You are on page 1of 15

LAPORAN PENDAHULUAN

I. Konsep Penyakit
I.1 Definisi ARDS
ARDS merupakan sindrom yang ditandai oleh peningkatan
permeabilitas membrane alveolar-kapiler terhadap air, larutan dan
protein plasma, disertai kerusakan alveolar difus, dan akumulasi
cairan dalam p arenkim paru yang mengandung protein.

Sindrom distress pernapasan dewasa (adult respiratory distress


syndrome, ARDS) adalah suatu penyakit yang ditandai oleh
kerusakan luas alveolus dan atau membran kapiler paru. ARDS selalu
terjadi setelah suatu gangguan besar pada sistem paru,
kardiovaskuler, atau tubuh secara luas. (Elizabeth J. Corwin, 2009,
hal. 552).

ARDS adalah sindrom klinis yang ditandai dengan penurunan


progresif kandungan oksigen arteri yang terjadi setelah penyakit atau
cedera serius. (Brunner & Suddarth, 2001, hal : 615). ARDS adalah
bentuk khusus gagal napas yang ditandai dengan hipoksemia yang
jelas dan tidak dapat diatasi dengan penanganan konvensional.
(Sylvia A. price. 2005. Hal: 835).

Dasar definisi yang dipakai consensus Komite Konferensi ARDS


Amerika-Eropa tahun 1994 terdiri dari :
1. Gagal napas (respiratory failure/distress) dengan onset akut.
2. Rasio tekanan oksigen pembuluh arteri berbanding fraksi
oksigen yang diinspirasi (PaO2 / FiO2 ) <200 mmHg-hipoksemia
berat
3. Radiografi dada; infiltrate alveolar bilateral yang sesuai dengan
edema paru.
4. Tekanan baji kapiler pulmoner (pulmonary capillary wedge
pressure) < 18 mmHg, tanpa tanda klinis (rontgen, dan lain-lain)
adanya hipertensi atrial kiri/ (tanpa adanya tanda gagal jantung
kiri).

Bila PaO2 / FIO2 antara 200-300 mmHg, maka disebut Acute Lung
Injury (ALI). Konsensus juga mensyaratkan terdpatnya factor resiko
terjadinya ALI dan tidak adanya penyakit paru kronik yang
bermakna.

I.2 Etiologi
ARDS dapat terjadi akibat cedera langsung kapiler paru atau
alveolus. Namun, karena kapiler dan alveolus berhubungan sangat
erat, maka destruksi yang luas pada salah satunya biasanya
menyebabkan estraksi yang lain. Hal ini terjadi akibat pengeluaran
enzim-enzim litik oleh sel-sel yang mati, serta reaksi peradangan
yang terjadi setelah cedera dan kematian sel. Contoh-contoh kondisi
yang mempengaruhi kapiler dan alveolus disajikan di bawah ini.

Destruksi kapiler, apabila kerusakan berawal di membran kapiler,


maka akan terjadi pergerakan plasma dan sel darah merah ke ruang
interstisium. Hal ini meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh
oksigen dan karbon dioksida untuk berdifusi, sehingga kecepatan
pertukaran gas menurun. Cairan yang menumpuk di ruang
interstisium bergerak ke dalam alveolus, mengencerkan surfaktan dan
meningkatkan tegangan permukaan. Gaya yang diperlukan untuk
mengembangkan alveolus menjadi sangat meningkat. Peningkatan
tegangan permukaan ditambah oleh edema dan pembengkakan ruang
interstisium dapat menyebabkan atelektasis kompresi yang luas.

Destruksi Alveolus apabila alveolus adalah tempat awal terjadinya


kerusakan, maka luas permukaan yang tersedia untuk pertukaran gas
berkurang sehingga kecepatan pertukaran gas juga menurun.
Penyebab kerusakan alveolus antara lain adalah pneumonia, aspirasi,
dan inhalasi asap. Toksisitas oksigen, yang timbul setelah 24-36 jam
terapi oksigen tinggi, juga dapat menjadi penyebab kerusakan
membran alveolus melalui pembentukan radikal-radikal bebas
oksigen.

