You are on page 1of 42

MINI PROJECT

HUBUNGAN PENGETAHUAN DIET RENDAH PURIN TERHADAP


PENINGKATAN INSIDENSI PENYAKIT ARTERITIS GOUT DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS GOMBONG I
PERIODE BULAN AGUSTUS - OKTOBER 2015

Disusun oleh :

dr. Herlin Ajeng Nurrahma


dr. Lina Handayani
dr. Naila Shulya Ellyana
dr. Natalia Dyah Marlena
dr. Nian Puspita Kusuma Wardani

Pendamping :

dr. Anastasia Ardiningsih

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


PUSKESMAS GOMBONG I
KEBUMEN JAWA TENGAH
2015
BERITA ACARA PRESENTASI MINI PROJECT
Pada hari Selasa, 10 November 2015 telah dipresentasikan mini project :
Judul/topik : Hubungan Pengetahuan Diet Rendah Purin Terhadap
Peningkatan Insidensi Penyakit Arteritis Gout Di Wilayah Kerja
Puskesmas Gombong I Periode Bulan Agustus - Oktober 2015.
Nama Pendamping : dr. Anastasia Ardiningsih
Nama wahana : UPTD Puskesmas Gombong I

Daftar peserta yang hadir :


No. Nama peserta presentasi Keterangan Tanda tangan

1. dr. Herlin Ajeng Nurrahma Presentan

2. dr. Lina Handayani Presentan

3. dr. Naila Shulya Ellyana Presentan

4. dr. Natalia Dyah Marlena Presentan

5. dr. Nian Puspita K.W Presentan

Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan sesungguhnya.

Dokter Pendamping

dr. Anastasia Ardinigsih

Mengetahui,
Kepala Puskesmas Gombong I (Wero)

dr. Toto Kristiyanto


BERITA ACARA PRESENTASI PENYULUHAN

Pada hari Senin, 5 Oktober 2015 telah dipresentasikan mini project :


Judul/topik : Waspadai Asam Urat Tinggi

2
Nama Pendamping : dr. Anastasia Ardiningsih
Nama Wahana : UPTD Puskesmas Gombong I
Tempat Penyuluhan : Posyandu Wero
Sasaran : Lansia, kader, ibu

Daftar nama penyuluh :


No. Nama peserta presentasi Keterangan Tanda tangan

1. dr. Herlin Ajeng Nurrahma Dokter Internship

2. dr. Lina Handayani Dokter Internship

3. dr. Naila Shulya Ellyana Dokter Internship

4. dr. Natalia Dyah Marlena Dokter Internship

5. dr. Nian Puspita K.W Dokter Internship

Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan sesungguhnya.

Dokter Pendamping

dr. Anastasia Ardinigsih

LEMBAR PERSETUJUAN

JUDUL : HUBUNGAN PENGETAHUAN DIET RENDAH PURIN TERHADAP


PENINGKATAN INSIDENSI PENYAKIT ARTERITIS GOUT DI

3
WILAYAH KERJA PUSKESMAS GOMBONG I PERIODE BULAN
AGUSTUS - OKTOBER 2015.

PENYUSUN :

1. dr. Herlin Ajeng Nurrahma


2. dr. Lina Handayani
3. dr. Naila Shulya Ellyana
4. dr. Natalia Dyah Marlena
5. dr. Nian Puspita Kusuma Wardani

Gombong, 10 November 2015


Mengetahui,
Dokter Pendamping

dr. Anastasia Ardiningsih

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan Kehadirat Tuhan YME yang telah melimpahkan Rahmat
dan KaruniaNya. Rasa syukur kami panjatkan bersamaan dengan selesainya hasil laporan
analisis kami dengan judul HUBUNGAN PENGETAHUAN DIET RENDAH PURIN
TERHADAP PENINGKATAN INSIDENSI PENYAKIT ARTERITIS GOUT DI WILAYAH
KERJA PUSKESMAS GOMBONG I PERIODE BULAN AGUSTUS - OKTOBER 2015.
Laporan ini disusun sebagai salah satu syarat dalam kegiatan kami selama Program Internship
Dokter Indonesia (PIDI) di UPTD Puskesmas Gombong I.
Dalam penulisan laporan ini kami banyak menerima bantuan dari berbagai pihak. Untuk
itu, dalam kesempatan ini kami ucapkan terimakasih kepada :
1. Toto Kristiyanto, dr. selaku kepala Puskesmas Gombong I,
2. Anastasia Ardiningsih, dr. selaku dokter pendamping dokter internship,
3. Staf dan karyawan Puskesmas Gombong I,

4
4. Rekan-rekan profesi dokter dan semua pihak yang telah membantu penyelesaian
laporan ini.

Dengan segala kerendahan hati kami memohon maaf apabila masih banyak kesalahan
dan kekurangan dalam penyusunan laporan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi
para pembaca, instansi dan khususnya bagi kepentingan pelayanan kesehatan untuk
masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Gombong I.

Gombong, November 2015

Hormat Kami,

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..... 5
DAFTAR ISI....... 6
DAFTAR GAMBAR ..... 8
DAFTAR TABEL .. 9
DAFTAR LAMPIRAN 10

BAB I PENDAHULUAN 11
1.1 Latar Belakang. 11
1.2 Rumusan Masalah 12
1.3 Tujuan.. 13
1.4 Manfaat 13
1.4.1 Manfaat Bagi Peneliti 13
1.4.2 Manfaat Bagi Wahana 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 14
2.1. Definisi... 14
2.2. Epidemiologi. 14
2.3. Etiologi... 14
2.4. Klasifikasi Hiperusemia Dan Artritis Gout.. 15
2.5. Pathogenesis.. 15

5
2.6. Faktor resiko.. 16
2.7 Manifestasi Klinis 17
2.8. Diagnosis 18
2.9. Diagnosis Banding. 19
2.10 Penatalaksanaan Artritis Gout.. 25
2.11. Komplikasi. 27
2.12 Makanan yang Mengandung Purin... 27
KERANGKA TEORI.29
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 30
3.1 Penetapan Topik Masalah... 30
3.2 Tempat dan Waktu.. 30
3.3 Jenis dan Sumber Data 30
3.3.1 Jenis Data... 30
3.3.2 Sumber Data.. 31
3.3.3 Populasi Penelitian 31
3.4 Pengolahan dan Analisis Data 31
3.5 Pelaksanaan Solusi. 31
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 32
4. 1 Hasil Penelitian... 32
4. 1. 1 Profil Puskesmas... 32
i. Data geografis. 32
ii. Data demografis.. 33
iii. Sumber daya kesehatan... 34
4. 2 Hasil Penelitian dan Pembahasan... 35
BAB V DISKUSI... 37
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 38
6. 1 Kesimpulan.. 38
6. 2 Saran. 38

DAFTAR PUSTAKA 39
LAMPIRAN... 41

6
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Bone Scanning Pada Artritis Gout 18


Gambar 2 Foto Polos Pada Arthritis Rheumatoid 20
Gambar 3 Peta Wilayah Kerja Puskesmas Gombong I 32

7
DAFTAR TABEL

Tabel 1Tabel Revisi Kriteria Untuk Klasifikasi Dari Artritis Rheumatoid 19


Menurut American Rheumatism Association
Tabel 2Kriteria Diagnosis OA Lutut Berdasarkan American College Of 23
Rheumatology
Tabel 3Pengaturan Makanan Diet Rendah Purin 27
Tabel 4Kerangka Teori 28

8
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Kuesioner Penyuluhan Waspadai Asam Urat 40


Lampiran 2 Kuesioner Perilaku makan dan minum yang berhubungan 42
dengan arthritis gout
Lampiran 3 Pamflet Penyuluhan Asam Urat 1 43
Lampiran 4 Pamflet Penyuluhan Asam Urat 2 44

9
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit arthritis gout adalah salah satu penyakit inflamasi sendi yang paling
sering ditemukan, ditandai dengan penumpukan kristal monosodium urat di dalam
ataupun di sekitar persendian (Zahara, 2013). Angka kejadian penyakit arthritis gout
cenderung memasuki usia semakin muda yaitu usia produktif dimana diketahui prevalensi
asam urat di Indonesia yang terjadi pada usia di bawah 34 tahun yaitu sebesar 32%
dengan kejadian tertinggi pada penduduk Minahasa sebesar 29,2 %. Hal ini merupakan
pengaruh dari pola hidup yang buruk, yang nantinya berdampak pada penurunan
produktifitas kerja. Kondisi ini dapat menurunkan kualitas hidup dari masing-masing
penderita (Pratiwi VF, 2013).
Artritis gout terjadi sebagai akibat deposisi kristal monosodium urat pada jaringan
atau supersaturasi asam urat didalam cairan ekstraseluler (Anastesya W, 2009). Terdapat
dua factor resiko seseorang menderita arthritis gout, yaitu factor yang tidak dapat di
modifikasi dan factor yang dapat dimodifikasi. Factor resiko yang dapat dimodifikasi
adalah usia dan jenis kelamin. Di lain pihak, factor resiko yang dapat dimodifikasi adalah
terkait dengan pengetahuan, sikap dan perilaku penderita mengenai arthritis gout , kadar
asam urat, dan penyakit penyakit lain seperti diabetes mellitus (DM), hipertensi dan

