Professional Documents
Culture Documents
Disusun oleh :
Pendamping :
Dokter Pendamping
Mengetahui,
Kepala Puskesmas Gombong I (Wero)
2
Nama Pendamping : dr. Anastasia Ardiningsih
Nama Wahana : UPTD Puskesmas Gombong I
Tempat Penyuluhan : Posyandu Wero
Sasaran : Lansia, kader, ibu
Dokter Pendamping
LEMBAR PERSETUJUAN
3
WILAYAH KERJA PUSKESMAS GOMBONG I PERIODE BULAN
AGUSTUS - OKTOBER 2015.
PENYUSUN :
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan Kehadirat Tuhan YME yang telah melimpahkan Rahmat
dan KaruniaNya. Rasa syukur kami panjatkan bersamaan dengan selesainya hasil laporan
analisis kami dengan judul HUBUNGAN PENGETAHUAN DIET RENDAH PURIN
TERHADAP PENINGKATAN INSIDENSI PENYAKIT ARTERITIS GOUT DI WILAYAH
KERJA PUSKESMAS GOMBONG I PERIODE BULAN AGUSTUS - OKTOBER 2015.
Laporan ini disusun sebagai salah satu syarat dalam kegiatan kami selama Program Internship
Dokter Indonesia (PIDI) di UPTD Puskesmas Gombong I.
Dalam penulisan laporan ini kami banyak menerima bantuan dari berbagai pihak. Untuk
itu, dalam kesempatan ini kami ucapkan terimakasih kepada :
1. Toto Kristiyanto, dr. selaku kepala Puskesmas Gombong I,
2. Anastasia Ardiningsih, dr. selaku dokter pendamping dokter internship,
3. Staf dan karyawan Puskesmas Gombong I,
4
4. Rekan-rekan profesi dokter dan semua pihak yang telah membantu penyelesaian
laporan ini.
Dengan segala kerendahan hati kami memohon maaf apabila masih banyak kesalahan
dan kekurangan dalam penyusunan laporan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi
para pembaca, instansi dan khususnya bagi kepentingan pelayanan kesehatan untuk
masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Gombong I.
Hormat Kami,
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..... 5
DAFTAR ISI....... 6
DAFTAR GAMBAR ..... 8
DAFTAR TABEL .. 9
DAFTAR LAMPIRAN 10
BAB I PENDAHULUAN 11
1.1 Latar Belakang. 11
1.2 Rumusan Masalah 12
1.3 Tujuan.. 13
1.4 Manfaat 13
1.4.1 Manfaat Bagi Peneliti 13
1.4.2 Manfaat Bagi Wahana 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 14
2.1. Definisi... 14
2.2. Epidemiologi. 14
2.3. Etiologi... 14
2.4. Klasifikasi Hiperusemia Dan Artritis Gout.. 15
2.5. Pathogenesis.. 15
5
2.6. Faktor resiko.. 16
2.7 Manifestasi Klinis 17
2.8. Diagnosis 18
2.9. Diagnosis Banding. 19
2.10 Penatalaksanaan Artritis Gout.. 25
2.11. Komplikasi. 27
2.12 Makanan yang Mengandung Purin... 27
KERANGKA TEORI.29
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 30
3.1 Penetapan Topik Masalah... 30
3.2 Tempat dan Waktu.. 30
3.3 Jenis dan Sumber Data 30
3.3.1 Jenis Data... 30
3.3.2 Sumber Data.. 31
3.3.3 Populasi Penelitian 31
3.4 Pengolahan dan Analisis Data 31
3.5 Pelaksanaan Solusi. 31
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 32
4. 1 Hasil Penelitian... 32
4. 1. 1 Profil Puskesmas... 32
i. Data geografis. 32
ii. Data demografis.. 33
iii. Sumber daya kesehatan... 34
4. 2 Hasil Penelitian dan Pembahasan... 35
BAB V DISKUSI... 37
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 38
6. 1 Kesimpulan.. 38
6. 2 Saran. 38
DAFTAR PUSTAKA 39
LAMPIRAN... 41
6
DAFTAR GAMBAR
7
DAFTAR TABEL
8
DAFTAR LAMPIRAN
9
BAB I
PENDAHULUAN
10
dislipideima yang membuat individu tersebut memiliki risiko lebih besar untuk terserang
penyakit arthritis gout (Festy P, 2009). Pengelolaan gout sering sulit dilakukan karena
berhubungan dengan kepatuhan perubahan gaya hidup (Azari RA, 2014).
Berdasarkan data RISKESDAS 2013, prevalensi penyakit sendi pada usia 55-64
tahun 45,0% , usia 65-74 tahun 51,9%, usia > 75 tahun 54,8%. Penyakit sendi yang sering
dialami oleh golongan lanjut usia yaitu penyakit arthritis gout, osteoarthritis dan arthritis
rheumatoid. Salah satu faktor yang mempengarui arthritis gout adalah makanan yang
dikonsumsi, umumnya makanan yang tidak seimbang (asupan protein yang mengandung
purin terlalu tinggi). Kebiasaan makan yang mengandung purin 200 mg/hari akan
meningkatkan resiko arthritis gout tiga kali lebih besar dibandingkan dengan orang yang
tidak mengkonsumsi purin.