Tanpa oksigen, jaringan vaskular dan paru mengalami hipoksia


sehingga semakin menyebabkan cedera dan kematian sel. Apabila
alveolus dan kapiler telah rusak, maka reaksi peradangan akan
terpacu yang menyebabkan terjadinya edema dan pembengkakan
ruang interstitium serta kerusakan kapiler dan alveolus di sekitarnya.
Dalam 24 jam setelah awitan ARDS, terbentuk membran hialin di
dalam alveolus. Membran ini adalah pengendapan fibrin putih yang
bertambah secara progesif dan semakin mengurangi pertukaran gas.
Akhirnya terjadi fibrosis menyebabkan alveolus lenyap. Ventilasi,
respirasi dan perfusi semuanya terganggu. Angka kematian akibat
ARDS adalah sekitar 50%. (Elisabeth J. Cowin, 2001, hal. 420-421)
Selain itu, adapun penyebab lain dari ARDS adalah :
1. Syok karena berbagai sebab ( terutama hemorragik,pancreatitis
acut hemorragik, sepsis gram negative )
2. Sepsis tanpa syok, dengan atau tanpa koagulasi intravascular
diseminata (DIC ).
3. Pneumonia virus yang berat.
4. Trauma yang berat ( cedera kepala, cedera dada langsung, trauma
pada berbagai organ dengan syok hemorragik, fraktur majemuk
dimana emboli lemak terjadi berkaitan dengan fraktur femur )
5. Cedera aspirasi / inhalasi ( aspirasi isi lambung, hampir
tenggelam, inhalasi asap, inhalasi gas iritan ).
6. Toksik O2 overdosis narkotika.
7. Post perfusi pada pembedahan pintas kardiopulmonar.

I.3 Tanda & gejala


ARDS biasaya timbul dalam waktu 24 hingga 48 jam setelah
kerusakan awal pada paru. Awalnya pasien akan mengalami dispnea,
kemudian biasanya diikuti dengan pernapasan yang cepat dan dalam.
Sianosis terjadi secara sentral dan perifer, bahkan tanda yang khas
pada ARDS ialah tidak membaiknya sianosis meskipun pasien sudah
diberi oksigen. Sedangkan pada auskultasi dapat ditemui ronkhi
basah kasar, serta kadang wheezing.

Diagnosis dini dapat ditegakkan jika pasien mengeluhkan dispnea,


sebagai gejala pendahulu ARDS. Diagnosis presumtif dapat
ditegakkan dengan pemeriksaan analisa gas darah serta foto toraks.
Analisa ini pada awalnya menunjukkan alkalosis respiratorik (PaO2
sangat rendah, PaCO2 normal atau rendah, serta peningkatan pH).
Foto toraks biasanya memperlihatkan infiltrat alveolar bilateral difus
yang mirip dengan edema paru atau batas-batas jantung, namun siluet
jantung biasanya normal. Bagaimanapun, belum tentu kelainan pada
foto toraks dapat menjelaskan perjalanan penyakit sebab perubahan
anatomis yang terlihat pada gambaran sinar X terjadi melalui proses
panjang di balik perubahan fungsi yang sudah lebih dahulu terjadi.

PaO2 yang sangat rendah kadang-kadang bersifat menetap meskipun


konsentrasi oksigen yang dihirup (FiO2) sudah adekuat. Keadaan ini
merupakan indikasi adanya pintas paru kanan ke kiri melalui
atelektasis dan konsolidasi unit paru yang tidak terjadi ventilasi.
Keadaan inilah yang menandakan bahwa paru pasien sudah
mengalami bocor di sana-sini, bentuk yang tidak karuan, serta perfusi
oksigen yang sangat tidak adekuat.

Setelah dilakukan perawatan hipoksemia, diagnosis selanjutnya


ditegakkan dengan bantuan beberapa alat. Untuk menginvestigasi
adanya gagal jantung dapat dipasang kateter Swan-Ganz, dari sini
dapat dilihat bahwa pulmonary arterial wedge pressure (PAWP) akan
terukur rendah (<18 mmHg) pada ARDS serta meningkat (>20
mmHg) pada gagal jantung. Jika terdapat emboli paru (keadaan yang
menyerupai ARDS) mesti dieksplorasi hingga pasien stabil sambil
mencari sumber trombus yang mungkin terdapat pada pasien,
misalnya dari DVT. Pneumosystis carinii dan infeksi-infeksi paru
lainnya patut dijadikan diagnosis diferensial, terutama pada pasien-
pasien imunokompromais.