10
dislipideima yang membuat individu tersebut memiliki risiko lebih besar untuk terserang
penyakit arthritis gout (Festy P, 2009). Pengelolaan gout sering sulit dilakukan karena
berhubungan dengan kepatuhan perubahan gaya hidup (Azari RA, 2014).
Berdasarkan data RISKESDAS 2013, prevalensi penyakit sendi pada usia 55-64
tahun 45,0% , usia 65-74 tahun 51,9%, usia > 75 tahun 54,8%. Penyakit sendi yang sering
dialami oleh golongan lanjut usia yaitu penyakit arthritis gout, osteoarthritis dan arthritis
rheumatoid. Salah satu faktor yang mempengarui arthritis gout adalah makanan yang
dikonsumsi, umumnya makanan yang tidak seimbang (asupan protein yang mengandung
purin terlalu tinggi). Kebiasaan makan yang mengandung purin 200 mg/hari akan
meningkatkan resiko arthritis gout tiga kali lebih besar dibandingkan dengan orang yang
tidak mengkonsumsi purin.
Prevalensi arthritis gout di dunia berkisar 1-2 % dan mengalami peningkatan dua
kali lipat diandingkan dua decade sebelumnya. Di Indonesia prevalensi arthritis gout
belum diketahui secara pasti dan cukup bervariasi antara satu daerah dengan daerah yang
lain. Sebuah penelitian di Jawa Tengah mendapatkan prevalensi arthritis gout sebesar
1,7% sementara di Bali (8,5%). Menurut daftar rekam medis Puskesmas Gombong I
(Wero) pada bulan Juli September 2015, Artritis Gout menempati posisi kedua setelah
penyakit ISPA dari 10 daftar penyakit terbanyak di Puskesmas.
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui faktor resiko terjadinya
artitris gout, terdapat interaksi antara faktor yang dapat diubah dan yang tidak dapat
diubah. Faktor resiko yang tak dapat diubah seperti ; riwayat penyakit keluarga, genetik,
usia dan jenis kelamin. Pada usia pertengahan yaitu sekitar usia 40 tahun kejadian
hiperurisemia biasanya ditemukan pada laki-laki, sedangkan wanita biasanya terjadi
setelah mengalami menopause. Faktor usi tersebut juga berpengaruh pada penurunan
fungsi ginjal terutama pada pria.
Sedangkan faktor resiko yang dapat diubah yang berpengaruh diantaranya obesitas,
asupan makanan dan alkohol, konsumsi obat, gangguan ginjal dan hipertensi. Penyakit
gout sendiri lebih sering menyerang penderita yang mengalami kelebihan badan 30% dari
berat badan ideal. Seseorang dengan berat badan lebih berkaitan dengan kenaikan kadar
asam urat dan menurunnya ekskresi asam urat melalui ginjal. Hal tersebut disebabkan
karena terjadinya gangguan proses reabsorbsi asam urat pada ginjal.
Asupan yang masuk ke tubuh juga mempengatuhi kadar asam urat dalam darah.
Makanan yang mengandung zat purin tinggi akan diubah menjadi asam urat. Asam urat
yang dikeluarkan lewat urin sebesar 2/3 sedangkan sisanya diekskresi melalui usus, tetapi
pada orang dgn diet tinggi purin, terjadi gangguan pada metabolisme purin sehingga

11
terjadi hiperekskresi asam urat yang ditunjukkan dengan kadar asam urat urin yang tinggi
pada urin. Selain peningkatan kadar asam urat urin, terjadi peningkayan asam urat dalam
darah pula.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang ini maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
adakah hubungan pengetahuan masyarakat tentang diet purin dengan peningkatan
insidensi arthritis gout di Puskesmas Gombong I (Wero), Kebumen, Jawa Tengah pada
periode Agustus Oktober 2015?

1.3 Tujuan
Untuk mengetahui hubungan pengetahuan masyarakat tentang diet rendah purin
dalam peningkatan insidensi penyakit Artritis Gout di Wilayah kerja Puskesmas Gombong
I pada periode Agustus Oktober 2015.

1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat Bagi Peneliti
i. Sebagai pengalaman dan penambahan wawasan tentang insidensi penyakit
arthritis gout yang terjadi di Puskesmas Gombong I.
ii. Mengaplikasikan ilmu kedokteran yang telah dipelajari ke dalam sebuah
penelitian yang berguna bagi masyarakat.

1.4.2 Manfaat Bagi Wahana


i. Sebagai bahan acuan dalam peningkatan penanganan penyakit arthritis
gout di Pukesmas Gombong I.
ii. Untuk meningkatkan pelayanan kesehatan berupa pemberian informasi dan
motivasi kepada penderita penyakit arthritis gout di Puskesmas Gombong I
iii. Sebagai bahan masukan dan evaluasi terhadap pelaksanaan upaya
kesehatan Puskesmas Gombong I sesuai hasil penelitian.

12
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Artritis gout adalah suatu sindroma klinis yang ditandai oleh episode artritis akut dan
berulang yang sering menyerang sendi kecil akibat adanya endapan kristal monosodium
urat dalam jaringan. Penimbunan kristal monosodium urat monohidrat terjadi di jaringan
akibat adanya supersaturasi asam urat.1
Pada artritis gout stadium kronis, dapat ditemukan topus, yaitu nodul padat yang
terdiri dari deposit kristal asam urat yang keras dan tidak nyeri yang dapat ditemukan pada
sendi atau jaringan.1

2.2 Epidemiologi
Arthritis gout lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan, puncaknya
pada dekade ke-V. Di Indonesia, arthritis gout terjadi pada usia yang lebih muda, sekitar
32% pada pria berusia kurang dari 34 tahun. Pada wanita, kadar asam urat umumnya
rendah dan meningkat setelah usia menopause. Prevalensi arthritis gout di Bandungan,
Jawa Tengah, prevalensi pada kelompok usia 15-45 tahun sebesar 0,8%; meliputi pria
1,7% dan wanita 0,05%. Di Minahasa (2003), proporsi kejadian arthritis gout sebesar
29,2% dan pada etnik tertentu di Ujung Pandang sekitar 50% penderita rata-rata telah
menderita gout 6,5 tahun atau lebih setelah keadaan menjadi lebih parah.3

2.3 Etiologi
Gejala arthritis gout akut disebabkan oleh reaksi inflamasi jaringan terhadap
pembentukan kristal monosodium urat monohidrat. Karena itu, dilihat dari penyebabnya,
penyakit ini termasuk dalam golongan kelainan metabolik. Asam urat merupakan zat sisa
yang dibentuk oleh tubuh pada saat regenerasi sel. Beberapa orang dengan gout
membentuk lebih banyak asam urat dalam tubuhnya (10%). Sisanya (90%), tubuh anda
tidak efektif membuang asam urat melalui air seni. Faktor lain yaitu genetik, jenis kelamin
dan nutrisi (peminum alkohol, obesitas).1,4

13
2.4 Klasifikasi Hiperusemia dan Artritis Gout

Klasifikasi hiperurisemia dan gout sebagai berikut:5

1. Primer
a. Metabolik (Kelebihan Produksi)
Idiopatik (10% dari gout primer)
Berhubungan dengan gangguan enzim (<1%)
Kelebihan produksi fosforibisil pirofosfat (PRPP) sintetase
Defisiensi hiposantin guanin fosforobosil transfase (HGPRT)
parsial
Defisiensi HGPRT komplit
b. Renal (undereskresi idiopatik 90% gout primer)
2. Sekunder
a. Metabolik
Peningkatan turnover asam nukleat contohnya hemolisis kronik,
gangguan limfoproliferatif atau mieloproliferatif.
Defisiensi glukosa 6 fosfat dehidroginase (G6PD) contohnya
glycogen storage disease.
b. Renal
Gagal ginjal akut atau kronik
Deplesi volume
Gangguan pada tubulus oleh karena obat-obatan atau produksi
metabolik.

