You are on page 1of 28

Referat

Demam Berdarah Dengue

Disusun oleh:

Jonathan Kurnia Wijaya

11-2015-304

Pembimbing: dr. Sedyo Wahyudi, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK

RUMAH SAKIT PANTI WILASA DR. CIPTO

SEMARANG

2016
BAB I
PENDAHULUAN

Demam berdarah dengue merupakan penyakit yang sudah mewabah terutama di


daerah tropis. Pada 1979, Bylon meneliti epidemi dengue yang menjangkit Batavia (sekarang
Jakarta) dan dianggap sebagai perintis penguraian gejala klinis Dengue, yang pada awalmya
dinamakan knokkel-koorts yang berati demam sendi. Kemudian terjadi wabah Dengue
pertama kali pada tahun 1784 di Eropa, kemudian di Amerika Selatan wabah itu munvul
diantara 1830-1870, di Afrika tahun 1871-1873, dan di Amerika Serikat tahun 1922. Di
Indonesia sendiri telah terjadi 2 kali epidemi demam dengue setelah ahun 1779, yaitu 1893 di
Jatinegara, dan 1930 di Medan.1 Pada tahun 1968 penyakit DBD dilaporkan di Surabaya dan
Jakarta sebanyak 58 kasus, daengan jumlah kematian yang sangat tinggi, 24 orang (case
fatality race 41-3%). Dalam kurun waktu 35 tahun terjadi peningkatan yang pesat, baik dalam
jumlah penderita maupun daerah penyebabran penyakit. Sampai akhir tahun 2005, DBD telah
ditemukan di Indonesia dan 35 Kabupaten/Kota telah melaporkan adanya Kejadian Luar
Biasa (KLB). Incidence rate meningkat dari 0,005 per 100.000 penduduk pada tahun 1968,
menjadi 43,42 per 100.000 penduduk pada akhir tahun 2005.2

BAB II
1
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Demam Dengue dan demam berdarah Dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh
infeksi virus Dengue, yang bermanifestasi mulai dari demam hingga syok berat yang dapat
berujung ke kematian. Menurut WHO,3 dengue dibagi menjadi Dengue dengan atau tanpa
tanda bahaya dan dengue berat. Dimana kemungkinan terkena Dengue jika tinggal atau
pernah pergi ke daerah endemik dengue disertai gejala demam dan 2 dari gejala lainnya yang
berupa mual muntah, ruam, nyeri dan sakit sendi otot, tes tornikuet positif, leukopeni dan
adanya tanda-tanda bahaya. Tanda-tanda bahaya pada Dengue berupa nyeri atau nyeri tekan
abdomen, muntah persisten, terdapat tanda-tanda penumpukan cairan secara klinis,
perdarahan mukosa, letargi, gelisah, pembesaran liver > 2 cm, dan secara laboratoris terdapat
peningkatan hematokrit yang diikuti dengan penurunan cepat dari trombosit. Sedangkan
dipastikan dengue dengan pemeriksaan laboratoris. Sedangkan kriteria dari Dengue berat
adalah ada 1 atau lebih tanda dan gejala dari kebocoran plasma berat, perdarahan berat, dan
gangguan organ berat. Menurut Hadinegor et all,2 Dengue dibagi menjadi demam dengue dan
demam berdarah dengue. Demam dengue dibagi menjadi probable dan confirmed/diagnosis
pasti. Kasus probable jika terdapat demam akut disertai dua atau lebih manifestasi klinis:
sakit kepala, nyeri belakang mata, mialgia, artralgia, ruam, manifestasi perdarahan, dan
leukopenia dan didukung hasil pemeriksaan laboratorium serologis (titer antibodi dengan tes
hemaglutinasi-inhibisi >= 1280, yang sebanding dengan titer IgG enzim linked
immunosorbent assay (ELISA) atau test antibodi IgM positif pada spesimen serum akut pada
spesimen serum akut atau konvvelsen atau pasien berasal dari daerah yang pada saat yang
sama ditemukan kasus confirmed DD. Kasus confirmed jika kasus yang telah dikonfirmasi
dengan kriteria laboratoris: isolasi virus dengue dari serum atau sampel otopsi, peningkatan
titer antibodi 4 kali pada pasangan serum akut dan konvalesen, positif antigen dengue virus
pada pemeriksaan otopsi jaringan, serum atau cairan serebrospinal dengan metode
immunochemistry, immunoflupressence atau ELISA, pemeriksaan Polymerase Chain
Reaction (PCR) positif.
Sedangkan DBD memiliki kriteria klinis dan laboratoris. Kriteria klinis berupa
demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-menerus selama 2-7 hari,
terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan uji Torniquet postif, petekie, ekimosis,
purpura, perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi. hematemesis dan atau melena,
pembesaran hati, syok yang ditandai dengan nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan
nadi, hipotensi kaki dan tangan dinging, kulit lembab dan pasien tampak gelisah. Kriteria
2
laboratoris dari DBD adalah trombositopenia (100.000/l atau kurang) dan adanya kebocoran
plasma karena peningkatan permeabilitas kapiler dengan manifestasi peningkatan hematokrit
>= 20% atau penurunan hematokrit <= 20% dari nilai standar, setelah dilakukannya
penggantian volume plasma. Dua kriteria klinis ditambah satu dari kriteria laboratoris (atau
hanya peningkatan hematokrit) cukup untuk menegakan diagnosa sementara DBD. Derajat
penyakit DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat (pada setiap derajat sudah ditemukan
trombositopeni dan hemokonsentrasi) yaitu derajat I, II, III, dan IV. Keterangan derajat
penyakit DBD dapat dilihat pada tabel 1 dibawah ini.

