You are on page 1of 30

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat ALLAH SWT, karena atas rahmat dan
karuniaNya kami dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik dan tepat waktu. Tugas ini kami
susun sebagai bahan tambahan dalam pengetahuan dan pendidikan.

Tak lupa kami mengucapkan banyak terima kasih kepada dokter pendamping yakni
dr. Nova Dwiyanti karena memberikan ilmu dan waktu yang sangat berharga bagi kami
dalam pembuatan tugas ini.

Sebagai manusia kami menyadari bahwa tidak dapat luput dari suatu kesalahan. Oleh
karena itu, kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca untuk
kesempurnaan tugas kami di masa yang akan datang.

Jakarta, November 2016

Penyusun

1
BAB I
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : By. S
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia : 1 hari
Alamat : Batin XXIV Jambi
Agama : Islam
Tanggal masuk : 29 Oktober 2016

II. RIWAYAT PENYAKIT


Keluhan utama : Badan tampak kuning setelah satu hari dirawat di ruang perawatan
bayi.
Keluhan tambahan: lemas, air ASI sedikit.
Riwayat penyakit sekarang:
Bayi lahir spontan pervaginam dari ibu G2P1A0 dengan usia kehamilan 40 minggu
A/S 8/9. Setelah 1 hari dirawat di ruang bayi, bayi terlihat kuning dan sedikit lemas,
demam (-). Ibu bayi mengeluh ASI nya hanya keluar sedikit-sedikit sehingga bayi
tidak lama menyusu.

Riwayat Pengobatan
Belum mendapatkan terapi.
Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak ada riwayat penyakit.
Riwayat Keluarga
Anak kedua dari dua bersaudara.
Tidak ada riwayat badan menjadi kuning pada anak pertama.
Riwayat Makanan
ASI saja sejak lahir sampai sekarang.
Riwayat Kehamilan
Keguguran : tidak pernah
Konsumsi obat / jamu : -

2
Penyulit kehamilan : tidak ada
Tempat persalinan : di rumah sakit oleh bidan
Cara persalinan : secara spontan pervaginam
Masa Gestasi : 40 minggu
Keadaan bayi : berat badan lahir 2900 gram, panjang badan lahir 48 cm. A/S
8/9.
Kelainan bawaan : tidak ada.
Riwayat Imunisasi
IMUNISASI JUMLAH USIA
DASAR (kali) (bulan)
BCG - -

Polio - -

Hepatitis B 1 0

DPT - -

Campak - -

III. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis (E4M6V5)
Frekuensi detak
jantung : 140-145 kali / menit (N:100-160 kali/menit)
Frekuensi napas : 48-52 kali / menit (N: 40-60 kali/menit)
Suhu tubuh : 36.8C (N: 36.5-37.5C)
Berat badan : 2,9 kg
Panjang badan : 48 cm
Lingkar kepala : 32 cm
Refleks Primitif:
Grasping +, Moro +, Rooting +, Sucking +

3
Kepala
Bentuk / ukuran : normocephali, deformitas (-)
UUB : datar, lembut.
Rambut : warna hitam, tipis, distribusi rambut merata
Mata
Visus : tidak diperiksa
Palpebra : edema -/-, cekung -/-
Konjungtiva : anemis -/-, air mata +/+
Sklera : ikterik -/-
Kornea : jernih
Pupil : bentuk bulat, diameter 4 / 4 mm, isokor, refleks cahaya
langsung +/+, refleks cahaya tidak langsung +/+
Telinga
Meatus Akustikus Eksternus bilateral ada, tidak tampak lesi
Sekret : -/-
Serumen : -/-
Hidung
Bentuk normal, simetris, septum nasi ditengah
Sekret :-/-
Pernapasan cuping hidung : -/-
Mulut
Bibir simetris
Mukosa oral tampak basah
Tidak tampak pucat/sianosis
Warna gusi normal merah muda
Gigi geligi belum ada
Leher
Trakea di tengah
KGB tidak teraba
Thoraks
Jantung
Inspeksi: iktus kordis tidak terlihat

4
Auskultasi: bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
Palpasi: iktus kordis teraba, ICS IV linea midklavikula kiri
Perkusi: kesan kardiomegali (-)
Paru
Inspeksi: gerakan nafas tampak simetris
Auskultasi: bronkovesikular +/+, ronki -/-, wheezing -/-, stridor -
Palpasi: gerakan nafas teraba simetris
Perkusi: sonor pada kedua lapang paru
Abdomen:
Inspeksi: tampak datar, distensi (-)
Auskultasi: bising usus (+) 6 x/menit
Palpasi: supel, nyeri tekan kesan (-), hepatomegali (-), splenomegali (-), massa (-).
Perkusi: timpani pada seluruh regio abdomen
Punggung
Tidak tampak deformitas,
Sacral dimple (-)
Allignment vertebrae baik
Ekstremitas
Akral teraba hangat, sianosis (-), Capillary Refill Time < 2 detik
Genitalia : Meatus urethra externus +
Testis +/ +
Kulit : Kramer III

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Tanggal 30 Oktober 2016
Pemeriksaan hematologi klinik
Bilirubin Total : 10.2 mg/dL
Bilirubin Direk : 0.52 mg/dL
Bilirubin Indirek : 9.68 mg/dL

V. DIAGNOSIS KERJA

Hiperbilirubinemia Neonatorum ec. breast feeding jaundice.