2.5 Patogenesis
Kadar asam urat dalam serum merupakan hasil keseimbangan antara produksi dan
sekresi. Ketika terjadi ketidakseimbangan dua proses tersebut maka terjadi keadaan
hiperurisemia yang menimbulkan hipersaturasi asam urat yaitu kelarutan asam urat di
serum yang telah melewati ambang batasnya, sehingga merangsang timbunan asam urat
dalam bentuk garam yaitu monosodium urat (MSU) di berbagai jaringan.6,7
Menurunnya kelarutan sodium urat pada temperatur yang lebih rendah seperti pada
sendi perifer tangan dan kaki dapat menjelaskan kenapa kristal MSU mudah diendapkan
di kedua tempat tersebut. Predileksi pengendapan kristal MSU pada metatarsofalangeal-1
(MTP-1) berhubungan juga dengan trauma ringan yang berulang-ulang pada daerah
tersebut. Perubahan matrik ekstraseluler seperti proteoglikan, kondroitin sulfat, serat
kolagen dan sebagainya atau debris dalam cairan sinovial dapat menjadi nidus (inti atau
nucleating agent) pembentukan kristal. Kristal MSU yang terbentuk bisa mengalami
disolusi spontan atau mengalami akumulasi kronik di jaringan membentuk topus terutama

14
di sinovium dan permukaan kartilago. Tofus di jaringan sinovial tetap stabil karena
biasanya diselimuti albumin dan imunoglobulin.8,9
Awal artritis gout akut berhubungan dengan perubahan kadar asam urat serum karena
kadar asam urat yang stabil jarang menimbulkan serangan. Pengobatan dengan
allopurinol, trauma, pembedahan dan asupan alkohol yang berlebihan dapat menjadi
faktor pencetus artritis gout akut. Keadaan ini menyebabkan terlepasnya kristal
monosodium urat dari depositnya di sinovium atau tophi (crystals shedding).7,9
Kristal MSU ditangkap oleh reseptor TLR2 dan TLR4, suatu reseptor transmembran
yang terdapat pada permukaan sel imun inate seperti monosit atau makrofag. Proses
fagositosis ini dibantu oleh protein adaptor Myd88 dan CD14. CD14 terdapat pada
permukaan sel fagosit yang dapat melipatgandakan respon seluler yang dirangsang oleh
ligand TLR2 dan TLR4. Sedangkan protein adaptor Myd88 bersama phosphatidylinositol
3 kinase, Rac1 dan Akt meneruskan sinyal untuk aktivasi faktor traskripsi nuclear factor
kappa B (NF) di inti sel untuk membentuk berbagai molekul proinflamasi seperti tumor
necrosis factor (TNF- ), interleukin-1 (IL-1), IL-6, CXCL8 (IL-8), dan CXCL1
(growth-related oncogene ).10

2.6 Faktor Resiko


a. Pola makan yang tidak terkontrol
Asupan makan yang masuk ke dalam tubuh dapat mempengaruhi kadar asam
urat dalam darah. Makanan yang mengandung zat purin yang tinggi akan
diubah menjadi asam urat
b. Obesitas
c. Jenis kelamin dan usia
Hiperurisemia biasanya dimulai pada masa pubertas pada pria tetapi pada
wanita fase ini biasanya mulai setelah menopause Usia
d. Genetic
e. Kurang konsumsi air putih
f. Gangguan ginjal dan hipertensi
2.7 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis artritis gout bergantung pada stadium yang sedang terjadi:
1. Hiperurisemia asimptomatik
Stadium ini ditandai dengan adanya peningkatan kadar asam urat dalam darah
tanpa disertai manifestasi klinis, hiperurisemia biasanya dimulai pada masa
pubertas pada pria tetapi pada wanita fase ini biasanya mulai setelah menopause.
2. Serangan artritis gout akut
Fase ini merupakan manifestasi klinis yang paling sering dijumpai. Gambaran
klinis sangat khas sehingga diagnosis dapat ditegakkan dengan mudah. Biasanya
menyerang sendi metatarsofalangeal I (MTP I), selain itu pada pergelangan kaki,
lutut, pergelangan tangan, jari tangan dan siku.

15
Serangan artritis gout ditandai adanya nyeri yang cepat yang mempengaruhi
persendian dan diikuti panas, bengkak, kemerahan dan sangat nyeri. Nyeri
biasanya menyerang satu persendian tetapi pada wanita dapat poliartikuler. Nyeri
pada artritis gout disebabkan deposit kristal asam urat di dalam jaringan sendi.
Bila tidak diobati akan sembuh sendiri dalam 7 sampai 10 hari.
Serangan artritis gout dapat dicetuskan oleh stres, trauma, infeksi, dehidrasi,
operasi, starvasi, alkohol, obat-obatan, penurunan berat badan, dan makan
makanan tertentu yang berlebihan, adanya perubahan profil lipid pada saat
serangan artritis gout. Pencegahan dapat dilakukan bila level asam urat serum <
6,0 mg/dl yaitu dengan cara mempertahankan intake cairan yang adekuat,
penurunan berat badan, perubahan diet, mengurangi konsumsi alkohol dan obat-
obatan yang menurunkan hiperurisemia.
3. Interkritikal gout
Merupakan fase antara satu serangan akut gout dengan serangan berikutnya
pada stadium awal periode ini biasanya tanpa gejala dan tanpa kelainan
pemeriksaan meskipun pada periode ini bersifat asimtomatik, tetapi kristal MSU
dapat ditemukan pada cairan sendi yang terlibat.
4. Stadium kronis tofeseus gout
Stadium ini dimulai dengan ditemukan adanya topus di sendi atau sekitar
sendi. Timbulnya topus bervariasi antara 3 sampai 42 tahun, kebanyakan setelah
10 tahun dan terjadinya topus berkorelasi dengan derajat dan lamanya
hiperurisemia, terutama pada kadar asam urat > 11mg/dl.
Topus juga dihubungkan dengan makin muda umur dan makin lama menderita
artritis gout. Topus dapat ditemukan di daerah kartilago, membran sinovial tendon,
jaringan lunak, dan berbagai tempat seperti telinga, jari-hari tangan, tangan, siku,
lutut. Topus dapat single dan multiple, berukuran kecil sampai besar sangat
menganggu pergerakan sendi, sering disertai dengan adanya luka yang
mengeluarkan cairan berwarna keputih-putihan berisi kristal berbentuk jarum.
Pada topus kecil yang sukar dibedakan dengan nodul rematik yang lain. Maka
aspirasi sendi atau biopsi topus dapat digunakan untuk memastikan diagnosis.
Apabila tidak ditatalaksana dengan baik serangan artritis gout akan
berlangsung lebih sering, mengenai banyak sendi (poliartikuler), semakin berat
dan semakin lama serta gejala sistemik yang lebih berat pula.1

2.8 Diagnosis
Menurut kriteria ACR (American Collage of Rheumatology), diagnosis dapat
ditegakkan jika:

16
1. Didapatkan kristal monosodium urat dalam cairan sendi atau
2. Didapatkan tofus yang mengandung kristal MSU atau
3. Ditemukan 6 dari beberapa kriteria dibawah ini:
a. Lebih dari 1 kali serangan artritis akut
b. Inflamasi maksimal berkembang dalam 1 hari
c. Arthritis monoartikuler
d. Kemerahan pada sendi
e. Bengkak + nyeri pada MTP-1
f. Serangan unilateral pada MTP-1
g. Serangan unilateral pada sendi-sendi tarsal
h. Dicurigai tofus
i. Hiperurisemia
j. Pembengkakan sebuah sendi asimetrik (pada foto rontgen)
k. Kista subkortikal tanpa erosi (pada foto rontgen)
l. Kultur mikroorganisme cairan sendi negatif.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah foto polos untuk mengevaluasi
gout kronis tidak terkontrol minimal 1 tahun diderita. Pada Bone scanning tampak
konsentrasi radionuklida meningkat di lokasi yang terkena dampak.
Pada fase awal, tampak pembengkakan asimetris dan edema jaringan lunak sekitar
sendi. Pada pasien dengan beberapa episode arthritis gout pada sendi yang sama,
ditemukan daerah berawan dengan opasitas meningkat dan perubahan tulang mulai yaitu
lesi punch-out, yang dapat berkembang menjadi sklerotik karena peningkatan ukuran.

2.9 Diagnosis Banding


Rheumatoid arthritis1,13,14
Rheumatoid arthritis adalah inflamasi sistemik kronik yang menyerang beberapa sendi
dan termasuk gangguan auto-imun (hipersensitivitas tipe III). Rheumatoid arthritis dapat
menyebabkan sinovitis, serositis (inflamasi pada permukaan lapisan sendi, perikardium,
dan pleura), nodul rheumatoid, dan vaskulitis bila proses ini terus-menerus dapat
menyebabkan penghancuran tulang rawan artikular dan ankylosis. Sel-sel radang
rheumatoid arthritis dapat juga menyebar ke paru-paru, perikardium, pleura, sklera, lesi
nodular, jaringan subkutan di bawah kulit.
Artritis reumatoid merupakan penyakit yang menyerang laki-laki pada umur 60-70
tahun. Pada wanita, prevalensi penyakit ini meningkat dari pertengahan abad ke-20 dan
konstan pada level umur 45-65 tahun dengan masa puncak 65-75 tahun.