Tabel1. Derajat Penyakit DBD (WHO 1997)2


Derajat I Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan
ialah uji Torniquet
Derajat II Seperti derajat I, disertai perdarah spontan di kulit dan atau perdarahan lain
Derajat III Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lambat, tekanan nadi
menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut,
kulit dingin dan lembab, dan anak tampak gelisah
Derajat IV Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak
terukur

2.2 Epidemiologi
Dengue merupakan penyakit utama kedua penyebab dirawat inap pada rumah sakit
dengan jumlah kasus sebanyak 156 ribu kasus di seluruh Indonesia dan memiliki case fatality
rate (CFR) mencapai 0,87%. Angka CFR ini lebih menurun dibanding tahun 2006 (1,04%)
namun kasus DBD yang didapat lebih tinggi dari tahun 2006. Provinsi yang paling banyak
terkena kasus DBD adalah di provinsi Jawa Timur, sedangkan daerah dengan CFR tertinggi
adalah di provinsi Maluku (16,67%).4

2.3 Etiologi
Demam Dengue dan demam berdarah Dengue disebabkan oleh virus Dengue yang
termasuk kelompok B Arthropod Virus (Arbovirus) yang sekarang dikenal sebagai genus
Flavivirus, famili Flaviviridae dan mempunyai 4 jenis serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3,
dan DEN-4. Infeksi terhadap satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang
bersangkutan, sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap
serotipe lain terserbut. Seorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi oleh 3
atau 4 serotipe selama hidupnya. Keempat serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai

3
daerah di Indonesia. Di Indonesia, pengamatan virus Dengue yangh dilakukan sejak 1975 di
beberapa rumah sakit menunjukan bahwa keempat serotipe ditemukan dan bersirkulasi
sepanjang tahun. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan banyak
yang menunjukan manifestasi klinik yang berat.2

2.4 Cara Penularan


Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus dengue,
yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui
gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan beberapa
spesies yang lain juga dapat menularkan virus ini, namun merupakan vektor yang kurang
berperan. Nyamuk Aedes tersebut dapat mengandung virus dengue pada saat menggigit
manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang berada di kelenjar liur
berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic incbation period) sebelum dapat
ditularkan kembali kepada manusia pada saat gigitan berikutnya. Virus dalam tubuh nyamuk
betina dapat ditularkan kepada telurnya (transovarian transmission), namun perannya dalam
penularan virus tidak penting. Sekali virus dapat masuk dan berkembangbiak di dalam tubuh
nyamuk, nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Di tubuh
manusia, virus memerlukan waktu masa tunas 4-7 hari (intrinsic incubation period) sebelum
menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk hanya dapat terjadi bila
nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum panas
sampai 5 hari setelah demam timbul.2

2.5 Gejala Klinis


Pada demam Dengue (DD), setelah masa inkubasi 4-6 hari (rentang 3-14 hari), gejala
prodromal yang tidak khas seperti nyeri kepala, nyeri tulang belaknag, dan perasaan lelah.
Tanda khas dari DD adalah peningkatan suhu mendadak, kadang-kadang disertai menggigil,
nyeri kepala, dan flushed face (muka kemerahan). Dalam 24 jam terasa nyeri di belakang
mata terutama pada pergerakan mata atau bila bola mata ditekan, fotofobia, dan nyeri otot
serta sendi. Gejala lain yang dapat dijumpai adalah anoreksia, konstipasi, nyeri perut/kolik,
nyeri tenggorokan, dan depresi (biasanya terdapat pada pasien demam). Gejala tersebut
biasanya menetap untuk beberapa hari.1
Secara klinis ditemukan demam, suhu pada umumnya antara 39-40 oC, bersifat bifasik,
menetap antara 5-7 hari. Pada awal fase demam bisa terdapat ruam yang tampak di muka
leher, dada. Pada akhir fase demam (hari ketiga atau keempat) ruam berbentuk

4
makulopapular atau bentuk skarlatina. Selanjutnya pada fase penyembuhan suhu turun dan
timbul petekie yang menyeluruh pada kaki dan tangan dan diantara petekie dapat dijumpai
area kulit normal berupa bercak keputihan, kadang-kadang dirasa gatal. Perdarahan kulit pada
Demam Dengue terbanyak adalah uji Tourniquet positif dengan atau tanpa petekie.1
Derajat penyakit sangat bervariasi, berbeda untuk tiap individu dan pada daerah
epidemi. Perjalanan penyakit biasanya pendek 5 hari, tetapi dapat memanjang pada dewasa
sampai beberapa minggu. Pada dewasa sering kali disertai lemah, depresi dan bradikardia.
Perdarahan seperti mimisan, perdarahan gusi, hematuria, dan menorrhagia, sering terjadi pada
saat epidemi DD. Walaupun jarang, kadang-kadang terjadi perdarahan hebat walaupun jarang
menyebabkan kematian. DD yang disetai dengan maiofestasi perdarahan harus dibedakan
dengan DBD.1
Secara laboratoris pada fase akut (awal demam) akan dijumpai jumlah leukosit
normal, kemudian menjadi leukopenia selama fase demam. Jumlah trombosit pada umumnya
normal, demikian pula semua faktor pembekuan; tetapi pada saat epidemi, dapat dijumpai
trombositopenia. Serum biokimia pada umumnya normal, namun enzim hati dapat
meningkat.1
Manifestasi klinis DD menyerupai berbagai penyakit, misalnya infeksi virus
chikunguya, demam tifoid, leptospirosis, dan malaria. Diagnosis dapat dibantu dengan
pemeriksaan serologis atau isolasi virus.1
Pada DBD terjadi perubahan patofisiologi pada infeksi dengue yang menentukan
perbedaan perjalanan penyakit antara DBD dengan DD. Perubahan patofisiologis tersebut
adalah kelainan hemostasis dan perembesan plasma. Kedua kelainan tersebut dapat diketahui
dengan adanya trombositopenia dan peningkatan hematokrit. Oleh karena itu,
trombositopenia (sedang sampai berat) dan hemokonsentrasi merupakan kejadian yang selalu
dijumpai. Demam berdarah dengue dapat menyerang semua golongan umur, walupun sampi
saat ini DBD lebih banyak menyerang anak-anak, tetapi dalam dekade terakhir ini terlihat
kecenderungan kenaikan proporsi kelompok dewasa DBD.1
Gejala klinis DBD diawali dengan demam mendadak, disertai dengan muka
kemerahan (flushed face) dan gejala klinis lain yang tidak khas, menyerupai gejala demam
dengue, seperti anoreksia, muntah, nyeri kepala, dan nyeri pada otot dan sendi. Pada beberapa
pasien mengeluh nyeri tenggorokan dan pada pemeriksaan faring hiperemis. Gejala lain yaitu
perasaan tidak enak di daerah epigastrium, nyeri di bawah lengkungan iga kanan, kadang-
kadang nyeri perut dapat dirasakan di seluruh perut. Terdapat empat gejala/tanda utama DBD
yang akan dibahas lebih lanjut di bawah ini.1
5
Gejala demam pada DBD awalanya didahului oleh demam tinggi yang mendadak,
terus menerus, berlangsung 2-7 hari, naik turun tidak mempan dengan obat antipiretik.
Kadang-kadang suhu tubuh sangat tinggi sampai 40 oC dan dapat terjadi kejang demam. Akhir
fase demam merupakan fase kritis pada DBD. Pada saat fase demam mulai cenderung
menurun dan pasien tampak seakan sembuh, hati-hati karena fase tersebut dapat sebagai awal
kejadian syok. Biasanya pada hari ketiga dari demam. Hari ke 3,4,5 adalah fase kritis yang
harus dicermati pada hari ke 6 dapat terjadi syok. Kemungkinan terjadi perdarahan dan kadar
trombosit sangat rendah (<20.000/l).1
Tanda-tanda perdarahan pada DBD terjadi karena vaskulopati, trombositopenia dan
gangguan fungsi trombosit, serta koalugasi intravaskular yang menyeluruh. Jenis perdarahan
yang terbanyak adalah perdarah kulit seperti uji Tourniquet (uji Rumple Leede/uji bendung)
positif, petekie, purpura, ekimosis, dan perdarahan konjungtiva. Petekia merupakan tanda
perdarahan yang tersering ditemukan. Petekie dapat muncul pada hari-hari pertama demam
tetapi dapat pula dijumpai hari ke 3,4,5 demam. Petekie sering sulit dibedakan dengan bekas
gigitan nyamuk, untuk membedakannya lakukan penekanan pada bintik merah yang dicurigai
dengan kaca obyek atau penggaris plastik transparan atau dengan meregangkan kulit. Jika
bintik merah menghilang berarti bukan petekie. Perdarahan lain yaitu epistaksis, perdarahan
gusi, melena, dan hematemesis. Pada anak yang belum pernah mengalami mimisan, maka
mimisan merupakan tanda penting. Kadang-kadang dijumpai pula perdarahan konjungtiva
atau hematuria. Tanda perdarahan seperti terserbut tidak semua terjadi pada seseorang pasien
DBD. Perdarahan yang paling ringan adalah uji Torniquet positif yang berarti kerapuhan
kapiler meningkat. Perlu diingat bahwa hal ini juga dapat djumpai pada penyakit virus lain
(misalnya campak, demam chikunguya), infeksi bakteri (tifus abdominalis) dan lain-lain. Uji
Torniquet positif akan banyak kegunaanyan apabila secara klinis diduga DBD, oleh karena
pada awal perjalanan penyakit 70,2% kasus DBD mempunyai hasil uji Torniquet positif. Uji
Torniquet dinyatakan positif jika terdapat lebih dari 10 petekie pada area 1 inci persegi (2,8
cm x 2,8 cm) di lengan bagian bawah bagian depan (volar) termasuk pada lipatan siku. Cara
melakukan uji tornikuet adalah sebagai berikut.1
Pasang manset anak pada lengan atas (ukuran manset sesuaikan dengan umur anak
yaitu lebar manset = 2/3 lengan atas)
Pompa tensimeter untuk mendapatkan tekanan sistolik dan tekanan diastolik

