You are on page 1of 34

REFERAT

ATRESIA ANI

Pembimbing:
dr. Johny Hendrik Parulian Silalahi, Sp.B

Oleh:
Arrosy Syarifah G4A015001

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
SMF ILMU BEDAH
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO

2016
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT
ATRESIA ANI

Oleh:
Arrosy Syarifah G4A015001

Disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik


SMF Ilmu Bedah RSUD Margono Soekarjo
Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto

Telah disetujui oleh dosen pembimbing Referat


Pada tanggal Februari 2017

Pembimbing

dr. Johny Hendrik Parulian Silalahi, Sp.B


DAFTAR ISI

Halaman

2
LEMBAR JUDUL....................................................................................... 1
LEMBAR PENGESAHAN......................................................................... 2
I.PENDAHULUAN....................................................................................... 4
II. TINJAUAN PUSTAKA..................................................................... 5
A. Anatomi....................................................................................... 5
B. Definisi........................................................................................ 10
C. Etiologi ....................................................................................... 10
D. Klasifikasi ...................................................................................
E. Patogenesis.................................................................................. 12
F. Penegakkan Diagnosis.................................................................. 15
G. Penatalaksanaan .......................................................................... 22
H. Prognosis ...................................................................................... 24
I. Komplikasi ................................................................................... 24
III. KESIMPULAN................................................................................ 26
DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 27

3
I. PENDAHULUAN

Atresia ani adalah suatu kelainan kongenital dimana menetapnya membran


anus sehingga anus tertutup. Defek ini tidak selalu total, kadangkala sebuah
lubang sempit masih memungkinkan keluarnya isi usus. Bila penutupannya total
anus tampak sebagai lekukan kulit perineum, keadaan ini seringkali disertai
atresia rectum bagian bawah.
Atresia ani paling sering terjadi pada bayi yang baru lahir. Frekuensi
seluruh kelainan kongenital anorektal didapatkan 1 dari tiap 5000-10000
kelahiran, sedangkan atresia ani didapatkan 1 % dari seluruh kelainan kongenital
pada neonatus dan dapat muncul sebagai penyakit tersering. Jumlah pasien
dengan kasusu atresia ani pada laki-laki lebih banyak ditemukan dari pada pasien
perempuan (Suriadi, 2006; Sjamsuhidayat, 2005).
Insiden terjadinnya atresia ani sekitra dari 1500-5000 kelahiran hidup
dengan sedikit lebih banyak terjadinya pada laki-laki. Sekitar 20-75% bayi yang
menderita atresi ani juga menderita anomali lain. Kejadian tersering pada laki-laki
dan perempuan adalah anus imperforata dengan fistula antara usus distal uretra
pada laki-laki dan vestibulum vagina pada perempuan (Sjamsuhidayat, 2005).
Angka kaejadian kasus di Indonesia sekitar 90%. Berdasarkan dari data
yang didapatkan penulis, kasus atresia ani yang terjadi di Jawa tengah khususnya
Semarang yaitu sekitar 50% dari tahun 2007-2009.

4
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi
Kanalis analis merupakan bagian yang paling sempit, tetapi normal
dari ampula rekti. Menurut definisi ini, maka sambungan anorektal terletak
pada permukaan atas dasar pelvis yang dikelilingi oleh muskulus sfingter ani
eksternus. Dua pertiga bagian atas kanal ini merupakan derivat hindgut,
sedangkan satu pertiga bawah berkembang dari anal pit. Kanalis analis
berasal dari proktoderm yang merupakan invaginasi ektoderm, sedangkan
rektum berasal dari entoderm. Rektum dilapisi oleh mukosa glanduler usus,
sedangkan kanalis analis oleh anoderm yang merupakan lanjutan epitel
berlapis gepeng kulit luar (Sjamsuhidayat, 2005).
Daerah batas rektum dan kanalis analis ditandai dengan perubahan
jenis epitel. Perubahan jenis epitel yang terjadi adalah dari kolumner ke
stratified squamous cell. Perubahan jenis epitel ini terletak pada linea dentata
atau biasa disebut garis anorektum, garis mukokutan, atau linea pektinata. Di
daerah ini terdapat kripta anus dan muara kelenjar anus antara kolumna
rektum. Infeksi yang terjadi di daerah ini dapat menimbulkan abses sehingga
anorektum dapat membentuk fistel. Kanalis analis dan kulit luar di sekitarnya
kaya akan persarafan sensoris somatik dan peka terhadap rangsangan nyeri,
sedangkan mukosa rektum mempunyai persarafan autonom dan tidak peka
terhadap nyeri (Sjamsuhidayat, 2005).
Kanalis analis memiliki panjang kurang lebih 3 sentimeter. Sumbunya
mengarah ke ventrokranial yaitu ke arah umbilikus dan membentuk sudut
yang nyata ke dorsal dengan rektum dalam keadaan istirahat. Lekukan antar-
sfingter sirkuler dapat diraba di dalam kanalis analis sewaktu melakukan
colok dubur dan menunjukkan batas antara sfingter interna dan eksterna
(garis Hilton) (Sjamsuhidayat, 2005).
Cincin sfingter anus melingkari kanalis analis dan terdiri dari sfingter
interna dan sfingter eksterna. Sisi posterior dan lateral cincin ini terbentuk
dari fusi sfingter interna, otot longitudinal, bagian tengah dari otot levator
(puborektalis), dan komponen muskulus sfingter eksternus. Muskulus sfingter
internus terdiri atas serabut otot polos, sedangkan muskulus sfingter eksternus
terdiri atas serabut otot lurik (Sjamsuhidayat, 2005).

5
Pada bayi normal, terdapat susunan otot serat lintang yang berfungsi
membentuk bangunan seperti cerobong yang melekat pada os. Pubis, bagian
bawah sakrum, dan bagian tengah pelvis. Ke arah medial otot-otot ini
membentuk diafragma yang melingkari rektum, menyusun ke bawah sampai
kulit perineum. Bagian atas bangunan cerobong ini dikenal sebagai muskulus
levator dan bagian terbawah adalah muskulus sfingter eksternus. Pembagian
secara lebih rinci dari struktur cerobong ini adalah muskulus ischiococcygeus,
illeococcygeus, pubococcygeus, puborectalis, deep external, sfingter
eksternus dan superficial external sphinter. Muskulus sfingter eksternus
merupakan serabut otot parasagital yang saling bertemu di depan dan
belakang anus. Bagian di antara muskulus levator dan sfingter eksternus
disebut muscle complex atau vertical fiber.

