You are on page 1of 10

Azyumardi Azra**

Istilah dan konsep Wawasan Nusantara sangat jarang dibicarakan sejak masa masa reformasi
1998. Padahal, dengan penerapan demokrasi liberal multi-partai, seharusnya Wawasan
Nusantara kembali diperkuat. Karena demokrasi liberal multi-partai, berbarengan dengan
penerapan otonomi daerah dan desentralisasi, semangat dan Wawasan Nusantara terlihat
tergerus dan terancam berbagai bentuk fragmentasi, konflik politik, sosial, agama,
kedaerahan. Meski Indonesia selamat dari apa yang disebut sebagai Balkanisasi pada tahun-
tahun awal Reformasi, tetapi benih disintegrasi yang mengancam Wawasan Nusantara tetap
kelihatan bertahan dalam berbagai bentuknya.

Secara sederhana, Wawasan Nusantara dapat dipahami sebagai pandangan dunia (world-
view), konsep dan praksis integrasi, kesatuan dan keutuhan negara-bangsa Indonesia dalam
berbagai aspek kehidupan. Dalam pemahaman seperti ini, negara-bangsa Indonesia adalah
sebuah kesatuan yang utuhmeski juga pada saat yang sama juga terdapat keragaman etnis,
sosial budaya, politik, agama dan seterusnya.

Dalam konteks itu, melihat realitas dan gejala politik, sosial-budaya dan agama, salah satu
tantangan terberat bangsa di hari kini dan ke depan adalah penguatan kembali Wawasan
Nusantara tersebut yang dalam banyak segi merupakan sumber identitas bangsa atau identitas
nasional. Wawasan Nusantara, hemat saya, telah mulai bangkit sejak Kebangkitan Nasional
1908 dan terus menemukan bentuknya pada Sumpah Pemuda 1928 dan perumusan Pancasila
yang kemudian mengalami kristalisasi dengan tercapainya kemerdekaan.

Secara sederhana, sumber Wawasan Nusantara adalah: 1.Semangat kebangsaan


(nasionalisme) Indonesia; 2.Negara-bangsa (nation-state) Indonesia; 3.Dasar negara
Pancasila; 4.Bahasa nasional, bahasa Indonesia; 5.Lagu kebangsaan Indonesia Raya;
6.Semboyan negara, Bhinneka Tunggal Ika; 7.Bendera negara, sangsaka merah putih;
8.Konstitusi negara, UUD 1945; 9. Integrasi wilayah Nusantara; 10.Tradisi dan kebudayaan
daerah yang telah diterima secara luas sebagai bagian integral dari budaya nasional setelah
melalui proses tertentu yang bisa disebut sebagai mengindonesia.

Wawasan Nusantara dalam konteks negara-bangsa Indonesia jelas tidak statis; ia dapat
mengalami penguatan dansebaliknyakemerosotan. Proses mengindonesia yang terus
berlangsung mendapat tantangan bukan hanya secara eksternal, tetapi juga secara internal.
Secara eksternal, arus globalisasi yang terus meningkat dalam berbagai bidang kehidupan,
sejak dari ekonomi, politik sampai budaya, secara signifikan sedikit banyak telah mengubah
lanskap kehidupan Indonesia baik secara politik maupun secara sosial-budaya dan bahkan
agama.

Akibatnya jelas, secara internal terjadi perubahan-perubahan yang tidak selalu


menguntungkan penguatan Wawasan Nusantara. Dalam dasawarsa terakhir, kita menyaksikan
terjadinya disorientasi dan dislokasi ekonomi, politik dan sosial-budaya baik pada tingkat
nasional maupun lokal. Equilibrium belum juga tercapai baik setelah Indonesia mengalami
reformasi dan liberalisasi ekonomi dan politik sejak 1998. Euforia politik dan demokrasi
dengan berbagai ekses terus berlanjut, mengakibatkan menguatnya rasa kecewa dan frustrasi
masyarakat; rasa terpuruk akibatnya terus bertahan mengancam Wawasan Nusantara. Karena
itu, pencapaian equilibrium dalam proses politik demokrasi mesti menjadi sebuah prioritas
yang mendesak.