6
Aliran darah pada lengan atas dibendung pada tekanan antara sistolik dan diastolik
(rata-rata tekanan sistolik dan diastolik) selama 5 menit. (Bila terlihat adanya bintik-
bintik merah >= 10 buah, pembendungan dapat dihentikan)
Lihat pada bagian bawah lengan depan (daerah volar) dan atau daerah lipatan siku
(fossa cubiti), apakah timbul bintik-bintik merah, tanda perdarahan (petekie)
Hasil uji Torniquet dinyatakan positif (+) bila ditemuakn >= 10 bintik perdarahan
(petekia) pada luas 1 inci persegi.
Hepatomegali pada umunya dapat ditemukan pada permulaan penyakit, bervariasi dari
hanya sekedar dapat diraba (just palpable) sampai 2-4 cm di bawah lengkungan iga kana.
Proses pembesaran hati, dari tidak teraba, dapat meramalkan perjalanan penyakit DBD.
Derajat pembesaran hati tidak sejajar dengan beratnya penyakit, namun nyeri tekan pada
daerah tepi hati, berhubungan dengan adanya perdarahan. Nyeri perut lebih tampak jelas pada
anak besar dari pada anak kecil. Pada sebagian kecil kasus dapat dijumpai ikterus.1
Pada kasus ringan dan sedang, semua tanda dan gejala klinis menghilang setelah
demam turun. Demam turun disertai keluarnya keringat, perubahan pada denyut nadi dan
tekanan darah, akral ekstremitas terabab dingin, disertai dengan kongesti kulit. Perubahan ini
memperlihatkan gejala gangguan sirkulasi, sebagai akibat dari perembesan plasma yang
dapat bersifat ringan atau sementara. Pasien biasanya akan sembuh spontan setelah
pemberian cairan dan elektrolit. Pada kasus berat, keadaan umum pasien mendadak menjadi
buruk setelah beberapa hari demam. Pada saat atau beberapa saat setelah suhu turun, antara
hari sakit ke 3-7, terdapat tanda kegagalan sirkulasi: kulit teraba dingin dan lembab terutama
pada ujung jari dan kaki, sianosis di sekitar mulut, pasine menjadi gelisah, nadi cepat, lemah,
kecil sampai tak teraba. Pada saat akan terjadi syok, beberapa pasien tampak sangat lemah
dan sangat gelisah. Sesaat sebelum syok seringkali pasien mengeluh nyeri perut. Syok
ditandai dengan denyut nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (menjadi 20 mmHg atau
kurang) atau hipotensi (tekanan sistolik menurun sampai 80 mmHg), kulit dingan dan
lembab. Syok merupakan tandan kegawatan yang harus mendapat perhatian serius , oleh
karena bila tidak diatasi sebaik-baiknya dan secepatnya dapat menyebabkan kematian. Pasien
dapat dengan cepat masuk ke dalam fase kritis yaitu syok berat (profound shock), pada saat
itu tekanan darah dan nadi tidak dapat terukur lagi. Syok dapat terjadi dalam waktu yang
sangat singkat, pasien dapat meninggal dalam waktu 12-24 jam. Apabila syok tidak dapat
segera diatasi dengan baikm akan terjadi komplikasi yaitu asidosis metabolik, perdarahan
saluran cerna hebat atau perdarahan lain, hal ini pertanda prognosis buruk. Sebagian besar

7
pasien masih tetap sadar walupun telah memasuki fase terminal. Pasien dengan perdarahan
intraserebral dapat disertai kejang dan koma. Ensefalopati dapat terjadi berhubungan dengan
gangguan metabolik dan elektrolit.1
Penyembuhan DBD dengan atau tanpa syok akan terjadi cepat, akan tetapi kadang-
kadang sulit diramalkan. Walaupun dari sebagian besar pasien dengan syok berat, bila
pengobatannya adekuat pasien akan sembuh kembali dalam waktu 2-3 hari. Timbulnya nafsu
makan dan pengeluaran urin yang cukup merupakan tanda prognosis yang baik. Pada saat
penyembuhan seringakali disertai sinus bradikardi atau denyut nadi yang tidak teratur
(aritmia) dan adanya ruam petekia yang menyeluruh dengan bagian kulit sehat berupa bercak
putih diantaranya, terdapat pada daerah distal (kaki, tangan, kadang-kadang terjadi di muka).1