Gambar 1. Anatomi anus dan rektum


Vaskularisasi anorektal
Kanalis analis dan rektum mendapatkan vaskularisasi dari arteri
hemoroidalis superior, arteri hemoroidalis media, dan arteri hemoroidalis
inferior. Arteri hemoroidalis superior merupakan akhir dari arteri mesenterika
inferior dan melalui dinding posterior dari rektum dan mensuplai dinding
posterior, juga ke kanan dan ke kiri dinding pada bagian tengah rektum,
kemudian turun ke linea dentata. Arteri hemoroidalis media merupakan
cabang dari arteri illiaca interna. Arteri hemoroidalis inferior merupakan
cabang dari arteri pudenda interna, ia berjalan di medial dan vertikal untuk

6
mensuplai kanalis analis di bagian distal dari linea dentata (Sjamsuhidayat,
2005).
Darah vena di atas garis anorektum mengalir melalui sistem porta,
sedangkan yang berasal dari anus dialirkan ke sistem kava melalui cabang
vena illiaca. Vena hemoroidalis superior berasal dari pleksus hemoroidalis
internus dan berjalan kearah kranial ke dalam vena mesenterika inferior dan
seterusnya melalui vena lienalis ke vena porta. Vena hemoroidalis inferior
mengalirkan darah ke dalam vena pudenda interna dan ke dalam vena iliaca
interna dan sistem kava (Sjamsuhidayat, 2005).

Gambar 2. Vaskularisasi anorektal


Persarafan
Persarafan rektum terdiri atas sistem simpatis dan parasimpatis.
Inervasi parasimpatis berasal dari nervus sacralis III, V yang kemudian
membentuk nervus epiganti, memberikan cabang ke rektum dan berhubungan
dengan pleksus Auerbach. Saraf ini berfungsi sebagai motor dinding usus dan
inhibitor sfingter serta sensor distensi rektum. Pesarafan simpatis berasal dari
ganglion lumbalis II, III, V dan pleksus para aurticus, kemudian membentuk
pleksus hipogastrikus kemudian turun sebagai nervus presakralis. Saraf ini
berfungsi sebagai inhibitor dinding usus dan motor sfingter internus. Inervasi
somatik dari muskulus levator ani dan muscle complex berasal dari radiks
anterior nervus sacralis III,V (Sjamsuhidayat, 2005).

7
Sistem Limfatik
Sistem limfe dari rektum mengalirkan isinya melalui pembuluh limfe
sepanjang pembuluh hemoroidalis superior ke arah kelenjar limfe paraaorta
melalui kelenjar limfe illiaca interna, sedangkan limfe yang berasal dari
kanalis analis mengalir ke arah kelenjar inguinal.

B. Definisi
Atresia berasal dari bahasa Yunani yaitu a yang berarti tidak ada dan
trepsis yang berarti makanan atau nutrisi. Dalam istilah kedokteran, atresia
adalah suatu keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang badan normal atau
organ tubular secara kongenital yang disebut juga clausura. Dengan kata lain
tidak adanya lubang di tempat yang seharusnya berlubang atau buntunya
saluran atau rongga tubuh, hal ini bisa terjadi karena bawaan sejak lahir atau
terjadi kemudian karena proses penyakit yang mengenai saluran itu.
Atresia ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus
imperforata meliputi anus, rektum, atau keduanya. Atresia ani adalah
malformasi kongenital dimana rektum tidak mempunyai lubang keluar
(Gambar 1). Ada juga yang menyebutkan bahwa atresia ani adalah tidak
lengkapnya perkembangan embrionik pada bagian distal anus atau
tertutupnya anus secara abnormal (Brunicardi et al., 2010).
Gambar 3. Atresia ani

C. Etiologi
1. Faktor penyebab
a. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur sehingga
bayi baru lahir tanpa lubang dubur
b. Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12
minggu atau 3 bulan

8
c. Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik di
daerah usus, rektum bagian distal serta traktus urogenitalis, yang
terjadi antara minggu ke 4 hingga minggu ke 6 usia kehamilan
d. Berkaitan dengan sindrom down
Malfomasi anorektal memiliki etiologi yang multifaktorial. Salah
satunya adalan komponen genetik. Berdasarkan penelitian
menunjukan adanya hubungan antara malformasi anorektal dengan
pasien dengan trisomi 21 (downs syndrome). Kedua hal tersebut
menunjukan bahwa mutasi dari 3 bermacam-macam gen yang berbeda
dapat menyebabkan malformasi anorektal atau dengan kata lain
etiologi malformasi anorektal bersifat multigenik.
e. Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan
f. Kegagalan pembentukan spetum urorektal secara komplit kerena
gangguan pertumbuhan, fusi atau pembentukan anus dari tonjolan
embrionik
2. Faktor predisposisi
Disebabkan karena kelainan kongenital sejak lahir seperti:
a. Sindrom vactrel (sindrom dimana terjadi abnormalitas pada vertebrae,
anal, jantung, trachea, esofagus, ginjal dan kelenjar limfe)
b. Kelainan sistem pencernaan
c. Kelainan sistem perkemihan
d. Kelainan tulang belakang

D. Klasifikasi
Secara fungsional, pasien dengan anus imperforata/atresia ani dibagi
menjadi dua kelompok besar, yaitu:
1. Tanpa anus, tetapi dengan dekompresi adekuat traktus gastrointestinal
dicapai melalui saluran fistula eksterna.
Kelompok ini terutama melibatkan bayi perempuan dengan fistula
rektovagina atau rectofourchette yang relatif besar, dimana fistula ini
sering dengan bantuan dilatasi, maka bisa didapatkan dekompresi usus
yang adekuat sementara waktu (Brunicardi et al., 2010; Sjamsuhidayat,
2005).
2. Tanpa anus dan tanpa fistula atau traktus yang tidak adekuat untuk jalan
keluar feses.
Pada kelompok ini, tidak ada mekanisme apapun untuk
menghasilkan dekompresi spontan kolon, sehingga memerlukan beberapa

9
bentuk intervensi bedah segera (Brunicardi et al., 2010; Sjamsuhidayat,
2005).
Secara tradisional, klasifikasi atresia ani dibagi menjadi dua
berdasarkan letak terminasi rektum terhadap dasar pelvis, yaitu:
1. Anomali letak rendah
Rektum menembus muskulus levator ani sehingga jarak antara
kulit dan ujung rektum paling jauh 1 cm. Anomali ini dapat berupa
stenosis anus yang hanya membutuhkan dilatasi membran atau
merupakan membran anus tipis yang mudah dibuka segera setelah anak
lahir. Baik pada laki-laki maupun perempuan, anomali letak rendah
berhubungan dengan perineal fistula. Pada laki-laki, fistula berhubungan
dengan midline raphe dari skrotum atau penis (Gambar 5). Pada
perempuan, fistula dapat berakhir pada vestibulum vagina (fistula
rektovestibular), karena rektum lebih ke depan mendekati vestibulum
(Gambar 6). Terdapat sfingter internal dan eksternal yang berkembang
baik dengan fungsi normal dan tidak terdapat hubungan dengan saluran
genitourinarius (Brunicardi et al., 2010; Williams et al., 2008).