Hemat saya, ketika para warga negara-bangsa Indonesia tidak memiliki Wawasan Nusantara
yang kuat, atau tidak memberi ruang bagi terciptanya koalisi kepentingan sosial yang dapat
memberdayakan diri dalam Wawasan Nusantara, boleh jadi suatu kekuatan sosial/politik
mengambilalih negara, dan menjadikan kelompok mereka sebagai ekspresi eksklusif
Wawasan Nusantara. Jika ini terjadi, jelas dapat merupakan ancaman serius bagi
kelangsungan negara-bangsa Indonesia.

Krisis Karakter Bangsa

Pembangunan kembali karakter bangsa selain terkait dengan penguatan ulang Wawasan
Nusantara, juga terkait dengan revitalisasi budaya, pendidikan, dan agama; ketiga bidang ini
sendiri juga berkaitan satu sama lain. Ketiga-tiganya berkaitan pada tingkat nilai-nilai yang
sangat penting bagi manusia dalam berbagai aspek kehidupannya. Budaya atau kebudayaan
umumnya mencakup nilai-nilai luhur yang secara tradisional menjadi panutan bagi
masyarakat. Pendidikanselain mencakup proses transfer dan transmissi ilmu pengetahuan
juga merupakan proses yang sangat strategis dalam menanamkan nilai dalam rangka
pembudayaan anak manusia. Sementara itu, agama juga mengandung ajaran tentang berbagai
nilai luhur dan mulia bagi manusia untuk mencapai harkat kemanusiaan dan kebudayaannya.

Tetapi, ketiga sumber nilai yang penting bagi kehidupan itu dalam waktu-waktu tertentu
dapat tidak fungsional sepenuhnya dalam terbentuknya individu dan masyarakat yang
memiliki karakter, keadaban, harkat dan martabat. Budaya, pendidikan dan bahkan agama
terlihat mengalami disorientasi dalam masyarakat kita karena terjadinya perubahan-
perubahan cepat berdampak luas, misalnya, industrialisasi, urbanisasi, modernisasi dan
terakhir sekali globalisasi. Bahkan terdapat peningkatan gejala intoleransi dalam bidang-
bidang tersebut.

Karakter manusia dewasa ini, sejak dari level internasional sampai kepada tingkat nasional
dan lokal, khususnya bangsa kita, kelihatan mengalami disorientasi. Karena itu, harapan dan
seruan dari berbagai kalangan untuk pembangunan kembali watak atau karakter kemanusiaan
menjadi semakin meningkat dan nyaring; dan ini sebuah awal yang baik.

Pada tingkat internasional, perdamaian masih jauh daripada berhasil diwujudkan. Bahkan
hari-hari kita sekarang ini masih menyaksikan, konflik, kekerasan dan perang di berbagai
bagian bumi. Kekerasan dan pembunuhan terus terjadi, misalnya, di Timur Tengah yang
tengah mengalami revolusi rakyat; juga antara Israel dan Palestina, Iraq, dan Afghanistan
yang terus bergejolak akibat pendudukan Amerika, Inggris dan sekutu-sekutunya yang
berkelanjutan, meski demokrasi seolah mulai mendapatkan akarnya di negeri-negeri ini.

Berbagai kekerasan yang mengorbankan nyawa dan harta benda tersebut terkait dengan
masih bertahannya kekerasan struktural (structural violence) pada tingkat internasional
baik dalam bidang politik, ekonomi, militer, teknologi, informasi, dan sosial-budaya.
Akibatnya, perdamaian hakiki tidak atau belum pernah berhasil diwujudkan.

Pembicaraan dan wacana tentang membangun kembali karakter bangsa telah memenuhi
ruang publik negeri kita sejak jatuhnya Presiden Soeharto dari kekuasaannya pada 1998
hingga sekarang ini. Perubahan-perubahan dramatis, cepat dan berjangka panjang dalam
kehidupan politik yang pada gilirannya juga menimbulkan disorientasi sosial dan kultural
memunculkan wacana dan harapan tentang perlunya pembentukan kembali watak bangsa;
ungkapan Presiden pertama RI, Soekarno tentang nation and character building kembali
menemukan relevansinya.