2.6 Pemeriksaan Penunjang pada Dengue


Pada pemeriksaan hematologi, awalnya jumlah leukosit normal, tapi biasa menurun
dengan dominasi sel neutrofil. Selanjutnya pada akhir fase demam, jumlah leukosit dan sel
neutrofil bersama-sama menurun hingga jumlah sel limfosit secara relatif meningkat.
Peningkatan jumlah sel limfosit atipikal atau limfosit plasma biru (LPB) >4% di darah tepi
dapat dijumpai pada hari sakit ketiga sampai hari ke tujuh. Penurunan jumlah trombosit
menjadi <= 100.000/L atau kurang dari 1-2 trombosit/lapangan padang besar (lpb) dengan
rata-rata pemeriksaan dilakukan pada 10 lpb. Pada umumnya trombositopeni terjadi sebelum
adanya peningkatan hematokrit dan terjadi sebelum suhu turun. Jumlah trombosit <=
100.000/l biasanya ditemukan antara hari sakit ketiga sampai ketujuh. Pemeriksaan
trombosit perlu diulang sampai terbukti bahwa jumlah trombosit dalam batas normal atau
menurun. Pemeriksaan dilakukan pertama pada saat-saat pasien diduga menderita DBD, bila
normal maka diulang pada hari sakit ketiga. Peningkatan kadar hematokrit menggambarkan
hemokonsentrasi selalu dijumpai pada DBD, merupakan indikator yang peka akan terjadinya
perembesan plasma, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan hematokrit secara berkala.
Hemokonsentrasi dengan peningkatan hematokrit 20% atau lebih, mencerminkan
peningkatan permeabilitas kapiler dan perembesan plasma. Perlu mendapat perhatian, bahwa
nilai hematokrit dipengaruhi oleh penggantian cairan atau perdarahan.2
Pemeriksaan lab yang menunjukan abnormalitas seperti pada kadar albumin yang
menurun sedikit dan bersifat sementara, eritrosit dalam tinja hampir selalu ditemukan, pada
sebagian besar kasus, disertai penurunan faktor koagulasi dan fibrinolitik yaitu fibrinogen,
protrombin, faktor V, VII, IX, dan X, waktu tromboplastin parsial dan waktu protrombin
memanjang, penurunan -antiplasmin (2-plasmin inhibitor) hanya ditemukan pada beberapa
8
kasus, serum komplemen turun, hipoproteinemia, hiponatremia, SGOT dan SGPT sedikit
meningkat, dan asidosis berat dan peningkatan kadar urea nitrogen pada syok yang
berkepanjangan.2
Pemeriksaan radiologis pada pasien DBD derajat III/IV dan sebagian derajat II
didapatkan efusi pleura, terutama di sebelah hemithoraks kanan. Pemeriksaan foto toraks
sebaiknya dilakukan dalam posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur di sisi kanan) untuk
menghitung Pleural Effusion Index (PEI). Asites dan efusi pleura dapat dideteksi dengan
pemeriksaan ultrasonografi.2
Diagnosis serologis pada dengue dikenal ada 5 macam yaitu uji hemaglutinasi inhibisi
(HI), komplemen fiksasasi (Complement Fixation Test CFT), uji neutralisasi, IgM ELISA
(Mac Elisa) dan IgG Elisa. Untuk pemeriksaan IgM ELISA sebaiknya dilakukan pada hari
ke-4 dan ke-5 infeksi virus dengue, dimana IgM mulai timbul, namun jika negatif sebaiknya
pemeriksaan diulang, apabila pada hari ke-6 tetap negatif maka dilaporkan sebagai negatif,
dan perlu pemeriksaan IgG karena IgM dapat bertahan di tubuh selama 2-3 bulan.2
Selain dengan pemeriksaan juga dilakukan dengan inokulasi pada intraserebral bayi
tikus putih albino umur 1-3 hari, inokulasi pada biakan jaringan mamalia (LLCMK2) dan
nyamuk A. Albopictus, dan inokulasi pada nyamuk dewasa secara intratorasik/intraserebral
pada larva. Selain itu terdapat cara deteksi antigen virus dengan flourescence antibody
technique test secara langsung, flourescence antibody technique test secara indirek dan cara-
cara yang lebih spesifik dengn RTPCR dan NS1. Pada gambar dibawah menunjukan pilihan
diagnostik pada pasien yang dicurigai dengue.2

9
Gambar 1. Pilihan laboratori diagnostik pada pasien curiga Dengue.5

2.7 Patogenesis
Patogenesis DBD dan SSD (sindrom syok dengue) mempunyai 2 teori yang masih
dianut yaitu hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) atau hipotesis
immune enhancement, Hipotesis ini menyatakan pasien yang mengalami infeksi kedua
kalinya dengan serotipe yang heterolog mempunyai risiko berat untuk menderita DBD,
karena antibodi heterolog akan mengenal virus tersebut dan membentuk kompleks antigen
antibodi dan berikatan dengan reseptor Fc dari membran leukosit terutama makrofag. Karena
antibodi bersifat heterolog, virus tidak dinetralisasi dalam sel, sehingga akan melakukan
replikasi dalam sel makrofag dan dapat terjadi antibody dependent enhancement (ADE).
Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebur, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang
kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga
mengakibatkan keadaan hipovolemik dan syok.1
Patogenesis terjadinya syok menurut hipotesis the secondary heterologous infection
yaitu sebagai akibat infeksi sekunder dari tipe virus dengue yang berlainan, respons antibodi
anamnestik yang terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan
transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG dengue. Disamping itu,
replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat
10
terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya virus
kompkes antigen-antibodi (virus antibody complex) yang selanjutnya akan mengakibatkan
aktivasi sistem kompleme, dimana C3a dan c5a mengakibatkan peningkatan permeabilitas
dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskuler ke ruang
ekstravaskuler. Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai >=
30% dan berlangsung 24-48 jam. Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya peningkatan
kadar hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa
(efusi pleura, ascites). Selain mengaktivasi komplemen, kompleks antigen-antibodi juga
menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel
endotel. Kedua faktor tersebut yang berperan dalam manifestasi perdarahan pada DBD.
Agregasi tromobosit terjadi karena perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran
trombosit yang menyebabkan pengeluaran ADP, sehingga trombosit melekat satu sama lain.
Hal ini akan menyebabkan trombosit akan dihancurakan oleh RES sehingga terjadi
trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III
mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (DIC), ditandai dengan peningkatan
Fibrinogen Degradation Product (FDP) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.
Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga walaupun
jumlaj trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Disisi lain, aktivasi koagulasi
akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi aktivasi sistem kinin sehingga
memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok.
Hipotesis kedua menyatakan bahwa virus Dengue dapat mengalami perubahan genetik akibat
tekanan sewaktu virus mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh
nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan
peningkatan replikasi virus dan viremia, peingkatan virulensi, dan mempunyai potensi
menimbulkan wabah. Selain itu, beberapa strain virus mempunyai kemampuan untuk
menimbulkan wabah besar. 1