I.4 Patofisiologi
ALI/ARDS dimulai dengan kerusakan pada epitel alveolar dan
endotel mikrovaskular. Kerusakan awal dapat diakibatkan injury
langsung atau tidak langsung. Kedua hal tersebut mengaktifkan
kaskade inflamasi, yang dibagi dalam 3 fase yang dapat dijumpai
secara tumpang tindih : insiasi, amplifikasi, dan injury.

Pada fase insiasi, kondisi yang menjadi factor resiko akan


menyebabkan sel-sel imun dan non imun melepaskan mediator-
mediator dan modulator-medulator inflamasi di dalam paru dan ke
sistemik. Pada fase amplifikasi, sel efektor seperti netrofil teraktivasi,
tertarik ke dan tertahan di dalam paru. Di dalam rongga target
tersebut mereka melepaskan mediator inflamasi, termasuk oksidan
dan protease, yang secara langsung merusak paru dan mendorong
proses inflamasi selanjutnya. Fase ini disebut fase injury.

Kerusakan pada membrane alveolar- kapiler menyebabkan


peningkatan permeabilitas membrane, dan aliran cairan yang kaya
protein masuk ke ruang alveolar. Cairan dan protein tersebut merusak
integritas surfaktan di alveolus, dan terjadi kerusakan lebih jauh.
Terdapat 3 fase kerusakan alveolus :
1. Fase eksudatif : ditandai edema interstisial dan alveolar, nekrosis
sel pneumosit tipe I dan denudasi/terlepasnya membrane basalis,
pembengkakan sel endotel dengan pelebaran intercellular
junction, terbentuknya membrane hialin pada duktus alveolar
dan ruang udara, dan inflamasi neutrofil. Juga ditemukan
hipertensi pulmoner dan berkurangnya compliance paru
2. Fase poliferatif paling cepat timbul setelah 3 hari sejak onset,
ditandai poliferasi sel epitel pneumosit tipe II
3. Fase fibrosis : kolagen meningkat dan paru menjadi padat karena
fibrosis.

I.5 Pemeriksaan Penunjang


Analisis gas darah arteri akan memperlihatkan penurunan konsentrasi
oksigen arteri. Terapi oksigen tidak efektif untuk ARDS, berapa pun
jumlah oksigen yang diberikan, karena difusi gas terbatas akibat
penimbunan fibrin, edema, dan rusaknya kapiler dan alveolus.
Sinar x dada: tak terlihat pada tahap awal atau dapat menyatakan
sedikit normal, infiltrasi jaringan parut lokasi terpusat pada region
perihiliar paru. Pada tahap lanjut, interstisial bilateral difus dan
alveolar infiltrate menjadi bukti dan dapat melibatkan semua lobus
paru. Infiltrate ini sering digambarkan sebagai kaca-tanah atau
whiteouts. Ukuran jantung normal (berbeda dari edema paru
kardiogenik).

GDA: seri membedakan gambaran kemajuan hipoksemia (penurunan


PaO2 meskipun konsentrasi oksigen inspirasi meningkat).
Hipokabnia (penurunan kadar CO2) dapat terjadi pada tahap awal
sehubungan dengan kompensasi hiperventilasi. Hiperkabnia (PaCO2
lebih besar dari 50) menunjukkan kegagalan ventilasi. Alkalosis
respiratori (pH lebih besar dari 7,45) dapat terjadi pada tahap dini,
tetapi asidosis respiratori terjadi pada tahap lanjut sehubungan
dengan peningkatan area mati dan penurunan kadar laktat darah,
diakibatkan dari metabolic anaerob.

Tes fungsi paru: komplain paru dan volume paru menurun,


khususnya FCR. Peningkatan ruang mati (Vd/Vt) dihasilkan oleh
area dimana vasokontriksi dan mikroemboli telah terjadi.
Pengukuran pirau (Qs/Qt): mengukur aliran darah pulmonal versus
aliran darah sistemik, yang memberikan ukuran klinis pirau
intrapulmonal. Pirau kanan ke kiri meningkat.

Gradien alveolar-arterial (gradien A-a): memberikan perbandingan


tegangan oksigen dalam alveoli dan darah arteri.Gradien A-a
meningkat. Kadar asam laktat: meningkat.