Prevalensi arthritis gout di dunia berkisar 1-2 % dan mengalami peningkatan dua
kali lipat diandingkan dua decade sebelumnya. Di Indonesia prevalensi arthritis gout
belum diketahui secara pasti dan cukup bervariasi antara satu daerah dengan daerah yang
lain. Sebuah penelitian di Jawa Tengah mendapatkan prevalensi arthritis gout sebesar
1,7% sementara di Bali (8,5%). Menurut daftar rekam medis Puskesmas Gombong I
(Wero) pada bulan Juli September 2015, Artritis Gout menempati posisi kedua setelah
penyakit ISPA dari 10 daftar penyakit terbanyak di Puskesmas.
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui faktor resiko terjadinya
artitris gout, terdapat interaksi antara faktor yang dapat diubah dan yang tidak dapat
diubah. Faktor resiko yang tak dapat diubah seperti ; riwayat penyakit keluarga, genetik,
usia dan jenis kelamin. Pada usia pertengahan yaitu sekitar usia 40 tahun kejadian
hiperurisemia biasanya ditemukan pada laki-laki, sedangkan wanita biasanya terjadi
setelah mengalami menopause. Faktor usi tersebut juga berpengaruh pada penurunan
fungsi ginjal terutama pada pria.
Sedangkan faktor resiko yang dapat diubah yang berpengaruh diantaranya obesitas,
asupan makanan dan alkohol, konsumsi obat, gangguan ginjal dan hipertensi. Penyakit
gout sendiri lebih sering menyerang penderita yang mengalami kelebihan badan 30% dari
berat badan ideal. Seseorang dengan berat badan lebih berkaitan dengan kenaikan kadar
asam urat dan menurunnya ekskresi asam urat melalui ginjal. Hal tersebut disebabkan
karena terjadinya gangguan proses reabsorbsi asam urat pada ginjal.
Asupan yang masuk ke tubuh juga mempengatuhi kadar asam urat dalam darah.
Makanan yang mengandung zat purin tinggi akan diubah menjadi asam urat. Asam urat
yang dikeluarkan lewat urin sebesar 2/3 sedangkan sisanya diekskresi melalui usus, tetapi
pada orang dgn diet tinggi purin, terjadi gangguan pada metabolisme purin sehingga
11
terjadi hiperekskresi asam urat yang ditunjukkan dengan kadar asam urat urin yang tinggi
pada urin. Selain peningkatan kadar asam urat urin, terjadi peningkayan asam urat dalam
darah pula.
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui hubungan pengetahuan masyarakat tentang diet rendah purin
dalam peningkatan insidensi penyakit Artritis Gout di Wilayah kerja Puskesmas Gombong
I pada periode Agustus Oktober 2015.
1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat Bagi Peneliti
i. Sebagai pengalaman dan penambahan wawasan tentang insidensi penyakit
arthritis gout yang terjadi di Puskesmas Gombong I.
ii. Mengaplikasikan ilmu kedokteran yang telah dipelajari ke dalam sebuah
penelitian yang berguna bagi masyarakat.
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Artritis gout adalah suatu sindroma klinis yang ditandai oleh episode artritis akut dan
berulang yang sering menyerang sendi kecil akibat adanya endapan kristal monosodium
urat dalam jaringan. Penimbunan kristal monosodium urat monohidrat terjadi di jaringan
akibat adanya supersaturasi asam urat.1
Pada artritis gout stadium kronis, dapat ditemukan topus, yaitu nodul padat yang
terdiri dari deposit kristal asam urat yang keras dan tidak nyeri yang dapat ditemukan pada
sendi atau jaringan.1
2.2 Epidemiologi
Arthritis gout lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan, puncaknya
pada dekade ke-V. Di Indonesia, arthritis gout terjadi pada usia yang lebih muda, sekitar
32% pada pria berusia kurang dari 34 tahun. Pada wanita, kadar asam urat umumnya
rendah dan meningkat setelah usia menopause. Prevalensi arthritis gout di Bandungan,
Jawa Tengah, prevalensi pada kelompok usia 15-45 tahun sebesar 0,8%; meliputi pria
1,7% dan wanita 0,05%. Di Minahasa (2003), proporsi kejadian arthritis gout sebesar
29,2% dan pada etnik tertentu di Ujung Pandang sekitar 50% penderita rata-rata telah
menderita gout 6,5 tahun atau lebih setelah keadaan menjadi lebih parah.3
2.3 Etiologi
Gejala arthritis gout akut disebabkan oleh reaksi inflamasi jaringan terhadap
pembentukan kristal monosodium urat monohidrat. Karena itu, dilihat dari penyebabnya,
penyakit ini termasuk dalam golongan kelainan metabolik. Asam urat merupakan zat sisa
yang dibentuk oleh tubuh pada saat regenerasi sel. Beberapa orang dengan gout
membentuk lebih banyak asam urat dalam tubuhnya (10%). Sisanya (90%), tubuh anda
tidak efektif membuang asam urat melalui air seni. Faktor lain yaitu genetik, jenis kelamin
dan nutrisi (peminum alkohol, obesitas).1,4
13
2.4 Klasifikasi Hiperusemia dan Artritis Gout
1. Primer
a. Metabolik (Kelebihan Produksi)
Idiopatik (10% dari gout primer)
Berhubungan dengan gangguan enzim (<1%)
Kelebihan produksi fosforibisil pirofosfat (PRPP) sintetase
Defisiensi hiposantin guanin fosforobosil transfase (HGPRT)
parsial
Defisiensi HGPRT komplit
b. Renal (undereskresi idiopatik 90% gout primer)
2. Sekunder
a. Metabolik
Peningkatan turnover asam nukleat contohnya hemolisis kronik,
gangguan limfoproliferatif atau mieloproliferatif.