5
VI. TATALAKSANA

Fototerapi selama 24 jam

Pertahankan suhu bayi 36.5 C 37.5 C

ASI on demand

Edukasi untuk memberikan ASI lebih sering

VII. PROGNOSIS

Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad fungsionam : dubia ad bonam

Quo ad sanactionam : dubia ad bonam

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

FISIOLOGI METABOLISME BILIRUBIN


Sumber utama dari bilirubin pada janin dan neonatus berasal dari pemecahan heme
pada hemoglobin di dalam eritrosit. Heme merupakan suatu cincin porfirin yang berikatan
dengan ion besi (Fe). Proses pemecahan heme diperantarai oleh enzim oksigenase
menjadi besi dan biliverdin. Senyawa besi kemudian didaur ulang dan biliverdin
direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin reductase. Bilirubin tak terkonjugasi
bersifat lipofilik dan dapat berikatan erat dengan albumin dalam sirkulasi. Setelah dirubah
menjadi bilirubin terkonjugasi, senyawa ini berubah menjadi larut dalam air dan bilirubin
diglucuronide sehingga dapat diekskresi. Proses ini terjadi di hepar dan bergantung pada
ligandin, suatu protein pembawa, dan uridine diphospho glucuronyl transferase.
Bilirubin merupakan senyawa tetrapirol dengan empat cincin pirol. Bagian luar cincin
pirol dihubungkan dengan bagian dalam cincin oleh jembatan methana. Molekul bilirubin
dijaga kestabilannya oleh ikatan hidrogen. Jembatan methana mempengaruhi ikatan
hidrogen yang menyebabkan reaksi diazo (dasar dari pengukuran bilirubin indirek). Grup
COOH dan NH dari cincin pirol ini merupakan grup hidrofilik sehingga mereka dapat
berikatan dengan air, berbeda dengan grup hidrokarbon yang merupakan grup hidrofobik,
dimana tidak dapat larut dalam air tetapi larut dalam larutan non polar seperti kloroform.

Gambar 1 Molekul Bilirubin

7
Hemoglobin dipecah menjadi hemo dan globin. Satu gram hemoglobin menghasilkan
35mg bilirubin. Dalam kondisi fisiologis 1-2 x 10 8 eritrosit dihancurkan setiap jamnya.
Globin diubah menjadi asam amino dan digunakan kembali. Pemecahan heme berasal
dari 2 sumber. Yang pertama berasal dari katabolisme sel darah merah (75%). Yang kedua
berasal dari heme dari hati (bukan hemoglobin) seperti heme jaringan dan heme protein
(sitokrom p450). Selain itu juga berasal dari eritropoiesis yang tidak efektif di sumsum
tulang. Setelah mengalami degradasi, globulin dan komponen besi dipecah dari
hemoglobin. Besi dari heme dipecahkan di retikuloendotelial sistem di hati, limpa, dan
sumsum tulang menjadi ion ferri melalui proses heme oksigenase. Dengan penambahan
oksigen, ion ferri dilepaskan, karbon monoksida dihasilkan, dan cincin tetrapirol
dipisahkan menghasilkan biliverdin. Biliverdin berwarna hijau dan dipecahkan oleh
enzim biliverdin reduktase menjadi bilirubin yang berwarna kuning (bilirubin tidak
terkonjugasi). Bilirubin dari jaringan diikat oleh albumin dan dibawa ke hati. Terjadi 3
proses di hati :
1. Pengambilan bilirubin oleh sel parenkim hati
2. Konjugasi bilirubin oleh glukoronat di endoplasmik retikulum
3. Sekeresi bilirubin yang terkonjugasi oleh cairan empedu.
Di hati bilirubin dilepaskan dari albumin dan berikatan dengan protein (ligandin dan
protein Y). Terjadi proses konjugasi dimana bilirubin yang bersifat nonpolar diubah
menjadi polar oleh hepatosit dan disekresikan ke cairan empedu dengan menambahkan
molekul asam glukoronat (bilirubin terkonjugasi). Proses konjugasi diperatarai oleh
enzim uridine diphospate gluconosyltransferase (UDPGT) menghasilkan bilirubin
monoglukoronat. Setelah itu bilirubin monoglukoronat diubah menjadi bilirubin
diglukoronat.
Sekitar 200-250mg bilirubin diekskresi kedalam kantung empedu setiap harinya.
Sembilan puluh persen diekskresi kedalam feses. Dalam usus, bakteri beta glukoronidase
memecah bilirubin menjadi senyawa tak berwarna yaitu stercobilinogen. Senyawa ini
kemudian dioksidasi sebagian menjadi stercobilin, senyawa berwarna kecoklatan yang
nantinya mewarnai feses. Sekitar 10% dari seluruh bilirubin direk dirubah menjadi
bilirubin tak terkonjugasi lagi oleh bakteri di usus dan direabsorbsi lagi kedalam hepar
melalui sirkulasi enterohepatik. Sebagian kecil (sekitar 1%) mencapai sirkulasi sistemik
dan diekskresi oleh ginjal sebagai urobilinogen.3