Berakhirnya kekuasaan Orde Baru, berbarengan dengan munculnya krisis dalam berbagai
aspek kehidupan bangsa telah menimbulkan krisis karakter bangsa. Semakin derasnya arus
globalisasi yang membawa berbagai bentuk dan ekspresi budaya global merupakan faktor
tambahan penting yang mengakibatkan pengikisan karakter bangsa berlangsung semakin
lebih cepat dan luas. Akibat lebih lanjut, krisis karakter bangsa menimbulkan disrupsi dan
dislokasi dalam kehidupan sosial dan kultural bangsa, sehingga dapat mengancam integritas
bangsa secara keseluruhan.

Padahal, kita mengharapkan terciptanya masyarakat Indonesia yang memiliki karakter dan
jati diri; berpegang teguh pada nilai-nilai demokratis; menghargai tinggi law and order;
berkeadilan sosial, politik, dan ekonomi; memiliki kesalehan individual formal dan kesalehan
komunal-sosial sekaligus; berkeadaban (civility) dalam lingkup civil society; menghargai
keragaman dan kehidupan multikultural; dan memiliki perspektif lokal, nasional dan global
sekaligus. Daftar ciri-ciri ideal ini tentu saja masih bisa ditambah lagi.

Dalam masa pasca-Soeharto sekarang, kita agaknya hanya mampu mewujudkan sebagian dari
cita-cita pembentukan masyarakat Indonesia yang berkarakter; tetapi masih banyak lagi
agenda yang harus dilakukan. Untuk menyebut satu bidang kehidupan saja, Indonesia
memang menjadi lebih demokratis, bahkan kini mungkin terlalu demokratis. Jika pada
masa Soeharto kita memiliki too little too late democracy, kini kita agaknya mempunyai
too much democracy, yang secara salah masih saja diekspresikan dalam bentuk
demonstrasi yang berkepanjangan. Pilkada yang berlangsung seolah-olah tidak pernah putus
di berbagai daerah sering berujung konflik horizontal, seperti terjadi di berbagai daerah;
keadaban nyaris lenyap dalam aksi-aksi massa yang terlibat dalam pertikaian.

Keadaban (civility) ini penting ditekankan. Karena dalam beberapa tahun terakhir masyarakat
kita cenderung semakin kehilangan keadaban (civility). Kita menyaksikan amuk massa;
tawuran kini tidak lagi hanya terjadi di lingkungan pelajar dan kampung, tetapi juga antar
mahasiswabahkan di lingkungan satu perguruan tinggi. Merosotnya keadaban ini juga bisa
disaksikan pada berbagai kalangan masyarakat lainnya; sejak semakin meluasnya KKN
melalui desentralisasi korupsi yang menumpang otonomi daerah. Banyak anak bangsa telah
kehilangan rasa malu, sehingga keadabannya hampir tidak terlihat sama sekali. Bisa
dipastikan, kenyataan ini merupakan gejala terjelas dari krisis sosial yang semakin parah
dalam masyarakat kita.

Pendidikan Karakter dan Pendidikan Nilai

Berbicara tentang pembangunan kembali karakter, maka cara paling strategis adalah melalui
pendidikan karakterseperti sejak tahun lalu menjadi salah salah satu tema pokok
Depdiknas. Dalam konteks itu, pembicaraan tentang pendidikan karakter, baik kita mulai
dengan ungkapan indah Phillips dalam The Great Learning (2000:11): If there is
righteousness in the heart, there will be beauty in the character; if there is beauty in the
character, there will be harmony in the home; if there is harmony in the home, there will be
order in the nation; if there is order in the nation, there will be peace in the world.