Gambar 4. Anomali letak rendah pada laki-laki, perineal fistula midline


raphe

10
Gambar 5. Fistula vestibular, pada fistula dimasukkan sebuah kateter

2. Anomali letak tinggi (supralevator)


Pada anomali letak tinggi, ujung rektum tidak mencapai tingkat
muskulus levator ani dengan jarak antara ujung buntu rektum sampai
kulit perineum lebih dari 1 cm. Hal ini biasanya berhubungan dengan
fistel genitourinarius rektovesikal (pria) atau rektovagina (perempuan).
Pada perempuan, anomali letak tinggi sering berhubungan dengan kloaka
persisten. Jika fistula yang terbentuk adekuat, maka secara klinis tidak
terdapat tanda-tanda obstruksi. Sedangkan bila tidak adekuat, maka
terdapat tanda-tanda obstruksi yang lebih nyata (Brunicardi et al., 2010;
Williams et al., 2008).
Alberto Pena
Alberto Pena membagi klasifikasi atresia ani berdasarkan lokasi dari
permulaan fistula (Tabel 1) (Brunicardi et al., 2010).
Tabel 1. Klasifikasi Atresia Ani Menurut Alberto Pena
Males Females
Perineal fistula Perineal fistula
Rectourethral fistula Vestibular fistula
Bulbar (the lowest portion
of the posterior urethra)
Prostatic the upper portion
of the posterior urethra
Rectovesical fistula (bladder Persistent cloaca
< 3cm common channel
neck)
> 3cm common channel
Imperforate anus without fistula Imperforate anus without fistula
Rectal atresia Rectal atresia
Complex defects Complex defects

Laki-laki
1. Fistula perineal
Fistula perineal adalah kelainan yang paling sederhana yang dapat
terjadi baik pada pria maupun wanita. Pasien memiliki lubang kecil yang
terletak pada perineum anterior ke pusat sfingter eksternal, dekat dengan
skrotum pada pria atau vulva pada wanita. Pasien ini biasanya memiliki
sakrum yang baik, alur garis tengah, dan lesung anal. Frekuensi

11
kerusakan organ lain terkait yang mempengaruhi sekitar 10%. Diagnosis
ditetapkan oleh inspeksi perineum sederhana, tetapi sering kali diagnosis
ini terlewatkan karena pemeriksaan neonatal yang kurang memadai.
Keterlambatan diagnosis mungkin memiliki dampak signifikan yaitu
obstipasi (Pena, 2006).

Gambar 6. Fistula
perineal

2. Fistula rektouretral
Dalam fistula rektouretral, rektum berkomunikasi dengan bagian
bawah uretra (uretra bulbar) atau bagian atas dari uretra (uretra prostat).
Mekanisme sfingter pada umumnya baik, tetapi pada sebagian pasien
memiliki otot-otot perineal dan perineum datar. Sakrum juga memiliki
derajat perkembangan yang berbeda, terutama dalam kasus fistula
rektouretral prostat. Sebagian besar pasien memiliki sakrum yang kurang
berkembang, perineum yang datar, skrotum terpecah menjadi dua belah,
dan letak lesung anal sangat dekat dengan skrotum (Pena, 2006).

12
Gambar 7. Fistula
rektouretral

3. Fistula rektovesikal (bladder neck)


Pada pasien yang memiliki fistula rektovesikal, rektum
berkomunikasi dengan saluran kemih pada tingkat leher kandung kemih.
Mekanisme sfingter pada umumnya kurang berkembang. Sakrum kurang
berkembang dan perineum terlihat datar. Kelainan ini terjadi pada 10%
dari jumlah pasien laki-laki. Prognosis biasanya tidak baik (Pena, 2006).

Gambar 8. Fistula rektovesikal

4. Anus imperforata
tanpa fistula
Kelainan ini memiliki karakteristik yang sama pada kedua jenis
kelamin. Anus yang tertutup biasanya ditemukan 2 cm diatas kulit
perineum. Sakrum dan mekanisme sfingter pada umumnya berkembang
dengan baik. Prognosis pada umumnya juga baik. Kelainan ini sering
dikaitkan dengan sindrom down (Pena, 2006).

13
Gambar 9. Anus imperforata
tanpa fistula

5. Atresia rektum
Kelainan ini merupakan kelainan yang jarang terjadi, yaitu hanya
1% dari anomali anorektal. Karakteristik pada kedua jenis kelamin sama.
Gambaran yang unik dari kelainan ini yaitu bahwa pasien memiliki
lubang anus yang normal dan anus yang normal. Sebuah halangan
terdapat sekitar 2 cm diatas permukaan kulit. Prognosis fungsionalnya
sangat baik karena memiliki sfingter yang normal dan sensasi yang
normal (Pena, 2006).
Perempuan
1. Fistula vestibular
Kelainan ini merupakan kelainan yang sering pada wanita.
Rektum terbuka di depan alat kelamin wanita diluar selaput dara. Pasien
sering disalah artikan sebagai fistula rektovaginal. Prognosis
fungsionalnya baik, sakrum biasanya normal, alur garis tengah perineum,
dan lesung anal yang semuanya menunjukkan mekanisme sfingter masih
utuh (Pena, 2006).

Gambar 10. Fistula vestibular

2. Kloaka persisten
Dalam kasus kloaka persisten, rektum, vagina, dan saluran kemih
bertemu dalam satu saluran tunggal. Perineum memperlihatkan suatu

14
lubang tunggal tepat di belakang klitoris. Panjang saluran ini bervariasi
antara 1-10 cm, panjang dari saluran ini menunjukkan suatu prognosis.
Pasien dengan saluran dengan panjang < 3 cm pada umumnya sakrum
dan sfingter berkembang dengan baik. Pasien dengan panjang saluran > 3
cm sering kali menunjukkan kelainan yang lebih kompleks dengan
sakrum dan sfingter yang
kurang berkembang
dengan baik. Pasien dengan
kloaka persisten
merupakan suatu
kedaruratan urologi karena
90% memiliki
kelainan urologi. Sebelum dilakukan kolostomi, diagnosis urologi harus
segera ditegakkan untuk dekompresi saluran kemih (Pena, 2006).