8
9
Gambar 2. Metabolisme Bilirubin

DEFINISI JAUNDICE
Ikterus neonatal / Jaundice mengacu pada warna kuning yang dapat dilihat di kulit
dan membran mukosa pada bayi baru lahir yang disebabkan karena hiperbilirubinemia 4.
Hiperbilirubinemia neonatus, didefinisikan sebagai total serum bilirubin di atas 5 mg/dL
(86 mol per L) 2. Sekitar 50% dari bayi cukup bulan dan 80% dari bayi prematur sering
mengalami jaundice, dimana jaundice sering kali muncul dalam 2-4 hari setelah bayi
lahir, dan menghilang secara spontan setelah 1-2 minggu 4. Meskipun demikian, beberapa
bayi memiliki kelainan yang mendasari keadaan hiperbilirubinemia yang merupakan
keadaan patologis.
Bilirubin yang tidak terkonjugasi, ditransportasikan secara efisien melalui placenta
dari darah bayi ke sirkulasi maternal dengan cara difusi pasif. Rata- rata total serum
bilirubin pada tali pusat yaitu 1,4 1,9 mg/dL, dimana total serum bilirubin normal pada
ibu kurang dari 1 mg/dL 5. Pengukuran bilirubin pada neonatus, dapat dilakukan dengan
cara transkutaneus (TcB). Pada pengukuran ini, hasil pada persentil 50 atau diatasnya,
puncak kenaikan kadar bilirubin tidak muncul sampai 96 jam dan bertahan pada nilai
tertentu selama 120 jam (Gambar 1) 5.

Gambar 3. Pengukuran Transkutaneus Bilirubin


Terdapat perbedaan kenaikan kadar bilirubin pada neonatus lebih bulan dan neonatus
cukup bulan. Pada neonatus lebih bulan (usia gestasi >40 minggu), puncak serum
bilirubin pada TcB muncul saat usia neonatus 60 jam, dimana neonatus cukup bulan (usia

10
gestasi 35-39 minggu), puncak serum bilirubin tidak muncul sampai usia neonatus 96 jam
(Gambar 2) 5.

Gambar 4. Normogram Pengukuran Bilirubin Transkutaneus pada Neonatus Sehat

JAUNDICE FISIOLOGIS
Peningkatan kadar serum bilirubin pada neonatus, dinamakan sebagai jaundice
fisiologis. Beberapa kombinasi mekanisme terjadinya jaundice fisiologis yaitu 2,5,
Dalam keadaan normal, neonatus memproduksi bilirubin 6-8 mg/kg/hari, dimana
angka ini 2,5 kali lebih banyak dari produksi bilirubin pada dewasa.
Neonatus mengabsorbsi bilirubin yang tidak terkonjugasi dalam jumlah yang banyak
dari saluran pencernaan (sirkulasi entero-hepatik). Pada neonatus, terdapat bakteri pada
usus besar dan usus kecil yang berperan sebagai enzim glukoronidase untuk
dekonjugasi. Sebagai hasilnya, bilirubin yang terkonjugasi (yang tidak dapat diserap),
tidak dikonversi menjadi urobilinogen, akan tetapi di hidrolisis menjadi bilirubin yang
tidak terkonjugasi. Bilirubin ini dapat diserap dan meningkatkan kadar bilirubin dalam
serum darah.
11
Terdapat penurunan clearance bilirubin yang tidak terkonjugasi dari plasma. Hal ini
disebabkan karena defisiensi ligandin (bilirubin-binding protein yang terdapat pada
hepatosit), dan defisiensi enzim uridine diphosphate glucoronosyl transferase / UGTA1A
(enzim yang membantu proses konjugasi bilirubin).
Pada umumnya, kadar bilirubin yang tidak terkonjugasi pada serum tali pusat yaitu 1-
3 mg/dL dan dapat meningkat dengan kecepatan <5 mg/dL/24jam. Oleh karena itu,
jaundice dapat terlihat pada hari kedua sampai ketiga, dimana kadar bilirubin biasanya
paling tinggi antara 5-6 mg/dL dan akan menurun hingga dibawah 2 mg/dL pada hari
kelima sampai ketujuh kehidupan. Jaundice yang disertai dengan perubahan ini, dapat
dikatakan sebagai jaundice fisiologis. Hal ini disebabkan karena meningkatnya produksi
bilirubin akibat pemecahan sel darah merah dan juga karena terbatasnya pembentukan
bilirubin yang terkonjugasi akibat hati yang belum sempurna. Sebanyak 6-7% bayi cukup
bulan memiliki kadar bilirubin yang tidak terkonjugasi sebesar >12,9 mg/dL dan <3% nya
memiliki kadar bilirubin yang tidak terkonjugasi sebesar >15 mg/dL. Pada bayi yang
tidak memiliki faktor resiko, bilirubin yang tidak terkonjugasi jarang meningkat sampai
diatas 12 mg/dL. Sedangkan pada bayi yang memiliki beberapa faktor resiko, memiliki
kadar bilirubin yang tidak terkonjugasi lebih tinggi.
Prediksi neonatus yang beresiko untuk mengalami jaundice fisiologis yang berlebihan
dapat didasarkan pada tingkat bilirubin pada jam tertentu dalam 24-72 jam kehidupan.

