You are on page 1of 15

BAB III

TINJAUAN TEORI
I. DEFINISI
Hipertensi ialah tekanan darah sistolik dan diastolic 140/90 mmHg. Pengukuran tekanan
darah sekurang-kurangnya dilakukan 2 kali selang 4 jam. Kenaikan tekanan darah sistolik
30 mmHg dan kenaikan tekanan darah diastolic 15 mmHg sebagai parameter hipertensi
sudah tidak dipakai lagi.

Proteinuria adalah adanya 300 mg protein dalam urin selama 24 jam atau sama dengan 1+
dipstick. Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai
dengan proteinuria.

Preeklampsia berat ialah preeclampsia dengan tekanan darah sistolik 160 mmHg dan
tekanan darah diastolic 110 mmHg disertai proteinuria lebih 5 g/24 jam

II. KLASIFIKASI
Klasifikasi yang dipakai di Indonesia adalah berdasarkan Report of The nasional High Blood
Pressure Education Program Working Group on High Blood Pressure in Pregnancy tahun
2001:
1, Hipertensi kronik : hipertensi yang timbul sebelum umur kehamilan 20 minggu atau
hipertesi yang pertama kali didiagnosis setelah umur kehamilan 20 minggu dan hipertensi
menetap sampai 12 minggu pascapersalinan.
2. Preeklampsia-eklampsia
Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai dengan
proteinuria.
Eklampsia adalah preeclampsia yang disertai dengan kejang-kejang dan/atau koma.
3. hipertensi kronik dengan superimposed preeclampsia adalah hipertensi kronik di sertai
tanda-tanda preeclampsia atau hipertensi kronik disertai proteinuria.
4. Hipertensi gestasional adalah hipertensi yang timbul pada kehamilan tanpa disertai
proteinuria dan hipertensi menghilang setelah 3 bulan pascapersalinan atau kehamilan dengan
tanda-tanda preeclampsia , tetapi tanpa proteinuria.
Preeklampsia berat dibagi menjadi preeclampsia berat tanpa impending eklampsia dan
preeclampsia dengan impending eklampsia. Disebut impending eklampsia jika preeclampsia
berat disertai gejala-gejala subjektif seperti nyeri kepala hebat, gangguan visus, muntah-
muntah, nyeri epigastrium dan kenaikan progresif tekanan darah.
III. FAKTOR RISIKO
Berdasarkan data dari beberapa studi, terdapat 17 faktor yang terbukti meningkatkan risiko
preeclampsia. Berikut beberapa factor resiko yang dapat dinilai saat kunjungan antenatal
pertama:
ANAMNESIS:
1. Umur >40 tahun
2. Nulipara

15
3. Multipara dengan riwayat preeclampsia sebelumnya
4. Multipara dengan kehamilan oleh pasangan baru
5. Multipara yang jarak kehamilan sebelumnya 10 tahun atau lebih
6. Riwayat preeklampsia pada ibu atau saudara perempuan
7. Kehamilan multiple (kembar)
8. IDDM (Insulin Dependent Diabetes Melitus)
9. Hipertensi kronik
10. Penyakit Ginjal
11. Sindrom antifosfolipid (APS)
12. Kehamila dengan inseminasi donor sperma, oosit atau embrio
13. Obesitas sebelum hamil
PEMERIKSAAN FISIK :
1. IMT 35
2. Tekanan darah 80 mmHg
3. Proteinuria (dipstick +1 pada 2 kali pemeriksaan berjarak 6 jam atau secara
kuantitatif 300 mg/24 jam)
Klasifikasi resiko yang dapat dinilai saat melakukan kunjungan antenatal yang pertama.
Resiko tinggi:
Riwayat preeclampsia
Kehamilan multiple
Hipertensi kronis
Diabetes mellitus tipe 1 atau 2
Penyakit ginjal
Penyakit autoimun (contoh : SLE, sindrom antifosfolipid)
Resiko sedang
Nulipara
Obesitas (IMT 30 kg/m2)
Riwayat preeclampsia pada ibu atau saudara perempuan
Usia 35 th
Riwayat khusus pasien (interval kehamilan > 10 th)