17
Bila ditinjau dari stadium, maka pada RA terdapat tiga stadium yaitu:

a Stadium sinovitis : adanya hiperemi, edema karena kongesti, nyeri pada saat istirahat
maupun saat bergerak, bengkak, dan kekakuan.

b Stadium destruksi : terjadi kerusakan pada jaringan synovial dan sekitarnya yang
ditandai adanya kontraksi tendon atau perubahan bentuk tangan (jari swan-neck).

c Stadium deformitas : terjadi perubahan secara progresif dan berulang, deformitas dan
ganggguan fungsi secara menetap. Perubahan pada sendi diawali adanya sinovitis,
berlanjut pada pembentukan pannus, ankilosis fibrosa, dan terakhir ankilosis tulang.

Kerusakan fungsi pada sendi yang mengalami rheumatoid arthritis diklasifikasikan


berdasarkan tingkat kerusakan pada sendi berdasarkan klasifikasi Steinbroker yaitu;

St. I : tidak adanya kerusakan pada sendi.


St. II : terjadi osteoporosis dengan atau tanpa kerusakan tulang yang ringan
disertai penyempitan pada ruang sendi.
St. III : terjadi kerusakan pada kartilago dan tulang tertentu dengan penyempitan
ruang sendi; sehingga terjadi perubahan bentuk sendi.
St. IV : imobilisasi semua sendi karena menyatunya tulang-tulang dengan sendi.
Pada rheumatoid arthritis juga terdapat gejala konstitusional, misalnya lelah hebat,
anoreksia, berat badan turun dan demam. Serta adanya manifestasi ekstra-artikular seperti
jantung (perikarditis), paru-paru (pleuritis), mata, dan pembuluh darah dapat rusak.

Dibawah ini merupakan tabel revisi kriteria untuk klasifikasi dari artritis reumatoid
menurut American Rheumatism Association:

Kriteria Definisi

Kekakuan pagi hari pada sendi atau disekitar sendi,


1 Kekakuan pagi hari lamanya setidaknya 1 jam

Setidaknya tiga area sendi secara bersama-sama dengan


peradangan pada jaringan lunak atau cairan sendi. 14
2Artritis pada tiga kemungkinan area yang terkena, kanan maupun kiri
atau lebih area proksimal interfalangs (PIP), metacarpofalangs (MCP),
sendi pergelangan tangan, siku, lutut, pergelangan kaki, dan
sendi metatarsofalangs (MTP)

3Artritis pada sendi Setidaknya satu sendi bengkak pada pergelangan tangan,

18
tangan sendi MCP atau sendi PIP

Secara bersama-sama terjadi pada area sendi yang sama


4Artritis simetris pada kedua bagian tubuh

5Nodul-nodul Adanya nodul subkutaneus melewati tulang atau

reumatoid permukaan regio ekstensor atau regio juksta-artikular

Menunjukkan adanya jumlah abnormal pada serum faktor


6Serum faktor reumatoid dengan berbagai metode yang mana hasilnya
reumatoid positif jika < 5% pada subyek kontrol yang normal

Perubahan radiografik tipikal pada artritis reumatoid pada

7Perubahan radiografik tangan dan pergelangan tangan

radiografik posteroanterior, dimana termasuk erosi atau dekalsifikasi


terlokalisasi yang tegas pada tulang.

Untuk klasifikasi, pasien dikatakan menderita atrtritis reumatoid jika pasien


memenuhi setidaknya 4 dari 7 kriteria diatas. Kriteria 1 - 4 harus sudah
berlangsung sekurang-kurangnya 6 minggu. Pasien dengan dua diagnosis klinis,
tidak dikeluarkan pada kriteria ini.

Tanda pada foto polos awal dari artritis reumatoid adalah peradangan periartikular
jaringan lunak bentuk fusiformis yang disebabkan oleh efusi sendi dan inflamasi
hiperplastik sinovial. Nodul reumatoid merupakan massa jaringan lunak yang biasanya
tampak diatas permukaan ekstensor pada aspek ulnar pergelangan tangan atau pada
olekranon, namun adakalanya terlihat diatas prominensia tubuh, tendon, atau titik tekanan.

A : Perubahan erosif pada ulna dan distal radius. B : Erosi komplit pergelangan tangan

19
Tujuan terapi rheumatoid arthritis yaitu : Menghilangkan gejala peradangan/inflamasi
lokal maupun sistemik. Mencegah terjadinya kerusakan pada jaringan. Mencegah
terjadinya deformitas dan menjaga fungsi persendian tetap baik. Mengembalikan kelainan
fungsi organ dan persendian yang mengalami AR agar menjadi normal kembali.

Non-steroid anti-inflammatoy drugs (NSAID). NSAID antara lain, aspirin, ibuprofen,


ketoprofen, diklofenac dan meloxicam untuk mengurangi peradangan dengan
menghalangi proses produksi mediator peradangan.

Disease-modifying antirheumatic drugs (DMARD). Kelompok obat-obatan ini


termasuk metotrexat, senyawa emas, D-penicilamine, antimalaria, dan sulfasalazine.

Terapi glukokortikoid. Prednison dosis rendah (7,5 mg/hari) menjadi terapi suportif
yang berguna untuk mengontrol gejala dan memperlambat progresifitas erosi tulang.

Operasi. Tindakan operasi bertujuan untuk memperbaiki fungsi dan bentuk sendi yang
cacat dan untuk menghilangkan sinovium yang rusak sehingga sinovium baru dapat
terbentuk, transfer tendon bisa memperbaiki fungsi bila telah putus.

Osteoartritis

Osteoartritis (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif yang berkaitan dengan


kerusakan kartilago sendi. Vertebra, panggul, lutut, dan pergelangan kaki paling sering
terkena OA.15
Prevalensi OA radiologis di Indonesia cukup tinggi, yaitu mencapai 15,5% pada pria
dan 12,7% pada wanita. Pasien OA biasanya mengeluh nyeri pada waktu melakukan
aktivitas atau jika ada pembebanan pada sendi yang terkena. Diperkirakan 1 sampai 2 juta
orang lanjut usia di Indonesia menderita cacat karena OA.

Etiologi osteoarthritis tidak diketahui. Namun beberapa faktor yang mempunyai


peranan atas timbulnya Osteoarthritis antara lain :15

1 Umur
Faktor ketuaan adalah yang terbanyak. OA hampir tidak pernah pada anak-anak,
jarang pada umur di bawah 40 tahun dan sering pada umur di atas 60 tahun. Hal ini
disebabkan adanya hubungan antara umur dengan penurunan kekuatan kolagen dan
proteoglikan pada kartilago sendi.

2 Jenis kelamin

20
Pada umur lebih dari 55 tahun, prevalensi wanita lebih tinggi dari pria. Usia
kurang dari 45 tahun Osteoarthritis lebih sering terjadi pada pria dari wanita.

3 Suku bangsa
Osteoartritis primer dapat menyerang semua ras meskipun terdapat perbedaan
prevalensi pola terkenanya sendi pada osteoartritis. Hal ini berkaitan dengan
perbedaan cara hidup dan pertumbuhan dan perkembangan individu.

4 Genetik
Adanya mutasi dalam gen prokolagen atau gen-gen struktural lain untuk unsur-
unsur tulang rawan sendi seperti kolagen, proteoglikan berperan dalam timbulnya
kecenderungan familial pada osteoartritis.

5 Kegemukan dan penyakit metabolik


Berat badan berlebih dapat meningkatkan tekanan mekanik pada sendi penahan
beban tubuh, sehingga menyebabkan osteoartritis lutut. Faktor metabolik juga ikut
berperan antara lain penyakit jantung koroner, diabetes melitus dan hipertensi.

6 Cedera sendi (trauma), pekerjaan dan olah raga


Pekerjaan berat maupun dengan pemakaian suatu sendi yang terus-menerus,
cedera sendi dan oleh raga yang sering menimbulkan cedera sendi meningkatkan
resiko osteoartritis.