Gambar 11. Kloaka persisten

E. Patogenesis
Asal anus dan rektum merupakan stuktur embriologis yang disebut
kloaka. Secara embriologis, saluran pencernaan berasal dari Foregut, Midgut,
dan Hindgut. Foregut akan membentuk faring, sistem pernapasan bagian
bawah, esofagus, lambung, sebagian duodenum, hati, sistem bilier, serta
pankreas. Midgut membentuk usus halus, sebagian duodenum, caecum,
apendiks, kolon ascenden sampai pertengahan kolon transversum. Hindgut
meluas dari midgut hingga ke membran kloaka, membran ini tersusun dari
endoderm kloaka dan ektoderm dari protoderm/analpit. Usus terbentuk mulai
minggu keempat disebut sebagai primitif gut. Kegagalan perkembangan yang
lengkap dari septum urorektalis menghasilkan anomali letak tinggi atau supra
levator. Sedangkan anomali letak rendah atau translevator berasal dari defek

15
perkembangan proktoderm dan lipatan genital. Pada anomali letak tinggi, otot
levator ani perkembangannya tidak normal. Sedangkan otot sfingter eksternus
dan internus dapat tidak ada atau rudimenter.
Atresia ani terjadi akibat kegagalan punurunan septum anorektal pada
kehidupan embrional. Terjadinya atresia ani adalah karena kelainan
kongenital dimana saat proses perkembangan embriogenik tidak lengkap pada
proses perkembangan anus dan rektum. Dalam perkembangan selanjutnya,
ujung ekor dari belakang berkembang jadi kloaka yang juga akan
berkembang jadi genito urinari dan struktur anorektal. Atresia ani ini terjadi
karena ketidaksempurnaan migrasi dan perkembangan struktur kolon antara
7- 10 minggu selama perkembangan janin. Kegagalan migrasi tersebut juga
karena gagalnya agenesis sakral dan abnormalitas pada daerah uretra dan
vagina atau juga pada proses obstruksi. Atresia ani dapat terjadi karena tidak
adanya pembukaan usus besar yang keluar anus sehingga menyebabkan feses
tidak dapat dikeluarkan.
Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan adanya fistula.
Obstruksi ini mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi cairan, muntah
dengan segala akibatnya. Apabila urin mengalir melalui fistel menuju rektum,
maka urin akan diabsorbsi sehingga terjadi asidosis hiperkloremia, sebaliknya
feses mengalir ke arah traktus urinarius menyebabkan infeksi berulang. Pada
keadaan ini biasanya akan terbentuk fistula antara rektum dengan organ
sekitarnya.

Kegagalan
Agenesis sakral perkembangan Abnormalitas uretra
septum urorektalis dan vagina

Fistula
Anomali letak tinggi

m. levator ani tidak normal Urine Feses

m. sfingter eksternus dan


internus
Gambar 12.tidak ada/rudimenter
Skema Patofisiologi Atresia ani

16
F. Penegakkan Diagnosis
Pasien dengan atresia ani biasanya berada dalam kondisi yang stabil
dan diagnosisnya segera tampak setelah kelahiran. Cara penegakkan
diagnosis adalah semua bayi yang lahir harus dilakukan pemasukan
termometer melalui anusnya, tidak hanya untuk mengetahui suhu tubuh, tapi
juga untuk mengetahui apakah terdapat atresia ani atau tidak. Selain itu juga
diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang secara
cermat (Brunicardi et al., 2010).
1. Anamnesis
Manifestasi klinis yang terjadi pada atresia ani adalah kegagalan
lewatnya mekonium setelah bayi lahir, tidak ada atau stenosis kanal
rektal, adanya membran anal, dan fistula eksternal pada perineum.
Gejala yang menunjukan terjadinya atresia ani terjadi dalam waktu 24-48
jam. Gejala itu antara lain (Pena, 2006):
a. Tidak dapat atau mengalami kesulitan mengeluarkan mekonium
(tidak bisa buang air besar sampai 24 jam setelah lahir).
b. Perut membuncit dan pembuluh darah di kulit abdomen terlihat
menonjol. Perut kembung biasanya terjadi antara empat sampai
delapan jam setelah lahir.
c. Muntah (cairan muntahan dapat berwarna hijau karena cairan
empedu atau juga berwarna hitam kehijauan karena cairan
mekonium).
Adapun perbedaan gejala klinis antara anomali letak rendah dan
letak tinggi, yaitu:
a. Obstruksi usus halus letak tinggi memiliki gejala muntah lebih
dahulu dan dehidrasi yang sangat cepat.
b. Obstruksi usus halus letak rendah, nyeri lebih dominan pada sentral
distensi. Muntah biasanya lebih lambat.

17
Gejala yang ada terjadi karena adanya obstruksi usus, oleh karena itu
banyak penyakit lain yang dapat menjadi diagnosis banding (Tabel 3)
(Williams et al., 2008)
Tabel 2. Penyakit penyebab obstruksi usus

Penyakit Keterangan

Atresia Intestinal Dapat berupa multiple.

Fibrosis Kistik Dapat menyebabkan obstruksi usus akibat


mekonium inspissated.

Malrotasi Intestinal Merupakan predisposisi dari volvulus


midgut letal.

Alimentary Tract Duplications Dapat menyebabkan obstruksi, perdarahan,


atau intususepsi.

Hirschsprungs Disease Mekonium yang tidak keluar setelah lahir.

Malformasi Anorektal Cek keadaan anus pada bayi dengan


obstruksi usus.

2. Pemeriksaan fisik
a. Apakah terdapat anus atau tidak, bisa juga tidak ada anus dan hanya
berupa lengkungan (anal dimple).
b. Jika tidak ditemukan anus, kemungkinan ada fistula.
c. Bila terdapat mekonium pada perineum mengindikasikan defek letak
rendah dan mekonium di urine merupakan bukti adanya fistula di
saluran kemih. Bila terdapat mekonium bercampur urin, maka
terdapat 2 kemungkinan, yaitu fistula rektouretral atau rektovesika.
Pada fistula rektouretral didapatkan mekoneum mula-mula keluar
bersama miksi, urine selanjutnya makin lama makin jernih, dan
dapat juga mekoneum keluar tanpa melalui miksi. Sedangkan pada
fistula rektovesika, didapatkan miksi bercampur bersama dengan
mekoneun dan dari awal sampai akhir miksi berwarna kehitaman.
Selain itu, cara membedakannya juga dapat dengan menggunakan
kateter. Jika setelah dipasang kateter didapatkan urin jernih, maka

