You are on page 1of 15

1

LAPORAN PENDAHULUAN
ST ELEVASI MIOKARD INFARK (STEMI)

Oleh:

Vinda Nordiana Santoso

1401100011

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
JURUSAN KEPERAWATAN
D III KEPERAWATAN MALANG
2

Maret 2017

LAPORAN PENDAHULUAN PADA KLIEN DENGAN STEMI


(ST Elevation Myocardial Infarction)

A. Definisi
ST elevation myocardial infarction (STEMI) merupakan salah satu
spektrum sindroma koroner akut yang paling berat. Sindroma koroner akut
(SKA) merupakan satu subset akut dari penyakit jantung koroner (PJK) (Firdaus
I, 2012). SKA merupakan spektrum klinis yang mencakup angina tidak stabil,
infark mikard akut tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI) dan infark miokard akut
dengan elevasi segmen ST (STEMI) (Myrtha R, 2011).

(a)

(b)
Gambar 1. (a) gambaran EKG jantung normal; (b) gambaran EKG jantung
STEMI

B. Etiologi
Umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak
setelah oklusi trombus pada plak ateroskerotik yang sudah ada sebelumnya. Ini
disebabkan karena injuri yang disebabkan oleh faktor-faktor seperti merokok,
hipertensi, dan akumulasi lipid (Nurarif AH & Hardhi K, 2013). Penyebab lain
infark tanpa aterosklerosis koronaria antara lain emboli arteri koronaria, anomali
3

arteri koronaria kongenital, spasme koronaria terisolasi, arteritis trauma,


gangguan hematologik, dan berbagai penyakit inflamasi sistemik (Libby, Bonow,
Mann, Zipes, 2008).

C. Diagnosis IMA
Diagnosis IMA dengan elevasi segmen ST ditegakkan berdasarkan
anamnesis nyeri dada yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST >2 mm,
minimal pada 2 sandapan prekordial yang berdampingan atau >1 mm pada 2
sandapan ekstremitas. Pemeriksaan enzim jantung terutama troponin T yang
meningkat akan memperkuat diagnosis (Santoso & Setiawan, 2005).
Pemeriksaan fisik menunjukkan pasien tampak cemas dan tidak bisa
beristirahat (gelisah) dengan ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi
nyeri dada substernal >30 menit dan banyak keringat merupakan kecurigaan kuat
adanya STEMI (Sudoyo AW dkk, 2010).

D. Patofisiologi
Infark miokard (serangan jantung) terjadi ketika arteri korener (setidaknya
sebagian) tiba-tiba terhalang oleh bekuan darah yang menyebabkan setidaknya
beberapa dari otot jantung yang mendapat suplai darah oleh arteri menjadi infark
(mati). Pada kasus STEMI arteri koroner benar-benar diblokir oleh bekuan darah
dan sebagai hasilnya hampir semua otot jantung yang disuplai oleh arteri yang
terkena mulai mati (Fogoros RN, 2008).
Serangan jantung tipe ini biasanya ditunjukkaan oleh perubahan
karakteristik pada hasil EKG. Slah satu perubahan EKG adalah elevasi pada
segmen ST. Segmen ST yang tinggi menunjukkan bahwa terjadi kerusakan
otot jantung yang relatif besar (karena arteri koroner benar-benar tersumbat)
(Fogoros RN, 2008). Faktor risiko biologis infark miokard yang tidak dapat
diubah yaitu usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga. sedangkan faktor
risiko yang masih dapat diubah, sehingga berpotensi dapat memperlambat proses
aterogenik, antara lain kadar serum lipid, hipertensi, merokok, gangguan
toleransi glukosa, dan diet yang tinggi lemak jenuh, kolesterol, serta kalori
(Santoso & Setiawan, 2005).
4

Faktor
penyebab
injuri vaskular: Endapan Endapan
lipoprotein di lipoprotein di
1. Merokok tunika intima tunika intima
Lesi
2. komplikata
Hipertensi Flaque fibrosa Invasi dari
3. Akumulasi akumulasi dari lipid