12
Gambar 5. Nomogram Bhutan
Kadar bilirubin yang tidak terkonjugasi pada bayi cukup bulan, akan turun sesuai
dengan kadar orang dewasa (1 mg/dL) sampai hari ke14 kehidupan. Bila kadar bilirubin
yang tidak terkonjugasi menetap selama lebih dari 2 minggu, dapat terjadi karena
jaundice patologis, seperti hemolisis, defisiensi glucuronyl transferase, hipotiroid, dan
lainnya. Pada umumnya, lakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk mencari penyebab
jaundice apabila ditemukan pada keadaan berikut :
Jaundice muncul pada <24 jam kehidupan,
Serum bilirubin meningkat dengan kecepatan >=5 mg/dL/hari,
Serum bilirubin >12 mg/dL pada bayi cukup bulan tanpa faktor resiko atau 10-14
mg/dL pada bayi kurang bulan,
Jaundice yang persisten selama 10-14 hari,
Kadar bilirubin yang terkonjugasi >2 mg/dL.
Neonatus dengan faktor resiko yang multiple, dapat mengalami peningkatan bilirubin
secara drastis yang bersifat fisiologis. Faktor resiko hiperbilirubinemia (terutama bilirubin
yang tidak terkonjugasi) dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu 2:
Faktor maternal, seperti : usia gestasi, inkompatibilitas golongan darah ABO,
inkompatibilitas rhesus, pemberian ASI / breastfeeding, penggunaan obat-obat
tertentu (diazepam, oxytosin), ibu dari suku bangsa tertentu (Asian, American), dan
penyakit ibu (diabetes gestasional).

13
Faktor neonatus, seperti : trauma jalan lahir (cephalohematoma, memar pada kutaneus,
dan persalinan dengan bantuan alat), obat-obatan yang diberikan kepada bayi
(chloramphenicol, vitamin K), penurunan berat badan yang drastis setelah lahir,
infeksi (toxoplasmosis, hepatitis B, rubella, cytomegalovirus, dan herpes simpleks
virus), minum yang tidak adekuat, polisitemia, bayi prematur, dan riwayat saudara
dengan hiperbilirubinemia.
Pada keadaan fisiologis, jaundice dapat memiliki hubungan dengan menyusui.
Hubungan jaundice dan menyusui dapat terjadi secara cepat ataupun lambat. Early Onset
Breast-feeding Jaundice pada bayi baru lahir, dapat terjadi karena kekurangan kalori yang
relatif dalam beberapa hari pertama. Penurunan volume dan frekuensi menyusui dapat
mengakibatkan dehidrasi ringan dan terhambatnya aliran meconium dalam usus.
Dibandingkan dengan bayi yang diberi susu formula, bayi yang mendapat ASI lebih
sering 3-6 kali mengalami jaundice sedang (kadar total serum bilirubin >12 mg/dL) atau
jaundice parah (kadar total serum bilirubin >15 mg/dL). Bayi yang mengalami hal ini,
harus ditingkatkan frekuensi menyusuinya menjadi lebih dari 10 kali per hari.2
Late Onset Breast Milk Jaundice muncul secara lambat, dengan kadar bilirubin yang
meningkat pada hari ke 6-14 kehidupan. Hal ini dapat terjadi pada sepertiga bayi
menyusui yang sehat. Total serum bilirubin dapat bervariasi mulai dari 12-20 mg/dL dan
2
bukan patologis. Penyebab utama jaundice pada bayi yang menyusui tidak diketahui
secara pasti. Substansi pada air susu ibu seperti -glukuronidase dan asam lemak dapat
menghambat metabolisme bilirubin yang normal. Kadar bilirubin biasanya mulai turun
secara kontinu setelah bayi berusia 2 minggu, akan tetapi pada kasus tertentu kadar
bilirubin dapat tetap naik selama 1-3 bulan. Jika diagnosis jaundice akibat menyusui
masih diragukan atau kadar total bilirubin yang meningkat, proses menyusui dapat
dihentikan secara sementara. Sementara bayi diberikan susu formula, seharusnya kadar
total bilirubin mulai turun secara cepat setelah 48 jam (kecepatan turun 3 mg/dL per hari),
untuk mengkonfirmasi diagnosis. Setelah diagnosis ditegakkan, menyusui bayi dapat
dilanjutkan. 2

JAUNDICE PATOLOGIS
Hiperbilirubinemia neonatus, didefinisikan sebagai total serum bilirubin di atas 5
mg/dL (86 mol per L). Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi bisa terjadi akibat
peningkatan produksi bilirubin, gangguan konjugasi, atau gangguan pengambilan
bilirubin di hati. Sedangkan hiperbilirubinemia terkonjugasi bisa terjadi akibat

14
berkurangnya sekresi bilirubin terkonjugasi ke dalam empedu, seperti terjadi pada pasien
dengan hepatitis, atau hasil dari gangguan aliran empedu ke dalam usus, seperti terjadi
pada pasien dengan obstruksi bilier. Pembentukan cairan empedu sensitif terhadap
berbagai gangguan di hati, termasuk tingginya tingkat sitokin inflamasi, seperti yang
terjadi pada pasien dengan syok septik. Tingginya kadar bilirubin terkonjugasi dapat
secara sekunder meningkatkan kadar bilirubin tak terkonjugasi. Meskipun mekanisme
efek ini tidak jelas, salah satu penyebabnya kemungkinan karena berkurangnya
pengikatan bilirubin tak terkonjugasi yang disebabkan dari persaingan dengan bilirubin
terkonjugasi untuk penyerapan atau ekskresi.
Jaundice yang merupakan keadaan hiperbilirubinemia, dapat disebabkan karena
penyebab yang berbeda berdasarkan mekanisme akumulasinya 2