I.6 Komplikasi
Kegagalan pernapasan dapat timbul seiring dengan perkembangan
penyakit dan individu harus bekerja lebih kerja untuk mengatasi
penurunan compliance paru. Akhirnya individu kelelahan dan
ventilasi melambat. Hal ini menimbulkan asidosis respiratorik karena
terjadi penimbunan karbon dioksida di dalam darah. Melambatnya
pernapasan dan penurunan PH arteri adalah indikasi akan datangnya
kegagalan pernapasan dan mungkin kematian.
Pneumonia dapat timbul setelah ARDS, karena adanya penimbunan
cairan di paru dan kurangnya ekspansi paru. Akibat hipoksia dapat
terjadi gagal ginjal dan tukak saluran cerna karena stress (stress
ulcers). Dapat timbul koaguiasi intravaskular diseminata akibat
banyaknya jaringan yang rusak pada ARDS. (Elizabeth J. Cowin,
2001, hal. 422)

I.7 Pentalaksanaan
Pengobatan ARDS yang pertama-tama adalah pencegahan, karena
ARDS tidak pernah merupakan penyakit primer tetapi timbul setelah
penyakit lain yang parah. Apabila ARDS tetap timbul, maka
pengobatannya adalah:
1. Diuretik untuk mengurangi beban cairan, dan obat-obat
perangsang jantung untuk meningkatkan kontraktilitas jantung
dan volume sekuncup agar penimbungan cairan di paru
berkurang. Penatalaksanaan cairan dan obat-obat jantung
digunakan untuk mengurangi kemungkinan gagal jantung kanan.
2. Terapi oksigen dan ventilasi mekanis sering diberikan.
3. Kadang-kadang digunakan obat-obat anti-inflamasi untuk
mengurangi efek merusak dari proses peradangan, walaupun
efektifitasnya masih dipertanyakan.

I.8 Pathway
Sumber : Lelly Agustina, 2012

II. Rencana asuhan klien dengan gangguan ARDS


II.1Pengkajian
II.1.1 Riwayat keperawatan
Pokok utama pengkajian adalah distress pernafasan,
hipoksemia berat, dan difusi bilateral infiltrasi alveolar pada
rontgen toraks. Tanda utama distress pernafasan dan
hipoksemia berat berubah pada tingkat kesadaran, takikardi,
dan takipnea. Frekuensi pernafasan sering kali meningkat
secara bermakna dengan ventilasi menjadi tinggi. Dispnea
dengan sesak nafas dan berhubungan dengan retraksi
interkostal adalah umum dan mungkin ditemukan sianosis.

Hal ini harus di ingat, karena sianosis merupakan tanda awal


dan nyata dari hipoksemia. Berdasarkan pada pemeriksaan
auskultasi dada didapatkan bunyi nafas. Ronkhi sekunder
terhadap sekresi jalan nafas besar, tidak terjadi. Pemeriksaan
auskultasi jantung biasanya bunyi jantung normal tanpa
gallop atau murmur, kecuali bila ada penyakit jantung atau
mengalami trauma.

II.1.2 Pemeriksaan fisik : data focus


1. Keadaan umum
Keadaan umum ini dapat meliputi kesan keadaan sakit
termasuk ekspresi wajah dan posisi pasien, kesadaran
yang dapat meliputi penilaian secara kualitas seperti
compos mentis, apatis, samnolen, spoor, koma dan
delirium, dan status giinya, GCS (Glasow Coma Scale).
2. Pola aktivitas dan istirahat
Gejala:
a. Kekurangan energy/kelelahan
b. Insomnia
3. Sirkulasi
Gejala :
Riwayat adanya trauma pada paru dan syok, fenomena
embolik (darah, udara, lemak)
Tanda :
a. TD: dapat normal atau meningkat pada awal
(berlanjut menjadi hipoksia): hipotensi terjadi pada
tahap lanjut (syok) atau dapat factor pencetus
seperti pada eklampsia.
b. Frekuensi jantung : takikardia biasanya ada.
c. Bunyi jantung : normal pada tahap dini: S2
(komponen paru) dapat terjadi.
d. Disritmia dapat terjadi, tetapi EKG sering normal.
e. Kulit dan membrane mukosa: pucat, dingin.
Sianosis biasanya terjadi (tahap lanjut).