Aterosklerosis Penyempitan/ Penurunan suplai


obtruksi arteri darah ke miokard
koroner
Ketidakefektifan Iskemia Tidak seimbang
perfusi jaringan kebutuhan dengan
perifer suplai oksigen
Penurunann Infark Miokard Metabolisme
kontraktilitas anaerob meningkat
miokard Komplikasi:
Kelemahan miokard 1. Gagal jantung Asaam laktat
Vol akhir diastolik kongesti
2. Perikarditis Nyeri dada
ventrikel kiri
3. Ruptur jantung
4. Aneurisma
Tekanan atrium kiri
jantung
Tekanan vena 5. Defek septum
pulmonalis Nyeri
ventrikel akut Kurang informasi
meningkat 6. Disfungsi otot Tidak tahu kondisi
Hipertensi kapiler Odem paru
papilars dan pengobatan
paru
Penurunan curah Gangguan (klien dan keluarga
jantung Kurang
pertukaran gas bertanya)
Suplai darah ke pengetahuan
jaringan tidak Kemahan fisik Intoleransi
Gambar
adekuat
2. Patofisiologi STEMI dan Masalah Keperawatan
aktivitas
E. Tanda dan Gejala
Gambaran klinis infark miokard umumnya berupa nyeri dada substernum
yang terasa berat, menekan, seperti diremas-remas dan terkadang dijalarkan ke
leher, rahang, epigastrium, bahu, atau lengan kiri, atau hanya rasa tidak enak di
dada. IMA sering didahului oleh serangan angina pektoris pada sekitar 50%
pasien. Namun, nyeri pada IMA biasanya berlangsung beberapa jam sampai hari,
jarang ada hubungannya dengan aktivitas fisik dan biasanya tidak banyak
berkurang dengan pemberian nitrogliserin, nadi biasanya cepat dan lemah, pasien
juga sering mengalami diaforesis. Pada sebagian kecil pasien (20% sampai 30%)
IMA tidak menimbulkan nyeri dada. Silent AMI ini terutama terjadi pada pasien
dengan diabetes mellitus dan hipertensi serta pada pasien berusia lanjut (Robbins
SL, Cotran RS, Kumar V, 2007; Sudoyo AW dkk, 2010).
5

F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sebagai bagian dalam tatalaksana
pasien STEMI tetapi tidak boleh menghambat implementasi terapi reperfusi.
Pemeriksaan petanda kerusakan jantung yang dianjurkan adalah creatinin kinase
(CK) MB dan cardiac specific troponin (cTn) T atau cTn I, yang dilakukan secara
serial. cTn digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai
kerusakan otot skeletal karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan
CKMB (Sudoyo AW dkk, 2010).
. Terapi reperfusi diberikan segera mungkin pada pasien dengan elevasi
ST dan gejala IMA serta tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker.
Peningkatan nilai enzim diatas dua kali nilai batas atas normal menunjukkan
adanya nekrosis jantung (Sudoyo AW dkk, 2010).
1. CKMB meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak
dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi jantung,
miokarditis, dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB.
2. cTn : ada dua jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2 jam
bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T
masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari sedangkan cTn I setelah 5-10 hari.
Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu mioglobin, creatinine kinase (CK),
Lactic dehydrogenase (LDH). Reaksi non spesifik terhadap injuri miokard adalah
leukositosis polimorfonuklear yang dapat terjadi dalam beberapa jam setelah onset
nyeri dan menetap selama 3-7 hari. Leukosit dapat mencapai 12.000-15.000/ul
(Sudoyo AW dkk, 2010).
Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua pasien dengan
nyeri dada atau keluhan yang dicurigai STEMI, dalam waktu 10 menit sejak
kedatangan di IGD sebagai landasan dalam menentukan keputusan terapi
reperfusi. Jika pemeriksaan EKG awal tidak diagnostik untuk STEMI tetapi pasien
tetap simptomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serian dengan
interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12 sandapan secara kontinyu harus
dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST. EKG sisi
kanan harus diambil pada pasien dengan STEMI inferior, untuk mendeteksi
kemungkinan infark ventrikel kanan (Sudoyo AW dkk, 2010).