Gambaran klinis berupa nyeri sendi terutama saat bergerak atau menanggung beban.
Dapat pula terjadi kekauan sendi di pagi hari yang berlangsung beberapa menit jika sendi
tidak bergerak lama, tetapi akan hilang setelah sendi digerakkan. Pada sebagian pasien OA
lanjut, nyeri sendi mungkin disebabkan oleh sinovisitis atau spasme otot akibat instabilitas
sendi. Sinovisitis OA mungkin terjadi karena fagositosis shard tulang rawan dan tulang
permukaan sendi yang mengalami abrasi, jarang terjadi efusi sinovium, pada palpasi sendi
mungkin terasa hangat. Pembengkakan pada sendi bersifat asimetris.16,17,18

Gambaran lain adalah keterbatasan dalam gerak, nyeri tekan lokal, pembesaran tulang
disekitar sendi, dan krepitasi sebagai akibat pergesekan permukaaan yang terpajan.
Perubahan yang khas adalah nodus Heberden pada sendi interfalang distal dan nodus
Bouchard pada interfalang proksimal.15

21
Kriteria diagnosis OA lutut berdasarkan American College of Rheumatology yaitu : 19

Klinik dan Laboratorik Klinik dan Klinik


Radiografik
Nyeri lutut + minimal 5 Nyeri lutut + minimal 1 Nyeri lutut + minimal 3
dari 9 kriteria berikut : dari 3 kriteria berikut : dari 6 kriteria berikut :
- Umur > 50 tahun - Umur > 50 tahun - Umur > 50 tahun
- Kaku pagi < 30 menit - Kaku pagi < 30 menit - Kaku pagi < 30 menit
- Krepitus - Krepitus - Krepitus
- Nyeri tekan + - Nyeri tekan
- Pembesaran tulang OSTEOFIT - Pembesaran tulang
- Tidak panas pada perabaan - Tidak panas pada
- LED < 40 mm / jam Perabaan
- RF < 1 : 40
- Analisis cairan sendi
Normal

1. Terapi non farmakologis:15


a Edukasi: menjelaskan kepada penderita tentang seluk beluk penyakitnya, bagaimana
menjaganya agar tidak bertambah parah
b Terapi fisik dan rehabilitasi: melatih pasien agar persendiannya agar tetap dapat
dipakai, evaluasi pola kerja dan aktivitas sehari- hari
c Penurunan berat badan
2. Terapi farmakologis:15
a Analgetik oral non opiad : asetaminofen, aspirin dan ibuprofen untuk
menghilangkan nyeri.
b Analgetik topical : krim kapsaisin mengurangi nyeri pada ujung saraf local.
c Obat Anti Inflamasi non Steroid (OAINS) : analgetik- antiinflamasi. Namun,
penggunaaannya harus dikontrol sebab banyak menyebabkan efek samping berupa
gastritis hingga ulkus peptikum.
d Chondroprotective agent : obat- obat yang dapat menjaga atau merangsang
perbaikan tulang rawan sendi. Sebagian peneliti menggolongkannya dalam Slow
Acting Anti Osteoarthritis Drugs (SAAODs) atau Disease Modifying Anti
Osteoarthritis Drugs (DMOADs):
1) Tetrasiklin: menghambat kerja enzim MMP

22
2) Asam hialuronat (viscosupplement): memperbaiki viskositas cairan synovial,
diberikan intraarthrikuler.
3) Glikosaminoglikan: menghambat sejumlah enzim degradasi tuang rawan,
seperti hialuronidase, protease, elastase, dan katepsin.
4) Kondroitin sulfat: Kondroitin sulfat memiliki efek: antiinflamasi, efek
metabolic terhadap sintesis hialuronat dan proteoglikan, dan anti degradatif
melalui hambatan enzim proteolitik
5) Vitamin C: menghambat enzim lisozim.
6) Superoxide Dismutase: menghilangkan superoxide dan hydroxyl radikal yang
merusak asam hialuronat, kolagen, dan proteoglikan.
7) Steroid Intra-artrikuler: kejadian inflamasi kadang terjadi pada OA sehingga
mampu mengurangi rasa sakit, tetapi penggunaannya masih kontroversial.
3. Terapi bedah : jika terapi farmakologis tidak berhasil.

2.10. Penatalaksanaan Artritis Gout

Secara umum penanganan artritis gout dilakukan dalam 3 langkah yaitu: (1)
mengobati serangan akut, (2) melakukan profilaksis untuk mencegah peradangan akut
berulang dan, (3) menurunkan kadar asam urat yang berlebihan untuk mencegah
peradangan dan penimbunan kristal asam urat di jaringan. Langkah-langkah tersebut
dapat berupa pemberian edukasi, pengaturan diet, istirahat sendi dan pengobatan.
Pengobatan dilakukan secara dini agar tidak terjadi kerusakan sendi atau komplikasi
lain, seperti pada ginjal. Pengobatan artritis gout akut bertujuan untuk menghilangkan
keluhan nyeri dan peradangan dengan kolkisin, OAINS, kortikosteroid, atau hormon
ACTH. Obat penurun asam urat seperti allopurinol atau obat urikosurik tidak boleh
diberikan pada stadium akut, namun pada pasien yang telah rutin mendapat obat
penurun asam urat sebaiknya tetap diberikan.10,11
Sebagai aturan umum, penderita hiperurisemia yang asimptomatis tidak perlu
diterapi, meskipun pada pemeriksaan USG menunjukkan adanya timbunan kristal
asam urat dalam jaringan lunak pada sebagian kecil pasien. 12,13 Namun pasien dengan
kadar asam urat lebih dari 11mg/dl yang mengeskresikan asam urat berlebihan lewat
urin beresiko tinggi terkena batu ginjal dan gangguan fungsi ginjal, sehingga perlu
dilakukan pemantauan fungsi ginjal.10
Tofus sebaiknya tidak dilakukan pembedahan kecuali jika berada di lokasi yang
kritis. Pembedahan baru diindikasikan bila terdapat komplikasi dari topus meliputi
infeksi, deformitas sendi, penekanan (seperti penekanan pada spinal cord ataupu cauda

23
ekuina oleh topus) dan nyeri yang tidak teratasi sebagai akibat erosi topus. Pada 50%
pasien yang menjalani pembedahan mengalami penyembuhan yang lambat.
Terapi pada serangan akut lebih diarahkan pada menghilangkan rasa nyeri dan
peradangan. Pilihan terapi untuk serangan akut yaitu NSAID, kortikosteroid, kolkisin
dan ACTH.13 NSAID diberikan full dose selama 2-5 hari, bila perbaikan, dosis
dikurangi hingga kira-kira setengah hingga seperempatnya. Pada dasarnya, NSAID
yang digunakan sebaiknya merupakan inhibitor yang selektif terhadap COX-2.13
Akan tetapi, di Indonesia sering digunakan indometasin dengan dosis150-200 mg/hari
selama 2-3 hari dan 75-100 mg/hari untuk minggu berikutnya atau sampai nyeri dan
peradangan berkurang. Dapat juga diberikan Naproxen 3x750 mg selama 2-3 hari
kemudian dilanjutkan 3x250 mg atau sodium diklofenak 3x50 mg. Adapun dosis
kolkisin adalah 1,2 mg inisial diikuti oleh 0,6 mg per jam hingga dosis total 4,8 mg
dalam waktu 6 jam. Di amerika, kolkisin sudah jarang digunakan.Kortikosteroid dan
ACTH diberikan apabila pemberian kolkisin dan NSAID tidak efektif atau
dikontraindikasikan.
Jika pasien tidak menunjukkan respon yang adekuat terhadap terapi inisial dengan
obat tunggal, ACR menyarankan untuk menambahkan obat kedua sebagai terapi
kombinasi.Selain itu, penggunaan terapi kombinasi dari awal juga sangat tepat untuk
serangan akut gout yang berat, khususnya bila menyerang banyak sendi besar
(poliartikular). Regimen kombinasi yang diterima yaitu:
Kolkisin + NSAIDS
Kortikosteroid oral + kolkisin
Steroid intraartikular + kolkisin/NSAIDS

Pada stadium interkritik dan menahun tujuan pengobatan adalah untuk


menurunkan kadar asam urat hingga normal, guna mencegah kekambuhan. Penurunan
kadar asam urat dilakukan dengan pemberian diet rendah purin dan pemakaian obat
allopurinol bersama obat urikosurik lain.

2.11. Komplikasi

Deposit asam urat dapat menjadi batu dan menyebabkan nefrolitiasis urat. Insiden
meningkat dengan peningkatan eksresi asam urat. PH urine menurun, riwayat keluarga
atau diri sendiri pernah memiliki batu asam urat.

24
Dapat pula terjadi gagal ginjal akut setelah terjadinya pelepasan massif asam urat
yang berlangsung pada pasien yang telah mengalami pengobatan karena kelainan
mielo- atau limfoproliferatif.

2.11. Makanan yang Mengandung Purin

Dalam makanan sehari-hari, jumlah purin yang dikonsumsi sekitar 600-1000


mg/hari. Diet rendah purin hanya memperbolehkan seseorang mengkonsumsi bahan
makanan yang mengandung sekitar 100-150 mg purin/hari.