2.8 Diagnosis Banding


1. Demam Chikunguya
a. Biasanya seluruh anggota keluarga dapat terserang
b. Penularannya mirip dengan influenza
c. Masa demam yang lebih pendek dan lebih tinggi dibanding Dengue
d. Manifestasi perdarahan lebih jarang daripada Dengue
e. Manifestasi nyeri sendi lebih menonojol dibanding Dengue
11
f. Pada chikunguya tidak terdapat tanda-tanda syok
2. Idiopatik Trombositopenia Purpura
a. Demam lebih cepat hilang daripada Dengue
b. Tidak ditemukan leukopeni dan hemokonsentrasi
c. Jumlah trombosit lebih cepat kembali normal daripada ITP

2.9. Penatalaksanaan Dengue


Pengobatan DBD bersifat suportif. Tatalaksana didasarkan atas adanya perubahan
fisiologi berupa perembesan plasma dan perdarahan. Perembesan plasma dapat
mengakibatkan syok, anoksia, dan kematian. Deteksi dini terhadap adanya perembesan
plasma dan penggantian cairan yang adekuat akan mencegah terjadinya syok, Perembesan
plasma biasanya terjadi pada saat peralihan dari fase demam (fase febris) ke fase penurunan
suhu (fase afebris) yang biasanya terjadi pada hari ketiga sampai kelima. Oleh karena itu
pada periode kritis tersebut diperlukan peningkatan kewaspadaan. Adanya perembesan
plasma dan perdarahan dapat diwaspadai dengan pengawasan klinis danpemantauan kadar
hematokrit dan jumlah trombosit. Pemilihan jenis cairan danjumlah yang akan diberikan
merupakan kunci keberhasilan pengobatan. Pemberian cairan plasma, pengganti plasma,
tranfusi darah, dan obat-obat lain dilakukan atas indikasi yang tepat.3

1 Demam Dengue
Pasien DD dapat berobat jalan, tidak perlu dirawat. Pada fase demam pasien dianjurkan:3
Tirah baring, selama masih demam.
Obat antipiretik atau kompres hangat diberikan apabila diperlukan.
Untuk menurunkan suhu menjadi <39C, dianjurkan pemberian parasetamol.
Asetosal/salisilat tidak dianjurkan (kontraindikasi) oleh karena dapat meyebabkan
gastritis, perdarahan, atau asidosis.
Dianjurkan pemberian cairan dan elektrolit per oral, jus buah, sirop, susu, di samping
air putih, dianjurkan paling sedikit diberikan selama 2 hari.
Monitor suhu, jumlah trombosit dan hematokrit sampai fase konvalesen.
Pada pasien DD, saat suhu turun pada umumnya merupakan tanda penyembuhan.
Meskipun demikian semua pasien harus diobservasi terhadap komplikasi yang dapat
terjadi selama 2 hari setelah suhu turun. Hal ini disebabkan oleh karena kemungkinan kita
sulit membedakan antara DD dan DBD pada fase demam. Perbedaan akan tampak jelas
saat suhu turun, yaitu pada DD akan terjadi penyembuhan sedangkan pada DBD terdapat
12
tanda awal kegagalan sirkulasi (syok). Komplikasi perdarahan dapat terjadi pada DD tanpa
disertai gejala syok. Oleh karena itu, orang tua atau pasien dinasehati bila terasa nyeri
perut hebat, buang air besar hitam, atau terdapat perdarahan kulit serta mukosa seperti
mimisan, perdarahan gusi, apalagi bila disertai berkeringat dingin, hal tersebut merupakan
tanda kegawatan, sehingga harus segera dibawa segera ke rumah sakit. Pada pasien yang
tidak mengalami komplikasi setelah suhu turun 2 - 3 hari, tidak perlu lagi diobservasi.

2. Demam Berdarah Dengue


Perbedaan patofisilogik utama antara DD/DBD/SSD dan penyakit lain adalah adanya
peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan perembesan plasma dangangguan
hemostasis. Gambaran klinis DBD/SSD sangat khas yaitu demam tinggi mendadak, diastesis
hemoragik, hepatomegali, dan kegagalan sirkulasi. Maka keberhasilan tatalaksana DBD
terletak pada bagian mendeteksi secara dini fase kritis yaitu saat suhu turun (the time of
defervescence) yang merupakan fase awal terjadinya kegagalan sirkulasi, dengan melakukan
observasi klinis disertai pemantauan perembesan plasma dangangguan hemostasis. Prognosis
DBD terletak pada pengenalan awal terjadinya perembesan plasma, yang dapat diketahui dari
peningkatan kadar hematokrit. Fase kritis pada umumnya mulai terjadi pada hari ketiga sakit.
Penurunan jumlah trombosit sampai < 100.000/l atau kurang dari 1-2 trombosit/lpb (rata-
rata dihitung pada 10 lpb) terjadi sebelum peningkatan hematokrit dan sebelum terjadi
penurunan suhu. Peningkatan hematokrit 20% atau lebih mencermikan perembesan plasma
dan merupakan indikasi untuk pemberian cairan. Larutan garam isotonik atau ringer laktat
sebagai cairan awal pengganti volume plasma dapat diberikan sesuai dengan berat ringan
penyakit. Perhatian khusus pada kasus dengan peningkatan hematokrit yang terus menerus
danpenurunan jumlah trombosit <50.000/l.1

Fase Demam
Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana DD, bersifat
simtomatik dan suportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Apabila
cairan oral tidak dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau nyeri perut yang
berlebihan, maka cairan intravena rumatan perlu diberikan. Antipiretik kadang-kadang
diperlukan, tetapi perlu diperhatikan bahwa antipiretik tidak dapat mengurangi lama demam
pada DBD. Steroid tidak memperpendek lamanya penyakit atau memperbaiki prognosis pada
anak yang mendapat terapi pendukung (suportif) yang teliti.1