18
fistula rektouretral karena fistula tertutup oleh kateter, sedangkan
bila terdapat urin bercampur mekonium maka fistula rektovesika.
d. Pada perempuan diperiksa genitalia eksterna (fistula vestibulum).
e. Pada perempuan jika urine bercampur mekonium dan terdapat
hematuria maka defek berupa letak tinggi. Jika dari uretra keluar
mekonium, kencing jernih, dan terdapat fistula pada perineum maka
defek letak rendah.
f. Dilihat pada saat anak menangis apakah anus menonjol atau tidak,
jika menonjol maka anomali letak rendah, sedangkan jika tidak maka
anomali letak tinggi.
g. Pada bayi yang baru lahir, hal yang harus kita lakukan adalah
mengukur suhu rektum sekaligus melihat apakah terdapat adanya
lubang pada anus dengan menggunakan termometer yang sudah
diberi gel.
h. Pemeriksaan abdomen:
Inspeksi : perut tampak kembung
Palpasi : distensi, nyeri tekan tidak dijumpai.
Perkusi : hipertimpani
Auskultasi : Peristaltik meningkat, dapat terdengar metalic
sound
i. Jika dalam 24 jam pertama tidak tampak mekonium baik pada
perineum ataupun urin, dapat dilakukan cross table lateral x-ray
dengan posisi bayi tengkurap.
3. Pemeriksaan Penunjang
Meskipun diagnosis atresia ani dapat dibuat dengan pemeriksaan
fisik, sering kali sulit untuk menentukan apakah bayi memiliki lesi tinggi
atau rendah. Sebuah radiograf polos dari perut dapat membantu
menemukan lesi. Selain itu, harus dicari adanya kelainan lain yang terkait
(Sindrom VACTERL) sampai tidak terbukti adanya kelainan tersebut.
Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan
penunjang sebagai berikut :
a. Invertogram (Radiografi Abominal Lateral dengan marker
radiopaque pada perineum)
Teknik pengambilan foto ini dapat dibuat setelah udara yang
ditelan oleh bayi sudah mencapai rektum, dan bertujuan untuk

19
menilai jarak puntung distal rektum terhadap tanda timah atau logam
lain pada tempat bakal anus di kulit peritoneum.
Pemeriksaan foto abdomen setelah 18-24 jam setelah bayi
lahir agar usus terisi udara, dengan cara Wangensteen & Rice (kedua
kaki dipegang dengan posisi badan vertikal dengan kepala di bawah)
atau knee chest position (sujud), dengan sinar horizontal diarahkan
ke trochanter mayor.
Prinsipnya adalah agar udara menempati tempat tertinggi.
Selanjutnya, diukur jarak dari ujung udara yang ada di ujung distal
rektum ke tanda logam (marker Pb) di perineum. Cara Wangensteen
dan Rice digunakan pada kondisi dengan fistula, sedangkan pada
knee chest position digunakan pada kondisi tanpa fistula dengan
adanya gejala ostruksi usus. Dengan menggunakan invertogram,
dapat diketahui anomali yang terjadi merupakan letak rendah atau
tinggi (Gambar 13) (Brunicardi et al., 2010; Sjamsuhidayat, 2005;
Williams et al., 2008).

A B

Gambar 13. Perbedaan invertogram pada anomali letak rendah (gambar


A) dan anomali letak tinggi (gambar B)

Adapun perbedaan gambaran radiologis antara anomali letak


rendah dan letak tinggi, yaitu:
1) Obstruksi usus halus letak tinggi terdapat distensi minimal dan
sedikir air fluid level pada pemeriksaan radiologi.
2) Obstruksi usus halus letak rendah terdapat multiple central air
fluid level terlihat pada pemeriksaan radiologi.

20
Syarat dari pembuatan invertogram adalah sebagai berikut:
1) Setelah usia > 24 jam (paling cepat 18 jam, karena udara sudah
sampai ke anus).
2) Hip joint fleksi maksimal.
3) Arah cahaya dari lateral.
4) Kepala di bawah, kaki ke atas agar udara naik ke atas dan
mekanium akan ke bawah.
5) Interpretasi pada invertogram
a) Pada Wangensteen dan Rice
Bila letak udara paling distal:
> 1 Cm = letak tinggi / high
< 1 cm = letak rendah / low
= 1 cm = letak intermediate / sedang
b) Pada knee chest position
Dengan Pubococcygeal line (PC line), yaitu dibuat garis
imajiner antara Pubo/Pubis (tumpang tindih dengan
trochanter mayor) dengan os coccygeal (Gambar 14).
(Swenson, 2000)
Interpretasinya adalah sebagai berikut:
Ujung buntu di atas PC Line = letak rendah
Ujung buntu di bawah PC Line = letak tinggi
Gambaran radiologi pada anomali letak tinggi dan letak
rendah dengan PC line dapat dilihat pada gambar 15 dan
gambar 16.

b. USG
USG abdomen dapat membantu menentukan apakah ada
anomali saluran kemih atau saraf pada tulang belakang. Selain itu,
Ultrasound pada perineum (daerah dubur dan vagina) juga berguna
untuk menentukan jarak antara rektum distal mekonium. (Brunicardi
et al., 2010,5)
c. Ekokardiografi
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengevaluasi apakah
terdapat kelainan bawaan pada jantung pasien.

21
Gambar 14.
Pubococcygeal line

a) b) c

Gambar 15. Anomali letak tinggi dengan PC line, a. Anomali letak tinggi; b.
Anomali letak tinggi dengan udara pada level S3; c. Anomali letak tinggi
dengan udara pada PC line dan anomali sakrum

22
a b
.

c d
. . Gambar
16.
Anomali
letak rendah dengan PC line, a. Anomali letak rendah; b. Anomali letak
rendah dengan penurunan udara inkomplit; c. Setelah 3 jam tampak lesi yang
lebih jelas; d. Anomali letak rendah dengan fistula
Penegakkan diagnosis anomali letak tinggi dan letak rendah dapat
ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang seperti yang diperlihatkan pada Gambar 17.

Mekonium Kembung Muntah

(+) (-) Lambat Dominan Menonjol Lambat


muan
Urine Urine+ Gejala Menangis
jernih mekonium dehidrasi
Menonjol (-)
Kateter Kateter Cepat Lambat
jernih campur
mekonium Penemuan Termometer
Fistula
rektouretral Fistula -Stenosis Fistula Anus (-) Anus
rektovesi -Membran (+)
kuler anal (+) (-)

Perineal Invertogram
rektovagina
rektovestibuler Foto Jarak

Air fluid Distensi < 1cm > 1cm


level
23
Banyak Minimal
Sedikit Multiple

Anomali letak tinggi


Anomali letak rendah
Gambar 17. Algoritma penegakkan diagnosis

G. Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan pada atresia ani berpusat pada penentuan
klasifikasinya, yaitu anomali letak tinggi atau letak rendah, ada atau tidak
adanya fistula, dan mengevaluasi apakah terdapat kelainan kongenital lain
yang menyertai. Dibutuhkan waktu sampai 24 jam sebelum fistula dapat
ditemukan, oleh karena itu, observasi pada neonatus sangat dibutuhkan
sebelum operasi definitif dilakukan. Semua pasien dimasukkan nasogastric
tube sebelum makan untuk melihat adanya atresia esofagus dan dimonitoring
apakah terdapat mekonium pada perineum atau urine. Selain itu, dalam 24
jam pertama, bayi harus mendapatkan terapi cairan dan antibiotik. Pada
anomali letak tinggi dengan atau tanpa fistel dan atresia ani dengan fistula
yang tidak adekuat, sifat tatalaksananya adalah emergency, sedangkan pada
ada atresia ani dengan fistula yang adekuat dan anterior anus adalah elektif
(Brunicardi et al., 2010; Mahmoud et al., 2004; Williams et al., 2008).
Penatalaksanaan Anomali Letak Rendah
Pada anomali letak rendah, tindakan yang dilakukan adalah operasi
perineal tanpa kolostomi. Operasi yang dilakukan berupa repair yaitu
anoplasti. Terdapat 3 pendekatan yang dapat dilakukan. Untuk anal stenosis,
dimana pembukaan anus berada pada lokasi yang normal, maka dilatasi serial
merupakan penatalaksanaan kuratif. Dilatasi dapat dilakukan sehari-hari oleh
orang tua atau pengasuh anak dan ukuran dari dilator harus dinaikkan secara
progresif (dimulai dari 8 atau 9 French dan dinaikkan ke 14 atau 16 French).
Jika pembukaan anal berada di sebelah anterior dari sfingter eksternus dengan
jarak yang kecil antara pembukaan dan bagian tengah dari sfingter eksternus,
dan perineal intak, maka anoplasti cutback dilakukan. Tindakannya terdiri
dari insisi dari orifisium anal ektopik menuju bagian tengah dari sfingter