Berikut 6 Pedoman Diet Rendah Purin Bagi Penderita Asam Urat tersebut:

1. Hindari mengkonsumsi bahan makanan yang mengandung tinggi purin


(sekitar 100-1000 mg purin/100 g bahan makanan) seperti : daging merah,
jerohan, roti manis, unggas, daging rusa, seafood seperti remis, kepah,
kepiting, udang, lobster, scallop, ikan-ikan kecil termasuk ikan teri, hering,
makarel, sarden, caviar.

2. Batasi konsumsi (masih boleh dikonsumsi, namun dalam jumlah terbatas (1


ptg/hari) bahan makanan yang mengandung purin dalam jumlah sedang
(sekitar 9-100 mg purin/100 g bahan makanan), seperti: Daging sapi dan ikan
(kecuali yang terdapat dalam kelompok 1), ayam, udang, jamur, asparagus,
kembang kol, lentils, kacang kedelai, pisang, nangka, bayam, jagung manis,
tauge, buah yang dikeringkan, kacang kering dan hasil olah, seperti tahu dan
tempe, daun singkong, kangkung, daun dan biji melinjo.

3. Bahan makanan yang mengandung rendah purin, diperbolehkan untuk


dikonsumsi antara lain: Nasi, ubi, singkong, jagung, roti, mi, bihun, tepung
beras, cake, keju kering, puding, susu, keju, telur; minyak; gula; sayuran dan
buah-buahan (kecuali sayuran dalam kelompok 2).

4. Kurangi konsumsi lemak jenuh karena lemak jenuh akan menurunkan


kemampuan tubuh mengeluarkan asam urat.

5. Batasi alkohol, bir, ragi.

25
6. Minum air putih dalam jumlah cukup karena akan membantu mengeluarkan
asam urat dari tubuh.

Peradangan sendi ( nyeri, merah, kaku)


Tampak tofus atau kelainan pada MTP-1

Faktor resiko :
Pengetahuan diet rendah purin
GOUT Usia
(AU > 6mg/dL) Jenis kelamin
Polamakan
Pola Makan

Kuesioner
KERANGKA TEORI

Pengetahuan :
Kurang Perilaku konsumsi diet purin:
Sedang Rendah 26
Baik Sedang
tinggi
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

27
3.1 Penetapan Topik Masalah

Sesuai pernyataan masalah yang dikemukakan pada Bab Pendahuluan maka topik
masalah dalam mini project ini adalah:
a. Bagaimana kejadian penyakit arteritis gout di wilayah kerja Puskesmas Gombong
I pada tahun 2015
b. Bagaimana pengetahuan masyarakat tentang penyakit arteritis gout di wilayah
kerja Puskesmas Gombong I pada tahun 2015.
c. Bagaimana pengetahuan masyarakat tentang diet rendah purin di wilayah kerja
Puskesmas Gombong I pada tahun 2015.
d. Adakah hubungan antara gaya hidup rendah purin terhadap peningkatan insidensi
penyakit arteritis gout di wilayah kerja Puskesmas Gombong I pada tahun 2015.
Penelitian ini termasuk dalam penelitian deskriptif analisis. Penelitian deskriptif
adalah penelitian yang bertujuan untuk memperoleh gambaran atau deskripsi tentang
cirri-ciri variable dalam penelitian meliputi gambaran jumlah penderita penyakit arthritis
gout di wilayah kerja Puskesmas Gombong I. Penelitian analisis merupakan jenis
penelitian yang bertujuan untuk menganalisis variable dalam penelitian yang
berhubungan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan insidensi penderita
arthritis gout di wilayah kerja Puskesmas Gombong I.

3.2 Tempat dan Waktu


Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Gombong I, dilakukan pengamatan dari
bulan Agustus Oktober 2015 di wilayah kerja Puskesmas Gombong I.

3.3 Jenis dan Sumber Data


3.3.1 Jenis Data
Jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Sumber data primer diperoleh dari wawancara atau anamnesa pada saat
menjumpai penderita arthritis gout dan keluarga yang mengantar di wilayah kerja
Puskesmas Gombong I periode Agustus Oktober 2015. Sumber data sekunder
diperoleh dari laporan bulanan jumlah penderita arthritis gout periode Juli
September 2015 di wilayah kerja Puskesmas Gombong I.
3.3.2 Sumber Data
Data Primer

28
Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari sumber asli
(tanpa melalui perantara) dengan melakukan metode survei. Data primer yang ada
dalam penelitian ini merupakan data hasil wawancara atau anamnesa dan
pengamatan pada saat Poli Dokter dan Poli Umum di wilayah kerja Puskesmas
Gombong I selama periode bulan Agustus Oktober 2015.
Data Sekunder
Data sekunder adalah data penelitian yang diperoleh secara tidak langsung
melalui media perantara (diperoleh dan dicatat oleh pihak lain). Data sekunder
yang ada dalam penelitian ini : data yang diperoleh dalam bentuk dokumen, data
statistik, dan naskah-naskah yang tersedia dalam lembaga atau instansi yang
berhubungan dengan penelitian.
3.3.3 Populasi Penelitian
Populasi adalah keseluruhan subyek yang mempunyai karakteristik tertentu
yang sesuai dengan penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah semua
penderita Penyakit Rematik periode Agustus Oktober 2015 di wilayah kerja
Puskesmas Gombong I.
Sampel adalah sebagian obyek yang diambil saat penelitian dari keseluruhan
obyek yang diteliti dan dianggap mewakili populasi. Sampel yang diambil dalam
penelitian ini adalah penderita Artritis Gout periode Agustus Oktober 2015 di
wilayah kerja Puskesmas Gombong I.
3.4 Pengolahan dan Analisis Data
Data yang diperoleh baik itu berupa rekam medis maupun hasil wawancara
terhadap penderita dianalisa berdasar tinjauan pustaka dan dideskripsikan secara naratif.
3.5 Pelaksanaan Solusi
Bentuk intervensi yang dilakukan dalam mini project ini berupa
penyuluhan/edukasi langsung kepada masyarakat. Hal penting yang harus disampaikan
dalam penyuluhan yaitu definisi dari penyakit arteritis gout, faktor apa saja yang
mempengaruhi penyakit arteritis gout, dan gaya hidup rendah purin yang berpengaruh
pada insidensi penyakit arteritis gout.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4. 1 Hasil Penelitian
4. 1. 1 Profil Puskesmas
Puskesmas Gombong I adalah salah satu Puskesmas dalam wilayah Kerja
Dinas Kesehatan Kabupaten Kebumen. Tepatnya berada di desa Wero
Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen Propinsi Jawa Tengah.
i. Visi dan misi
Visi

29
Menjadi Sentrum Kesehatan Dan Mutu Pelayanan Kesehatan Yang Prima
Dan Profesional
Misi
a. Mengembangkan kualitas samberdaya manusia
b. Mengembangkan komitmen dan kepemimpinan yang transformatif
c. Menerapkan azas kemitraan, kesejahteraan, dan keterbukaan.
d. Melaksanakan survey kepuasan pelanggan atau surveilance mutu.
e. Melaksanakan penelitian dan pengembangan di bidang keseharan
f. Melayani dengan senyum
ii. Data geografis
1. Letak Wilayah
Puskesmas Gombong I merupakan salah satu puskesmas yang terletak
di sebelah barat Kabupaten Kebumen, memiliki luas wilayah 719,5 km2.
Puskesmas Gombong I mempunyai wilayah kerja 5 desa yang terdiri
dari : Desa Wero, Desa Kedungpuji, Desa Panjangsari, Desa Banjarsari dan
Desa Patemon. Di mana semua desa merupakan daerah dataran rendah
yang bisa dijangkau dengan kendaraan roda 2 (dua) maupun roda 4
(empat).

2. Batas Wilayah
Batas-batas wilayah sebagai berikut :
a. Sebelah Barat : wilayah kerja Puskesmas Gombong II
b. Sebelah Selatan : wilayah kerja Puskesmas Kuwarasan
c. Sebelah Timur : wilayah kerja Puskesmas Karanganyar
d. Sebelah Utara : wilayah kerja Puskesmas Gombong II

Gambar. Peta Wilayah Kerja Puskesmas Gombong I

iii. Data demografis


1. Pertumbuhan dan Persebaran Penduduk
Jumlah penduduk wilayah Puskesmas Gombong I sampai tahun 2014
yaitu 12.227 jiwa yang tersebar di desa dengan tingkat kepadatan

30
penduduk mencapai 1747 jiwa/km2 wilayah terpadat di Desa Wero sebesar
2860 jiwa/km2 sedangkan yang terendah di Desa Banjarsari sebesar 1095
jiwa/km2.
Jumlah rumah tangga sebanyak 3.677, sehingga rata-rata jumlah
anggota keluarga yaitu 3,33 jiwa setiap keluarga. Penduduk terbanyak di
Desa Wero 3.432 jiwa dan yang paling sedikit di Desa Banjarsari 1.643
jiwa. Jumlah penduduk di wilayah Puskesmas Gombong I laki-laki yaitu
6.008 jiwa sedangkan jumlah penduduk perempuan sebanyak 6.219 jiwa.