Defisiensi glukosa 6 fosfat dehidroginase (G6PD) contohnya
glycogen storage disease.
b. Renal
Gagal ginjal akut atau kronik
Deplesi volume
Gangguan pada tubulus oleh karena obat-obatan atau produksi
metabolik.
2.5 Patogenesis
Kadar asam urat dalam serum merupakan hasil keseimbangan antara produksi dan
sekresi. Ketika terjadi ketidakseimbangan dua proses tersebut maka terjadi keadaan
hiperurisemia yang menimbulkan hipersaturasi asam urat yaitu kelarutan asam urat di
serum yang telah melewati ambang batasnya, sehingga merangsang timbunan asam urat
dalam bentuk garam yaitu monosodium urat (MSU) di berbagai jaringan.6,7
Menurunnya kelarutan sodium urat pada temperatur yang lebih rendah seperti pada
sendi perifer tangan dan kaki dapat menjelaskan kenapa kristal MSU mudah diendapkan
di kedua tempat tersebut. Predileksi pengendapan kristal MSU pada metatarsofalangeal-1
(MTP-1) berhubungan juga dengan trauma ringan yang berulang-ulang pada daerah
tersebut. Perubahan matrik ekstraseluler seperti proteoglikan, kondroitin sulfat, serat
kolagen dan sebagainya atau debris dalam cairan sinovial dapat menjadi nidus (inti atau
nucleating agent) pembentukan kristal. Kristal MSU yang terbentuk bisa mengalami
disolusi spontan atau mengalami akumulasi kronik di jaringan membentuk topus terutama
14
di sinovium dan permukaan kartilago. Tofus di jaringan sinovial tetap stabil karena
biasanya diselimuti albumin dan imunoglobulin.8,9
Awal artritis gout akut berhubungan dengan perubahan kadar asam urat serum karena
kadar asam urat yang stabil jarang menimbulkan serangan. Pengobatan dengan
allopurinol, trauma, pembedahan dan asupan alkohol yang berlebihan dapat menjadi
faktor pencetus artritis gout akut. Keadaan ini menyebabkan terlepasnya kristal
monosodium urat dari depositnya di sinovium atau tophi (crystals shedding).7,9
Kristal MSU ditangkap oleh reseptor TLR2 dan TLR4, suatu reseptor transmembran
yang terdapat pada permukaan sel imun inate seperti monosit atau makrofag. Proses
fagositosis ini dibantu oleh protein adaptor Myd88 dan CD14. CD14 terdapat pada
permukaan sel fagosit yang dapat melipatgandakan respon seluler yang dirangsang oleh
ligand TLR2 dan TLR4. Sedangkan protein adaptor Myd88 bersama phosphatidylinositol
3 kinase, Rac1 dan Akt meneruskan sinyal untuk aktivasi faktor traskripsi nuclear factor
kappa B (NF) di inti sel untuk membentuk berbagai molekul proinflamasi seperti tumor
necrosis factor (TNF- ), interleukin-1 (IL-1), IL-6, CXCL8 (IL-8), dan CXCL1
(growth-related oncogene ).10
15
Serangan artritis gout ditandai adanya nyeri yang cepat yang mempengaruhi
persendian dan diikuti panas, bengkak, kemerahan dan sangat nyeri. Nyeri
biasanya menyerang satu persendian tetapi pada wanita dapat poliartikuler. Nyeri
pada artritis gout disebabkan deposit kristal asam urat di dalam jaringan sendi.
Bila tidak diobati akan sembuh sendiri dalam 7 sampai 10 hari.
Serangan artritis gout dapat dicetuskan oleh stres, trauma, infeksi, dehidrasi,
operasi, starvasi, alkohol, obat-obatan, penurunan berat badan, dan makan
makanan tertentu yang berlebihan, adanya perubahan profil lipid pada saat
serangan artritis gout. Pencegahan dapat dilakukan bila level asam urat serum <
6,0 mg/dl yaitu dengan cara mempertahankan intake cairan yang adekuat,
penurunan berat badan, perubahan diet, mengurangi konsumsi alkohol dan obat-
obatan yang menurunkan hiperurisemia.
3. Interkritikal gout
Merupakan fase antara satu serangan akut gout dengan serangan berikutnya
pada stadium awal periode ini biasanya tanpa gejala dan tanpa kelainan
pemeriksaan meskipun pada periode ini bersifat asimtomatik, tetapi kristal MSU
dapat ditemukan pada cairan sendi yang terlibat.
4. Stadium kronis tofeseus gout
Stadium ini dimulai dengan ditemukan adanya topus di sendi atau sekitar
sendi. Timbulnya topus bervariasi antara 3 sampai 42 tahun, kebanyakan setelah
10 tahun dan terjadinya topus berkorelasi dengan derajat dan lamanya
hiperurisemia, terutama pada kadar asam urat > 11mg/dl.