Peningkatan produksi bilirubin


Hemolitik Jaundice
Karakteristiknya berupa peningkatan bilirubin yang tidak terkonjugasi, lebih dari
6% retikulosit, dan kadar hemoglobin kurang dari 13 mg/dL. Jika ada kecurigaan
hiperbilirubinemia akibat meningkatnya produksi bilirubin karena kelainan
hemolitik, dapat dilakukan pemeriksaan Coombs Test. Coombs test ada 2 macam
yaitu direk dan indirek. Direk Coombs test digunakan untuk mendeteksi antibodi
atau sistem komplemen yang terikat dengan antigen permukaan sel darah merah.
Direk Coombs test dilakukan jika ada kecurigaan adanya anemia hemolitik yang
disebabkan reaksi imun seperti ABO incompability, Rh isoimunisasi. Indirek
Coombs test dilakukan untuk memeriksa reaksi antibodi antigen di dalam plasma.
Biasanya dilakukan untuk mendeteksi antibodi pada wanita hamil yang dapat
menyebabkan kelainan hemolisis pada bayi yang baru lahir.3 Apabila pemeriksaan
Coombs test positif, kemungkinan jaundice terjadi akibat inkompatibilitas ABO
ataupun rhesus. Namun apabila negatif, kemungkinan jaundice terjadi akibat
defek pada membran sel darah merah (spherocytosis, elliptocytosis), gangguan
enzim sel darah merah (defisiensi glucose-6-phosphate dehydrogenase / G6PD,
defisiensi piruvate kinase), obat-obatan (streptomisin, vitamin K),
hemoglobinopati, dan sepsis. 2

15
o ABO inkompabiliti umumnya terjadi pada ibu yang memiliki golongan darah O
dengan anak yang lahir dengan golongan darah A atau B. Angka kejadian
ABO inkompabiliti 20-25% dari kehamilan dan angka kejadian hemolitik
hanya 10%. Penyebab ABO inkompabiliti adalah reaksi imun yang terjadi
dimana antibodi ibu melewati plasenta dan menyerang antigen eritrosit janin.
Antibodi anti A dan anti B yang ditemukan biasanya IgM dan antibodi ini
tidak melewati plasenta. Akan tetapi antibodi IgG anti A dapat menembus
plasenta yang menyebabkan hemolisis pada anak kelahiran pertama.
Manifestasi klinis yang timbul biasanya hanya jaundice. Pemeriksaan
laboratorium menunjukkan direct Coombs test positif dan ada peningkatan
retikulosit 10-15%. Selain itu peningkatan antibodi IgG pada Ibu melalui
indirek Coombs test dapat menunjang diagnosa ABO inkompabiliti. Kadar
bilirubin serum dapat mencapai 20 mg/dl.5,6

o Rh isoimunisasi paling banyak ditemukan pada Rh tipe D antigen (90%). Jika


darah janin dengan Rh positif dari ayah yang mempunyai Rh positif masuk ke
sirkulasi ibu dengan Rh negatif akan terjadi sensitisasi yang menyebabkan
peningkatan titer antibodi. Awalnya terjadi peningkatan IgM yang kemudian
akan digantikan oleh IgG dan melewati plasenta menyebabkan hemolisis.
Hemolisis jarang terjadi pada kelahiran pertama karena Rh positif dari janin
ditransfer ke sirkulasi ibu dengan Rh negatif berdekatan dengan waktu
kelahiran sehingga sensitisasi yang terjadi pada ibu terlambat. Manifestasi
klinis yang khas pada Rh isoimunisasi adalah hidrops fetalis, yaitu
penumpukan cairan pada 2 atau lebih bagian tubuh seperti kulit, pleura,
pericardium, plasenta, peritoneum, dan cairan amnion. Selain itu terjadi
anemia, jaundice, dan pembesaran hepar. Pemeriksaan laboratorium
menunjukkan penurunan jumlah hemoglobin dan direct Coombs test positif 5,6.
Non hemolitik jaundice
Karakteristiknya berupa peningkatan bilirubin yang tidak terkonjugasi dan
retikulosit yang normal. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal 2 :
- Ekstravaskular : cephalohematoma, memar, dan perdarahan sistem saraf pusat
- Polisitemia : transfusi fetus-materna, keterlambatan dalam menjepit/ klem tali
pusar, dan transfusi anak kembar. Plethora (polisitemia) merupakan kelainan
dengan penampakan fisik kemerahan dengan kadar hematokrit yang tinggi

16
dalam darah, > 65%. Manifestasi klinis yang timbul adalah anoreksia, letargi,
takipnea, distress sistem pernapasan, gangguan makan, hiperbilirubinemia,
hipoglikemia, dan trombositopenia.
- Sirkulasi enterohepatik yang berlebihan : atresia ileum, stenosis pyloric, penyakit
hirschsprung, dan breast milk jaundice.
Gangguan konjugasi bilirubin
Karakteristiknya berupa peningkatan bilirubin yang tidak terkonjugasi dan retikulosit
yang normal. Hal ini dapat terjadi pada jaundice fisiologis, Crigler-Najjar syndrome,
Gilbert syndrome, hipotiroid, dan breast milk jaundice.2
o Crigler-Najjar syndrome I
Uridine Diphospate Gluconosyltransferase (UGT1A1) ada pada setiap proses
bilirubin glukoronidase di hati. Crigler-Najjar syndrome I adalah penyakit turunan
otosomal resesif di mana bayi yang lahir tidak mempunyai aktivitas UGT1A1
bilirubin. Jaundice berat muncul pada hari ke 2 3. Fototerapi dibutuhkan seumur
hidup jika penderita tidak melakukan transplantasi hati. Gejala lain yang timbul
seperti hipotonus, tuli, okulomotor palsi, letargi. Pada pemeriksaan laboratorium
kadar bilirubin serum berkisar 20-50 mg/dL, bilirubin tidak terkonjugasi yang
tinggi, tidak terdeteksi adanya bilirubin terkonjugasi.7
o Crigler-Najjar syndrome II
Dikenal juga dengan nama Arias syndrome. Penderita masih memiliki aktivitas
UGT1A1 bilirubin yang rendah. Dapat muncul kern ikterus. Kadar bilirubin dalam
serum berkisar antara 7-20 mg/dL7.
o Gilbert syndrome
Merupakan penyakit autosomal dominan maupun resesif. Gejala yang muncul
hanya jaundice tanpa gejala lainnya. Pemeriksaan laboratorium meliputi
hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi, hasil pemeriksaan darah tepi dalam batas
normal, fungsi hati dalam batas normal, dan tidak ditemukan penyakit lainnya.
Beberapa tes khusus dapat dilakukan untuk mendiagnosa Gilbert syndrome
seperti7:
- Fasting test
- Nicotinic acid test
- Phenobarbital test
- Radiolabeled chromium test
- Thin layer chromatography