24
anus, dan dengan demikian terjadi pelebaran pembukaan anal. Namun, jika
jaraknya lebar antara pembukaan anal dengan bagian tengah dari sfingter ani
eksternus, maka yang dilakukan adalah anoplasti transposisi, dimana
pembukaan anal yang tidak pada tempatnya dipindahkan ke posisi yang
normal pada bagian tengah dari otot sfingter, dan perineal di rekonstruksi
(Brunicardi et al., 2010; Mahmoud et al., 2004; Williams et al., 2008).
Penatalaksanaan Anomali Letak Tinggi
Penatalaksanaan pada anomali letak tinggi dan intermediat
membutuhkan tiga tahapan rekonstruksi. Tahapan pertama yang harus
dilakukan adalah kolostomi terlebih dahulu segera setelah lahir untuk
dekompresi dan diversi, diikuti dengan operasi definitif berupa prosedur
abdominoperineal pullthrough (Swenson, Duhamel, Soave) setelah 4-8
minggu (sumber lain menyebutkan 3-6 bulan) dan diakhiri dengan penutupan
dari kolostomi yang dilakukan beberapa bulan setelahnya. Tindakannya
berupa pemisahan fistula rektourinari atau rektovagina secara pull-through
dari kantong rektal bagian terminal menuju posisi anus yang normal. Dilatasi
anus dimulai 2 minggu setelah operasi definitif dan dilanjutkan beberapa
bulan setelahnya dengan penutupan kolostomi (Brunicardi et al., 2010;
Mahmoud et al., 2004; Williams et al., 2008).
Pena dan DeVries pada tahun 1982 memperkenalkan metode operasi
definitif dengan pendekatan postero-sagital anorectoplasty (PSARP), yaitu
dengan cara membelah muskulus sfingter eksternus dan muskulus levator ani
untuk memudahkan mobilisasi kantong rektum dan pemotongan fistel dengan
stimulasi elektrik dari perineum. Jika terdapat adanya kloaka persisten, maka
traktus urinarius perlu dievaluasi secara hati-hati saat kolostomi untuk
memastikan terjadinya pengosongan yang normal dan menentukan apakah
vesica urinaria perlu di drainase dengan vesikostomi. Pada perempuan, jika
terdapat kloaka persisten maka perlu dilakukan rekonstruksi traktus urinarius
dan vagina. Jika terdapat keraguan dalam penentuan letak anomalinya, lebih
baik dilakukan kolostomi. Keberhasilan penatalaksanaan atresia ani dinilai
dari fungsinya secara jangka panjang, meliputi anatomisnya, fungsi
fisiologisnya, bentuk kosmetik serta antisipasi trauma psikis. Sebagai tujuan

25
akhirnya adalah defekasi secara teratur dan konsistensinya baik (Brunicardi et
al., 2010; Mahmoud et al., 2004; Williams et al., 2008).
Akhir-akhir ini, teknik operasi definitif dapat difasilitasi dengan
prosedur laparoskopi transabdominal sebagai penatalaksanaan untuk anomali
letak tinggi dan intermediat. Teknik ini memiliki keuntungan teoritis karena
dilakukan dengan penglihatan secara langsung dan menghindari pemotongan
struktur-struktur lain yang ada. Namun, perbandingan hasil akhir jangka
panjang antara PSARP dan teknik ini belum diketahui (Brunicardi et al.,
2010; Mahmoud et al., 2004).
Penatalaksanaan pada anomali letak tinggi dilakukan secara operatif,
yaitu:
1. Kolostomi
Kolostomi merupakan kolokutaneostomi yang disebut juga anus
preternaturalis yaitu pembuatan lubang sementara atau permanen dari
usus besar melalui dinding perut untuk mengeluarkan feses. Kolostomi
dapat dilakukan pada kolon transversalis ataupun sigmoid yang
merupakan organ intraabdominal. Kolon dipisahkan pada daerah
sigmoid, dengan usus bagian proksimal sebagai kolostomi dan usus
bagian distal sebagai mukus fistula. Pemisahan secara komplit dari usus
akan meminimalkan kontaminasi feses menuju fistula rektourinarius
sehingga mengurangi risiko terjadinya urosepsis.
Selanjutnya, bagian distal usus di evaluasi secara radiografik
untuk menentukan lokasi dari fistula rektourinarius. Kolostomi dilakukan
pada kolon transversum sebelah kiri di flexura lienalis atas pertimbangan
sebagai proteksi karena di sebelah kiri tidak ada organ-organ penting,
kolon lebih mobile sehingga lebih mudah, dan pada daerah ini tidak
terjadi dehidrasi karena absorbsi elektrolit maksimal di daerah tersebut
sehingga konsistensi feces tidak keras.
Adapun indikasi kolostomi adalah sebagai berikut:
a. Dekompresi usus pada obstruksi
b. Stoma sementara untuk bedah reseksi usus pada radang atau
perforasi
c. Sebagai anus setelah reseksi usus distal untuk melindungi
anastomosis distal.
Manfaat kolostomi, yaitu:

26
a. Mengatasi obstruksi usus.
b. Memungkinkan pembedahan rekonstruktif untuk dikerjakan dengan
lapangan operasi yang bersih.
c. Memberi kesempatan pada ahli bedah untuk melakukan pemeriksaan
lengkap dalam usaha menentukan letak ujung rektum yang buntu
serta menemukan kelainan bawaan yang lain.
Tipe kolostomi yang dapat digunakan pada bayi dengan atresia
ani adalah kolostomi loop yaitu dengan membuat suatu lubang pada
lengkung kolon yang dieksteriorisasi. Jenis anestesi pada tindakan
kolostomi adalah anestesi umum.