Mempertimbangkan berbagai kenyataan yang kita hadapi, seperti dikemukakan di atas,


pendidikan karakter merupakan langkah penting dan strategis dalam membangun kembali
karakter bangsa. Tetapi penting segara dikemukakansebagaimana terlihat dalam pernyataan
Phillips tadibahwa pendidikan karakter haruslah melibatkan semua pihak; rumahtangga
dan keluarga; sekolah; dan lingkungan sekolah lebih luas (masyarakat). Karena itu, langkah
pertama yang harus dilakukan adalah menyambung kembali hubungan dan educational
networks yang nyaris terputus antara ketiga lingkungan pendidikan ini. Pembentukan watak
dan pendidikan karakter tidak akan berhasil selama antara ketiga lingkungan pendidikan tidak
ada kesinambungan dan harmonisasi.

Dengan demikian, rumahtangga dan keluarga sebagai lingkungan pembentukan watak dan
pendidikan karakter pertama dan utama mestilah diberdayakan kembali. Keluarga hendaklah
kembali menjadi school of love, sekolah untuk kasih sayang. Dalam perspektif Islam,
keluarga sebagai school of love dapat disebut sebagai madrasah mawaddah wa rahmah,
tempat belajar yang penuh cinta sejati dan kasih sayang.

Tidak perlu diungkapkan panjang lebar, Islam memberikan perhatian yang sangat besar
kepada pembinaan keluarga (usrah). Keluarga merupakan basis dari ummah (bangsa); dan
karena itu keadaan keluarga sangat menentukan keadaan ummah itu sendiri. Bangsa terbaik
(khayr ummah) yang merupakan ummah wahidah (bangsa yang satu) dan ummah wasath
(bangsa yang moderat), sebagaimana dicita-citakan Islam hanya dapat terbentuk melalui
keluarga yang dibangun dan dikembangkan atas dasar mawaddah wa rahmah.

Berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan Anas r.a, keluarga yang baik memiliki empat
ciri. Pertama; keluarga yang memiliki semangat (ghirah) dan kecintaan untuk mempelajari
dan menghayati ajaran-ajaran agama dengan sebaik-baiknya untuk kemudian mengamalkan
dan mengaktualisasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, keluarga di mana setiap
anggotanya saling menghormati dan menyayangi; saling asah dan asuh. Ketiga, keluarga
yang dari segi nafkah (konsumsi) tidak berlebih-lebihan; tidak ngoyo atau tidak serakah
dalam usaha mendapatkan nafkah; sederhana atau tidak konsumtif dalam pembelanjaan.
Keempat, keluarga yang sadar akan kelemahan dan kekurangannya; dan karena itu selalu
berusaha meningkatkan ilmu dan pengetahuan setiap anggota keluarganya melalui proses
belajar dan pendidikan seumur hidup (life long learning), min al-mahdi ila al-lahdi.

Datang dari keluarga mawaddah wa rahmah dengan ciri-ciri seperti di atas, maka anak-anak
telah memiliki potensi dan bekal yang memadai untuk mengikuti proses pembelajaran di
sekolah. Dan, sekali lagi, sekolahseperti sudah sering dikemukakan banyak orang
seyogyanya tidak hanya menjadi tempat belajar, namun sekaligus juga tempat memperoleh
pendidikan, termasuk pendidikan karakter watak yang merupakan bagian penting dari
pendidikan nilai.

Sekolah, pada hakikatnya bukanlah sekedar tempat transfer of knowledge belaka. Sekolah
tidaklah semata-mata tempat di mana guru menyampaikan pengetahuan melalui berbagai
mata pelajaran. Sekolah juga adalah lembaga yang mengusahakan usaha dan proses
pembelajaran yang berorientasi pada nilai (value-oriented enterprise). Lebih lanjut, organisasi
sebuah sistem sekolah dalam dirinya sendiri merupakan sebuah usaha moral (moral
enterprise), karena ia merupakan usaha sengaja masyarakat manusia untuk mengontrol pola
perkembangannya.