16
IV. PATOFISIOLOGI

Gambar. Patofisiologi Preeklampsia

Penyebab hipertensi dalam kehamilan hingga kini belum diketahui dengan jelas. Banyak teori
yang dikemukakan mengenai terjadinya hipertensi dalam kehamilan, tetapi tidak ada satupun
teori tersebut yang dianggap mutlak benar. Berikut merupakan beberapa teori mengenai
patofisiologi preeclampsia berat :

Teori kelainan vaskularisasi plasenta

Pada kehamilan normal, terjadi invasi trofoblas ke dalam lapisan otot arteri spiralis, hal ini
menimbulkan degenerasi lapisan otot tersebut sehingga terjadi dilatasi arteri spiralis. Invasi
trofoblas juga memasuki jaringan sekitar arteri spiralis, sehingga jaringan matriks menjadi
gembur dan memudahkan lumen arteri spiralis mengalami distensi dan dilatasi. Hal ini
berdampak pada penurunan tekanan darah, penurunan resistensi vascular dan peningkatan
aliran darah pada daerah utero plasenta, sehingga menjamin pertumbuhan janin dengan baik.
Proses ini dinamakan remodeling arteri spiralis.

17
Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas pada lapisan otot arteri
spiralis dan jaringan matriks di sekitarnya. Lapisan otot arteri spiralis menjadi tetap kaku dan
keras sehingga lumen arteri spiralis tidak mengalami distensi dan vasodilatasi. Akibatnya
arteri spiralis relative mengalami vasokonstriksi dan terjadi kegagalan remodeling arteri
spiralis, sehingga aliran darah utero plasenta menurun, dan terjadilah hipoksia dan iskemia
plasenta.

Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel

Iskemia plasenta dan pembentukan oksidan/radikal bebas


Pada teori invasi trofoblas, pada hipertensi dalam kehamilan terjadi kegagalan
remodeling arteri spiralis, sehingga plasenta akan mengalami iskemia. Plasenta
tersebut akan menghasilkan oksidan (radikal bebas). Oksidan merupakan senyawa
penerima electron atau molekul yang mempunyai electron yang tidak berpasangan.
Salah stau oksidan penting yang dihasilkan plasenta iskemia adalah radikal hidroksil
yang sangat toksik, khususnya terhadap membrane sel endotel pembuluh darah.
Radikal hidroksil ini akan merusak membrane sel, yang mengandung banyak asam
lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak. Peroksida lemak selain akan merusak
membrane sel juga akan merusak nucleus dan protein pada sel endotel.
Disfungsi endotel
Sel endotel yang terpapar peroksida lemak akan mengalami kerusakan mulai dari
membrane sel endotel. Kerusakan ini mengakibatkan terganggunya fungsi endotel
hingga merusak seluruh struktur endotel.

V. DIAGNOSIS
Preeklampsia digolongkan menjadi preeklampsia berat bila ditemukan satu atau lebih

gejala sebagai berikut:

Tekanan darah sistolik sistolik 160 mmHg dan tekanan darah diastolik 110 mmHg.

Tekanan darah ini tidak menurun meskipun ibu hamil sudah dirawat di rumah sakit dan

sudah menjalani tirah baring.

Proteinuria lebih dari 5g/24 jam atau 4 + dalam pemeriksaan kualititatif.

Oliguria yaitu produksi urin kurang dari 500 cc/ 24 jam.

Kenaikan kadar kreatinin plasma.

Gangguan visus dan serebral : penurunan kesadaran, nyeri kepala, skotoma dan

18
pandangan kabur.

Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen (akibat teregangnya

kapsula Glisson).

Edema paru-paru dan sianosis.

Hemolisis dan mikroangiopatik.

Trombositopenia berat <100.000 sel/mm atau penurunan trombosit dengan cepat.

Gangguan fungsi hepar (kerusakan hepatoseluler) : peningkatan kadar alanin dan


asparte aminotransferase.

Pertumbuhan janin intrauterin yang terhambat.

Sindrom HELLP.