G. Penatalaksanaan Medis
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah mendiagnosis secara cepat,
menghilangkan nyeri dada, menilai dan mengimplementasikan strategi reperfusi
yang mungkin dilakukan, memberi antitrombotik dan anti platelet, memberi obat
penunjang. Terdapat beberapa pedoman (guideline) dalam tatalaksana IMA
dengan elevasi ST yaitu dari ACC/AHA tahun 2009 dan ESC tahun 2008, tetapi
perlu disesuaikan dengan kondisi sarana/fasilitas di masing-masing tempat dan
kemampuan ahli yang ada (Sudoyo AW dkk, 2010; Fauci et al, 2010).
1. Oksigen : suplemen oksigen harus diberikan ada pasien dengan saturasi
oksigen <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan
oksigen selama 6 jam pertama.
6

2. Nitrogliserin : Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan


dosis 0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit.
Morfin : sangat efektif dalam mengurangi nyeri dada dan merupakan
analgesik pilihan dalam tatalaksana STEMI. Morfin dapat diberikan
dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit sampai
dosis total 20 mg.
Aspirin : merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI
dan efektif pada spektrum sindroma koroner akut. Inhibisi cepat
siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2
dicapai dengan absorpsi aspirin bukal dengan dosis 160-325 mg di ruang
emergensi. Selanjutnya diberikan peroral dengan dosis 75-162 mg.
Penyekat Beta : Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada,
pemberian penyekat beta intravena dapat efektif. Regimen yang biasa
diberikan adalah metoprolol 5 mg tiap 2-5 menit sampai total 3 dosis,
dengan syarat frekuensi jantung > 60 kali permenit, tekanan darah sistolik
> 100 mmHg, interval PR < 0,24 detik dan ronki tidak lebih dari 10 cm dari
diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan
metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam selama 48 jam, dan
dilanjutkan dengan 100 mg tiap 12 jam (Sudoyo AW dkk, 2010).

H. Masalah Keperawatan
Anamnesis (Doenges, 2000)
1. Aktifitas
Gejala : Kelemahan, kelelahan
Tanda : Takikardi, dispnea pada istirahat atau aktifitas.
2. Sirkulasi
Gejala : riwayat IMA sebelumnya, penyakit arteri koroner, masalah tekanan
darah, diabetes mellitus.
Tanda :
a) Tekanan darah, dapat normal / naik / turun, perubahan postural dicatat
dari tidur sampai duduk atau berdiri.
b) Nadi: Dapat normal , penuh atau tidak kuat atau lemah / kuat
kualitasnya dengan pengisian kapiler lambat, tidak teratur (disritmia).
c) Bunyi jantung: Bunyi jantung ekstra : S3 atau S4 mungkin
menunjukkan gagal jantung atau penurunan kontraktilits atau
komplain ventrikel.
d) Murmur: Bila ada menunjukkan gagal katup atau disfungsi otot
jantung
e) Friksi ; dicurigai Perikarditis.
f) Irama jantung dapat teratur atau tidak teratur
g) Edema: Distensi vena juguler, edema dependent , perifer, edema
umum, krekles mungkin ada dengan gagal jantung atau ventrikel.
h) Warna : Pucat atau sianosis, kuku datar , pada membran mukossa atau
bibir
3. Integritas ego
7

