam hal ini bertujuan untuk meningkatkan
kelarutan dengan meningkatkan kontak pemukaan zat aktif dengan pelarutnya
serta mencegah terbentuknya gelembung yang dapat menimbulkan kontaminasi
akibat kontak sediaan dengan udara. Pada tahap ini diperoleh larutan yang
berwarna bening.
Berikutnya ditambahkan karbon aktif ke dalam larutan dan diaduk diatas hot
plate selama 15 menit dan diusahakan suhu dipertahankan lebih kurang 60 oC.
Karbon aktif ditambahkan ke dalam campuran untuk menjerap pirogen pada
permukaan karbon yang berpori (Jenkins et al.,1957). Suhu yang stabil akan
sangat menentukan hasil dari sediaan, yang mana dengan adanya kestabilan suhu
akan menghambat terjadinya penguraian dekstrosa menjadi senyawa furfural
(hidroksi metilfurfural). Tujuan pemanasan dan pengadukan adalah untuk
mengoptimalkan kerja karbon aktif dalam menjerap pirogen. Pengadukan
dilakukan secara perlahan agar karbon aktif tidak membentuk partikel yang teralu
kecil. Terbentuknya partikel karbon aktif yang terlalu kecil akan memperpanjang
proses filtrasi karena memerlukan penyaringan berulang yang lebih banyak.
Karbon aktif bersifat tidak larut dalam air sehingga setelah penambahannya,
sediaan akan menjadi keruh dan tidak memenuhi persyaratan sediaan steril. Pada
proses ini diperoleh larutan yang sedikit keruh karena adanya karbon aktif.
Selanjutnya dilakukan proses penyaringan larutan dengan menggunakan
kertas saring. Penyaringan larutan bertujuan untuk memisahkan arang aktif
dengan sediaan sehingga diperoleh larutan yang jernih. Penyaringan dilakukan
hingga larutan bebas dari arang aktif yang ditandai dengan berubahnya warna
larutan menjadi bening. Pada praktikum ini sediaan disaring menggunakan kertas
saring biasa sebanyak 3 kali. Penyaringan dilakukan secara berulang-ulang agar
mendapatkan cairan yang jernih bebas dari pirogen dan partikel bebas. Setelah
dilakukan penyaringan dihasilkan larutan yang jernih yang menandakan salah satu
persyaratan sediaan infus tercapai.
Sebelum dan setelah dilakukan sterilisasi akhir, dilakukan pengukuran pH
dengan menggunakan pH meter agar dapat diketahui perkiraan penurunan pH
yang terjadi setelah sterilisasi akhir, sehingga sediaan tetap berada dalam rentang
pH stabilnya yaitu 3,5-6,5 (Depkes RI, 1995). Sebelum dilakukan sterilisasi akhir
pH yang dihasilkan sediaan adalah 7,03. Selama proses sterilisasi dengan autoklaf
dapat terjadi penurunan pH sebesar 1 satuan. Penurunan pH selama proses
autoklaf dapat terjadi karena terlarutnya bahan organik (Darbar dan Lakzian,
2007). Dalam hal ini, adanya ruang udara dalam sediaaan yang telah dikemas
dengan wadah primer (wadah primer tidak diisi penuh dengan sediaan)
memungkinkan adanya CO2 yang dapat terlarut dalam sediaan sehingga terjadi
penurunan pH setelah proses sterilisasi akhir.pH sediaan infus harus diperhatikan
agar tetap berada dalam rentang pH yang dipersyaratkan untuk stabilitas sediaan,
baik pada penampilan sediaan ataupun efek farmakologis zat aktif itu sendiri.
Sediaan infus dekstrosa yang sudah disaring selanjutnya dimasukkan ke
dalam wadah botol kaca 100 mL. Infus yang telah dimasukkan ke dalam botol
infus ditutup dengan tutup karet yang telah disterilisasi dan dikap dengan
aluminium foil dan plastik ikan untuk kemudian disterilisasi akhir dengan
menggunakan metode panas basah. Setelah sediaan disterilisasi, dilakukan
evaluasi sediaan.
Setelah dilakukan sterilisasi akhir sediaan dengan autoklaf pada suhu 1150C
selama 15 menit, selanjutnya dilakukan evaluasi terhadap sediaan yang telah
dibuat. Evaluasi sediaan dilakukan untuk menjamin kualitas dan kuantitas dari
produk yang dihasilkan. Evaluasi yang dilakukan pada praktikum kali ini antara
lain uji organoleptis, uji pH, kejernihan, uji partikulat dalam sediaan dan uji
kebocoran. Uji organoleptis dilakukan dengan mengamati warna dan bau sediaan
infus. Sediaan yang dibuat memiliki warna jernih serta tidak berbau sehingga
mengindikasikan bahwa sediaan infus dekstrosa 5% yang dihasilkan memenuhi
syarat uji organoleptis.
Uji kejernihan dan uji partikulat dilakukan dalam box dengan latar berwarna
putih dan hitam. Sebelum dilakukan pengujian kejernihan dan partikulat,
seharusnya lampu di dalam box dinyalakan untuk mempermudah pengamatan.
Sediaan diamati pada latar putih untuk mengamati partikel gelap yang ada di
dalam infus, baik berupa partikulat sisa karbon aktif maupun pengotor lainnya.
Pengamatan pada box berlatar hitam dilakukan untuk mengetahui adanya
partikulat berwarna putih. Dari hasil pengamatan, diketahui bahwa sediaan pada
box berlatar putih tidak terdapat partikulat dan pada box berlatar hitam juga tidak
ditemukan terdapat partikulat. Dari hasil pengamatan tersebut, dapat dikatakan
bahwa sediaan yang dibuat telah memenuhi syarat uji kejernihan dan uji
partikulat.
Selanjutnya dilakukan uji pH dengan menggunakan alat pH meter yang
sebelumnya telah dikalibrasi. Kalibrasi bertujuan untuk mengoreksi pada suasana
pH dan melihat ketepatan dari alat yang digunakan. pH meter dikalibrasi pada pH
4 dan 7, dari hasil pengamatan pH meter yang digunakan memiliki ketepatan
pengukuran sehingga dapat digunakan untuk pengujian. Berdasarkan pengukuran
pada kedua sediaan diperoleh pH sebesar 6,55 yang menandakan bahwa sediaan
sedikit berada diatas rentang pH 3,5-6,5 yaitu pH stabilitas dekstrosa (Voigt,
1995). Sehingga tidak diperlukan penyesuaian pH dengan NaOH atau HCl yang
telah dibuat. Apabila larutan memiliki pH lebih kecil dari 3,5 maka dekstrosa akan
berubah menjadi karamel. Akan tetapi, bila pH lebih besar Dari 6,5 maka
dekstrosa akan terdekomposisi secara kimiawi menjadi senyawa yang memiliki
warna coklat (Kibbe, 2000).
Evaluasi terakhir yang dilakukan pada praktikum kali ini adalah uji
kebocoran. Uji kebocoran dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui apakah
sediaan yang dibuat mudah tumpah atau tidak, karena diharapkan sediaan yang
dibuat tetap berada dalam wadah yang ketika sediaan dibalik, sediaan infus yang
dibuat tidak bocor ketika dilakukan pengujian. Dari hasil pengamatan pada uji
kebocoran menunjukkan wadah sediaan layak untuk digunakan, karena setelah
dibolak-balikkan tidak mengindikasikan terjadinya kebocoran. Setelah evaluasi
selesai, dilakukan tahap terakhir pada proses produksi yakni pengemasan sediaan.
Pengemasan akhir ini bertujuan untuk melindungi produk dan menambah nilai
estetika serta daya tarik dari sediaan.