Pembentukan karakter melalui sekolah merupakan usaha mulia yang mendesak untuk
dilakukan. Bahkan, kalau kita berbicara tentang masa depan, sekolah bertanggungjawab
bukan hanya dalam mencetak peserta didik yang unggul dalam ilmu pengetahuan dan
teknologi, tetapi juga dalam karakter dan kepribadian. Dan hal ini relevan dan kontekstual
bukan hanya di negara-negara yang tengah mengalami krisis karakter seperti Indonesia, tetapi
juga bagi negara-negara maju sekalipun.

Usaha pendidikan karakter melalui sekolah dapat dilakukan melalui langkah-langkah berikut:
Pertama, menerapkan pendekatan modelling atau exemplary atau uswah hasanah.
Yakni mensosialisasikan dan membiasakan lingkungan sekolah untuk menghidupkan dan
menegakkan nilai-nilai akhlak dan moral yang benar melalui model atau teladan. Setiap guru
dan tenaga kependidikan lain di lingkungan sekolah hendaklah mampu menjadi uswah
hasanah yang hidup (living exemplary) bagi setiap peserta didik. Mereka juga harus terbuka
dan siap untuk mendiskusikan dengan peserta didik tentang berbagai nilai-nilai yang baik
tersebut.

Kedua, menjelaskan atau mengklarifikasikan kepada peserta didik secara terus menerus
tentang berbagai nilai yang baik dan yang buruk. Usaha ini bisa dibarengi pula dengan
langkah-langkah; memberi penghargaan (prizing) dan menumbuhsuburkan (cherising) nilai-
nilai yang baik dan sebaliknya mengecam dan mencegah (discouraging) berlakunya nilai-
nilai yang buruk; menegaskan nilai-nilai yang baik dan buruk secara terbuka dan kontinu;
memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk memilih berbagai alternatif sikap dan
tindakan berdasarkan nilai; melakukan pilihan secara bebas setelah menimbang dalam-dalam
berbagai konsekuensi dari setiap pilihan dan tindakan; membiasakan bersikap dan bertindak
atas niat dan prasangka baik (husn al-zhan) dan tujuan-tujuan ideal; membiasakan bersikap
dan bertindak dengan pola-pola yang baik yang diulangi secara terus menerus dan konsisten.

Ketiga, menerapkan pendidikan berdasarkan karakter (character-based education). Hal ini


bisa dilakukan dengan menerapkan character-based approach ke dalam setiap mata pelajaran
yang ada di samping matapelajaran-mata pelajaran khusus untuk pendidikan karakter, seperti
pelajaran agama, sejarah, Pancasila dan sebagainya. Memandang kritik terhadap
matapelajaran-matapelajaran terakhir ini, maka perlu dilakukan reorientasi baik dari segi
isi/muatan dan pendekatan, sehingga mereka tidak hanya menjadi verbalisme dan sekedar
hapalan, tetapi betul-betul berhasil membantu pembentukan kembali watak bangsa.

Pembentukan karakter melalui sekolah, dengan demikian, tidak bisa dilakukan semata-mata
melalui pembelajaran pengetahuan, tetapi adalah melalui penanaman atau pendidikan nilai-
nilai. Apakah nilai-nilai tersebut? Secara umum, kajian-kajian tentang nilai biasanya
mencakup dua bidang pokok, estetika, dan etika (atau akhlak, moral, budi pekerti). Estetika
mengacu kepada hal-hal tentang dan justifikasi terhadap apa yang dipandang manusia sebagai
indah, apa yang mereka senangi. Sedangkan etika mengacu kepada hal-hal tentang dan
justifikasi terhadap tingkah laku yang pantas berdasarkan standar-standar yang berlaku dalam
masyarakat, baik yang bersumber dari agama, adat istiadat, konvensi, dan sebagainya. Dan
standar-standar itu adalah nilai-nilai moral atau akhlak tentang tindakan mana yang baik dan
mana yang buruk.

Lingkungan masyarakat luas jelas memiliki pengaruh besar terhadap keberhasilan penanaman
nilai-nilai estetika dan etika untuk pembentukan karakter. Dari perspektif Islam, situasi
kemasyarakatan dengan sistem nilai yang dianutnya, mempengaruhi sikap dan cara pandang
masyarakat secara keseluruhan. Jika sistem nilai dan pandangan mereka terbatas pada kini
dan di sini, maka upaya dan ambisinya terbatas pada kini dan di sini pula.