Topus juga dihubungkan dengan makin muda umur dan makin lama menderita
artritis gout. Topus dapat ditemukan di daerah kartilago, membran sinovial tendon,
jaringan lunak, dan berbagai tempat seperti telinga, jari-hari tangan, tangan, siku,
lutut. Topus dapat single dan multiple, berukuran kecil sampai besar sangat
menganggu pergerakan sendi, sering disertai dengan adanya luka yang
mengeluarkan cairan berwarna keputih-putihan berisi kristal berbentuk jarum.
Pada topus kecil yang sukar dibedakan dengan nodul rematik yang lain. Maka
aspirasi sendi atau biopsi topus dapat digunakan untuk memastikan diagnosis.
Apabila tidak ditatalaksana dengan baik serangan artritis gout akan
berlangsung lebih sering, mengenai banyak sendi (poliartikuler), semakin berat
dan semakin lama serta gejala sistemik yang lebih berat pula.1
2.8 Diagnosis
Menurut kriteria ACR (American Collage of Rheumatology), diagnosis dapat
ditegakkan jika:
16
1. Didapatkan kristal monosodium urat dalam cairan sendi atau
2. Didapatkan tofus yang mengandung kristal MSU atau
3. Ditemukan 6 dari beberapa kriteria dibawah ini:
a. Lebih dari 1 kali serangan artritis akut
b. Inflamasi maksimal berkembang dalam 1 hari
c. Arthritis monoartikuler
d. Kemerahan pada sendi
e. Bengkak + nyeri pada MTP-1
f. Serangan unilateral pada MTP-1
g. Serangan unilateral pada sendi-sendi tarsal
h. Dicurigai tofus
i. Hiperurisemia
j. Pembengkakan sebuah sendi asimetrik (pada foto rontgen)
k. Kista subkortikal tanpa erosi (pada foto rontgen)
l. Kultur mikroorganisme cairan sendi negatif.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah foto polos untuk mengevaluasi
gout kronis tidak terkontrol minimal 1 tahun diderita. Pada Bone scanning tampak
konsentrasi radionuklida meningkat di lokasi yang terkena dampak.
Pada fase awal, tampak pembengkakan asimetris dan edema jaringan lunak sekitar
sendi. Pada pasien dengan beberapa episode arthritis gout pada sendi yang sama,
ditemukan daerah berawan dengan opasitas meningkat dan perubahan tulang mulai yaitu
lesi punch-out, yang dapat berkembang menjadi sklerotik karena peningkatan ukuran.
17
Bila ditinjau dari stadium, maka pada RA terdapat tiga stadium yaitu:
a Stadium sinovitis : adanya hiperemi, edema karena kongesti, nyeri pada saat istirahat
maupun saat bergerak, bengkak, dan kekakuan.
b Stadium destruksi : terjadi kerusakan pada jaringan synovial dan sekitarnya yang
ditandai adanya kontraksi tendon atau perubahan bentuk tangan (jari swan-neck).
c Stadium deformitas : terjadi perubahan secara progresif dan berulang, deformitas dan
ganggguan fungsi secara menetap. Perubahan pada sendi diawali adanya sinovitis,
berlanjut pada pembentukan pannus, ankilosis fibrosa, dan terakhir ankilosis tulang.
Dibawah ini merupakan tabel revisi kriteria untuk klasifikasi dari artritis reumatoid
menurut American Rheumatism Association:
Kriteria Definisi
3Artritis pada sendi Setidaknya satu sendi bengkak pada pergelangan tangan,
18
tangan sendi MCP atau sendi PIP
Tanda pada foto polos awal dari artritis reumatoid adalah peradangan periartikular
jaringan lunak bentuk fusiformis yang disebabkan oleh efusi sendi dan inflamasi
hiperplastik sinovial. Nodul reumatoid merupakan massa jaringan lunak yang biasanya
tampak diatas permukaan ekstensor pada aspek ulnar pergelangan tangan atau pada
olekranon, namun adakalanya terlihat diatas prominensia tubuh, tendon, atau titik tekanan.
A : Perubahan erosif pada ulna dan distal radius. B : Erosi komplit pergelangan tangan
19
Tujuan terapi rheumatoid arthritis yaitu : Menghilangkan gejala peradangan/inflamasi
lokal maupun sistemik. Mencegah terjadinya kerusakan pada jaringan. Mencegah
terjadinya deformitas dan menjaga fungsi persendian tetap baik. Mengembalikan kelainan
fungsi organ dan persendian yang mengalami AR agar menjadi normal kembali.
Terapi glukokortikoid. Prednison dosis rendah (7,5 mg/hari) menjadi terapi suportif
yang berguna untuk mengontrol gejala dan memperlambat progresifitas erosi tulang.
Operasi. Tindakan operasi bertujuan untuk memperbaiki fungsi dan bentuk sendi yang
cacat dan untuk menghilangkan sinovium yang rusak sehingga sinovium baru dapat
terbentuk, transfer tendon bisa memperbaiki fungsi bila telah putus.
Osteoartritis
1 Umur
Faktor ketuaan adalah yang terbanyak. OA hampir tidak pernah pada anak-anak,
jarang pada umur di bawah 40 tahun dan sering pada umur di atas 60 tahun. Hal ini
disebabkan adanya hubungan antara umur dengan penurunan kekuatan kolagen dan
proteoglikan pada kartilago sendi.