17
- Drug clearence test
- PCR ( Polymerase Chain Reaction)
Gangguan ekskresi bilirubin
Karakteristiknya berupa peningkatan kadar bilirubin yang tidak terkonjugasi maupun
yang terkonjugasi, coombs tes negatif, kadar bilirubin terkonjugasi lebih dari 2 mg/dL
atau >20% dari total bilirubin, dan terdapat bilirubin terkonjugasi dalam urin. Yang
dapat menyebabkan hal ini yaitu :
Obstruksi bilier / Cholestasis : atresia bilier, kista pada kantung empedu, radang
kantung empedu, batu empedu, neoplasma.
Cholestasis merupakan suatu keadaan dimana terjadi penurunan pada aliran di
kantung empedu, sehingga menyebabkan gangguan yang berhubungan dengan
bilirubin yang terkonjugasi. Hal ini mengindikasikan adanya gangguan sekresi
empedu/ aliran empedu. Cholestasis dapat dikategorikan menjadi obstruksi dan
hepatocellular. Pada sebagian besar kasus, yang paling sering terjadi yaitu
hepatitis neonatus/ atresia bilier.8
Atresia bilier memiliki karakteristik hiperbilirubinemia (bilirubin yang
terkonjugasi) dalam waktu yang lama. Ekstrahepatik bilier atresia muncul pada
saat hilangnya sebagian lumen duktus bilier atau tidak adanya sistem
ekstrahepatik bilier. Identifikasi jaundice akibat cholestasis dapat segera diketahui
apabila setiap bayi yang mengalami jaundice pada usia 2-3 minggu dilakukan
pengukuran kadar bilirubin yang terkonjugasi. Pemeriksaan laboratorium pada
tahap awal, dapat dilakukan pada neonatus yang jaundice disertai dengan keluhan
feces yang berwarna pucat dan warna urin yang sangat pekat (normalnya, urin
pada bayi tidak berwarna).8
Terdapat hubungan yang erat antara cholestasis dengan penggunaan intravena
secara berkepanjangan (total parenteral nutrition). Saat TPN digunakan selama 2
minggu atau lebih, jaundice cholestasis dapat muncul. Cholestasis berkembang
pada 80% bayi yang menerima TPN selama 60 hari dan 50% pada bayi yang
memiliki berat badan lahir kurang dari 1 kilogram. Patogenesis dari hubungan
cholestasis dan TPN tidak diketahui, akan tetapi dapat dikaitkan dengan
kombinasi beberapa faktor, yaitu sekresi empedu yang belum matur pada neonatus
prematur, menurunnya aliran empedu yang disebabkan karena tidak ada makanan
yang melalui sistem pencernaan, dan toksisitas asam amino. 5 Tatalaksana untuk
kasus ekstrahepatik bilier atresia, yaitu portoenterostomy atau Kasai prosedur,

18
dimana sebagian dari usus kecil di anastomosis dengan sistem porta disertai
dengan eksisi duktus bilier.
Infeksi / Sepsis
Jaundice merupakan salah satu tanda bakterial sepsis, akan tetapi sepsis pada bayi
selalu memiliki tanda dan gejala lainnya. Keadaan hiperbilirubinemia (yang tidak
terkonjugasi) jarang menjadi satu-satunya tanda sepsis. Pungsi lumbal, kultur darah,
ataupun kultur urin dapat dilakukan pada bayi yang dicurigai sepsis. Pada bayi ini
juga dapat ditemukan hiperbilirubinemia yang terkonjugasi. Penyebab lainnya yaitu
sifilis kongenital, infeksi intrauterine (toxoplasmosis, rubella, cytomegalovirus, dan
herpes simpleks) dan infeksi virus coxsackie B. 8
Gangguan metabolik : hipotiroid
Kelainan kromosom : syndrome trisomi 18 dan 21.
Tabel 1. Diagnosis Banding Hiperbilirubinemia 9
Indirect Hiperbilirubinemia
Transient neonatal jaundice Breast milk jaundice, Jaundice fisiologis,
Polisitemia, Reabsorbsi darah
ekstravaskuler
Gangguan hemolitik Kelainan autoimun, ABO inkompatibiliti,
hemoglobinopati, mikroangiopati,
defisiensi enzim sel darah merah,
kelainan membran sel darah merah
Resirkulasi enterohepatik Kistik Fibrosis, penyakit hirschsprung,
atresia ileum, stenosis pilorik
Gangguan metabolisme bilirubin Acidosis, Crigler-Najjar syndrome,
Gilbert syndrome, hipotiroid, hipoksia
Lainnya Dehidrasi, obat-obatan,
hipoalbuminemia, sepsis
Direct Hiperbilirubinemia
Obstruksi bilier Atresia bilier, kista choledochal, batu
empedu, neoplasma, cholangitis
sclerosing
Infeksi Cholangitis, cytomegalovirus, EBV,
herpes simpleks, histoplasmosis, HIV,
leptospirosis, abses hepar, sepsis, sifilis,
toxoplasmosis, tuberculosis, infeksi
saluran kencing, varicella-zoster, dan