4. Integritas EGO
Gejala :
a. Ketakutan
b. Ancaman perasaan takut.
Tanda :
a. Gelisah
b. Agitasi
c. Gemetar
d. mudah terangsang
e. perubahan mental.
5. Nutrisi dan cairan
Gejala :
a. Kehilangan selera makan
b. mual/muntah
Tanda :
a. Edema
b. Perubahan berat badan.
c. Berkurangnya bunyi usus.
6. Neurosensori
Gejala/tanda :
a. Adanya trauma kepala.
b. Mental lamban, disfungsi motor.
7. Pernapasan
Gejala :
a. Adanya aspirasi, inhalasi asap/gas, infeksi disfus
paru.
b. Timbul tiba-tiba atau bertahap, kesulitan napas,
lapar udara.
Tanda :
a. Pernapasan: cepat, mendengkur, dangkal.
b. Peningkatan kerja napas; penggunaan otot aksesori
pernapasan, contoh retraksi interkostal atau
substernal, pelebaran nasal, memerlukan oksigen
konsentrasi tinggi.
c. Bunyi napas : pada awal normal. Krekels, ronki,
dan dapat terjadi bunyi napas bronchial.
d. Perkusi dada: bunyi pekak di atas area konsolidasi.
e. Ekspansi dada menurun atau tak sama.
f. Peningkatan fremitus (getar vibrasi pada dinding
dada dengan palpatasi).
g. Sputum sedikit, berbusa.
h. Pucat atau sianosis.
i. Penurunan mental, bingung.
8. Keamanan
Gejala :
Riwayat trauma ortopedik/fraktur, sepsis, transfuse darah,
episode anafilaktik.
9. Seksualitas
Gejala/tanda :
Kehamilan dengan adanya komplikasi eklampsia.

II.1.3 Pemeriksaan Penunjang


Chest X-Ray
ABGs/Analisa gas darah
Pulmonary Function Test
Shunt Measurement (Qs/Qt)
Alveolar-Arterial Gradient (A-a gradient)
Lactic Acid Leve

II.2Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul


Diagnosa 1 : Pola nafas tidak efektif
2.2.1 Definisi
Inspirasi dan / atau ekspirasi yang tidak member ventilasi
adekuat
2.2.2 Batasan karakteristik
- Bradipnea
- Dispnea
- Fase ekspirasi memanjang
- Ortopnea
- Penggunaan otot bantu pernapasan
- Penggunaan posisi tiga titik
- Peningkatan diameter anterior-posterior
- Penurunan kapasitas vital
- Penurunan tekanan ekspirasi
- Penurunan tekanan inspirsi
- Penurunan ventilasi semenit
- Pernapasan bibir
- Pernapasan cuping hidung
- Perubahan ekskursi dada
- Pola naps abnormal (mis., irama, frekuensi, kedalaman)
- Takipnea

2.2.3 Faktor yang berhubungan


- Ansietas
- Cedera medulla spinalis
- Deformitas dinding dada
- Deformitas tulang
- Disfungsi neuromuscular
- Gangguan musculoskeletal
- Gangguan neurologis (mis., elektroensofalogram [EEG]
positif, trauma kepala, gangguan kejang)
- Hiperventilasi
- Imaturitas neurologis
- Keletihan
- Keletihan otot pernapasan
- Nyeri
- Obesitas
- Posisi tubuh yang menghambat ekspansi paru
- Sindrom hipoventilasi

Diagnosa 2 : Kerusakan pertukaran gas


2.2.4 Definisi
Kelebihan atau deficit oksigenasi dan/atau eliminasi karbon
dioksida pada membrane alveolar-kapiler
2.2.5 Batasan karakteristik
- Diaferosis
- Dispnea
- Gangguan pengelihatan
- Gas darah arteri abnormal
- Gelisah
- Iperkapnia
- Hipoksimea
- Hipoksia
- Iritabilitas
- Konfusi
- Napas cuping hidung
- Penurunan karbon dioksida
- pH arteri abnormal
- Pola pernapasan abnormal (mis., kecepatan, irama,
kedalaman)
- Sakit kepala saat bangun
- Somnolen
- Takikardia
- Warna kulit abnormal (mis., pucat, kehitaman)
2.2.6 Faktor yang berhubungan
- Ketidak seimbangan ventilasi perfusi
- Perubahan membrane alveolar-kapiler

