You are on page 1of 36

A.

PENDAHULUAN
a. Latar belakang
Dalam suatu habitat, selain terdapat berbagai jenis makhluk hidup
terdapat juga benda-benda seperti air, tanah, pasir, cahaya, matahari, dan
udara. Di antara anggota komunitas dan benda-benda tersebut terjadi
hubungan yang saling mempengaruhi. Kesatuan ini membentuk sistem
ekologi atau disebut ekosistem. Ekosistem dibedakan menjadi dua macam
yaitu : Ekosistem Alami & Ekosistem Buatan yaitu ekosistem yang terjadi
karena buatan manusia.
Ekosistem darat adalah ekosistem yang lingkungan fisiknya berupa
daratan. Berdasarkan letak geografis (garis lintang) ekosistem darat
dibedakan menjadi beberapa bioma yaitu bioma gurun, bioma savanah,
bioma padang rumput, bioma hutan hujan tropis, bioma hutan gugur ,
bioma hutan konifer (taiga), bioma tundra, bioma karst.
Bioma adalah sekelompok hewan dan tumbuhan yang tinggal di
suatu lokasi geografis tertentu. Bioma darat (terrestrial) seringkali dinamai
sesuai ciri fisik atau iklim utama dan jenis vegetasi dominannya. Sebagai
contoh, padang rumput temperat didominasi oleh berbagai spesies rumput
dan umumnya ditemukan pada garis lintang pertengahan, dimana iklim
lebih sedang dibandingkan dengan daerah tropis dan daerah
kutub. Masing-masing bioma juga ditandai oleh mikroorganisme, fungi,
dan hewan yang beradaptasi terhadap lingkungan tersebut.

b. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan ekosistem darat, deforstasi, degradasi
lahan dan keanekaragaman hayati ?
2. Apa saja issu yang terjadi pada ekosistem darat, deforestasi,
degradasi lahan dan keanekaragaman hayati ?

c. Tujuan
1. Untuk mengetahui ekosistem darat, deforstasi, degradasi lahan
dan keanekaragaman hayati

iii
2. Untuk mengetahui issu yang terjadi pada ekosistem darat,
deforestasi, degradasi lahan dan keanekaragaman hayati

iii
B. DEFINISI
a. Ekosistem Darat ialah ekosistem yang lingkungan fisiknya berupa
daratan. Berdasarkan letak geografisnya (garis lintangnya).
b. Deforestasi adalah proses penghilangan hutan alam dengan cara
penebangan untuk diambil kayunya atau mengubah peruntukan lahan
hutan menjadi non-hutan. Bisa juga disebabkan oleh kebakaran hutan baik
yang disengaja atau terjadi secara alami. Deforestasi mengancam
kehidupan umat manusia dan spesies mahluk hidup lainnya.
c. Degradasi lahan adalah proses di mana kondisi lingkungan biofisik
berubah akibat aktivitas manusia terhadap suatu lahan. Perubahan kondisi
lingkungan tersebut cenderung merusak dan tidak diinginkan.

d. Keragaman istilah biologi atau keanekaragaman hayati


dapat memiliki banyak interpretasi. Hal ini paling sering
digunakan untuk menggantikan istilah yang lebih jelas dan
lama didirikan, keragaman spesies dan kekayaan spesies.
Ahli biologi paling sering mendefinisikan keanekaragaman
hayati sebagai "totalitas gen, spesies, dan ekosistem suatu
daerah". Sebuah keuntungan dari definisi ini adalah bahwa
tampaknya untuk menggambarkan keadaan paling dan
menyajikan pandangan terpadu dari tiga tingkat tradisional
di berbagai biologis yang telah diidentifikasi:

keanekaragaman jenis, ekosistem keanekaragaman dan


Keanekaragaman genetik

iii
C. ISSU BERITA YANG TERJADI PADA EKOSISTEM DARAT,
DEFORESTASI, DEGRADASI LAHAN DAN KEANEKARAGAMAN
HAYATI.