VI. TATALAKSANA
Perawatan Dan Pengobatan Preeklampsia Berat
Pengolahan preeklampsia dan eklampsia mencakup pencegahan kejang, pengobatan
hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan suportif terhadap penyulit organ yang terlibat, dan
saat yang tepat untuk persalinan.

Monitoring Selama Di Rumah Sakit


Pemeriksaan sangat teliti diikuti dengan observasi harian tentang tanda-tanda klinik berupa :
nyeri kepala, gangguan visus, nyeri epigastrium, dan kenaikan cepat berat badan. Selain itu,
perlu dilakukan penimbangan berat badan, pengukuran proteiunuria, pengukuran tekanan
darah, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan USG dan NST

Manajemen Umum Perawatan Preeklampsia Berat


Perawatan preeklampsia berat sama halnya dengan perawatan preeklampsia ringan dibagi
menjadi dua unsur :

o Sikap terhadap penyakitnya, yaitu pemberian obat-obat atau terapi medisinalis.

o Sikap terhadap kehamilannya ialah :

Aktif : manajemen agresif, kehamilan diakhiri (terminasi) setiap saat bila keadaan

hemodinamika sudah stabil.

Sikap Terhadap Penyakit : Pengobatan Medikemantosa

Penderita preeklampsia berat harus segera masuk rumah sakit untuk evaluasi rawat inap
dan dianjurkan tirah baring ke satu sisi (kiri).

19
Perawatan yang penting pada preeklampsia dan eklampsia mempunyai resiko tinggi untuk
terjadinya edema paru dan oliguria. Sebab terjadinya kedua keadaan tersebut belum jelas,
tetapi faktor yang sangat menentukan terjadinya edema paru dan oliguria ialah
hipovolemia, vasospasme, kerusakan sel endotel, penurunan gradien tekanan onkotik
koloid/ pulmonary capillary wedge pressure.
Oleh karena itu, monitoring input cairan (melalui oral ataupun infus ) dan output cairan
(melalui urin) menjadi sangat penting. Artinya harus dilakukan pengukuran secara tepat
berapa jumlah cairan yang dimasukkan dan dikeluarkan melalui urin. Bila tanda-tanda
edema paru, segera dilakukan tindakan koreksi. Cairan yang diberikan dapat berupa (a)
5% Ringer-Dekstrose 5% yang tiap 1 liternya diselingi dengan infus Ringer Laktat (60
125 cc/jam) 500 cc.
Dipasang Foley catheter untuk mengukur pengeluaran urin. Oliguria terjadi bila produksi
urin <30 cc/jam dalam 2-3 jam atau < 500 cc/24 jam. Diberikan antasida untuk
mentralisir asam lambung sehingga bila mendadak kejang, dapat menghindari resiko
aspirasi asam lambung yang sangat asam. Diet yang cukup protein, rendah karbohidrat,
lemak dan garam.

Pemberian obat anti kejang

a) MgSO4

b) Contoh obat lain yang dipakai untuk antikejang :

o Diazepam

o Fenitoin

Difenihidantoin obat anti kejang untuk epilepsi telah banyak dicoba pada
penderita eklampsia.

Beberapa peneliti telah memakai bermacam-macam regimen. Fenitoin


sodium mempunyai khasiat stabilisasi memran neuron, cepat masuk jaringan
otak dan efek antikejang terjadi 3 menit setelah injeksi intravena. Fenitoin
sodium diberikan dalam dosis 12 mg/kg berat badan dengan pemberian
intravena 50 mg/menit. Hasilnya tidak lebih baik dari magnesium sulfat.
Pengalaman pemakaian fenitoin di beberapa senter didunia masih sedikit.

Obat anti kejang yang banyak dipakai diindonesia adalah magnesium sulfat
(MgSO47H2O).

20
Magnesium sulfat menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada rangsangan serat
saraf dengan menghambat transmisi neuromuskular. Transmisi neuromuscular
membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada pemberian magnesium sulfat, magnesium akan
menggeser kalsium, sehingga aliran rangsangan tidak terjadi (terjadi kompetitif inhibition
antara ion kalsium dan ion magnesium). Kadar kalsium yang tinggi dalam darah dapat
menghambat kerja magnesium sulfat. Magnesium sulfat sampai saat ini tetap menjadi
pilihan pertama untuk antikejang pada preeklampsia dan eklampsia. Banyak cara
pemberian magnesium sulfat.