2. Komposisi Penduduk Menurut Kelompok Umur


Komposisi penduduk menurut kelompok umur- dapat menggambarkan
tinggi rendahnya tingkat kelahiran. Selain itu komposisi penduduk juga
mencerminkan Rasio Beban Tanggungan (Dependency Ratio) yaitu
perbandingan antara penduduk umur non produktif (umur 0-l4 tahun +
umur 65 tahun keatas) dengan penduduk produktif (umur 15-64 tahun).
Tingginya Dependency Ratio mencerminkan besarnya beban
tanggungan pemerintah secara ekonomi di wilayahnya. Rasio Beban
Tanggungan untuk wilayah Puskesmas Gombong I tahun 2014 sebesar
53% dengan penduduk sebesar 12.227 jiwa yang terdiri dari penduduk usia
produktif (15-64 tahun) 8.011 jiwa, anak-anak dan remaja (usia 0-14 tahun)
3.039 jiwa dan lanjut usia ( > 65 tahun ) 1.177 jiwa.
iv. Sumber daya kesehatan
1. Sarana dan Prasarana Kesehatan
a. Puskesmas
Puskesmas memiliki fungsi sebagai: 1) pusat pembangunan
berwawasan kesehatan: 2) pusat pemberdayaan masyarakat: 3) pusat
pelayanan kesehatan masyarakat primer, dan 4) pusat pelayanan
kesehatan perorangan primer. Pada tahun 2014 Puskesmas Gombong
I memiliki fasilitas kesehatan rawat jalan dan rawat inap. Rawat jalan
Puskesmas Gombong I terdiri dari ruang informasi, ruang
pendaftaran, ruang poli dokter umum, ruang poli dokter gigi, ruang
poli perawat, ruang poli masa, ruang KIA/KB, ruang laboratorium,
ruang farmasi, ruang MTBS, ruang IMS, ruang radiologi, ruang ASI,
ruang konsultasi gizi dan konsultasi sanitasi, ruang tindakan, ruang
imunisasi, ruang kepala puskesmas, ruang TU, ruang merokok, dan
rawat Inap terdiri dari IGD, ruang perawat, ruang rawat inap (ruang

31
yudistira, nakula, sadewa), ruang bersalin, ruang rawat inap nifas
(sembadra), ruang dapur dan 2 ambulance serta 5 sepeda motor.
Puskesmas Gombong I memiliki 1 Puskesmas Induk, 1
Puskesmas Pembantu, 3 Poliklinik Kesehatan Desa, 29 Posyandu
Balita, 12 Posyandu Lansia, serta 2 Balai Pengobatan.

b. Upaya Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat


Posyandu adalah wahana kesehatan bersumber daya masyarakat
yang mempunyai kegiatan utama diantaranya KIA, KB, Gizi,
lmunisasi dan P2 Diare yang dilakukan dari, oleh, untuk masyarakat.
Posyandu Menurut Strata di Wilayah Puskesmas Gombong I Tahun
2014 yaitu 75,86% Purnama dan 24,14% posyandu mandiri.
2. Sumber daya kesehatan
Sumber daya kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan di
Puskesmas Gombong I adalah 2 dokter umum, 1 dokter gigi, 2 Dokter
Praktik Swasta, 6 bidan Puskesmas, 5 bidan desa, 10 Bidan Praktik Swasta,
15 perawat, 1 perawat gigi, 2 apoteker, 1 promkes, 3 analisis laborat, 1 ahli
gizi, 2 sanitarian, 1 radiolog, 1 pengemudi serta 8 TU dan lain-lain.

4. 2 Hasil Penelitian dan Pembahasan

Penilaian pengetahuan responden tentang asam urat dilakukan dengan


memberikan 10 pertanyaan beserta 4 pilihan untuk tiap pertanyaan. Seluruh skor
pertanyaan dijumlahkan sehingga didapatkan skor total yang kemudian
diklasifikasikan menjadi pengetahuan baik, sedang dan kurang.

Pada penelitian ini didapatkan hasil 19 responden memiliki pengetahuan


kurang, 8 responden memilki pengetahuan sedang, dan 3 orang memilki pengetahuan
yang baik akan penyakit artritis gout.

Penilaian perilaku makan secara kualitatif dilakukan dengan menggunakan


tabel kuesioner frekuensi konsumsi bahan makanan dan minuman yang beresiko
terhadap asam urat dalam seminggu. Setiap bahan makanan diberi skor sesuai dengan
frekuensi konsumsi perminggu (daging, seafood, sayuran, buah, kopi, teh dan alkohol)
dan diklasifikasikan menjadi resiko rendah, sedang, dan tinggi. Batasan frekuensi
yang kami gunakan untuk penilaian terhadap perilaku makan dan minum adalah tidak

32
pernah, jarang (mengkonsumsi makanan/minuman kurang dari 1 kali perminggu),
sering (mengkonsumsi makana/minuman lebih dari 1 kali perminggu), dan setiap hari.

Setelah melakukan wawancara untuk mengisi kuesioner, didapatkan responden


yang memiliki resiko tinggi 5 orang, resiko sedang 17 orang, dan 8 orang memiliki
resiko rendah untuk terjadinya insidensi terjadinya penyakit artritis gout karena
makanan yang responden konsumsi.

Hampir separuh responden juga mengetahui bahwa terlalu banyak konsumsi


makanan mengandung protein dapat menyebabkan arthritis gout. Separuh responden
tidak pernah makan jerohan, tetapi separuh responden sering makan kangkung dan
kacang-kacangan. Hal tersebut menunjukkan belum diketahuinya makanan tersebut
dapat menyebabkan arthritis gout.

Secara umum hampir seluruh responden memiliki tingkat pengetahuan kurang


dan perilaku yang berisiko sedang sampai tinggi terkena arthritis gout. Meskipun
tidak diuji statistik, tampak bahwa responden yang berpengetahuan rendah memiliki
perilaku yang berisiko sedang sampai tinggi.

33
BAB V

DISKUSI

Artritis gout adalah suatu sindroma klinis yang ditandai oleh episode artritis akut dan
berulang yang sering menyerang sendi kecil akibat adanya endapan kristal monosodium urat
dalam jaringan. Penimbunan kristal monosodium urat monohidrat terjadi di jaringan akibat
adanya supersaturasi asam urat. Faktor yang behubungan dengan timbulnya arthritis gout
antara lain, pola makan yang tidak terkontrol, obesitas, jenis kelamin dan usia, genetic, kurang
konsumsi air putih, gangguan ginjal dan hipertensi. Asupan makan yang masuk ke dalam
tubuh dapat mempengaruhi kadar asam urat dalam darah. Makanan yang mengandung zat
purin yang tinggi akan diubah menjadi asam urat.

Berdasarkan data diatas,didapatkan adanya hubungan pengetahuan diet purin terhadap


insidensi penyakit arthritis gout. Makanan merupakan salah satu faktor resiko meningkatnya
kadar purin dalam darah. Kenyataan yang kami temukan masih banyak masayarakat yang
mengkonsumsi makanan tinggi purin, hal ini disebabkan pengetahuan yang kurang tentang
jenis makanan tinggi purin. Adanya fakta tersebut merupakan masalah dikarenakan akan
menyebabkan tingginya insidensi penyakit arthritis gout.
Dari faktor pelayanan kesehatan kami menemukan bahwa belum adanya penyuluhan
terhadap penyakit arthritis gout dimana pengetahuan masyarakat tentang arthritis gout sangat
penting dalam menurunkan faktor resiko terjadinya arthritis gout. Oleh karena itu kami
mengadakan penyuluhan mengenai arthritis gout dan makanan yang mengandung purin.
Namun dalam penelitian ini kami tidak meninjau kembali hasil dari penyuluhan dimana
diharapkan adanya peningkatan pengetahuan diet purin sehingga menurunkan insidensi
arthritis gout.

34
BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6. 1 Kesimpulan
Terdapat hubungan pengetahuan masyarakat tentang diet rendah purin dalam
peningkatan insidensi penyakit Artritis Gout di Wilayah kerja Puskesmas Gombong I
pada periode Agustus Oktober 2015.