13
Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul sebagai akibat demam tinggi, anoreksia
dan muntah. Jenis minuman yang dianjurkan adalah jus buah, air teh manis, sirup, susu, serta
larutan oralit. Pasien perlu diberikan minum 50 ml/kgBB dalam 4-6 jam pertama. Setelah
keadaan dehidrasi dapat diatasi anak diberikan cairan rumatan 80-100 ml/kg BB dalam 24
jam berikutnya. Bayi yang masih minum ASI, tetap harus diberikan disamping larutan oralit.
Bila terjadi kejang demam, disamping antipiretik diberikan antikonvulsif selama demam.1
Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian syok yang mungkin terjadi. Periode
kritis adalah waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada umumnya hari ke 3-5 fase demam.
Pemeriksaan kadar hematokrit berkala merupakan pemeriksaan laboratorium yang terbaik
untuk pengawasan hasil pemberian cairan yaitu menggambarkan derajat kebocoran plasma
dan pedoman kebutuhan cairan intravena. Hemokonsentrasi pada umumnya terjadi sebelum
dijumpai perubahan tekanan darah dan tekanan nadi. Hematokrit harus diperiksa minimal
satu kali sejak hari sakit ketiga sampai suhu normal kembali. Bila sarana pemeriksaan
hematokrit tidak tersedia, pemeriksaan hemoglobin dapat dipergunakan sebagai alternatif
walaupun tidak terlalu sensitif.1

Penggantian Volume Plasma


Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma, yang terjadi pada fase penurunan
suhu (fase afebris, fase krisis, fase syok) maka dasar pengobatannya adalah penggantian
volume plasma yang hilang. Walaupun demikian, penggantian cairan harus diberikan dengan
bijaksana dan berhati-hati. Kebutuhan cairan awal dihitung untuk 2-3 jam pertama,
sedangkan pada kasus syok mungkin lebih sering (setiap 30-60 menit). Tetesan dalam 24-28
jam berikutnya harus selalu disesuaikan dengan tanda vital, kadar hematokrit, dan jumlah
volume urin. Penggantian volume cairan harus adekuat, seminimal mungkin mencukupi
kebocoran plasma. Secara umum volume yang dibutuhkan adalah jumlah cairan rumatan
ditambah 5-8%.
Cairan intravena diperlukan, apabila (1) terus menerus muntah, tidak mau minum,
demam tinggi sehingga tidak rnungkin diberikan minum per oral, ditakutkan terjadinya
dehidrasi sehingga mempercepat terjadinya syok. (2) Nilai hematokrit cenderung meningkat
pada pemeriksaan berkala. Jumlah cairan yang diberikan tergantung dari derajat dehidrasi dan
kehilangan elektrolit, dianjurkan cairan glukosa 5% di dalam larutan NaCl 0,45%. Bila
terdapat asidosis, diberikan natrium bikarbonat 7,46% 1-2 ml/kgBB intravena bolus perlahan-
lahan.

14
Apabila terdapat hemokonsentrasi 20% atau lebih maka komposisi jenis cairan yang
diberikan harus sama dengan plasma. Volume dan komposisi cairan yang diperlukan sesuai
cairan untuk dehidrasi pada diare ringan sampai sedang, yaitu cairan rumatan + defisit 6% (5
sampai 8%), lihat tabel 2.

Tabel 2. Kebutuhan Cairan Pada Dehidrasi Sedang ( Defisit 5 8%)


Berat Waktu Masuk (Kg) Jumlah Cairan ml/kgBB/jam
<15 7
15-40 5
>40 3

Pasien harus dirawat dan segera diobati bila dijumpai tanda-tanda syok yaitu gelisah,
letargi/lemah, ekstrimitas dingin, bibir sianosis, oliguri, dan nadi lemah, tekanan nadi
menyempit (20mmHg atau kurang) atau hipotensi, dan peningkatan mendadak dari kadar
hematokrit atau kadar hematokrit meningkat terus-menerus walaupun telah diberi cairan
intravena.
Pemilihan jenis dan volume cairan yang dibutuhkan tergantung umur, berat badan dan
kehilangan plasma yang disesuaikan dengan derajat hemokosentrasi. Pada anak yang gemuk,
kebutuhan cairan disesuaikan berat badan ideal untuk umur anak yang sama. Kebutuhan
cairan rumatan, lihat tabel 3.

Tabel 3. Kebutuhan cairan rumatan


Berat Badan (Kg) Jumlah Cairan (ml)
10 100/kgBB
10-20 1000 + 50 x kg ( BB > 10)
>20 1000 + 20 x kg (BB > 20)

Jenis Cairan
Larutan kristaloid yang direkomendasi WHO adalah larutan ringer laktat (RL) atau
dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL), ringer asetat (D5/RA), 5% dalam
larutan ringer asetat (D5/RA), NaCl 0,9% atau dekstrosa 5% dalam larutan garam faali.
Untuk resusitasi syok dipergunakan larutan RL atau RA tidak boleh larutan yang
15
mengandung dekstran. Sedangkan larutan koloid adalah dekstran 40 dan plasma darah.
Transfusi darah segar atau suspensi atau trombosit dalam plasma mungkin diperlukan
untuk mengendalikan perdarahan; transfusi ini tidak boleh diberikan selama
hemokonsentrasi tetapi hanya sesudah evaluasi harga hemoglobin atau hematokrit.3

2 Sindrom Syok Dengue


Syok merupakan keadaan kegawatan. Cairan pengganti adalah pengobatan yang
utama yang berguna untuk memperbaiki kekurangan volume plasma. Pasien anak akan cepat
mengalami syok dan sembuh kembali bila diobati segera dalam 48 jam. Pada penderita SSD
dengan tensi tak terukur dan tekanan nadi <20 mm Hg segera berikan cairan kristaloid
sebanyak 20 ml/kg BB/jam seiama 30 menit, bila syok teratasi turunkan menjadi 10
ml/kgBB.1

Penggantian Volume Plasma Segera


Pengobatan awal cairan intravena larutan ringer laktat >20 ml/kgBB. Tetesan
diberikan secepat mungkin maksimal 30 menit. Pada anak dengan berat badan lebih, diberi
cairan sesuai berat BB ideal dan umur, bila tidak ada perbaikan pemberian cairan kristoloid
ditambah cairan koloid. Apabila syok belum dapat teratasi setelah 60 menit beri cairan
kristaloid dengan tetesan 10 ml/kgBB/jam bila tidak ada perbaikan stop pemberian kristaloid
dan beri cairan koloid (dekstran 40 atau plasma) 10 ml/kgBB/jam. Pada umumnya pemberian
koloid tidak melebihi 30 ml/kgBB. Maksimal pemberian koloid 1500 ml/hari, sebaiknya
tidak diberikan pada saat perdarahan. Setelah pemberian cairan resusitasi kristaloid dan
koloid syok masih menetap sedangkan kadar hematokrit turun, diduga sudah terjadi
perdarahan; maka dianjurkan pemberian transfusi darah segar. Apabila kadar hematokrit tetap
> tinggi, maka berikan darah dalam volume kecil (10 ml/kgBB/jam) dapat diulang sampai 30
ml/kgBB/24jam. Setelah keadaan klinis membaik, tetesan infus dikurangi bertahap sesuai
keadaan klinis dankadar hematokrit.2

Pemeriksaan Hematokrit untuk Memantau Penggantian Volume Plasma


Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda vital telah membaik dan
kadar hematokrit turun. Tetesan cairan segera diturunkan menjadi 10 ml/kg BB/jam dan
kemudian disesuaikan tergantung dari kehilangan plasma yang terjadi selama 24-48 jam.