Cara pemberian :

Magnesium sulfat regimen

Loading dose : initial dose


4 gram MgSO4: intravena ( 40% dalam 10 cc) selama 15 menit.
Maintenance dose :
Diberikan infus 6 gram dalam larutan ringer/ 6 jam; atau diberikan 4 atau 5 gram i.m.
Selanjutnya maintenance dose diberikan 4 gram i.m tiap 4-6 jam.
Syarat syarat pemberian MgSO4:
o Harus tersedia antidotum MgSO4, bila terjadi intoksikasi yaitu kalsium glukonas
o 10% = 1 g (10% dalam 10 cc) diberikan i.v 3 menit.
o Refleks patella (=) kuat.
o Frekuensi pernafasan > 16 kali/menit, tidak ada tanda-tanda distress napas.
Magnesium sulfat akan dihentikan bila :
Terdapat tanda-tanda intoksikasi, Setelah 24 jam pasca persalinan atau 24 jam setelah
kejang terakhir
Dosis terapeutik dan toksis MgSO4
o Dosis terapeutik 4-7 mEq/liter 4.8-8.4 mg/dl
o Hilangnya refleks tendon 10 mEq/liter 12 mg/dl
o Terhentinya pernafasan 15 mEq/liter 18 mg/dl
o Terhentinya jantung >30 mEq/liter >36 mg/dl
Pemberian magnesium sulfat dapat menurunkan resiko kematian ibu dan didapatkan
50% dari pemberiannya menimbulkan efek flushes (rasa panas).

21
Bila terjadi refrakter terhadap pemberian MgSO4, maka diberikan salah satu obat
berikut: tiopental sodium, sodium amobarbital, diazepam atau fenitoin.
Diuretikum tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema paru-paru, payah jantung
kongestif atau anasarka. Diuretikum yang dipakai ialah furosemida.
Pemberian diuretikum dapar merugikan, yaitu memperberat hipovolemia, memperburuk
perfusi utero-plasenta, meningkatkan hemokonsentrasi, menimbulkan dehidrasi pada
janin, dan menurunkan berat janin.
Pemberian antihipertensi
Masih banyak pendapat dari beberapa negara tentang penentuan batas (cut off) tekanan
darah, untuk pemberian antihipertensi.
Misalnya Belfort mengusulkan cut off yang dipakai adalah 160/110 mmHg dan MAP
126mmHg.
Di RSU Dr. Soetomo Surabaya batas tekanan darah pemberian antihipertensi ialah apabila
tekanan sistolik 180 mmHg dan/ tekanan diastolik 110 mmHg.
Tekanan darah diturunkan secara bertahap, yaitu penurunan awal 25% dari tekanan
sistolik dan tekanan darah diturunkan mencapai <160/105 atau MAP <125.
Jenis antihipertensi yang diberikan sangat bervariasi.
Berdasarkan Cochrane Review atas 40 studi evaluasi yang melibatkan 3.797 perempuan
hamil dengan preeklampsia, Duley menyimpulkan, bahwa pemberian antihipertensi pada
preeklampsia ringan maupun preeklampsia berat tidak jelas kegunaannya.
Di sisi lain Hendorson, dalam Cochrane Review, juga meneliti 24 uji klinik yang
melibatkan 2.949 ibu dengan hipertensi dalam kehamilan, menyimpulkan bahwa sampai
didapatkan bukti yang lebih teruji, maka pemberian jenis antihipertensi diserahkan
kepada pada klinisi masing-masing, yang tergantung kepada dan pengenalan dengan obat
tersebut. Ini berarti hingga sekarang belum ada antihipertensi yang terbaik untuk
pengobatan antihipertensi dalam kehamilan.