Gambar 18. Kolostomi

2. Posterosagital Anorectoplasty
(PSARP)
Suatu tindakan operasi definitif pada pasien atresia ani dengan
teknik operasi menggunakan irisan kulit secara sagital mulai dari tulang
koksigeus sampai batas anterior bakal anus. Prosedur ini memberikan
beberapa keuntungan seperti kemudahan dalam operasi fistula
rektourinaria maupun rektovaginal dengan cara membelah otot dasar
perlvis, sling, dan sfingter. Saat ini, teknik yang paling banyak dipakai
adalah minimal, limited atau full PSARP.
Macam-macam PSARP
a. Minimal PSARP
Tidak dilakukan pemotongan otot levator maupun vertical fibre,
yang penting adalah memisahkan common wall untuk memisahkan
rektum dengan vagina dan yang dibelah hanya otot sfingter
eksternus. Indikasi dari minimal PSARP, yaitu dilakukan pada fistula
perineal, anal stenosis, anal membran, bucket handle dan atresia ani
tanpa fistula yang akhiran rektum kurang dari 1 cm dari kulit.
b. Limited PSARP

27
Yang dibelah adalah otot sfingter eksternus, muscle fiber, muscle
complex serta tidak membelah tulang koksigeus. Yang penting
adalah diseksi rektum agar tidak merusak vagina. Indikasi dari
limited PSARP adalah atresia ani dengan fistula rektovestibuler.
b. Full PSARP
Dibelah otot sfingter eksternus, muscle complex, dan koksigeus.
Indikasi dari full PSARP, yaitu atresia ani letak tinggi dengan
gambaran invertogram gambaran akhiran rektum lebih dari 1 cm dari
kulit, pada fistula rektovaginalis, fistula rektouretralis, atresia
rektum, dan stenosis rektum.
Teknik operasi PSARP (Brunicardi et al., 2010)
a. Dilakukan dengan anestesi umum, dengan endotrakeal intubasi,
dengan posisi pasien tengkurap dan pelvis ditinggikan (prone
jackknife position).
b. Stimulasi perineum dengan alat pena muscle stimulator untuk
identifikasi anal dimple.
c. Insisi bagian tengah sakrum ke arah bawah melewati pusat sfingter
dan berhenti 2 cm di depannya.
b. Dibelah jaringan subkutis, lemak, parasagital fiber dan muscle
complex. Os coccygeus dibelah sampai tampak musculus levator,
lalu muskulus levator dibelah sampai tampak dinding belakang
rektum.
c. Fistula yang ada dari rektum menuju ke vagina atau traktus urinarius
dipisahkan.
d. Rektum dibebaskan dari jaringan sekitarnya.
e. Rektum ditarik melewati levator, muscle complex dan parasagital
fiber.
f. Dilakukan anoplasti dan dijaga jangan sampai terjadi tension
(dilakukan rekonstruksi pada muskulus dan dijahit ke rektum)

28
Gambar 19. Sebelum dan sesudah PSARP
Perawatan Pasca Operasi PSARP
a. Antibiotik intra vena diberikan selama 3 hari dan salep antibiotik
diberikan selama 8-10 hari. (Oldnam et al., 2005)
b. Pada kasus fistula rektouretral, kateter foley dipasang hingga 5-7
hari. Sedangkan pada kasus kloaka persisten, kateter foley dipasang
hingga 10-14 hari. Drainase suprapubik diindikasikan pada pasien
persisten kloaka dengan saluran lebih dari 3 cm.
c. Dilatasi anus dimulai 2 minggu setelah operasi dengan Heger
dilatation. Untuk pertama kali dilakukan oleh ahli bedah, kemudian
dilatasi dua kali sehari dilakukan oleh petugas kesehatan ataupun
keluarga. Setiap minggu, lebar dilator ditambah 1 mm hingga
tercapai ukuran yang diinginkan. Dilatasi harus dilanjutkan dua kali
sehari sampai dilator dapat lewat dengan mudah. Kemudian dilatasi
dilakukan sekali sehari selama sebulan diikuti dengan dua kali
seminggu pada bulan berikutnya, sekali seminggu dalam 1 bulan
kemudian dan terakhir sekali sebulan selama tiga bulan. Setelah
ukuran yang diinginkan tercapai, dilakukan penutupan kolostomi
(Oldnam et al., 2005).
d. Indikasi penutupan kolostomi adalah apabila sudah tercapai ukuran
pada dilatasi anal yang sudah sesuai dengan umur (maksimal 16
French pada usia 3 tahun).
e. Setelah dilakukan penutupan kolostomi, eritema popok sering terjadi
karena kulit perineum bayi tidak pernah kontak dengan feses
sebelumnya. Salep tipikal yang mengandung vitamin A, D, aloe,
neomycin dan desitin dapat digunakan untuk mengobati eritema
popok ini (Oldnam et al., 2005; Levitt & Pena, 2007).
Tabel 3. Tabel ukuran businasi menurut usia
Umur Ukuran
1-4 bulan #12
4-12 bulan #13
8-12 bulan #14
1.3 Tahun #15

29
3-12 tahun #16
>12 tahun #17

Tabel 4. Tabel frekuensi dilatasi


Frekuensi Dilatasi
Tiap 1 hari 1x dalam 1 bulan
Tiap 3 hari 1x dalam 1 bulan
Tiap 1 minggu 2x dalam 1 bulan
Tiap 1 minggu 1x dalam 1 bulan
Tiap 1 bulan 1x dalam 3 bulan

Skoring Koltz
Tabel 5. Skoring Koltz
VARIABEL KONDISI SKOR
1-2x sehari 1
2 hari 1x 1
1. Defekasi 3-5x hari sekali 2
3 hari sekali 2
>4 hari sekali 3
Tidak pernah 1
2. Kembung Kadang-kadang 2
Terus menerus 3
Normal 1
3. Konsistensi Lembek 2
Encer 3
Terasa 1
4. Perasaan ingin buang air besar
Tidak terasa 3
Tidak pernah
Terjadi bersama 1
5. Soiling 2
flatus 3
Terus menerus
Kemampuan menahan feses >1 menit 1
6. <1 menit 2
yang keluar Tidak bisa menahan 3

30
Tidak ada 1
7. Komplikasi Komplikasi minor 2
Komplikasi mayor 3

Penilaian hasil skoring: Nilai scoring 7-21


<7 = sangat baik
8-10 = baik
11-13 = cukup
>14 = kurang
Algoritma penatalaksanaan atresia ani pada laki-laki dan
perempuan dapat dilihat pada gambar 13 (Oldnam et al, 2005; University
of Michigan, 2012)
Newborn with Anorectal Malformation
Observation 18-24 Hrs
Abdominal ultrasound

Perineal Inspection
And Urinalysis

Fistula No Fistula

Female Cross-
Male
table
Lateral,
Perineal Flat Bottom, Cloaca Vestibular Perineal Film
Fistula, Meconium in (or with
Bucket urine Emergencyvaginal) Patient in
Minimal
Handle, GU Prone
Colostomy Colostomy PSAP,
Midline Evaluation Position
No
Raphe
PSARP Colos- Limited Colostomy
Fistula
Minimal tomy, PSARP < 1cm > 1cm
PSAP, And if Bowel Bowel
No necessary skin skin
Colosto Vaginos- distance distance
my 6 month
tomy 4-8 wks Rule out Colostomy
Urinary Associated Malformations
diversion Verify Normal Growth
PSARVUP
Gambar 19. Algoritma penatalaksanaan atresia ani pada laki-laki dan perempuan PSARP
H. Prognosis
Morbiditas yang ada pasien berhubungan dengan anomali lain yang
ada pada pasien. Tujuan utama dari tatalaksana pada atresia ani adalah
kontinensia feses. Sebanyak 75% pasien memiliki pergerakan usus volunter.