Dalam konteks itu, al-Quran dalam banyak ayatnya menekankan tentang kebersamaan
anggota masyarakat menyangkut pengalaman sejarah yang sama, tujuan bersama, gerak
langkah yang sama, solidaritas yang sama. Di sinilah muncul gagasan dan ajaran tentang
amar ma`ruf dan nahy munkar; dan tentang fardhu kifayah, tanggung jawab bersama dalam
menegakkan nilai-nilai yang baik dan mencegah nilai-nilai yang buruk.

Peran Museum

Peranan museum juga sangat penting dalam penguatan kembali Wawasan Nusantara dan
Karakter Bangsa. Karenaseperti dikemukakan di atashampir semua faktor dan elemen
Wawasan Nusantara terlihat mengalami kemerosotan karena berbagai perubahan politik yang
begitu cepat dalam masa pasca-Soeharto. Di tengah kian banyak dan beragamnya tantangan
yang dihadapi negara-bangsa Indonesia hari ini dan ke depan, perlu revitalisasi kepribadian
bangsa, semangat Kebangkitan Nasional, Sumpah Pemuda 1928 dan kelahiran Pancasila; di
sini, sekali lagi, museum-museum di berbagai tempat di tanahair seyogyanya mengambil
inisiatif dan peran untuk revitalisasi berbagai aspek penting dalam kehidupan kebangsaan-
kenegaraan kita tersebut.

Sebagaimana kita ketahui, setidaknya sejak 1990an, peran museum tidak lagi seperti masih
banyak dibayangkan orang sebagai sekedar tempat penyimpanan benda-benda antik, kuno,
dan bersejarah, serta juga arsip-arsip tentang masa silam. Museum dianggap sebagai tempat
yang cocok hanya bagi mereka yang memiliki minat tertentu tentang sejarah. Inilah persepsi
yang sudah kuno dan konvensional tentang museum.

Karena itu, peranan museum kian meluas di Barat dan juga di Indonesia. Dalam berbagai
konperensi pada tingkat internasional, telah berkembang wacana misalnya tentang the
museum as an agent of social change (atau pembangunan di Indonesia); dan juga tentang
the role of museums in construction of national identities, heritage and museums: shaping
national identity, museums and the making of ourselves, dan banyak lagi tema-tema
senada. Karena itu, tidak mengagetkan juga, kalau kita juga berbicara tentang museum se-
Indonesia dalam kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan kebangsaan kita, khususnya
tentang Wawasan Nusantara dan Pembangunan kembali Karakter Bangsa.

Subjek Museum dan Pembangunan Karakter Bangsa sekaligus juga menegaskan, museum
memiliki peranan strategis dalam kehidupan berbangsa-bernegara. Subyek ini juga
mengisyaratkan, museum lebih daripada sekadar tempat penyelamatan, penyimpanan dan
pemajangan warisan sejarah bangsa di masa silam, tetapi juga sekaligus dapat memainkan
peran ke arah peningkatan kehidupan bangsa-negara yang lebih cerdas, dengan kepribadian
dan karakter lebih tangguh, sehingga dapat memiliki ketahanan nasional dan pandangan
dunia komprehensif dan utuh tentang Wawasan Nusantara. Karena itu, museum-museum
khususnya museum nasionalmemiliki posisi penting dalam kontruksi Wawasan
Nusantara. Melalui otoritas yang mereka miliki dalam hal warisan sejarah nasional,
museum-museum dapat menjadi lembaga otentifikasi Wawasan Nusantara di masa silam
dan sekaligus memproyeksikannya ke masa depan.

Karena itu faktor-faktor Wawasan Nusantara semangat Kebangsaan seperti Kebangkitan


Nasional; Sumpah Pemuda 1928; Proklamasi NKRI, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika
mesti diperkuat melalui berbagai kegiatan dan program museumbaik yang reguler maupun
insidental sesuai dengan peringatan momentum sejarah tertentu.