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
4.1.1 Tahap praformulasi sediaan infus dekstrosa 5% meliputi pemilihan zat
aktif dan eksipien, memahami farmakologi bahan obat, memahami sifat
fisiko-kimia bahan obat (kelarutan, stabilitas, inkompatibilitas),
menentukan bentuk sediaan, dosis serta cara pemberian, menentukan cara
pembuatan dan tempat penyimpanan sehingga memperoleh sediaan yang
sesuai.
4.1.2 Formulasi sediaan infus dextrosa 5% INDEX adalah sebagai berikut.
R/ Dekstrosa Monohidrat 5,25 gram
Karbon aktif 0,015 gram
Aqua pro injeksi ad 1 L
Dalam formula tersebut dekstrosa monohidrat berfungsi sebagai zat aktif,
karbon aktif sebagai adsorbing agent, dan aqua pro injeksi sebagai pelarut
atau pembawa.
1.1.2 Evaluasi sediaan yang dilakukan untuk infus dekstrosa 5% adalah uji
organoleptis, uji pH, uji kejernihan, uji kebocoran, dan uji partikulat. Hasil
dari evaluasi sediaan infus dekstrosa 5% adalah sediaan berwarna bening,
tidak berbau, jernih, tidak terdapat partikulat, tidak mengalami kebocoran
dengan pH akhir sediaan sebelum sterilisasi akhir sebesar 7,03 dan pH
setelah sterilisasi akhir sebesar 6,55.
4.2. Saran
Sebaiknya pada saat proses pembuatan sediaan baik dalam proses
menimbang, mencampurkan dan melarutkan bahan harus benar-benar
diperhatikan sterilisasinya agar dihasilkan sediaan yang sesuai criteria sediaan
steril.