Gejala : menyangkal gejala penting atau adanya kondisi takut mati, perasaan
ajal sudah dekat, marah pada penyakit atau perawatan, khawatir tentang
keuangan , kerja , keluarga.
Tanda : menoleh, menyangkal, cemas, kurang kontak mata, gelisah, marah,
perilaku menyerang, fokus pada diri sendiri, koma nyeri.
4. Eliminasi
Tanda : normal, bunyi usus menurun.
5. Makanan atau cairan
Gejala : mual, anoreksia, bersendawa, nyeri ulu hati atau rasa terbakar
Tanda : berkeringat, muntah, perubahan berat badan
6. Higiene
Gejala atau tanda : kesulitan melakukan tugas perawatan
7. Neurosensori
Gejala : pusing, berdenyut selama tidur atau saat bangun (duduk atau istrahat )
Tanda : perubahan mental, kelemahan
8. Nyeri atau ketidaknyamanan
Gejala :
a) Nyeri dada yang timbulnya mendadak (dapat atau tidak berhubungan dengan
aktifitas ), tidak hilang dengan istirahat atau nitrogliserin (meskipun
kebanyakan nyeri dalam dan viseral).
b) Lokasi : Tipikal pada dada anterior, substernal , prekordial, dapat menyebar
ke tangan, ranhang, wajah. Tidak tertentu lokasinya seperti epigastrium,
siku, rahang, abdomen, punggung, leher.
c) Kualitas : Crushing , menyempit, berat, menetap, tertekan.
d) Intensitas : Biasanya 10 (pada skala 1 -10), mungkin pengalaman nyeri
paling buruk yang pernah dialami.
Catatan : nyeri mungkin tidak ada pada pasien pasca operasi, diabetes mellitus,
hipertensi, lansia
9. Pernafasan
Gejala : dispnea saat aktivitas ataupun saat istirahat, dispnea nokturnal, batuk
dengan atau tanpa produksi sputum, riwayat merokok, penyakit pernafasan
kronis.
Tanda : peningkatan frekuensi pernafasan, nafas sesak / kuat, pucat, sianosis
bunyi nafas ( bersih, krekles, mengi ), sputum

I. Diagnosa Keperawatan ((NANDA International, 2009; Nurarif AH & Hardhi K,


2013)
1. Nyeri akut b.d agen injuri (fisik) iskemia jaringan sekunder terhadap sumbatan
arteri.
2. Penurunan curah jantung b.d perubahan faktor-faktor listrik, penurunan
karakteristik miokard.
3. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b.d iskemik, kerusakan otot jantung,
penyempitan/ penyumbatan pembuluh darah arteri koronaria.
8

4. Gangguan pertukaran gas b.d gangguan aliran darah ke alveoli atau kegagalan
utama paru, perubahan membran alveolar-kapiler (atelektasis, kolaps jalan
napas/ alveolar edem paru/ efusi, sekresi berlebihan/ perdarahan aktif)
5. Ansietas b.d ancaman aktual terhadap integritas biologis
6. Kurang pengetahuan b.d kurang informasi tentang fungsi jantung/ implikasi
penyakit jantung.
7. Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplai oksigen miokard dan
kebutuhan, adanya iskemia/ nekrosis jaringan miokard.

J. Diagnosa dan Intervensi

1. Nyeri akut berhubungan dengan iskemia jaringan miokardium.

Kriteria hasil: Mengidentifikasi metode yang dapat menghilangkan nyeri,melaporkan


nyeri hilang atau terkontrol.

Intervensi :

Intervensi Rasional

Kolaboratif

Berikan obat-obatan sesuai indikasi:

1. Agen non steroid, mis: 1. Dapat menghilangkan nyeri, menurunkan


indometasin(indocin);, respon inflamasi.
ASA(aspirin)
2. Untuk menurunkan demam dan
2. Antipiretik mis: ASA/asetaminofen meningkatkan kenyamanan.
(tylenol)
3. Diberikan untuk gejala yang lebih berat.
3. Steroid
4. Memaksimalkan ketersediaan oksigen
4. Oksigen 3-4 liter/menit untuk menurunkan beban kerja jantung dan
menurunkan ketidaknyamanan karena
iskemia.

Mandiri

1. Selidiki keluhan nyeri dada, 1. Mengetahui lokasi dan derajat nyeri. Pada
memperhatikan awitan, faktor iskemia miokardium nyeri dapat memburuk
pemberat atau penurun dengan inspirasi dalam, gerakan atau
berbaring dan hilang dengan duduk tegak
atau membungkuk.