a. Ekosistem Darat

TNC: SINERGI ANTARPELAKU PENGELOLAAN HUTAN


DIBUTUHKAN UNTUK MENDUKUNG FUNGSI KESATUAN
PENGELOLAAN HUTAN

JAKARTA, POTRETNEWS.com - Hutan memiliki fungsi ekologi,


ekonomi, dan sosial bagi manusia. Banyaknya manfaat membuat peran hutan
tidak tergantikan. Namun kebutuhan pembangunan seringkali menafikan fungsi
ekologi dan sosial hutan. Hal ini secara langsung maupun tidak mengancam
keberadaan manusia, baik saat ini maupun di masa datang.Hutan Indonesia selama
beberapa dekade terakhir mendapatkan tekanan yang begitu kuat. Pemberian izin
pengelolaan hutan kepada pihak swasta membuat fungsi ekonomi mendominasi,
sementara fungsi ekologi dan sosial terpinggirkan.
Dampak penurunan kondisi hutan pun telah terasa. Rusaknya ekosistem
hutan di bagian hulu mengakibatkan banjir bandang menimpa Kota Bima dan
Garut tahun lalu, sementara konflik tenurial kehutanan terus muncul di berbagai
daerah di Indonesia.

iii
Keberadaan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dipercaya dapat
memperbaiki tata kelola hutan di Indonesia, seperti diungkapkan para panelis
dalam diskusi Policy Practice Forum (PPF): Tantangan dalam Pembangunan
KPH yang diselenggarakan oleh The Nature Conservancy (TNC) Indonesia di
Jakarta, baru-baru ini.
Dalam sambutannya, Penasihat Senior untuk Kebijakan Teresterial TNC
Indonesia Wahjudi Wardojo mengatakan, KPH adalah isu yang sangat penting
untuk sektor kehutanan di Indonesia. Sejak tahun 80-an saat Kementerian
Kehutanan dipimpin oleh Soedjarwo isu ini telah mendapatkan perhatian
pemerintah.
Menurut dia, pemerintah sebenarnya telah memiliki tekad kuat untuk
melakukan penegasan terhadap peran tata kelola kehutanan dan melihat peran
KPH sangat vital dalam mewujudkan hal ini.
Kami melihat KPH dapat menjadi ujung tombak pengelolaan hutan di
Indonesia yang dapat menyelesaikan berbagai persoalan di tingkat tapak antara
pemangku kepentingan yang ada, ungkap Ir Drasospolino MSc, Direktur
Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan dalam sambutannya.
Ia kemudian menjelaskan bahwa saat ini pemerintah sedang menggodok
beberapa regulasi untuk mendukung peran KPH. Saat ini sedang dibahas
Peraturan Menteri LHK mengenai kerja sama pemanfaatan hutan di KPH-
Lindung dan KPH-Produksi dengan fokus pada masyarakat setempat dan swasta,
tambahnya lagi.
Prof Dr Ir Bramasto Nugroho MS dari Fakultas Kehutanan Institut
Pertanian Bogor (IPB) yang menjadi moderator diskusi ini menyebut, karena
sebagian besar hutan milik publik, maka KPH penting untuk menghadirkan
manajemen yang efektif, membangun jaringan antarpemangku kepentingan, dan
menggugah political interest dari pihak terkait dengan narasi yang bisa diterima.
Kemudian, Ir Haryanto R Putro MS dari IPM yang menjadi panelis
menyampaikan bahwa di tingkat tapak kebanyakan KPH hadir di sebuah kawasan
dengan banyak fungsi dan aktor yang hadir secara legal maupun ilegal.