Entitas negara-bangsa Indonesia tidak lagi barubahkan banyak bagian dari perjalanan
eksistensial historis Indonesia itu sudah sejak lama tersimpan dalam berbagai museum di
tanahair. Museum-museum kita melalui berbagai koleksi dan artefaknya juga
mengungkapkan, sejak Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, istilah Indonesia telah menemukan
momentumnyadan selanjutnya menjadi titik tolak dan dasar dari pertumbuhan Wawasan
Nusantara menuju kemerdekaan. Selanjutnya, semangat dan Wawasan Nusantara itu
terejawantah dalam wadah NKRI yang mencapai kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.

Dan, tidak ragu lagi, museum-museum di berbagai tempat di Indonesia memainkan peran
penting dalam menyelamatkan, menyimpan, dan meneruskan kenangan bersama (memory
collective) perjalanan dan perjuangan bangsa dalam mencapai kemerdekaan tersebut. Dalam
hal ini, museum-museum harus menyelesaikan masalah-masalah tertentu misalnya tentang
sejarah mana yang harus direkonstruksi dan ditampilkan; atau memori bersama mana yang
mesti disegarkan kembali. Tetapi, terlepas dari masalah-masalah ini, yang jelas, melalui
museum berbagai proses kesejarahan ini yang ditampilkan dapat menjadi cerminan dan
pelajaran untuk meningkatkan karakter bangsa dan keutuhan wawasan Nusantara.

Sejak tercapainya kemerdekaan 17 Agustus 1945, peristiwa-peristiwa Kebangkitan Nasional


1908, Sumpah Pemuda 1928 dan kelahiran Pancasila agaknya lebih memiliki makna simbolik
daripada hal-hal lainseperti bisa kita saksikan dalam berbagai koleksi museum-museum di
tanahair. Melalui koleksi-koleksi museum terlihat bahwa peristiwa-peristiwa tersebut
merupakan simbol-simbol penting dalam Wawasan Nusantara yang muncul dari perjalanan
bangsa mewujudkan Indonesia yang bersatu berkat wawasan kebangsaan dan nusantara yang
kokoh menuju kehidupan bangsa yang adil, makmur dan sejahtera; dan lebih berharkat dan
bermartabat dalam kancah internasional. Simbolismelagi-lagi sebagaimana banyak terdapat
di museumsangat diperlukan dalam kehidupan berbangsa-bernegara dalam usaha
mewujudkan kehidupan lebih baik pada hari ini dan di masa depan. Sayang berbagai
simbolisme penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara inikarena berbagai faktor
mengalami kemerosotan ketika Indonesia dalam penerimaan demokrasi liberal muncul
berbagai ekses dan unintended consequencies. Dan adalah tugas strategis dan penting
museum-museum kita untuk membangkitkan kembali berbagai simbolisme tersebut dalam
kehidupan publik kita.

Perjalanan negara-bangsa ini jelas masih jauh daripada selesai; dan bahkan boleh jadi tidak
akan pernah selesai. Meminjam kerangka Benedict ROG Anderson tentang imagined
communitieskomunitas-komunitas yang terbayangkan, negara-bangsa Indonesia
nampaknya masih harus bergulat kembali dengan hal-hal dasar dalam kehidupan kebangsaan.
Jika pada masa Kebangkitan Nasional 1908, Sumpah Pemuda 1928, dan kelahiran Pancasila,
imagined communities itu mengambil reka bentuk dasarnya dalam negara-bangsa Indonesia
merdeka dan berdaulat, perlu pengembangan imajinasi kreatif bangsa ini untuk seabad ke
depan. Dengan begitu Indonesia tidak lagi sebagai imagined communities, tapi actual
communities yang terintegrasi secara solid, kokoh dan tangguh dalam kerangka NKRI dan
Pancasila. Karena itu, museum-museum yang memiliki koleksi-koleksi historis dapat
memiliki peran besar dalam mengarahkan imagined communities tersebut ke arah real and
actual communities yang hidup dalam negara-bangsa Indonesia yang bersatu dan utuh.