2 Jenis kelamin
20
Pada umur lebih dari 55 tahun, prevalensi wanita lebih tinggi dari pria. Usia
kurang dari 45 tahun Osteoarthritis lebih sering terjadi pada pria dari wanita.
3 Suku bangsa
Osteoartritis primer dapat menyerang semua ras meskipun terdapat perbedaan
prevalensi pola terkenanya sendi pada osteoartritis. Hal ini berkaitan dengan
perbedaan cara hidup dan pertumbuhan dan perkembangan individu.
4 Genetik
Adanya mutasi dalam gen prokolagen atau gen-gen struktural lain untuk unsur-
unsur tulang rawan sendi seperti kolagen, proteoglikan berperan dalam timbulnya
kecenderungan familial pada osteoartritis.
Gambaran klinis berupa nyeri sendi terutama saat bergerak atau menanggung beban.
Dapat pula terjadi kekauan sendi di pagi hari yang berlangsung beberapa menit jika sendi
tidak bergerak lama, tetapi akan hilang setelah sendi digerakkan. Pada sebagian pasien OA
lanjut, nyeri sendi mungkin disebabkan oleh sinovisitis atau spasme otot akibat instabilitas
sendi. Sinovisitis OA mungkin terjadi karena fagositosis shard tulang rawan dan tulang
permukaan sendi yang mengalami abrasi, jarang terjadi efusi sinovium, pada palpasi sendi
mungkin terasa hangat. Pembengkakan pada sendi bersifat asimetris.16,17,18
Gambaran lain adalah keterbatasan dalam gerak, nyeri tekan lokal, pembesaran tulang
disekitar sendi, dan krepitasi sebagai akibat pergesekan permukaaan yang terpajan.
Perubahan yang khas adalah nodus Heberden pada sendi interfalang distal dan nodus
Bouchard pada interfalang proksimal.15
21
Kriteria diagnosis OA lutut berdasarkan American College of Rheumatology yaitu : 19
22
2) Asam hialuronat (viscosupplement): memperbaiki viskositas cairan synovial,
diberikan intraarthrikuler.
3) Glikosaminoglikan: menghambat sejumlah enzim degradasi tuang rawan,
seperti hialuronidase, protease, elastase, dan katepsin.
4) Kondroitin sulfat: Kondroitin sulfat memiliki efek: antiinflamasi, efek
metabolic terhadap sintesis hialuronat dan proteoglikan, dan anti degradatif
melalui hambatan enzim proteolitik
5) Vitamin C: menghambat enzim lisozim.
6) Superoxide Dismutase: menghilangkan superoxide dan hydroxyl radikal yang
merusak asam hialuronat, kolagen, dan proteoglikan.
7) Steroid Intra-artrikuler: kejadian inflamasi kadang terjadi pada OA sehingga
mampu mengurangi rasa sakit, tetapi penggunaannya masih kontroversial.
3. Terapi bedah : jika terapi farmakologis tidak berhasil.
Secara umum penanganan artritis gout dilakukan dalam 3 langkah yaitu: (1)
mengobati serangan akut, (2) melakukan profilaksis untuk mencegah peradangan akut
berulang dan, (3) menurunkan kadar asam urat yang berlebihan untuk mencegah
peradangan dan penimbunan kristal asam urat di jaringan. Langkah-langkah tersebut
dapat berupa pemberian edukasi, pengaturan diet, istirahat sendi dan pengobatan.
Pengobatan dilakukan secara dini agar tidak terjadi kerusakan sendi atau komplikasi
lain, seperti pada ginjal. Pengobatan artritis gout akut bertujuan untuk menghilangkan
keluhan nyeri dan peradangan dengan kolkisin, OAINS, kortikosteroid, atau hormon
ACTH. Obat penurun asam urat seperti allopurinol atau obat urikosurik tidak boleh
diberikan pada stadium akut, namun pada pasien yang telah rutin mendapat obat
penurun asam urat sebaiknya tetap diberikan.10,11
Sebagai aturan umum, penderita hiperurisemia yang asimptomatis tidak perlu
diterapi, meskipun pada pemeriksaan USG menunjukkan adanya timbunan kristal
asam urat dalam jaringan lunak pada sebagian kecil pasien. 12,13 Namun pasien dengan
kadar asam urat lebih dari 11mg/dl yang mengeskresikan asam urat berlebihan lewat
urin beresiko tinggi terkena batu ginjal dan gangguan fungsi ginjal, sehingga perlu
dilakukan pemantauan fungsi ginjal.10
Tofus sebaiknya tidak dilakukan pembedahan kecuali jika berada di lokasi yang
kritis. Pembedahan baru diindikasikan bila terdapat komplikasi dari topus meliputi
infeksi, deformitas sendi, penekanan (seperti penekanan pada spinal cord ataupu cauda
23
ekuina oleh topus) dan nyeri yang tidak teratasi sebagai akibat erosi topus. Pada 50%
pasien yang menjalani pembedahan mengalami penyembuhan yang lambat.