iii
Peran KPH sangat strategis dalam menjaga kelestarian hutan. Sayangnya
sinergi antara pemerintah pusat dan daerah terkait pembagian kewenangan belum
terjadi, tutur Haryanto. Ia kemudian bercerita tentang beberapa contoh KPH yang
berhasil, di antaranya yang ada di Provinsi Kalimantan Timur.
Pengamat KPH dari TNC Agus Loekman melihat setidaknya ada lima
masalah utama yang dihadapi oleh KPH. Yang pertama adalah bagaimana KPH
dapat mengelola konflik dengan masyarakat di dalam dan sekitar hutan.
Berikutnya adalah bagaimana mewujudkan pembentukan engelolaan KPH dalam
keterbatasan sumberdaya. Mewujudkan hubungan harmonis dengan emerintah
daerah dan pusat juga menjadi tugas berat dari KPH.
Sinergi antarpelaku engelolaan hutan di dalam wilayah KPH dan
bagaimana penilaian kinerja pengelolaan hutan lestari di tingkat KPH adalah dua
permasalahan lain yang diangkat oleh TNC.
Dalam diskusi ini TNC menyampaikan beberapa rekomendasi terkait
KPH, di antaranya pembentukan komite independen untuk menyelesaikan akar
permasalahan KPH, dokumentasi proses dan hasil penyelesaian yang terbuka bagi
publik serta pembuatan peta jalan untuk pembangunan KPH.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagaimana dirancang
dalam RPJMN 2010- 2014 telah menetapkan 530 unit Kesatuan Pengelolaan
Hutan Lindung (KPH-L)/ Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPH-P) dan 70
unit Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPH-K) di seluruh Indonesia.
Sebagai upaya operasionalisasi KPH, telah ditetapkan 120 unit KPHL/
KPHP Model dari 600 unit KPH tersebut dan Pemerintah telah memberikan
stimulant untuk percepatan proses operasionalisasi KPH di lapangan berupa
fasilitas penyiapan kelembagaan, sosialisasi, tata hutan dan penyusunan RPHJP,
penyiapan SDM, pelatihan, serta sarana dan prasarana fisik dasar KPH.
Namun demikian dari 430 KPH yang terbentuk di 34 provinsi maka baru
44 unit KPH (10%) yang memiliki SK Kelembagaan pada tingkat provinsi dan
136 unit KPH ditingkat Kabupaten (32%) yang memiliki SK Kelembagaan.
Selanjutnya 82 unit KPH atau 19% yang sudah menyusun RPH-JP. Dari sisi

iii
pendanaan maka sejumlah 118 unit KPH atau 27% yang dianggarkan dari APBN/
DAK dan sejumlah 41 unit KPH atau 10% yang didanai dari APBD.
PPF adalah kegiatan rutin yang diselenggarakan oleh TNC Indonesia
sebagai forum diskusi antara pembuat kebijakan, pelaku usaha dan pemangku
kepentingan lainnya. Hasilnya akan disusun sebagai rekomendasi TNC Indonesia
kepada Pemerintah Indonesia untuk kebijakan yang terkait dengan lingkungan.
The Nature Conservancy adalah organisasi konservasi global yang
bertujuan melindungi darat dan perairan tempat semua kehidupan bergantung.
Dengan pendekatan sains, kami menciptakan solusi inovatif dan membumi untuk
menghadapi tantangan yang semakin berat sehingga alam dan manusia dapat
tumbuh bersama.
Kami mencari solusi untuk perubahan iklim, melindungi darat, laut, dan
samudera dalam skala yang sangat besar, dan membantu membuat kota-kota lebih
lestari. Bekerja di lebih dari 69 negara, kami menggunakan pendekatan
kolaboratif yang menghubungkan komunitas lokal, pemerintah di berbagai
tingkatan, swasta, dan mitra lainnya.

CORNELIS AJAK MASYARAKAT GENCARKAN TANAM POHON DI


RUMAH DAN SEKITARNYA

Ilustrasi. Atlet Paramotor Tebar Biji Pohon Penghijauan. Dua atlet paramotor
menyebarkan biji pohon penghijauan di lereng perbukitan Rahtawu, Gebog, Kudus,
Jawa Tengah, Rabu (18/11/2015). Sebanyak 411 kg biji aneka jenis pohon penghijauan
seperti biji pohon mahoni, trengguli, randu, kenari, salam, asem, akasia serta trembesi

iii
ditebar oleh atlet paramotor sebagai upaya penghijauan kembali lereng gunung Muria.
(ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho)

Pontianak (ANTARA News) - Gubernur Kalimantan Barat, Cornelis


mengimbau kepada semua masyarakat Kalbar untuk dapat melestarikan dan
menanam pohon di sekitar rumah, guna mencegah naiknya panas bumi yang
diprediksi mencapai 2 derajat Celcius pada 2050.