6. 2 Saran

a. Puskesmas
Perlu diadakan penyuluhan mengenai arthritis gout bagi masyarakat yang
masih minim pengetahuan.
b. Masyarakat
Saling mengupayakan diet rendah purin dengan diadakannya sosialisasi
makanan sehat di posyandu
c. Peneliti
Memperbaiki penelitian dengan cara menindak lanjuti hasil dari
penyuluhan sebelumnya.

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II edisi IV. Pusat penerbitan departemen ilmu
penyakit dalam fakultas kedookteran indonesia, jakarta. Hal : 1208-1210.
2. Terkeltaub, Gout : Epidemiology, Pathology and Pathogenesis in Klippel (ed.), Primer on
the Rheumatic Diseases, Edisi 12, Athritis Foundation, Atlanta, 2010.
3. Andreoli TE. Bennett JC, carpenter CCJ. Plum F. Hyperuricemia anda Gout. In Cecil
Essentials of Medicine. 4th Ef. W.B Saunders Company, Philadelphia, London, Toronto,
2008
4. Nuki, Gout in Rheumatology, Medicine Int., 2009, 42(12): 54-59
5. Hidayat R. Hiperurisemia dan gout. Medicinus 2009; 22:47-50
6. Dalbeth N, Haskard DO. Mechanisms of inflammation in gout.Rheumatology
2010;44:10906.
7. Choi HK, Mount DB, Reginato AM. Pathogenesis of gout.Annals of Internal Medicine
2011;143: 499-515.
8. Pope RM, Tschopp J. The Role of Interleukin-1 and the inflammasome in gout:
implications for therapy. Arthritis and Rheumatism 2007;56:31838.
9. So A. Developments in the scientific and clinical understanding of gout. Arthritis
Research & Therapy 2008;10:221- 6.
10. Sumariyono. Diagnosis dan tatalaksana artritis gout akut. In : Gustaviani R, Mansjoer A,
Rinaldi I eds. Naskah Lengkap Penyakit Dalam PIT 2007. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam FKUI;2007.172-8.
11. Putra TR. Diagnosis dan penatalaksanaan artritis pirai. In: Setyohadi B, Kasjmir YI eds.
Kumpulan Makalah Temu Ilmiah Reumatologi 2008. Jakarta: 2008; 113-8.
12. Lawrence RC, Felson DT, Helmick CG, et al. 2008. Estimates of the prevalence of
arthritis and other rheumatic conditions in the United States. PartII. Arthritis Rheum.
58(1):2635.
13. Rothschild BM. Gout and Pseudogout Treatment & Management. Emedicine online.
2015. Accessed from: http://emedicine.medscape.com/article/329958-
treatment#aw2aab6b6b2

36
14. De Miguel E, Puig JG, Castillo C, Peiteado D, Torres RJ, Martn-Mola E. Diagnosis of
gout in patients with asymptomatic hyperuricaemia : a pilot ultrasound study. Ann Rheum
Dis. Jan 2012;71(1):157-8.
15. Soeroso, Joewono. Isbagio, Harry. dkk. Osteoartritis. Dalam: Sudoyo, Aru W. dkk. Buku
ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi 5. Jakarta. Penerbit Interna Publishing. 2009.
Hal: 2538-2548.
16. Burns, Dennis K. Penyakit Sendi. Dalam: Hartanto, Huriawati. Robbins: Buku Ajar
Patologi Volume 2. Edisi 7. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.2007. Hal: 862-864.
17. Carter, Michael A. Osteoartritis. Dalam : Hartanto, Huriawati. Patofisiologi: Konsep
Klinis Proses- proses Penyakit Volume 2. Edisi 6. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran
EGC. 2006. Hal:1380-1383.
18. Michael, S. Osteoarthritis. http://www.seniorjournal.com. Diakses 14 juni 2015.
19. Roland, D. Osteoarthritis Investigation. http://www.orthoanswer.org. Diakses 14 juni
2015.
20. Jacobson, JA, et al. 2008. Radiographic Evaluation of Arthritis : Degenerative Joint
Disease and Variation. Radiology. 248(3):737747.
21. Kasmir, Yoga. 2009. Penatalaksanaan Osteoartritis. Sub-bagian Reumatologi, Bagian Ilmu
Penyakit Dalam FKUI / RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta

37
LAMPIRAN

Lampiran 1 Kuesioner penyuluhan Waspadai Asam Urat

Identitas Responden
Nama :
Usia :
Pekerjaan :
Pendidikan :

I. Lingkari/silang/tandailah jawaban yang dirasa paling tepat


1. Bagian tubuh mana yang sering mengalami penyakit asam urat.
a. Ginjal
b. Sendi
c. Jaringan lemak
d. Tidak tahu
2. Apa saja gejala penyakit asam urat itu?
a. Tidak bisa menggerakan kaki dan tangan (lumpuh)
b. Nyeri seluruh tubuh
c. Nyeri sendi, merah, terasa panas
d. Tidak tahu
3. Apa penyebab penyakit asam urat itu?
a. Terlalu banyak konsumsi makanan mengandung protein purin
b. Terlalu banyak aktivitas fisik
c. Kurang makanan yang begizi
d. Tidak tahu
4. Siapa yang paling banyak menderita penyakit asam urat?
a. Wanita muda
b. Laki - laki dewasa
c. Anak - anak
d. Tidak tahu
5. Makanan apa yang berhubungan dengan penyakit asam urat?
a. Jerohan
b. Tempe
c. Nasi
d. Tidak tahu
6. Minuman apa yang berhubungan menimbulkan penyakit asam urat?
a. Madu
b. Susu
c. Alkohol
d. Tidak tahu
7. Apa yang dilakukan untuk mencegah penyakit asam urat?
a. Menghindari makan jerohan

38
b. Banyak mengkonsumsi kacang-kacangan
c. Makan ikan laut
d. Tidak tahu

8. Apa yang dapat dilakukan jika terkena penyakit asam urat?


a.Dikompres air hangat
b. Istirahat dan minum obat penghilang nyeri
c. Menghindari alkohol
d. Tidak tahu
9. Apakah komplikasi tersering dari penyakit asam urat?
a. Hepatitis
b. Kerusakan ginjal
c. Kanker
d. Tidak tahu
10. Umur berapa yang sering terkena asam urat?
a. Lebih dari 40 tahun
b. 20 sampai 40 tahun
c. Di bawah 20 tahun
d. Tidak tahu

Keterangan :

Hasil Penilaian :
1. Benar 7-10 : pengetahuan baik
2. Benar 4-6 : pengetahuan sedang
3. Benar 3 : pengetahuan kurang

39
Lampiran 2 Kuesioner perilaku makan dan minum yang berhubungan dengan arthritis
gout

No Jenis makanan dan Tidak jarang Sering Setiap hari


. minuman pernah
1. Daging sapi

2. Daging kambing

3. Jeroan

4. Emping

5. Udang

6. Toge

7. Buncis

8. Kangkung

9. Kol

10. Jengkol
11. Kacang-kacangan

12. Pete
13. Durian
14. Kopi
15. Teh
16. Alkohol
Keterangan :
Hasil Penilaian :
o tidak pernah :0
o jarang ( bila konsumsi kurang dari 1 kali perminggu ) :1

40
o sering ( bila konsumsi lebih dari 1 kali perminggu ) :2
o setiap hari :3
Kriteria
Resiko rendah bila nilai 0-16
Resiko Sedang bila nilai 17-31
Resiko tinggi bila nilai 32-48

Lampiran 3 Pamflet Penyuluhan Asam Urat 1

Cara Mengatur Diet :

Memasak dengan merebus,


mengungkep, menumis, memanggang,
pepes

Banyak makan buah-buahan yang


mengandung air untuk memperlancar
pengeluaran asam urat

OLEH :

DOKTER
INTERNSIP

41
Lampiran 4 Pamflet Penyuluhan Asam Urat 2

BAHAN MAKANAN DIANJURKAN DIBATASI


SUMBER KARBOHIDRAT Nasi, bubur, kentang, ubi, jagung,
singkon, talas, gandum
SUMBER PROTEIN HEWANI Telur, susu skim, susu rendah lemak Daging, ayam, ikan
tengiri, bandeng, ker
SUMBER PROTEIN NABATI Tempe, tahu,kacang
( kacang hijau, kaca
kedelai)
SAYURAN Wortel, labu siam, kacang panjang, Bayam, buncis, meli
terong, pare, oyong, ketimun, tomat, kacang [polong, kem
selada air asparagus, kangkung
BUAH-BUAHAN Semua
MINUMAN Semua minuman tidak beralkohol Teh kental, kopi
LAIN-LAIN Semua macam bumbu secukupnya Makanan yang berle
kental, makanan yan

42

You might also like