19
viral hepatitis.
Genetik/ Gangguan metabolic Defisiensi 1-antitripsin, Hipotiroid,
Galactosemia, Parenteral nutrition-
cholestasis, Cystic Fibrosis
Kelainan Kromosom Trisomi 18, Trisomi 21, Turner syndrome
Obat-obatan Acetaminofen, aspirin, eritromicin,
ethanol, iron, isoniazid, methotrexate,
oxacilin, rifampicin, steroids,
sulfonamides, tetrasiklin, vitamin A
Lainnya Neonatal hepatitis syndrome, total
parenteral nutrition, Reye syndrome.

PENDEKATAN JAUNDICE NEONATUS


Untuk mendeteksi kelainan dari neonatal jaundice dapat dilakukan pengukuran TSB
dan TcB. Pengukuran total kadar bilirubin secara transkutaneus (TcB), merupakan salah
satu cara yang spontan. Hal ini bertujuan agar peningkatan kadar bilirubin yang signifikan
dapat terdeteksi dengan cepat. Pengukuran TcB menyediakan informasi mengenai
perkiraan level total serum bilirubin, bukan nilai (angka) kadar total bilirubin yang pasti.
Pengukuran ini non-invasif, sehingga dapat digunakan secara berkala selama perawatan
dalam rumah sakit dan menyediakan informasi mengenai kecepatan dari peningkatan
kadar bilirubin. Bila ditemukan pada normogram, kadar bilirubin yang melintasi
percentile lainnya, diindikasikan untuk melakukan observasi dan evaluasi tambahan.5
Konsentrasi serum normal bilirubin kurang dari 1 mg/dL. Biasanya,
jaundice tidak terdeteksi secara klinis sampai bilirubin serum mencapai 2,5 mg/dL. Hal
ini pertama kali terlihat di konjungtiva atau selaput lendir mulut seperti palatum atau di
bawah lidah. Saat konsentrasi serum bilirubin meningkat, ikterus berlangsung ke arah
kaudal. Penumpukan bilirubin biasanya jinak, tetapi pada neonatus, bilirubin tak
terkonjugasi dapat menembus sawar darah-otak dan mengendap di basal ganglia.
Ensefalopati menjadi perhatian pada tingkat 20 - 25 mg / dL.
2.5.1 Evaluasi Laboratorium untuk Mencari Penyebab Jaundice
Guideline dari American Academy of Pediatrics (AAP) merekomendasikan
pemeriksaan laboratorium untuk mencari penyebab hiperbilirubinemia pada neonatus dari
kehamilan lebih dari 35 minggu, dimana level total serum bilirubin melebihi percentil 95

20
atau pada neonatus yang kecepatan peningkatan bilirubinnya melewati persentil
diatasnya. Pada neonatus premature, evaluasi laboratorium di indikasikan pada semua
neonatus yang memenuhi kriteria untuk fototerapi.
Waktu munculnya jaundice / onset, sangat penting untuk diketahui. Jaundice yang
muncul pada 24 jam pertama kehidupan atau peningkatan yang cepat dan melewati
persentil sering kali disebabkan karena produksi bilirubin yang berlebihan (hemolisis).
Sebagian besar neonatus, yang total serum bilirubinnya lebih dari persentil 75 pada
Bhutani nomogram, menjadi bukti tanda hemolisis (Gambar 3.Nomogram Bhutan). 8
Indikasi Assessments
Jaundice pada 24 jam pertama Pengukuran TcB dan Total Serum Bilirubin (TSB)
Peningkatan TSB secara Periksa golongan darah dan Coombs test.
signifikan (melebihi persentil) Periksa darah lengkap, hitung retikulosit, dan
morfologi darah tepi.
Pengukuran bilirubin yang terkonjugasi.
Pertimbangkan test G6PD.
Pengulangan pengukuran TSB dalam 4-24 jam
tergantung pada usia neonatus dan hasil TSB.
Konsentrasi TSB mencapai level Lakukan pemeriksaan seperti diatas.
untuk transfusi tukar atau tidak G6PD testing.
berespon terhadap fototerapi. Albumin level.
Peningkatan bilirubin yang Urinalisis dan kultur urin.
terkonjugasi. Evaluasi sepsis melalui anamnesis dan pemeriksaan
fisik.
Jaundice muncul pada bayi yang Pengukuran level bilirubin yang terkonjugasi dan
berusia lebih dari 2-3minggu, yang tidak terkonjugasi, serta pengukuran TSB.
atau bayi yang sakit Jika bilirubin yang terkonjugasi meningkat,
evaluasi penyebab cholestasis.
Cek fungsi tiroid bayi, dan evaluasi tanda serta
gejala hipotiroid.

21
22
Diagram 1. Pendekatan jaundice

23
Diagram 2. Pendekatan Jaundice 2

24
DERAJAT JAUNDICE

Gambar 6. Kramers Staging


TATALAKSANA JAUNDICE

Diagram 3. Algoritma Tatalaksana Jaundice pada Neonatal

25
Tanpa melihat penyebab jaundice, tujuan dari terapi jaundice yaitu mencegah
reaksi bilirubin yang tidak terkonjugasi berupa neurotoksik. Terapi yang menjadi
pilihan utama berupa fototerapi ataupun transfusi tukar, dimana terapi ini merupakan
modalitas untuk mempertahankan total serum bilirubin dibawah level patologis.