"Diprediksikan, pada tahun 2050 panas bumi bisa naik mencapai 2 derajat
Celcius. Untuk itu saya mengajak seluruh masyarakat Kalbar agar bisa menanam
pohon di rumahnya, untuk mencegah hal itu terjadi," kata Cornelis, dalam
kegiatan Hari Menanam Pohon Indonesia, di Kecamatan Mandor, Senin.

Menurut dia, tidak ada cara lain untuk mengantisipasi naiknya panas bumi
selain menanam pohon yang merupakan upaya menyelamatkan bumi, menjaga
keanekaragaman hayati, menghemat dan menumbuhkan mata air yang baru yang
memberikan oksigen bagi kehidupan.

"Dengan menanam pohon, kita juga mengantisipasi bencana alam dan


longsor," tuturnya. Terkait hal itu, katanya lagi, penanaman pohon itu diatur dalam
undang-undang nomor 16 tahun 2016 tentang pengesahan persetujuan Paris atas
konvensi kerangka kerja PBB mengenai perubahan iklim, lembaran negara nomor
204 tambahan lembaran negara nomor 5939.

Tujuan utamanya menahan laju kenaikan suhu bumi untuk tidak lebih dari 2
derajat Celcius. Atau sedapatnya minimal menekan hingga 1,5 derajat Celcius
langkah utamanya adalah mitigasi dan adaptasi serta mitigasi mengurangi emisi
karbon dari deforestasi hutan.

"Ini sangat penting dan sangat relevan dengan upaya menanam pohon,
menghutankan kembali. Kembalikan hutan kita dan hutankan halaman rumah kita.
Jaga pohon dengan pohon buah-buahan, pohon serbaguna." ujar Cornelis.

Hadir dalam peringatan Hari Menanam Pohon Indonesia dan Bulan Menanam
Nasional, tersebut Ketua Tim Penggerak PKK provinsi Kalbar, Forkompinda

iii
Kalbar, SKPD, Bupati Mempawah dan Bupati Landak, jajaran DPRD Provinsi
Kalbar dan DPRD Landak. Komunitas pencinta Alam, pelajar dan masyarakat
sekitar.

Dia mengingatkan agar masyarakat sekitar Bukit Suharto tidak menjual tanah
yang menjadi aset pemerintah Provinsi Kalbar.

"Saya mohon masyarakat Mandor, di sekitar Mandor agar menjaga bukit


Suharto, jangan dijual belikan, yang sudah terlanjur agar dikembalikan, kalau
tidak maka kita minta aparat hukum untuk memproses. Agar lebih aman supaya
area dipagar pakai kawat berduri, mudah-mudahan ada NGO bisa merawat hutan
ini," tuturnya.

Menurut mantan Bupati Landak itu, keberhasilan program penanaman dan


pemeliharaan pohon sangat tergantung pada 6 T, yaitu tepat perencanaan, tepat
pemeliharaan jenis, tepat pembibitan, tepat waktu penanaman, tepat pemeliharaan
dan tepat pemanenan.

Dia menjelaskan, pemerintah berupaya menanam pohon bersama dilakukan


sistematis dengan pendekatan tapak demi tapak ditanami, sehingga tapak demi
tapak juga menghijau sampai satu lanscape menghijau.

"Mari kita tanami pohon sebanyak-banyaknya jadikan rumah kita hutan kita
begitu pula sebaliknya." ujar Cornelis, sambari mengajak semua Bupati, walikota,
masyarakat, LSM, bersama-sama menanam pohon kembali.

iii
b. Deforestasi

3 CARA UNTUK MENGATASI DEFORESTASI HUTAN TROPIS


HINGGA 2020

Deforestasi seringkali dihubungkan dengan produksi


komoditas di Indonesia. Sumber foto: Agung
Prasetyo/CIFOR

Artikel ini disusun bersama Carita Chan, intern di Forest Initiative WRI.

Semenjak krisis deforestasi hutan tropis mencapai tingkat urgensi yang


baru akibat kebakaran hutan yang meluas di Indonesia, sebuah pertanyaan penting
muncul ke permukaan, bagaimana dunia dapat memenuhi permintaan yang
semakin meningkat akan produk hutan sementara di waktu yang bersamaan masih
melestarikan ekosistem hutan? Minggu ini, beberapa perusahaan terbesar di dunia
akan bergabung bersama para pejabat pemerintah Amerika Serikat dan Indonesia
di Jakarta dalam pertemuan Tropical Forest Alliance 2020 (TFA 2020) untuk
membahas permasalahan tersebut.