2. Memberikan lingkungan yang tenang dan


tidakan kenyamanan. Mislanya merubah
posisi, menggunakan kompres hangat, dan
menggosok punggung

1. Tindakan ini dapat meningkatkan


kenyamanan fisik dan emosional
pasien.
9

2. Resiko terhadap penurunan curah jantung berhubungan dengan penurunan


konstriksi fungsi ventrikel, degenerasi otot jantung.

Kriteria hasil: Menurunkan episode dispnea, angina dan disritmia. Mengidentifikassi


perilaku untuk menurunkan beban kerja jantung.

Intervensi :

Intervensi Rasional

Mandiri

1. Pantau irama dan frekuensi jantung 1. Takikardia dan disritmia dapat


terjadi saat jantung berupaya untuk
meningkatkan curahnya berespon
terhadap demam. Hipoksia, dan
asidosis karena iskemia.

2. Auskultasi bunyi jantung. 2. Memberikan deteksi dini dari


Perhatikan jarak / tonus jantung, terjadinya komplikasi misalnya
murmur, gallop S3 dan S4. GJK, tamponade jantung.

3. Menurunkan beban kerja jantung,


memaksimalkan curah jantung
3. Dorong tirah baring dalam posisi
semi fowler 4. Meningkatkan relaksasi dan
mengarahkan kembali perhatian
4. Berikan tindakan kenyamanan
misalnya perubahan posisi dan
gosokan punggung, dan aktivitas
hiburan dalam toleransi jantung 5. Perilaku ini dapat mengontrol
ansietas, meningkatkan relaksasi
5. Dorong penggunaan teknik dan menurunkan kerja jantung
menejemen stress misalnya latihan
pernapasan dan bimbingan imajinasi

6. Evaluasi keluhan lelah, dispnea, 6. Manifestasi klinis dari GJK yang


palpitasi, nyeri dada kontinyu. dapat menyertai endokarditis atau
Perhatikan adanya bunyi napas miokarditis
adventisius, demam

Kolaboratif

1. Berikan oksigen komplemen 1. Meningkatkan keseterdian oksigen


untuk fungsi miokard dan
menurunkan efek metabolism
anaerob,yang terjadi sebagai akibat
dari hipoksia dan asidosis.

2. Dapat diberikan untuk


meningkatkan kontraktilitas
miokard dan menurunkan beban
10

kerja jantung pada adanya GJK


( miocarditis)
2. Berikan obat obatan sesuai dengan
indikasi misalnya digitalis, diuretik 3. Diberikan untuk mengatasi
pathogen yang teridentifikasi,
mencegah kerusakan jantung lebih
lanjut.

4. prosedur dapat dilakuan di tempat


3. Antibiotic/ anti microbial IV tidur untuk menurunkan tekanan
cairan di sekitar jantung.

5. Penggantian katup mungkin


diperlukan untuk memperbaiki
curah jantung
4. Bantu dalam periokardiosintesis
darurat

5. Siapkan pasien untuk pembedahan


bila diindikasikan

3. Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan b.d menurunya suplai oksegen
ke otot.

Kriteria hasil: mempertahankan atau mendemonstrasikan perfusi jaringan adekuat


secara individual misalnya mental normal, tanda vital stabil, kulit hangat dan kering,
nadi perifer`ada atau kuat, masukan/ haluaran seimbang.

Intervensi:

Intervensi Rasional

Mandiri

1. Evaluasi status mental. Perhatikikan 1. Indicator yang menunjukkan embolisasi


terjadinya hemiparalisis, afasia, sistemik pada otak.
kejang, muntah, peningkatan TD.

2. Selidiki nyeri dada, dispnea tiba-


tiba yang disertai dengan takipnea, 2. Emboli arteri, mempengaruhi jantung
nyeri pleuritik, sianosis, pucat dan / atau organ vital lain, dapat terjadi
sebagai akibat dari penyakit katup, dan/
atau disritmia kronis

3. Tingkatkan tirah baring dengan 3. Dapat mencegah pembentukan atau


tepat migrasi emboli pada pasien endokarditis.
Tirah baring lama, membawa resikonya
sendiri tentang terjadinya fenomena
tromboembolic.
11

4. Meningkatkan sirkulasi perifer dan


aliran balik vena karenanya menurunkan
resiko pembentukan thrombus.