Mengindonesia menunjukkan proses yang pada dasarnya tidak pernah selesai sesuai
berbagai perkembangan dan tantangan yang dihadapi Indonesia. Menjadi Indonesia, dengan
demikian, jelas bukan sesuatu yang sudah selesai atau dibiarkan begitu saja (taken for
granted). Sebaliknya, mengindonesia mengisyaratkan proses mencapai suatu tujuan yang
ingin dicapai; sesuatu gambaranatau bahkan impianyang ingin diwujudkan secara
bersama. Dalam kaitan dengan negara-bangsa Indonesia, mengindonesia berarti proses
untuk menggapai dan mewujudkan mimpi, imajinasi, dan cita ideal bangsa Indonesia bersatu,
adil dan makmur; berharkat dan bermartabat baik ke dalam maupun ke luar dalam kancah
internasional. Museum-museum di berbagai pelosok Nusantara mesti ikut dalam proses
mengindonesia, yang hemat saya perlu dibangkitkan dan diakselerasikan kembali, sehingga
keindonesiaan dapat terus menguat.

*Pointers Pertemuan Nasional Museum se-Indonesia


Museum dan Pembangunan Karakter Bangsa
Medan, 3 Mei 2011
Dimuat dalam Museografi, edisi Juli 2011

**Azyumardi Azra adalah Direktur Sekolah PascaSarjana Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta sejak Januari 2007; dan pernah sebagai Deputi Bidang Kesra
pada Sekretariat Wakil Presiden RI (April 2007-20 Oktober 2009). Sebelumnya (1998-2002;
dan 2002-2006) dia adalah Rektor IAIN/UIN Jakarta. Ia juga gurubesar kehormatan
Universitas Melbourne (2006-9); Komite Akademis Aga Khan International University
London (2006-8); anggota Dewan Penasehat Centre for the Study of Contemporary Islam
(CSCI, University of Melbourne); anggota Board of Trustees International Islamic
University, Islamabad, Pakistan (2005-sekarang); anggota Akademi Ilmu Pengetahuan
Indonesia (AIPI, 2005-sekarang); anggota Dewan Riset Nasional (DRN, 2005-sekarang).

Memperoleh MA, MPhil dan PhD dari Columbia University, New York (1992), pada Mei
2005 dia memperoleh DR HC dalam humane letters dari Carroll College, Montana, USA.
Dia telah menerbitkan lebih dari 21 buku, yang terakhir adalah Indonesia, Islam and
Democracy: Dynamic in Global Contexts (2006), Islam in the Indonesian World: An Account
of Institutional Development (Mizan International: 2007); dan Islam beyond Conflict:
Indonesian Islam and Western Political Theory (2008). Sekitar 30 artikelnya dalam bahasa
Inggris telah diterbitkan dalam berbagai buku dan jurnal pada tingkat internasional.

Dia juga anggota Dewan Penasehat IDEA International Stockholm (2007-sekarang); Multi
Faith Centre, Griffith University, Brisbane (2005-9); Institute of Global Ethics and Religion
(2004-sekarang); LibforAll, USA (2006-sekarang); United Nations Democracy Fund
(UNDEF, New York 2004-2007); Tripartite Forum for Interfaith Cooperation for Peace,
Development and Human Dignity, New York (2006-sekarang); Bali Democracy Forum
(BDF/IPD, 2008-sekarang); dan Council on Faith, World Economic Forum, Davos (2008-
sekarang).

Pada 2005 dia memperoleh The Asia Foundation Awards atas jasanya dalam modernisasi
pendidikan Islam; dan pada 2005 juga mendapatkan Bintang Mahaputra Utama dari
pemerintah RI atas jasa-jasanya dalam pengembangan Islam moderat; dan Agustus 2010
memperoleh gelar kehormatan Commander of the Order of the British Empire (CBE) dari
Ratu Elizabeth Inggris atas jasa-jasanya dalam inter-faith dan inter-civilisational dialogue.

You might also like