Pertemuan ini terjadi tiga tahun setelah Consumer Goods Forum (CGF),
sebuah forum yang beranggotakan 400 perusahan barang konsumsi terbesar di
dunia dari 70 negara, mengumumkan komitmen mereka untuk menggunakan
hanya komoditas yang bebas deforestasi (deforestation-free) dalam rantai pasokan

iii
mereka dan membantu usaha untuk mencapai tingkat deforestasi sebesar nol
persen pada tahun 2020. TFA 2020,

sebuah kemitraan pemerintah-swasta yang dibentuk pada Rio+20 Summit


tahun 2012, bertujuan untuk menyediakan pedoman yang jelas dalam
mengimplementasikan komitmen forum. Komitmen CGF dapat secara signifikan
mempengaruhi cara komoditas tersebut diproduksi: perusahaan-perusahaan di
dalam forum tersebut jika digabungkan mempunyai total penjualan lebih dari $3
triliun setiap tahunnya, dan termasuk di dalamnya merek-merek ternama seperti
Unilever, Johnson&Johnson, Walmart, dan IKEA. Pertemuan TFA 2020 akan
mendiskusikan beberapa cara yang dapat dilakukan CGF untuk mencapai
tujuannya dan mengembangkan industri secara umum. Beberapa cara yang paling
signifikan untuk dibicarakan meliputi:

1) Lahan yang Terdegradasi

Salah satu isu yang paling mendesak di Indonesia adalah


pembukaan hutan primer dan lahan gambut untuk mengembangkan
pertanian. Analisis yang dilakukan oleh WRI menemukan bahwa terdapat
peluang yang besar untuk memindahkan pengembangan agrobisnis ke lahan-
lahan yang telah terdegradasi yang telah terbuka, dan memiliki
keanekaragaman hayati dan cadangan karbon yang rendah. Konsep ini telah
mendapatkan perhatian, namun pertanyaan tetap muncul mengenai
bagaimana mendefinisikan lahan yang terdegradasi, demikian pula tantangan
dan peluang dalam mengembangkan lahan tersebut.

WRI dan mitra kerjanya telah bekerja untuk mengidentifikasi lahan


yang terdegradasi yang cocok untuk produksi kelapa sawit, menggunakan
kriteria biofisika, ekonomi, sosial, dan hukum. Kami telah mengembangkan
metodologi riset di Pulau Kalimantan, Indonesia. Hasil yang kami
peroleh mengindikasikan bahwa secara potensial terdapat 14 juta hektar
lahan terdegradasi di Kalimantan yang cocok digunakan untuk

iii
mengembangkan kelapa sawit. Ini merupakan kesempatan yang sangat luar
biasa untuk memenuhi target produksi komoditas sekaligus menghormati
komitmen CGF untuk mengatasi deforestasi.

Sejak 2010, mantan Presiden Indonesia Susilo Bambang


Yudhoyono telah menyatakan komitmennya untuk memanfaatkan lahan yang
telah terdegradasiuntuk pengembangan komoditas, yang telah memunculkan
ketertarikan awal dari industri kelapa sawit dan membantu menyebarluaskan
kebijakan-kebijakan pemerintah seputar isu tersebut. Wadah multi-
stakeholder seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) turut
mengeluarkan pedoman mengenai bagaimana mengembangkan kelapa sawit
tanpa mengkonversi hutan lebih lanjut.

2) Pengawasan Hutan

Produsen komoditas yang memiliki komitmen untuk mengatasi


deforestasi dapat turut memanfaatkan perkembangan teknologi terbaru dalam
pengawasan hutan dan teknologi satelit. Teknologi tersebut dapat
meningkatkan transparansi di dalam rantai pasokan perusahaan. Program
seperti Forest Cover Analyzer, Eyes on the Forest, dan Global Forest Watch
2.0 yang akan segera diluncurkan, memungkinkan setiap orang dengan
koneksi internet untuk melihat di mana dan kapan perubahan tutupan hutan
terjadi di suatu wilayah tertentu. Pemerintah Indonesia juga memiliki
berbagai inisiatif pengawasan hutan di dalam badan-badan pemerintah yang
berbeda.