16
Pemasangan CVP yang ada kadangkala pada pasien SSD berat, saat ini tidak dianjurkan
lagi.2
Cairan intravena dapat dihentikan apabila hematokrit telah turun, dibandingkan
nilai Ht sebelumnya. Jumlah urin/ml/kg BB/jam atau lebih merupakan indikasi bahwa
keadaaan sirkulasi membaik. Pada umumnya, cairan tidak perlu diberikan lagi setelah 48
jam syok teratasi. Apabila cairan tetap diberikan dengan jumlah yang berlebih pada saat
terjadi reabsorpsi plasma dari ekstravaskular (ditandai dengan penurunan kadar hematokrit
setelah pemberian cairan rumatan), maka akan menyebabkan hipervolemia dengan akibat
edema paru dan gagal jantung. Penurunan hematokrit pada saat reabsorbsi plasma ini
jangan dianggap sebagai tanda perdarahan, tetapi disebabkan oleh hemodilusi. Nadi yang
kuat, tekanan darah normal, diuresis cukup, tanda vital baik, merupakan tanda terjadinya
fase reabsorbsi. 2

Koreksi Gangguan Metabolik dan Elektrolit


Hiponatremia dan asidosis metabolik sering menyertai pasien DBD/SSD, maka
analisis gas darah dan kadar elektrolit harus selalu diperiksa pada DBD berat. Apabila
asidosis tidak dikoreksi, akan memacu terjadinya DIC, sehingga tatalaksana pasien menjadi
lebih kompleks. Pada umumnya, apabila penggantian cairan plasma diberikan secepatnya dan
dilakukan koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat, maka perdarahan sebagai akibat DIC,
tidak akan tejadi sehingga heparin tidak diperlukan. 3

Pemberian Oksigen
Terapi oksigen 2 liter per menit harus selalu diberikan pada semua pasien syok.
Dianjurkan pemberian oksigen dengan mempergunakan masker, tetapi harus diingat pula
pada anak seringkali menjadi makin gelisah apabila dipasang masker oksigen.3

Transfusi Darah
Pemeriksaan golongan darah cross-matching harus dilakukan pada setiap pasien syok,
terutama pada syok yang berkepanjangan (prolonged shock). Pemberian transfusi darah
diberikan pada keadaan manifestasi perdarahan yang nyata. Kadangkala sulit untuk
mengetahui perdarahan interna (internal haemorrhage) apabila disertai hemokonsentrasi.
Penurunan hematokrit (misalnya dari 50% menjadi 40%) tanpa perbaikan klinis walaupun
telah diberikan cairan yang mencukupi, merupakan tanda adanya perdarahan. Pemberian
darah segar dimaksudkan untuk mengatasi pendarahan karena cukup mengandung plasma, sel

17
darah merah dan faktor pembesar trombosit. Plasma segar dan atau suspensi trombosit
berguna untuk pasien dengan KID dan perdarahan masif. KID biasanya terjadi pada syok
berat dan menyebabkan perdarahan masif sehingga dapat menimbulkan kematian.
Pemeriksaan hematologi seperti waktu tromboplastin parsial, waktu protombin, dan
fibrinogen degradation products harus diperiksa pada pasien syok untuk mendeteksi
terjadinya dan berat ringannya KID. Pemeriksaan hematologis tersebut juga menentukan
prognosis.2,3

Monitoring
Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi secara teratur untuk
menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan pada monitoring adalah:
Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap 15-30 menit atau
lebih sering, sampai syok dapat teratasi.
Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sekali sampai keadaan klinis pasien
stabil.
Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai jenis cairan, jumlah,
dan tetesan, untuk menentukan apakah cairan yang diberikan sudah mencukupi.
Jumlah dan frekuensi diuresis.
Pada pengobatan syok, kita harus yakin benar bahwa penggantian volume
intravaskuler telah benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis belum cukup 1
ml/kg/BB, sedang jumlah cairan sudah melebihi kebutuhan diperkuat dengan tanda
overload antara lain edema, pernapasan meningkat, maka selanjutnya furosemid 1
mg/kgBB dapat diberikan. Pemantauan jumlah diuresis, kadar ureum dan kreatinin tetap
harus dilakukan. Tetapi, apabila diuresis tetap belum mencukupi, pada umumnya syok
belum dapat terkoreksi dengan baik, maka pemberian dopamin perlu dipertimbangkan.
Mengingat pada saat awal pasien datang, kita belum selalu dapat menentukan
diagnosis DD/DBD dengan tepat, maka sebagai pedoman tatalaksana awal adalah sebagai
berikut.1

Bagan 1: Tatalaksana Kasus Tersangka DBD/ Infeksi Virus Dengue

18
Bagan 2: Tatalaksana Kasus Tersangka DBD (Rawat Inap) atau Demam Dengue

19
Bagan 3: Tatalaksana DBD Derajat I dan II

20
Bagan 4: Tatalaksana DBD Derajat III & IV atau DSS.

21
22
Kriteria Memulangkan Pasien
Pasien dapat dipulang apabila, memenuhi semua keadaan dibawah ini :
1. Tampak perbaikan secara klinis
2. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
3. Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis)
4. Hematokrit stabil
5. Jumlah trombosit cenderung naik > 50.000/l
6. Tiga hari setelah syok teratasi
7. Nafsu makan membaik

2.10. Pencegahan
Prinsip yang tepat dalam pencegahan DBD ialah sebagai berikut :
a Memanfaatkan perubahan keadaan nyamuk akibat pengaruh alamiah dengan
melaksanakan pemberantasan vektor pada saat sedikit terdapatnya kasus DBD.
b Memutuskan lingkaran penularan dengan menahan kepadatan vektor pada tingkat
sangat rendah untuk memberikan kesempatan penderita viremia sembuh secara
spontan.
c Mengusahakan pemberantasan vektor di pusat daerah penyebaran yaitu di sekolah,
rumah sakit termasuk pula daerah penyangga sekitarnya.
d Mengusahakan pemberantasan vektor di semua daerah berpotensi penularan tinggi.