Namun yang harus dihindari secara mutlak, sebagai antihipertensi, ialah pemberian
diazkside, ketanserin, nimodipin dan magnesium sulfat.
Antihipertensi lini pertama
Nifedipin
Dosis 10-20 mg per oral, diulangi setelah 30 menit; maksimum 120 mg dalam 24 jam.
Antihipertensi lini kedua

22
Sodium nitroprusside : 0.25 g i.v/kg/5 menit,
Diazokside : 30-60 mg i.v/5 menit; atau i.v infus 10 mg/menit/dititrasi.
Antihipertensi sedang dalam penelitian
Calcium channel blokers : isradipin, nimodipin
Serotinin reseptor antagonis : ketan serin
Jenis obat antihipertensi yang diberikan di indonesia adalah :
Nifedipin
Dosis 10-20 mg, diulangi setelah 30 menit; maksimum 120 mg dalam 24 jam.
Nifedipin tidak boleh diberikan sublingual karena efek vasodilatasi sangat cepat
sehingga hanya boleh diberikan peroral.
Jenis obat antihipertensi yang diberikan di Amerika adalah hidralalazin (apresoline) injeksi
(di indonesia tidak ada), suatu vasodilator langsung pada arteriole yang menimbulkan
refleks takikardia, peningkatan cardiac output, sehingga memperbaiki perfusi utero-
plasenta. Obat antihipertensi lain adalah labetolol injeksi, suatu 1 bloker, non selektif
bloker. Obatobat antihipertensi yang tersedia dalam bentuk suntikan di Indonesia ialah
klonidine (Catapres). Satu ampul mengndung 0.15 mg/cc.
Klonidine 1 ampul dilarutkan dalam 10 cc larutan garam faal atau larutan air untuk
suntikan.
Edema paru
Pada preeklampsia berat, dapat terjadi edema paru akibat kardiogenik (payah jantung
ventrikel kiri akibat peningkatan afterload) atau non-kardiogenik (akibat kerusakan sel
endotel pembuluh darah kapiler paru). Prognosis preeklampsia berat menjadi buruk bila
edema paru disertai oliguria.
Glukokortikoid
Pemberian glukokortikoid untuk pematangan paru janin tidak merugikan ibu. Diberikan
pada kehamilan 32-34 minggu, 2 x 24 jam. Obat ini juga diberikan pada sindrom HELLP.

Sikap Terhadap Kehamilannya.


Penelitian Duley, berdasar Cochrane Review, terhadap dua uji klinik, terdiri atas 133 ibu
dengan preklampsia berat hamil preterm, menyimpulkan bahwa belum ada cukup data untuk
memberi rekomendasi tentang sikap terhadap kehamilanya pada kehamilan preterm.

23
Berdasarkan William Obstetrics, ditinjau dari umur kehamilan dan perkembangan gejala
gejala preeklampsia berat selama perawatan; maka sikap terhadap kehamilannya dibagi
menjadi :
1. Aktif (aggresive management) : berarti kehamilan segera diakhiri/ terminasi bersamaan
dengan pemberian pengobatan medikemantosa.
2. Konservatif (ekspektatif) : berarti kehamilan tetap dipertahankan bersamaan dengan
pemberian pengobatan medikemantosa.
Perawatan aktif (agresif): sambil memberi pengobatan, kehamilan diakhiri.
Indikasi perawatan aktif ialah bila didapatkan satu/lebih keadaan dibawah ini :
Ibu
Umur kehamilan 37 minggu. Lockwood dan Paidas mengambil batasan umur
kehamilan > 37 minggu untuk preeklampsia ringan dan batasan umur kehamilan 37
minggu untuk preeklampsia berat.
Adanya tanda-tanda / gejala-gejala Impending eklampsia.
Kegagalan terapi pada perawatan konservatif, yaitu : keasaan klinik dan laboratorik
memburuk.
Diduga terjadi solutio plasenta
Timbul onset persalinan, ketuban pecah, dan perdarahan.
Janin
Adanya tanda-tanda fetal distress
Adanya tanda-tanda intrauterine growth restriction (IUGR)
Nst nonreaktif dengan profil biofisik abnormal
Terjadinya oligohidramnion
Laboratorik
Adanya tanda-tanda sindroma HELLP khususnya menurunya trombosit dengan
cepat.
Cara mengakhiri kehamilan (terminasi kehamilan) dilakukan berdasarkan keadaan obstetrik
pada waktu itu, apakah tanda inpartu atau belum.3

Perawatan konservatif
Indikasi perawatan konservatif ialah bila kehamilan preterm 37 minggu tanpa disertai tanda
tanda impending eclampsia dengan keadaan janin baik.