Selama kabut asap minggu lalu, sebagai contohnya,


WRI mempublikasikan datayang menunjukkan bahwa kebakaran di
Indonesia kemungkinan berhubungan dengan pembukaan lahan yang
dilakukan oleh komoditas terbesar di Indonesia, kayu pulp dan kelapa sawit.
Ini bukanlah tren yang baru terdapat peningkatan permintaan secara global

iii
terhadap kedua komoditas tersebut, dan di masa lalu, produksi seringkali
mengorbankan hutan.

Perkiraan menunjukkan bahwa 57 persen deforestasi di Indonesia


disebabkan oleh perkebunan kelapa sawit, dengan 20 persen berasal dari pulp
dan kertas. Kemampuan untuk menunjukkan secara cepat di mana dan kapan
kebakaran hutan terjadi dan menentukan siapa yang bertanggung jawab,
belum pernah terjadi sebelumnya. Inovasi-inovasi tersebut dapat membantu
pemerintah, perusahaan, dan masyarakat dalam mengawasi dan mengurangi
deforestasi secara cepat dan efektif.

3) Sertifikasi Hukum dan Sukarela

Usaha penting lainnya dalam mencapai tingkat deforestasi nol


persen adalah memanfaatkan secara efektif berbagai mekanisme sertifikasi
dan persyaratan hukum yang mewajibkan praktik-praktik yang berkelanjutan.
Standar-standar tersebut meliputi kriteria dan prinsip-prinsip yang disusun
secara seksama yang menjadi pedoman dalam mengolah dan memproduksi
komoditas dan dituangkan ke dalam seperangkat best practices, seperti
melarang pembakaran dan deforestasi di hutan primer dan lahan gambut.
Sebagai imbalan dari mematuhi persyaratan tersebut, sebuah produk dapat
ditandai sebagai produk yang berkelanjutan (sustainable).

Perusahaan menggunakan skema-skema sertifikasi tersebut untuk


memastikan bahwa sebuah produk dibuat dengan cara-cara yang bertanggung
jawab. Banyak perusahaan yang tergabung ke dalam CGF telah
berkomitmen untuk memenuhi larangan deforestasi yang mereka janjikan
dengan menggunakan hanya produk-produk yang bersertifikat.

Di sisi produksi komoditas, terdapat beberapa standar seperti


sertifikasi RSPO yang dilakukan secara sukarela atau versi Indonesia
(ISPO) yang serupa namun diwajibkan secara hukum. Untuk pulp dan kertas,
Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) Indonesia menjadi sistem

iii
verifikasi hukum kayu secara nasional. Di tingkat internasional, Forest
Stewardship Council (FSC) dan Programme for the Endorsement of Forest
Certification (PEFC) merupakan standar sertifikasi yang cukup dikenal dan
dilakukan secara sukarela yang menjadi pedoman perusahaan untuk
mencapai best practices.

Pertemuan TFA 2020 merupakan peluang yang sangat menarik.


Perusahaan-perusahaan komoditas terbesar di dunia akan bergabung bersama
para pembuat kebijakan untuk mendiskusikan cara-cara praktis dan
terjangkau untuk mencapai tingkat deforestasi nol persen pada tahun 2020.
Mengumpulkan mereka bersama-sama dapat membantu mengidentifikasi
solusi-solusi yang telah berhasil dijalankan dan mengembangkannya untuk
menghasilkan perubahan global yang lebih berarti.