Diagnosa 3 : Kelebihan volume cairan


2.2.7 Definisi
Peningkatan retensi cairan isotonik
2.2.8 Batasan karakteristik
- Ada bunyik jantung S3
- Anasarka
- Ansietas
- Asupan melebihi haluaran
- Azotemia
- Bunyi napas tambahan
- Dispnea
- Dispnea nocturnal paroksimal
- Distensi vena jugularis
- Edema
- Efusi pleura
- Gangguan pola napas
- Gangguan tekanan darah
- Gelisah
- Hepatomegali
- Ketidakseimbangan elektrolik
- Kongesti pulmonal
- Oliguria
- Ortopenea
- Penambahan berat badan dalam waktu sangat singkat
- Peningkatan tekanan vena sentral
- Penurunan hematokrit
- Penurunan hemoglobin
- Perubahan berat jenis urin
- Perubahan status mental
- Perubahan tekanan arteri pulmonal
- Refleks hepatojugularis positif
2.2.9 Faktor yang berhubungan
- Gangguan mekanisme regulasi
- Kelebihan asupan cairan
- Kelebihan asupan natrium

2.3 Perencanaan
Diagnosa 1: Pola nafas tidak efektif
2.3.1 Tujuan dan Kriteria hasil
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24
jam pasien dapat mempertahankan pola pernapasan yang
efektif, dengan kriteria hasil :
pasien menunjukkan :
- Frekuensi, irama dan kedalaman pernapasan normal (16-20
x/menit)
- Adanya penurunan dispneu
- Kepatenan jalan napas

2.3.2 Intervensi keperawatan dan rasional


a. Independen
1. Kaji frekuensi, kedalaman dan kualitas pernapasan
serta pola pernapasan.
Rasional : Takipneu adalah mekanisme kompensasi
untuk hipoksemia dan peningkatan usaha nafas
2. Kaji tanda vital dan tingkat kesadaran setiap jam.
Rasional : Mengetahui keadaan umum pasien
3. Pantau dan catat gas-gas darah sesuai indikasi : kaji
kecenderungan kenaikan PaCO2 atau kecendurungan
penurunan PaO2
Rasional : Mengetahui kecenderungan gagal nafas
4. Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi nafas
setiap 1 jam. Catat ada tidaknya suara nafas dan
adanya bunyi nafas tambahan seperti crakles, dan
wheezing.
Rasional : Suara nafas mungkin tidak sama atau tidak
ada ditemukan. Crakles terjadi karena peningkatan
cairan di permukaan jaringan yang disebabkan oleh
peningkatan permeabilitas membran alveoli kapiler.
Wheezing terjadi karena bronchokontriksi atau
adanya mukus pada jalan nafas
5. Pertahankan tirah baring dengan kepala tempat tidur
ditinggikan 30 sampai 45 derajat
Rasional : untuk mengoptimalkan pernapasan
6. Berikan dorongan untuk batuk dan napas dalam,
bantu pasien untuk mebebat dada selama batuk
7. Instruksikan pasien untuk melakukan pernapasan
diagpragma atau bibir

b. Kolaboratif
1. Monitor pemberian trakeostomi bila PaCO2 50
mmHg atau PaO2 < 60 mmHg - Berikan bantuan
ventilasi mekanik bila PaCO > 60 mmHg. PaO2 dan
PCO2 meningkat dengan frekuensi 5 mmHg/jam.
PaO2 tidak dapat dipertahankan pada 60 mmHg atau
lebih, atau pasien memperlihatkan keletihan atau
depresi mental atau sekresi menjadi sulit untuk
diatasi.
Rasional : Memaksimalkan pertukaran oksigen secara
terus menerus dengan tekanan yang sesuai
2. Berikan obat-obat jika ada indikasi seperti steroids,
antibiotik, bronchodilator dan ekspektorant
Rasional : Untuk mencegah kondisi lebih buruk pada
gagal nafas

Diagnosa 2 : Kerusakan pertukaran gas


2.3.3 Tujuan dan kriteria hasil
Tujuan : Setelah dilakukantindakan keperawatan selama 2x24
jam, diharapkan gangguan pertukaran gas tidak terjadi,klien
merasa nyaman, dengan kriteria hasil :
Data subjektif : Pasien mengatakan / melaporkan merasa
nyaman saat bernafas

Data objektif :
- Pasien dapat memperlihatkan ventilasi dan oksigenasi yang
adekuat
- Bebas dari gejala distress pernapasan
- RR : 20x/menit, HR: 80-100x/menit