24
Diberi pengobatan yang sama dengan pengobatan medikemantosa pada pengelolaan secara
aktif. Di bagian Kebidanan RSU Dr. Soetomo Surabaya , pada perawatan konservatif
preeklampsia, loading dose MgSo4 tidak diberikan secara i.v., cukup i.m saja. Selama
perawatan konservatif ; sikap terhadap kehamilannya ialah hanya observasi dan evaluasi
sama seperti perawatan aktif, kehamilan tidak diakhiri.
Magnesium sulfat dihentikan bila ibu sudah mencapai tanda-tanda preeclampsia ringan,
selambat-lambatnya dalam 24 jam. Bila setelah lebih 24 jam tidak ada perbaikan, keadaan ini
dianggap sebagai kegagalan pengobatan medikemantosa dan harus diterminasi. Penderita
boleh dipulangkan bila penderita kembali ke gejala-gejala atau tanda preeclampsia ringan.

Penyulit Ibu
Sistem saraf pusat
Perdarahan intrakranial, trombosis vena sentral, hipertensi ensefalopati, edema
serebri, edema retina, makular atau retina detachment dan kebutaan korteks.
Gastrointestinal-hepatik : subkapsular hematoma hepar, ruptur kapsul hepar.
Ginjal : gagal ginjal akut, nekrosis tubular akut.
Hematologik : DIC, trombositopenia dan hematoma luka operasi.
Kardiopulmonar : edema paru kardiogenik dan non kardiogenik, depresi atau
arrest,pernapasan, kardiak arrest, iskemia miokardium.
Lain lain : asites, edema laring, hipertensi yang tidak terkendalikan.

Penyulit Janin
Penyulit yang dapat terjadi pada janin ialah intrauterine fetal growth restriction, solusio
placenta, prematuritas, sindroma distress napas, kematian janin intrauterin, kematian neonatal
perdarahan intraventrikular, neccrotizing enterocolitis, sepsis, cerebral palsy.

BAB IV
DISKUSI KASUS

Permasalahan:
1. Apakah diagnosis sudah tepat?
2. Apakah penatalaksanaan sudah tepat?
Pembahasan

1. Apakah diagnosis sudah tepat?

25
Diagnosis
G2P1Ao hamil 38 minggu 4 hari inpartu kalla I fase aktif dengan preeklamsi berat +
inersia uteri, janin tunggal hidup, presentasi kepala.
Pada Anamnesa :

Pasien datang ke IGD maternal RSUD dr. Drajat Prawiranegara dengan keluhan hamil
38 minggu 4 hari disertai dengan mules-mules seperti mau melahirkan sejak Rabu
(12-1-2017) pukul 02.00 WIB. Pasien mengatakan hamil anak ke-2, dan tidak
pernah keguguran sebelumnya.

Pemeriksaan Obstetri:

Palpasi : Leopold I : TFU = 30 cm. Teraba bulat, lunak, tidak melenting


Leopold II : Kanan = Teraba panjang keras memanjang
Kiri = Teraba bagian kecil
Leopold III : Teraba bagian bulat, keras, dan melenting.
Leopold IV : Divergen.
HIS : 2 x/ 10 menit, Lamanya 30 detik
TBJ : 2.945 gram
Pemeriksaan VT:
Vulva-vagina : Dalam batas normal; Arah portio: depan
Pembukaan : 3 cm
Efficement : 50 %
Penurunan : Hodge II
Konsistensi servix : Sedang
Posisi : Posterior
Ketuban : Utuh
Bagian terendah : Kepala

Berdasarkan teori, Diagnosis Preeklampsia berat ditegakkan berdasar kriteria jika


ditemukan satu atau lebih gejala.