2.11. Komplikasi
Ensefalopati Dengue
Pada umumnya ensefalopati dengue diduga terjadi sebagai komplikasi syok yang
berkepanjangan, disfungsi hati, edema otak, perdarahan kapiler serebral, gangguan
metabolik seperti hipoksemia atau hiponatremia serta trombosis pembuluh darah otak
sementara sebagai akibat dari koagulasi intravaskular diseminata (KID) atau DIC.
Pada ensefalopati dengue, kesadaran pasien menurun menjadi apati atau somnolen,
dengan atau tanpa disertai kejang, dan dapat terjadi pada DBD/SSD. Untuk memastikan
adanya ensefalopati, bila ada syok harus diatasi terlebih dahulu. Pungsi lumbal dikerjakan
bila syok telah teratasi dan kesadaran tetap menurun (hati-hati bila jumlah trombosit
<50.000/L). Pada ensefalopati dengue dapat dijumpai peningkatan kadar transaminase
(SGOT/SGPT), PT, dan PTT memanjang, kadar gula darah menurun, alkalosis pada
analisa gas darah, dan hiponatremia (bila mungkin kadar amoniak darah).
23
Pada enselopati cenderung terjadi edema otak dan alkalosis, maka bila syok telah
teratasi, selanjutnya cairan diganti dengan cairan yang tidak mengandung HCO 3 dan
jumlah cairan harus segera dikurangi. Larutan laktat ringer dekstrosa segera ditukar
dengan larutan NaCl (0.9%) : glukosa (5%) = 3:1. Untuk mengurangi edema otak
diberikan kortikosteroid, tetapi bila terdapat perdarahan saluran cerna sebaiknya
kortikosteroid tidak diberikan. Bila terdapat disfungsi hati, maka diberikan vitamin K
intravena 3-10 mg selama 3 hari, kadar gula darah diusahakan >60 mg%. Perawatan jalan
nafas dengan pemberian oksigen yang adekuat. Untuk mengurangi produksi amoniak
dapat diberikan neomisin dan laktulosa. Usahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak
diperlukan (misalnya anatsid, anti muntah) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat
dalam hati. Transfusi darah segar atau komponen dapat diberikan atas indikasi yang tepat.
Bila perlu dilakukan transfusi tukar. Pada masa penyembuhan dapat diberikan asam amino
rantai pendek.

Kelainan Ginjal
Gagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai akibat dari
syok yang tidak teratasi dengan baik. Dapat dijumpai sindrom uremik hemolitik walaupun
jarang. Untuk mencegah gagal ginjal maka setelah syok diobati dengan menggantikan
volume intravaskular, penting diperhatikan apakah benar syok telah teratasi dengan baik.
Diuresis merupakan parameter yang penting dan mudah dikerjakan, untuk mengetahui
apakah syok telah teratasi. Diuresis diusahakan >1ml/kgBB/jam. Oleh karena bila syok
belum teratasi dengan baik, sedangkan volume cairan telah dikurangi dapat terjadi syok
berulang. Pada keadaan syok berat seringkali dijumpai acute tubulular nekrosis, ditandai
dengan penurunan jumlah urin, dan peningkatan kadar ureum dan kreatinin.1

Edema Paru
Edema pari adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat pemberian
cairan yang berlebihan (overload). Pemberian caian pada hari sakit ketiga sampai kelima
sesuai panduan yang diberikan, biasanya tidak akan menyebabkan edema paru oleh karena
perembesan plasma masih terjadi. Akan tetapi apabila pada saat terjadi reabsorbsi plasma
dari ruang ekstravaskular, cairan masih diberikan (kesalahan terjadi bila hanya melihat
penurunan kadar hemoglobin dan hematokrit tanpa memperhatikan hari sakit) pasien akan
mengalami distress pernafasan, disertai sembab pada kelopak mata, dan ditunjang dengan

24
gambaran edema paru pada foto dada. Gambaran edema paru harus dibedakan dengan
perdarahan paru.1

2.12. Prognosis
Pasien DD dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD dirawat di ruang perawatan
biasa. Bila tidak disertai renjatan dalam 24 36 jam, biasanya prognosis akan menjadi
baik. Pasien dapat dipulang apabila memenuhi semua keadaan sebagai berikut: tampak
perbaikan secara klinis, tidak demam selain 24 jam tanpa antipiretik, tidak dijumpai distres
pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis), hematokrit stabil, jumlah
trombosit cenderung naik > 50.000/pl, tiga hari setelah syok teratasi, dan nafsu makan
membaik. Kalau lebih dari 36 jam belum ada tanda perbaikan, kemungkinan sembuh kecil
dan prognosisnya menjadi buruk. Penyebab kematian demam berdarah dengue cukup
tinggi yaitu 41,5 %. penderita dengan syok, tetapi dengan perawatan intensif yang cukup
kematian akan kurang dari 2%. Secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan antara jenis
kelamin penderita demam berdarah dengue, tetapi kematian lebih banyak ditemukan pada
anak perempuan daripada laki laki. Ketahanan hidup secara langsung terkait dengan
manajemen awal dan intensif.1

BAB III
25
PENUTUP

Demam Berdarah Dengue merupakan demam yang disebabkan virus dengue,


memiliki spektrum klinis yang luas dan dapat membahayakan jiwa jika tidak ditangani
dengan baik dan hati-hati. Namun dengan penatalaksanaan yang tepat, prognosis pemyakit
menjadi lebih baik. Hal yang paling penting adalah mencegah pasien masuk ke dalam
keadaan syok untuk menurunkan CFR.

DAFTAR PUSTAKA

26
1. Fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Buku kuliah ilmu kesehatan anak. Jakarta:
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;2007.
2. Hadinegoro SRH, Soegijanto S, Wuryadi S, Suroso T. Tatalaksana demam berdarah
dengue di Indonesia. Jakarta: Departemen Keserhatan; 2006.
3. WHO. Dengue guidelines for diagnosis, treatment, prevention, and control. New
Edition. France:WHO;2009.
4. Ministry of Health Republic of Indonesia. Indonesia health profile 2010. Jakarta:
Ministry of Health republic of Indonesia; 2011.
5. Simmons CP, Farrar JJ, Chau NVV, Wills B. Dengue. N Engl J Med 2012; 366:1423-
1432.

27

You might also like