4. Dorong latihan aktif/ bantu dengan


rentang gerak sesuai toleransi.

Kolaborasi Heparin dapat digunakan secara profilaksis


bila pasien memerlukan tirah baring lama,
Berikan antikoagulan, contoh heparin, mengalami sepsis atau GJK, dan/atau
warfarin (coumadin) sebelum/sesudah bedah penggantian katup.

Catatan : Heparin kontraindikasi pada


perikarditis dan tamponade jantung.
Coumadin adalah obat pilihan untuk terapi
setelah penggantian katup jangka panjang,
atau adanya thrombus perifer.

4.Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan gangguan perfusi jaringan

Kriteria Hasil: mempertahankan pola nafas efektif bebas sianosis, dan tanda lain dari
hipoksia.

Intervensi:

Intervensi Rasional

Mandiri:

1. Evaluasi frekuensi pernafasan dan 1. Kecepatan dan upaya mungkin


kedalaman. Contoh adanya dispnea, meningkat karena nyeri, takut,
penggunaan otot bantu nafas, demam, penurunan volume
pelebaran nasal. sirkulasi, hipoksia atau diatensi
gaster.

2. Sianosis bibir, kuku, atau daun


2. Lihat kulit dan membran mukosa telinga menunjukkan kondisi
untuk adanya sianosis. hipoksia atau komplikasi paru

3. Merangsang fungsi
pernafasan/ekspansi paru. Efektif
3. Tinggikan kepala tempat tidur pada pencegahan dan perbaikan
letakkan pada posisi duduk tinggi kongesti paru.
atau semifowler.

Kolaborasi:
12

Berikan tambahan oksigen dengan kanul Meningkatkan pengiriman oksigen ke paru


atau masker, sesuai indikasi untuk kebutuhan sirkulasi khususnya pada
adanya gangguan ventilasi

5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan inflamasi dan degenerasi sel-sel otot


miokard, penurunan curah jantung

Kriteria hasil: menunjukkan toleransi aktivitas, menunjukkan pemahaman tentang


pembatasan terapeutik yang diperlukan.

Intervensi:

Intervensi Rasional

Mandiri

1. Kaji respon pasien terhadap 1. Miokarditis menyebabkan


aktivitas. Perhatikan adanya dan inflamasi dan kemungkinan
perubahan dalam keluhan kerusakan sel-sel miokardial,
kelemahan, keletihan, dan dispnea sebagai akibat GJK. Penurunan
berkenaan dengan aktivitas pengisian dan curah jantung dapat
menyebabkan pengumpulan
2. Pantau frekuensi dan irama cairan dalam kantung perikardial
jantung, tekanan darah, dan bila ada perikarditis. Akhirnya
frekuensi pernapasan sebelum dan endikarditis dapat terjadi dengan
sesudah aktivitas dan selam di disfungsi katup, secara negatif
perluka mempengaruhi curah jantung

3. Mempertahankan tirah baring 2. Membantu derajad dekompensasi


selama periode demam dan sesuai jantung and pulmonal penurunan
indikasi. TD, takikardia, disritmia, takipnea
adalah indikasi intoleransi jantung
4. Membantu klien dalam latihan terhadap aktivitas.
progresif bertahap sesegera
mungkin untuk turun dari tempat 3. Demam meningkatkan kebutuhan
tidur, mencatat respon tanda vital dan konsumsi oksigen, karenanya
dan toleransi pasien pada meningkatkan beban kerja
peningkatan aktivitas jantung, dan menurunkan
toleransi aktivitas
5. Evaluasi respon emosional
4. Pada saat terjadi inflamasi klien
mungkin dapat melakukan
aktivitas yang diinginkan, kecuali
kerusakan miokard permanen.