Terapi pada serangan akut lebih diarahkan pada menghilangkan rasa nyeri dan
peradangan. Pilihan terapi untuk serangan akut yaitu NSAID, kortikosteroid, kolkisin
dan ACTH.13 NSAID diberikan full dose selama 2-5 hari, bila perbaikan, dosis
dikurangi hingga kira-kira setengah hingga seperempatnya. Pada dasarnya, NSAID
yang digunakan sebaiknya merupakan inhibitor yang selektif terhadap COX-2.13
Akan tetapi, di Indonesia sering digunakan indometasin dengan dosis150-200 mg/hari
selama 2-3 hari dan 75-100 mg/hari untuk minggu berikutnya atau sampai nyeri dan
peradangan berkurang. Dapat juga diberikan Naproxen 3x750 mg selama 2-3 hari
kemudian dilanjutkan 3x250 mg atau sodium diklofenak 3x50 mg. Adapun dosis
kolkisin adalah 1,2 mg inisial diikuti oleh 0,6 mg per jam hingga dosis total 4,8 mg
dalam waktu 6 jam. Di amerika, kolkisin sudah jarang digunakan.Kortikosteroid dan
ACTH diberikan apabila pemberian kolkisin dan NSAID tidak efektif atau
dikontraindikasikan.
Jika pasien tidak menunjukkan respon yang adekuat terhadap terapi inisial dengan
obat tunggal, ACR menyarankan untuk menambahkan obat kedua sebagai terapi
kombinasi.Selain itu, penggunaan terapi kombinasi dari awal juga sangat tepat untuk
serangan akut gout yang berat, khususnya bila menyerang banyak sendi besar
(poliartikular). Regimen kombinasi yang diterima yaitu:
Kolkisin + NSAIDS
Kortikosteroid oral + kolkisin
Steroid intraartikular + kolkisin/NSAIDS
2.11. Komplikasi
Deposit asam urat dapat menjadi batu dan menyebabkan nefrolitiasis urat. Insiden
meningkat dengan peningkatan eksresi asam urat. PH urine menurun, riwayat keluarga
atau diri sendiri pernah memiliki batu asam urat.
24
Dapat pula terjadi gagal ginjal akut setelah terjadinya pelepasan massif asam urat
yang berlangsung pada pasien yang telah mengalami pengobatan karena kelainan
mielo- atau limfoproliferatif.
Berikut 6 Pedoman Diet Rendah Purin Bagi Penderita Asam Urat tersebut:
25
6. Minum air putih dalam jumlah cukup karena akan membantu mengeluarkan
asam urat dari tubuh.
Faktor resiko :
Pengetahuan diet rendah purin
GOUT Usia
(AU > 6mg/dL) Jenis kelamin
Polamakan
Pola Makan
Kuesioner
KERANGKA TEORI
Pengetahuan :
Kurang Perilaku konsumsi diet purin:
Sedang Rendah 26
Baik Sedang
tinggi
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
27
3.1 Penetapan Topik Masalah
Sesuai pernyataan masalah yang dikemukakan pada Bab Pendahuluan maka topik
masalah dalam mini project ini adalah:
a. Bagaimana kejadian penyakit arteritis gout di wilayah kerja Puskesmas Gombong
I pada tahun 2015
b. Bagaimana pengetahuan masyarakat tentang penyakit arteritis gout di wilayah
kerja Puskesmas Gombong I pada tahun 2015.
c. Bagaimana pengetahuan masyarakat tentang diet rendah purin di wilayah kerja
Puskesmas Gombong I pada tahun 2015.
d. Adakah hubungan antara gaya hidup rendah purin terhadap peningkatan insidensi
penyakit arteritis gout di wilayah kerja Puskesmas Gombong I pada tahun 2015.
Penelitian ini termasuk dalam penelitian deskriptif analisis. Penelitian deskriptif
adalah penelitian yang bertujuan untuk memperoleh gambaran atau deskripsi tentang
cirri-ciri variable dalam penelitian meliputi gambaran jumlah penderita penyakit arthritis
gout di wilayah kerja Puskesmas Gombong I. Penelitian analisis merupakan jenis
penelitian yang bertujuan untuk menganalisis variable dalam penelitian yang
berhubungan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan insidensi penderita
arthritis gout di wilayah kerja Puskesmas Gombong I.
28
Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari sumber asli
(tanpa melalui perantara) dengan melakukan metode survei. Data primer yang ada
dalam penelitian ini merupakan data hasil wawancara atau anamnesa dan
pengamatan pada saat Poli Dokter dan Poli Umum di wilayah kerja Puskesmas
Gombong I selama periode bulan Agustus Oktober 2015.
Data Sekunder
Data sekunder adalah data penelitian yang diperoleh secara tidak langsung
melalui media perantara (diperoleh dan dicatat oleh pihak lain). Data sekunder
yang ada dalam penelitian ini : data yang diperoleh dalam bentuk dokumen, data
statistik, dan naskah-naskah yang tersedia dalam lembaga atau instansi yang
berhubungan dengan penelitian.
3.3.3 Populasi Penelitian
Populasi adalah keseluruhan subyek yang mempunyai karakteristik tertentu
yang sesuai dengan penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah semua
penderita Penyakit Rematik periode Agustus Oktober 2015 di wilayah kerja
Puskesmas Gombong I.
Sampel adalah sebagian obyek yang diambil saat penelitian dari keseluruhan
obyek yang diteliti dan dianggap mewakili populasi. Sampel yang diambil dalam
penelitian ini adalah penderita Artritis Gout periode Agustus Oktober 2015 di
wilayah kerja Puskesmas Gombong I.