31
(Mahmoud et al., 2004) Konstipasi merupakan sekuele yang paling umum.
Prognosis pada atresia dapat dievaluasi dengan cara melihat fungsi klinisnya
dan psikologisnya (Mahmoud et al., 2004).
Evaluasi Fungsi Klinis
1. Kontrol feses dan kebiasaan buang air besar
2. Sensasi rektal dan soiling
3. Kontraksi otot yang baik pada colok dubur
Pada anomali letak rendah, hasil akhir yang sering terjadi adalah
konstipasi, sedangkan pada anomali letak tinggi adalah inkontinensia feses
(Mahmoud et al., 2004; Williams et al., 2008).

I. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi post operasi banyak disebabkan oleh karena
kegagalan menentukan letak kolostomi, persiapan operasi yang tidak adekuat,
keterbatasan pengetahuan anatomi, dan keterampilan operator yang kurang
serta perawatan post operasi yang buruk.
Komplikasi awal dari PSARP adalah infeksi dari luka, perdarahan,
anus salah letak, fistula berulang, serta cedera pada uretra dan kandung
kemih. Pada komplikasi selanjutnya, pada umumnya terjadi stenosis, striktur
anorektal, prolaps, dan inkontinensia (Texas Pediatric Association, 2012).
Komplikasi awal dapat dihindari dengan penutupan luka yang adekuat
tanpa meninggalkan celah. Sebagian besar pasien yang melakukan operasi
untuk memperbaiki atresia ani memiliki berbagai derajat konstipasi. Gejala
ini lebih berat terjadi pada kelainan letak rendah dan intermediat. Pasien yang
sebelumnya dilakukan kolostomi baik di daerah proksiamal maupun distal
dapat mengalami obstipasi maka dari itu pasien memerlukan diet kaya serat
dan kadang-kadang sampai dibutuhkan obat pencahar (Texas Pediatric
Association, 2012).
III. KESIMPULAN

1. Malformasi anorektal merupakan suatu spektrum dari anomali


kongenital yang terdiri dari anus imperforata dan kloaka persisten.
2. Anus imperforata atau atresia ani merupakan kelainan kongenital
tanpa anus atau dengan anus tidak sempurna, sedangkan kloaka persisten

32
diakibatkan karena pemisahan antara traktus urinarius, traktus genitalia, dan
traktus digestivus tidak terjadi.
3. Etiologi secara pasti atresia ani belum diketahui, namun faktor
genetik diduga berpengaruh terhadap insiden tersebut.
4. Berdasarkan letak anatomi, atresia ani dapat dibagi mejadi 3 yaitu
letak tinggi, intermediet, dan rendah. Dan dapat juga di klasifikasikan
berdasarkan ada atau tidaknya fistula dan letak fistula.
5. Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan adanya
fistula. Obstruksi ini mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi cairan,
muntah dengan segala akibatnya. Diagnosis didapatkan dengan melihat
manifestasi klinis yang muncul dan dengan inspeksi pada regio perianal.
6. Tindakan yang dilakukan untuk evakuasi feses yang utama yaitu
dengan kolostomi dilanjutkan dengan PSARP disesuaikan dengan kelainan
yang ada.

33
DAFTAR PUSTAKA

1 Brunicardi FC, Anderson DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Matthews
JB, et al. Pediatric Surgery. In: Schwartzs Principles of Surgery. 9th
edition. McGraw Hill; 2010.p. 2777-2780.
2 Suriadi. Asuhan Keperawatan Anak. Jakarta: Seto Agung; 2006.hlm 159
3 Sjamsuhidajat R. De Jong W. Buku ajar ilmu bedah. Edisi 2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2005.hlm. 668-70.
4 Anonymus. Ilmu Bedah. [cited May 11, 2012]. Available at: http:// www.
bedahugm. net/atresia-ani. ac.
5 Texas Pediatric Associates. Imperforate Anus. [cited May 12, 2012].
Available: http://www.pedisurg.com/PtEduc/Imperforate_Anus.htm.
6 Kaneshiro NK. Imperforate Anus. [cited May 12, 2012]. Available:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001147.htm.
7 Adotey JM, Jebbin NJ. Anorectal disorders requiring surgical treatment in
the University of Port Harcourt Teaching Hospital, Port Harcourt.
Nigerian journal of medicin : journal of the National Association of
Resident Doctors of Nigeria 2004; 13 (4): 3504.
8 Mahmoud N, Rombeau J, Ross HM, et al.In: Townsend CM, Beauchamp
RD, Evers BM, Mattox KL, editors. Pediatric Surgery. Sabiston Textbook
of Surgery The Biological Basis of Modern Surgical Practice. 17th edition.
Elsevier Saunders; 2004.p.1746-8.
9 Williams N, Bulstrode CJK, Oconnell PR. Bailey and love short practice
of surgery. 25th edition. Edward Arnold (Publisher) Ltd;2008.p. 87-88,
1247.
10 Pena A. Surgical Condition of the Anus, Rectum, and Colon. Pediatric
Surgery. Germany: Springer; 2006.p. 289 -312.
11 Swenson. Anorectal malformation. Pediatric surgery. WB Saunder; 2000.
12 Oldham K, Colombani P, Foglia R, Skinner M. principles and Practice of
Pediatric SurgeryVol.2. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;
2005.p. 1395-1434
13 Levitt M, Pena A. Anorectal Malformation.Orphanet Journal of Rare
Diseases2007,2:33. [cited May 25, 2012]. Available: http://www.ojrd
.com/content/2/1/33.
14 University of Michigan. Imperforate Anus. Departement of Surgery
University of Michigan. [cited May 25, 2012]. Available:
http://www.medcyclopaedia.com/library
/topics/volume_vii/a/anorectalmalformation.
15 Wakhlu A. Management of Congenital Anorectal Malformation. Pediatric
Surgery. [cited May 12, 2012]. Available at
http://indianpediatrics.net/nov1995/1239.pdf.
16 Hidayat, Alimul AA. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak 2. Jakarta:
Salemba Medika; 2005.

34

You might also like