5. Ansietas akan terjadi karena


proses inflamasi dan nyeri yang di
timbulkan. Dikungan diperlukan
untuk mengatasi frustasi terhadap
hospitalisasi.

Kolaborasi
13

Berikan oksigen suplemen Peningkatan ketersediaan oksigen


mengimbangi peningkatan konsumsi
oksigen yang terjadi dengan aktivitas.

1. Kurang pengetahuan kondisi penyakit

Kriteria hasil : menyatakan pemahaman tentang proses inflamasi, kebutuhan


pengobatan dan kemungkinan komplikasi.

Intervensi

Intervensi Rasional

Mandiri

1. Jelaskan efek inflamasi pada 1. Untuk bertanggung jawab


jantung, ajarkan untuk terhadap kesehatan sendiri, pasien
memperhatikan gejala sehubungan perlu memahami penyebab
dengan komplikasi/berulangnya khusus, pengobatan, dan efek
dan gejala yang dilaporkan dengan jangka panjang yang diharapkan
segera pada pemberi perawatan dari kondisi inflamasi, sesuai
misalny demam, nyeri, dengan tanda/gejala yang
peningkatan berat badan, menunjukkan
peningkatan toleransi terhadap kekambuhan/komplikasi
aktifitas.

2. Anjurkan pasien/orang terdekat


tentang dosis, tujuan dan efek 2. Untuk bertanggung jawab
samping obat: kebutuhan terhadap kesehatan sendiri, pasien
diet/pertimbangan khusus: perlu memahami penyebab
aktivitas yang diizinkan/dibatasi khusus, pengobatan, dan efek
jangka panjang yang diharapkan
dari kondisi inflamasi, sesuai
dengan tanda/gejala yang
3. Kaji ulang perlunya antibiotic menunjukkan
jangka panjang/terapi kekambuhan/komplikasi
antimikrobial
3. Perawatan di rumah sakit
lama/pemberian antibiotic
IV/antimicrobial perlu sampai
kultur darah negative/hasil darah
lain menunjukkan tak ada infeksi.

4. Pemahaman alasan untuk


4. Tekankan pentingnya evaluasi pengawasan medis dan rencana
perawatan medis teratur. Anjurkan untuk/penerimaan tanggung jawab
pasien membuat perjanjian.
14

Daftar Pustaka

Ackley BJ, Ladwig GB. 2011. Nursing Diagnosis Handbook an Evidence-Based


Guide to Planning Care. United Stated of America : Elsevier.

Doenges, E. Marilynn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC.

Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo. 2010. 17th Edition
Harrisons Principles of Internal Medicine. New South Wales : McGraw Hill.

Firdaus I. 2012. Strategi Farmako-invasif pada STEMI Akut. J Kardiol Indones; 33:
266-71.

Fogoros RN. 2008. STEMI-ST Segment Elevation Myocardial Infarction. Heart


Health Center. Diakses pada tanggal 28 April 2013.
http://heartdisease.about.com/od/heartattack/g/STEMI.htm

Libby P, Bonow RO, Mann DL, Zipes DP. 2008. Braunwalds Heart Disease : A
textbook of Cardiovascular Medicine. Philadephia: Elsevier.

Moorhead, Sue, et all. 2008. Nursing Outcomes Classification (NOC) Fourth Edition.
USA: Mosbie Elsevier.

Myrtha R. 2011. Perubahan Gambaran EKG pada Sindrom Koroner Akut (SKA).
CDK 188; 38 (7): 541-542.

NANDA International. 2009. Nursing Diagnosis: Definition and Classification 2009-


2011. USA: Willey Blackwell Publication.

Nurarif AH, Hardhi K. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosis


Medis dan Nanda Nic Noc. Jilid 1. Yogyakarta: Mediaction.

Robbins SL, Cotran RS, Kumar V. 2007. Buku Ajar Patologi Robbins. Jakarta: EGC.

Santoso M, Setiawan T. Penyakit Jantung Koroner. 2005. Cermin Dunia Kedokteran;


147:6-9.

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
edisi V. Jakarta: Interna Publishing.
15

You might also like