Gambar 7. Penggunaan fototerapi dan transfusi tukar

Gambar 8. Terapi pada bayi prematur

Fototerapi7
Hiperbilirubinemia yang tidak terkonjugasi dapat berkurang dengan cara terpapar
dengan sinar intensitas tinggi. Fototerapi memberikan sinar dimana foton dari cahaya
diserap oleh molekul bilirubin di kulit. Bilirubin mengabsorpsi sinar biru secara
maksimal dengan range 420-470 nm. Bilirubin pada kulit mengabsorpsi energi sinar,
menyebabkan beberapa reaksi photochemical. Produk dari fototerapi merupakan hasil

26
reaksi fotoisomer yang reversibel, dimana bilirubin yang tidak terkonjugasi (toksik)
diubah menjadi tidak toksik dan dapat diekskresikan tanpa harus dikonjugasi. Efek
terapeutik dari fototerapi tergantung pada :
Energi sinar yang dipancarkan dalam range panjang gelombang yang efektif
Jarak antara sinar dan bayi (jarak yang efektif 15-20 cm)
Luas tubuh bayi yang diekspose (gunakan selimut fiberoptic fototerapi untuk
meningkatkan luas area yang diekspose)
Penggunaan fototerapi menurunkan kebutuhan untuk transfusi tukar pada bayi
dengan hemolitik jaundice ataupun nonhemolitik jaundice. Apabila ada indikasi untuk
transfusi tukar, fototerapi tidak dapat digunakan sebagai pengganti. Akan tetapi,
fototerapi dapat mengurangi kebutuhan untuk transfusi tukar berulang pada bayi
dengan jaundice hemolisis. Fototerapi dilakukan secara kontinu, dan posisi bayi
sering diputar untuk memaksimalkan luas area tubuh yang terekspose. Fototerapi
dihentikan saat konsentrasi bilirubin yang tidak terkonjugasi telah berkurang sampai
level yang aman sesuai dengan usia bayi dan kondisinya. Sebelum fototerapi
dilakukan, mata bayi harus ditutup untuk mencegah kerusakan kornea. Beberapa jenis
lampu yang dapat digunakan untuk fototerapi yaitu :
1. Tabung fluoresen
2. Lampu halogen
3. Fiberoptic systems
4. Light Emiting Diodes (LED)

27
Gambar 7. Garis fototerapi

Transfusi Tukar
Transfusi tukar memindahkan darah yang kaya akan bilirubin (dari sirkulasi) dan
menggantikannya dengan donor darah (biasanya sel darah merah dengan plasma).
Saat terjadi pemidahan bilirubin, hal ini juga terjadi 8:
- pemindahan sel darah merah yang dilapisi antibody
- koreksi anemia
- pemindahan antibodi maternal
- pemindahan produk toksik yang dihasilkan pada saat proses hemolitik
Volume transfusi tukar (TT) mencapai 170ml/kg, dimana dengan volume ini dapat
memindahkan 85% sel darah merah pada bayi dan 110% bilirubin yang beredar di
sirkulasi (bilirubin ekstravaskular memasuki sirkulasi darah pada saat pertukaran
berlangsung). Karena 50% bilirubin pada bayi terletak pada ekstravaskular, hanya
25% dari total bilirubin yang dipindahkan. Kadar bilirubin pada saat post TT sekitar
60% dari pre TT. Munculnya ketidakseimbangan antara bilirubin yang berada pada
intravascular dan ekstravaskular, muncul rebound pada serum bilirubin (dalam waktu
30 menit) sehingga kadarnya 70-80% dari pre TT. 8

28
Tabel 3. Indikasi transfusi tukar berdasarkan keputusan WHO
Usia Bayi Bayi Cukup bulan sehat Dengan faktor resiko
Hari mg/dL mg/dL
Hari ke 1 15 13
Hari ke 2 25 15
Hari ke 3 30 20
Hari ke 4 30 20

Gambar 8. Garis Transfusi Tukar


Pada penyakit hemolitik segera dilakukan tranfusi tukar apabila ada indikasi:
a. Kadar bilirubin tali pusat > 4,5 mg/dL
b. Kadar bilirubin meningkat >6mg/dL/12jam walaupun sedang mendapatkan terapi sinar
dan kadar Hb 11 13 gr/dL
c. Didapatkan anemia yang progresif walaupun kadar bilirubin dapat dikontrol secara
adekuat dengan terapi sinar.
Transfusi tukar harus dihentikan apabila terjadi:
Emboli (emboli, bekuan darah), trombosis
Hiperkalemia, hipernatremia, hipokalsemia, asidosis, hipoglikemia
Gangguan pembekuan karena pemakaian heparin
Perforasi pembuluh darah
Komplikasi tranfusi tukar

29
Vaskular: emboli udara atau trombus, trombosis
Kelainan jantung: aritmia, overload, henti jantung
Gangguan elektrolit: hipo/hiperkalsemia, hipernatremia, asidosis
Koagulasi: trombositopenia, heparinisasi berlebih
Infeksi: bakteremia, hepatitis virus, sitomegalik, enterokolitis nekrotikan
Lain-lain: hipotermia, hipoglikemia

30

You might also like