3.4 Pengolahan dan Analisis Data
Data yang diperoleh baik itu berupa rekam medis maupun hasil wawancara
terhadap penderita dianalisa berdasar tinjauan pustaka dan dideskripsikan secara naratif.
3.5 Pelaksanaan Solusi
Bentuk intervensi yang dilakukan dalam mini project ini berupa
penyuluhan/edukasi langsung kepada masyarakat. Hal penting yang harus disampaikan
dalam penyuluhan yaitu definisi dari penyakit arteritis gout, faktor apa saja yang
mempengaruhi penyakit arteritis gout, dan gaya hidup rendah purin yang berpengaruh
pada insidensi penyakit arteritis gout.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4. 1 Hasil Penelitian
4. 1. 1 Profil Puskesmas
Puskesmas Gombong I adalah salah satu Puskesmas dalam wilayah Kerja
Dinas Kesehatan Kabupaten Kebumen. Tepatnya berada di desa Wero
Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen Propinsi Jawa Tengah.
i. Visi dan misi
Visi
29
Menjadi Sentrum Kesehatan Dan Mutu Pelayanan Kesehatan Yang Prima
Dan Profesional
Misi
a. Mengembangkan kualitas samberdaya manusia
b. Mengembangkan komitmen dan kepemimpinan yang transformatif
c. Menerapkan azas kemitraan, kesejahteraan, dan keterbukaan.
d. Melaksanakan survey kepuasan pelanggan atau surveilance mutu.
e. Melaksanakan penelitian dan pengembangan di bidang keseharan
f. Melayani dengan senyum
ii. Data geografis
1. Letak Wilayah
Puskesmas Gombong I merupakan salah satu puskesmas yang terletak
di sebelah barat Kabupaten Kebumen, memiliki luas wilayah 719,5 km2.
Puskesmas Gombong I mempunyai wilayah kerja 5 desa yang terdiri
dari : Desa Wero, Desa Kedungpuji, Desa Panjangsari, Desa Banjarsari dan
Desa Patemon. Di mana semua desa merupakan daerah dataran rendah
yang bisa dijangkau dengan kendaraan roda 2 (dua) maupun roda 4
(empat).
2. Batas Wilayah
Batas-batas wilayah sebagai berikut :
a. Sebelah Barat : wilayah kerja Puskesmas Gombong II
b. Sebelah Selatan : wilayah kerja Puskesmas Kuwarasan
c. Sebelah Timur : wilayah kerja Puskesmas Karanganyar
d. Sebelah Utara : wilayah kerja Puskesmas Gombong II
30
penduduk mencapai 1747 jiwa/km2 wilayah terpadat di Desa Wero sebesar
2860 jiwa/km2 sedangkan yang terendah di Desa Banjarsari sebesar 1095
jiwa/km2.
Jumlah rumah tangga sebanyak 3.677, sehingga rata-rata jumlah
anggota keluarga yaitu 3,33 jiwa setiap keluarga. Penduduk terbanyak di
Desa Wero 3.432 jiwa dan yang paling sedikit di Desa Banjarsari 1.643
jiwa. Jumlah penduduk di wilayah Puskesmas Gombong I laki-laki yaitu
6.008 jiwa sedangkan jumlah penduduk perempuan sebanyak 6.219 jiwa.
31
yudistira, nakula, sadewa), ruang bersalin, ruang rawat inap nifas
(sembadra), ruang dapur dan 2 ambulance serta 5 sepeda motor.
Puskesmas Gombong I memiliki 1 Puskesmas Induk, 1
Puskesmas Pembantu, 3 Poliklinik Kesehatan Desa, 29 Posyandu
Balita, 12 Posyandu Lansia, serta 2 Balai Pengobatan.
32
pernah, jarang (mengkonsumsi makanan/minuman kurang dari 1 kali perminggu),
sering (mengkonsumsi makana/minuman lebih dari 1 kali perminggu), dan setiap hari.
33
BAB V
DISKUSI
Artritis gout adalah suatu sindroma klinis yang ditandai oleh episode artritis akut dan
berulang yang sering menyerang sendi kecil akibat adanya endapan kristal monosodium urat
dalam jaringan. Penimbunan kristal monosodium urat monohidrat terjadi di jaringan akibat
adanya supersaturasi asam urat. Faktor yang behubungan dengan timbulnya arthritis gout
antara lain, pola makan yang tidak terkontrol, obesitas, jenis kelamin dan usia, genetic, kurang
konsumsi air putih, gangguan ginjal dan hipertensi. Asupan makan yang masuk ke dalam
tubuh dapat mempengaruhi kadar asam urat dalam darah. Makanan yang mengandung zat
purin yang tinggi akan diubah menjadi asam urat.
34
BAB VI
6. 1 Kesimpulan
Terdapat hubungan pengetahuan masyarakat tentang diet rendah purin dalam
peningkatan insidensi penyakit Artritis Gout di Wilayah kerja Puskesmas Gombong I
pada periode Agustus Oktober 2015.
6. 2 Saran
a. Puskesmas
Perlu diadakan penyuluhan mengenai arthritis gout bagi masyarakat yang
masih minim pengetahuan.
b. Masyarakat
Saling mengupayakan diet rendah purin dengan diadakannya sosialisasi
makanan sehat di posyandu
c. Peneliti
Memperbaiki penelitian dengan cara menindak lanjuti hasil dari
penyuluhan sebelumnya.