DAFTAR PUSTAKA

Allen, L. V. 2002. The Art, Science, and Technology of Pharmaceutical


Compounding. Washington DC: American Pharmaceutical Association.
Anief, M. 2005. Ilmu Meracik Obat Teori dan Praktik. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.

Darbar, S. R., dan A. Lakzian. 2007. Evaluation of Chemical and Biological


Consequences of Soil Sterilization Methods. Caspian J. Env. Sci. 5(2):87-
91.

Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.

Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.

Fang, Z., R. L. Smith Jr., J.A. Kozinski, T. Minowa, K. Arai. 2011. Reaction Of
DGlucose In Water At High Temperatures (410oc) And Pressures (180
Mpa) For The Production Of Dyes And Nano-Particles. The Journal of
Supercritical Fluids 56:41-47.

Jenkins, G. L., D. E. Francke, E. A. Brecht, and G. J. Sperandio. 1957. Scovilles:


The Art of Compounding. New York: MC-Graw Hill Book Companies.

Kibbe, A. H. 2000. Handbook Of Pharmaceutical Excipients, Third Edition.


London: Pharmaceutical Press (PhP).

Lachman, L., H. A. Lieberman, dan J. L. Kanig. 2008. Teori dan Praktek Farmasi
Industri, Edisi Ketiga. Jakarta: UI Press.

McEvoy, G. K. 2002. AHFS Drug Information. United State of America:


American Society of Health System Pharmcists.

Niazi, S.K. 2004. Handbook of Pharmaceutical Manufacturing Formulations:


Sterile Products Second Edition. Volume 6. Boka Raton: CRC Press.

Pambayun, G.S., R.Y.E. Yulianto, M. Rachimoellah, dan E.M.M. Putri. 2013.


Pembuatan Karbon Aktif dari Arang Tempurung Kelapa dengan Aktivator
ZnCl2 dan Na2CO3 sebagai Adsorben untuk Mengurangi Kadar Fenol
dalam Air Limbah. Jurnal Teknik Pomits 2(1):F116-F120.

Pratiwi, S. T. 2008. Mikrobiologi Farmasi. Jakarta: Penerbit Erlangga.


Rachmawati, H. 2010. Sediaan Steril. Bandung: Fakultas Farmasi Institut
Teknologi Bandung.

Voigt, R. 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi Edisi ke-5. Yogyakarta:


Gadjah Mada University Press.

You might also like