2.3.4 Intervensi keperawatan dan rasional


1. Kaji status pernafasan, catat peningkatan respirasi atau
perubahan pola nafas
Rasional : Takipneu adalah mekanisme kompensasi untuk
hipoksemia dan peningkatan usaha nafas
2. Catat ada tidaknya suara nafas dan adanya bunyi nafas
tambahan seperti crakles, dan wheezing
Rasional : Suara nafas mungkin tidak sama atau tidak ada
ditemukan. Crakles terjadi karena peningkatan cairan di
permukaan jaringan yang disebabkan oleh peningkatan
permeabilitas membran alveoli kapiler. Wheezing terjadi
karena bronchokontriksi atau adanya mukus pada jalan
nafas
3. Kaji adanya cyanosis
Rasional : Selalu berarti bila diberikan oksigen (desaturasi
5 gr dari Hb) sebelum cyanosis muncul. Tanda cyanosis
dapat dinilai pada mulut, bibir yang indikasi adanya
hipoksemia sistemik, cyanosis perifer seperti pada kuku
dan ekstremitas adalah vasokontriksi.
4. Observasi adanya somnolen, confusion, apatis, dan
ketidakmampuan beristirahat
Rasional : Hipoksemia dapat menyebabkan iritabilitas dari
miokardium
5. Berikan istirahat yang cukup dan nyaman
Rasional : Menyimpan tenaga pasien, mengurangi
penggunaan oksigen

Diagnosa 3 : Kelebihan volume cairan


2.3.5 Tujuan dan kriteria hasil
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 2x24
jam diharapkan volume cairan terpenuhi, dengan kriteria
hasil: pasien dapat menunjukkan keadaan volume cairan
normal dengan tanda tekanan darah, berat badan, urine output
pada batas normal.
2.3.6 Intervensi keperawatan dan rasional
1. Monitor vital signs seperti tekanan darah, heart rate,
denyut nadi (jumlah dan volume)
Rasional : Berkurangnya volume/keluarnya cairan dapat
meningkatkan heart rate, menurunkan tekanan darah, dan
volume denyut nadi menurun.
2. Amati perubahan kesadaran, turgor kulit, kelembaban
membran mukosa dan karakter sputum
Rasional : Penurunan cardiac output mempengaruhi
perfusi/fungsi cerebral. Deficit cairan dapat diidentifikasi
dengan penurunan turgor kulit, membran mukosa kering,
sekret kental.
3. Hitung intake, output dan balance cairan. Amati insesible
loss
Rasional : Memberikan informasi tentang status cairan.
Keseimbangan cairan negatif merupakan indikasi
terjadinya deficit cairan.
4. Timbang berat badan setiap hari
Rasional : Perubahan yang drastis merupakan tanda
penurunan total body water.
5. Berikan cairan IV dengan observasi ketat
Rasional : Mempertahankan/memperbaiki volume
sirkulasi dan tekanan osmotik. Meskipun cairan
mengalami deficit, pemberian cairan IV dapat
meningkatkan kongesti paru yang dapat merusak fungsi
respirasi
6. Monitor/berikan penggantian elektrolit sesuai indikasi
Rasional : Elektrolit khususnya pottasium dan sodium
dapat berkurang sebagai efek therapi deuritik.

Daftar Pustaka

Anynomous, 2007.Asuhan Keperawatan KLIEN dengan ARDS (Adult


Respiratory DistressSyndrome) Pre Acut/ Post Acut Care
.http://rusari.com/askep_aspirasi_distress.html.Tanggal 07 Desember
2016 pukul 01.45 WITA.

Bunner, Suddath, dkk . 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Vol 1.


Jakarta : EGC.

Carpenito, Lynda Juall.2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8.


Jakarta : EGC.

Corwin J. Elizabeth. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Edisi 3. Jakarta : EGC.

Doenges, Marilyn. E. 1999, Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk


Perencanaan & Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi : 3. Jakarta :
EGC.

Mansjoer, Arif.2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid 2. Jakarta :


Mediaesculapius

Price, Sylvia. A. 2004. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.


Jakarta : EGC
Banjarmasin, Januari 2016

Preseptor Akademik Preseptor Klinik

( ) ( Lukmanul Hakim, Ns., M.Kep)

You might also like