35
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II edisi IV. Pusat penerbitan departemen ilmu
penyakit dalam fakultas kedookteran indonesia, jakarta. Hal : 1208-1210.
2. Terkeltaub, Gout : Epidemiology, Pathology and Pathogenesis in Klippel (ed.), Primer on
the Rheumatic Diseases, Edisi 12, Athritis Foundation, Atlanta, 2010.
3. Andreoli TE. Bennett JC, carpenter CCJ. Plum F. Hyperuricemia anda Gout. In Cecil
Essentials of Medicine. 4th Ef. W.B Saunders Company, Philadelphia, London, Toronto,
2008
4. Nuki, Gout in Rheumatology, Medicine Int., 2009, 42(12): 54-59
5. Hidayat R. Hiperurisemia dan gout. Medicinus 2009; 22:47-50
6. Dalbeth N, Haskard DO. Mechanisms of inflammation in gout.Rheumatology
2010;44:10906.
7. Choi HK, Mount DB, Reginato AM. Pathogenesis of gout.Annals of Internal Medicine
2011;143: 499-515.
8. Pope RM, Tschopp J. The Role of Interleukin-1 and the inflammasome in gout:
implications for therapy. Arthritis and Rheumatism 2007;56:31838.
9. So A. Developments in the scientific and clinical understanding of gout. Arthritis
Research & Therapy 2008;10:221- 6.
10. Sumariyono. Diagnosis dan tatalaksana artritis gout akut. In : Gustaviani R, Mansjoer A,
Rinaldi I eds. Naskah Lengkap Penyakit Dalam PIT 2007. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam FKUI;2007.172-8.
11. Putra TR. Diagnosis dan penatalaksanaan artritis pirai. In: Setyohadi B, Kasjmir YI eds.
Kumpulan Makalah Temu Ilmiah Reumatologi 2008. Jakarta: 2008; 113-8.
12. Lawrence RC, Felson DT, Helmick CG, et al. 2008. Estimates of the prevalence of
arthritis and other rheumatic conditions in the United States. PartII. Arthritis Rheum.
58(1):2635.
13. Rothschild BM. Gout and Pseudogout Treatment & Management. Emedicine online.
2015. Accessed from: http://emedicine.medscape.com/article/329958-
treatment#aw2aab6b6b2
36
14. De Miguel E, Puig JG, Castillo C, Peiteado D, Torres RJ, Martn-Mola E. Diagnosis of
gout in patients with asymptomatic hyperuricaemia : a pilot ultrasound study. Ann Rheum
Dis. Jan 2012;71(1):157-8.
15. Soeroso, Joewono. Isbagio, Harry. dkk. Osteoartritis. Dalam: Sudoyo, Aru W. dkk. Buku
ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi 5. Jakarta. Penerbit Interna Publishing. 2009.
Hal: 2538-2548.
16. Burns, Dennis K. Penyakit Sendi. Dalam: Hartanto, Huriawati. Robbins: Buku Ajar
Patologi Volume 2. Edisi 7. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.2007. Hal: 862-864.
17. Carter, Michael A. Osteoartritis. Dalam : Hartanto, Huriawati. Patofisiologi: Konsep
Klinis Proses- proses Penyakit Volume 2. Edisi 6. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran
EGC. 2006. Hal:1380-1383.
18. Michael, S. Osteoarthritis. http://www.seniorjournal.com. Diakses 14 juni 2015.
19. Roland, D. Osteoarthritis Investigation. http://www.orthoanswer.org. Diakses 14 juni
2015.
20. Jacobson, JA, et al. 2008. Radiographic Evaluation of Arthritis : Degenerative Joint
Disease and Variation. Radiology. 248(3):737747.
21. Kasmir, Yoga. 2009. Penatalaksanaan Osteoartritis. Sub-bagian Reumatologi, Bagian Ilmu
Penyakit Dalam FKUI / RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta
37
LAMPIRAN
Identitas Responden
Nama :
Usia :
Pekerjaan :
Pendidikan :
38
b. Banyak mengkonsumsi kacang-kacangan
c. Makan ikan laut
d. Tidak tahu
Keterangan :
Hasil Penilaian :
1. Benar 7-10 : pengetahuan baik
2. Benar 4-6 : pengetahuan sedang
3. Benar 3 : pengetahuan kurang
39
Lampiran 2 Kuesioner perilaku makan dan minum yang berhubungan dengan arthritis
gout
2. Daging kambing
3. Jeroan
4. Emping
5. Udang
6. Toge
7. Buncis
8. Kangkung
9. Kol
10. Jengkol
11. Kacang-kacangan
12. Pete
13. Durian
14. Kopi
15. Teh
16. Alkohol
Keterangan :
Hasil Penilaian :
o tidak pernah :0
o jarang ( bila konsumsi kurang dari 1 kali perminggu ) :1
40
o sering ( bila konsumsi lebih dari 1 kali perminggu ) :2
o setiap hari :3
Kriteria
Resiko rendah bila nilai 0-16
Resiko Sedang bila nilai 17-31
Resiko tinggi bila nilai 32-48
OLEH :
DOKTER
INTERNSIP
41
Lampiran 4 Pamflet Penyuluhan Asam Urat 2
42