26
Didapatkan tekanan darah pasien 160/120 mmHg

2. Apakah penatalaksanaan sudah tepat?


Pada kasus, sudah dilakukan penanganan dengan memberi obat anti konvulsanMgSO420%

4gr (20 cc), selanjutnya pemberian MgSO4 40% 6gr 20 tpm (syarat : respirasi > 16x/menit ,

reflek patella +/+ , urin output >30cc/jam)sampai dengan 24 jam post partum. Pemberian anti

hipertensi, adalat oros 1x30mg. Pemasangan DC, kateterisasi urine untuk mengeluarkan

volume dan proteinuria serta mengontrol jumlah produksi urine.

Pasien datang sedang inpartu kala I fase aktif dengan pembukaan 4 cm.

Cara terminasi kehamilan PEB yang sudah inpartu :

Kala I
- Fase laten : 6 jam belum masuk fase aktif maka dilakukan seksio sesaria.
- Fase aktif : Amniotomi, Bila 6 jam setelah amniotomi belum terjadi pembukaan
lengkap maka dilakukan seksio sesaria (bila perlu dilakukan tetesan oksitosin).

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan :
Preeklampsia merupakan hipertensi dan proteinuria yang timbul setelah 20 minggu

kehamilan yang sebelumnya normal yang disebabkan oleh banyak faktor.Pada kondisi berat,

preeklamsia dapat menjadi eklampsiadengan penambahan gejala kejang-kejang.


Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya preeklampsia dan eklampsia (multiple

causation). Faktor-faktor yang menyebabkan hal tersebut diantaranya nulipara, primigravida,

genetik, kehamilan ganda, usia kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun, riwayat

hipertensi, dan obesitas. Diagnosis preeklampsia-eklampsia harus dilakukan sedini mungkin demi

mendapatkan penatalaksanaan eklampsia yang tepat agar terhindar dari komplikasi. Preventif sangat

27
penting untuk diperhatikan, yakni melalui asuhan antenatal. Jika bentuk-bentuk hipertensi

diketahui sejak dini dan ditangani secara tepat maka penyebab morbiditas dan mortalitas

akibat hipertensi dapat dikurangi. Apabila anak yang lahir dari ibu preeklampsia ketika

dewasa memiliki peningkatan risiko hipertensi dan kardiovaskular serta kemungkinan

peningkatan preeklampsia pada kehamilan mereka sendiri.


Pada Preeklamsia berat, persalinan harus terjadi dalam 24 jam, sedangkan pada eklamsia persalinan

harus berlangsung dalam 12 jam sejak gejala eklamsia timbul. Jika terjadi gawat janin atau persalinan

tidak dapat terjadi dalam 12 jam (pada eklamsia), dilakukan bedah caesar.

Saran :

1. Setiap calon Ibu dapat melakukan langkah preventif dengan teratur memeriksakan

kehamilannya ke tenaga medis.

2. Perlunya dukungan pada calon ibu dalam melakukan pemeriksaan antenatal secara teratur.

3. Perbaikan dalam aspek yang mendukung pelaksanaan antenatal harus diperhatikan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Dikman, A.M. 2010. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Edisi ke-4. Jakarta: PT.
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. H.531-50
2. Kemenkes RI. 2015. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019.
Dari http://www.depkes.go.id
3. Muthi, N.K., Rizanda, M., Yusrawati. 2015. Hubungan Faktor Risiko Dengan
Kejadian Preeklampsia Berat di RSUP Dr. M. Djamil Padang; vol 4 (2); 556-557.
Diakses pada tanggal 31 oktober 2016. Dari http://jurnal.fk.unand.ac.id.
4. POGI. 2016. Diagnosis dan Tatalaksana Pre-eklampsia. Dari
http://pogi.or.id/publish/download/pnpk-dan-ppk/
5. Powe, Camille E., dkk. 2011. Preeclampsia, A Disease of the Maternal Endothelium.
Dari http://circ.ahajournals.org/content/123/24/2856
6. Prawiroharjo, S. 2014, Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo edisi 4. Jakarta: PT
Bina Pustaka. Hal. 531-50.

28
29

You might also like