c. Degradasi Lahan

BUTUH 48 TAHUN UNTUK SEHATKAN PULUHAN JUTA LAHAN


KRISIS DI INDONESIA

Bandung - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI mengklaim


dari tahun 2015 hingga 2016 tercatat puluhan juta hektar hutan lindung di wilayah

iii
Indonesia mengalami kritis lahan atau degradasi lahan. Pemerintah berupaya
mengembalikan lahan kritis tersebut untuk menjadi lahan yang prima.
Hal tersebut diungkapkan oleh Dirjen Pengendalian DAS dan Hutan
Lindung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Hilman Nugroho
dalam seminar Nasional VIIi dan Kongres IX Masyarakat Konservasi Tanah dan
Air Indonesia di Hotel Horison, Jalan Pelajar Pejuang, Kota Bandung, Selasa
(6/12/2016).
"Di Indonesia terdapat 24.303.294 hektar lahan yang kritis, yang meliputi
kawasan hutan seluas 15.586.940 hektar dan di luar kawasan hutan seluas
8.716.354 hektar," ungkapnya.
Untuk menyelesaikannya butuh waktu 48 tahun dengan menggunakan
dana dari APBN dan APBD. "Kemampuan negara untuk merehabilitasi hutan dan
lahan hanya 500 ribu hektar pertahun. Gambarannya dari dana APBN itu hanya
300 ribu hektar pertahun dan dari APBD hanya 200 hektar pertahun. Kalau ini
diteruskan ini 48 tahun penyelesaiannya," terang Hilman.
Saat ini, lanjut Hilman, Pemerintah Indonesia tengah berupaya keras untuk
mengatasi degradasi hutan dan lahan. Berbagai program telah dilakukan oleh
pemerintah seperti program reboisasi dan penghijauan, gerakan rehabilitasi hutan
dan lahan, dan penanaman satu miliar pohon.
"Nah sekarang bagaimana untuk mempercepat agar mengembalikan
produksi lahan kritis menjadi lahan prima itu jangan sampai 48 tahun, tapi cukup
hanya 10 sampai 20 tahun saja," ujar Hilman.
Namun kemampuan pemerintah sangat terbatas. "Partisipasi masyarakat
sangat dibutuhkan untuk mengatasi permasalahan seperti ini," tandasnya.
Di tempat yang sama, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan menyoroti
pembangunan yang ada saat ini, yang tidak ramah lingkungan. "Karena semua
berasal dari lingkungan, itu artinya pembangunan harus ramah dengan
lingkungan, termasuk kebutuhan kita seperti pangan itu semua dari sana," kata
dia. Untuk saat ini komitmen menjaga lingkungan bukan sekedar memelihara saja.
Namun, bagaimana cara menyelamatkan lingkungan.

iii
"Komitmen kita bukan sebagai perhatian terhadap lingkungan tapi
bagaimana lagi untuk menyelamatkan bumi dan air. Juga keyakinan untuk
menyelamatkan lingkungan di bumi ini. Kalau hutan rusak air juga ikut rusak
dampaknya kita juga akan kena," katanya.
Saat ini masih banyak perusahaan yang berdiri di pinggir aliran sungai
dikategorikan sebagai perusahaan yang tidak ramah lingkungan. Banyak dari
mereka membuang limbah industrinya ke aliran sungai.
"Tak sedikit perusahaan yang berdiri di aliran sungai, contohnya seperti di
Sungai Citarum limbahh industri banyak membuang limbahnya ke sana (sungai).
Mari kita selamatkan bumi ini, mengelola dan melestarikan air untuk kehidupan
masa depan anak dan bumi kita," tanda

DEGRADASI LAHAN PERTANIAN ANCAM SWASEMBADA


PANGAN NASIONAL

Swasembada pangan gencar digalakan sebagai upaya


mewujudkan program nawacita pemerintahan Jokowi JK,
sebagai keinginan mengembalikan kedaulatan serta ketahanan
pangan Indonesia. Tetapi persoalan degradasi dan penyusutan
lahan produktif pertanian menjadi ganjalan nyata yang
menghambat.

Padahal, Pemerintah telah menargetkan Indonesia dapat


mencapai swasembada padi, jagung dan kedelai 2018
mendatang. Kondisi tersebut tentu mengganggu produktivitas
hasil pertanian dan dianggap sebagai ancaman utama bagi
target swasembada pangan nasional yang dicanangkan
pemerintah.

iii
Suasana seminar bertema Swasembada Pangan Nasional membahas tentang
kedaulatan pangan Indoneisa yang diseleggarakan di Universitas Padjadjaran
(Unpad), Sumedang, Jabar Jumat (19/08/2016). Acara tersebut mengundang
pihak pemerintah, akademisi dan pengusaha untuk mengkolaborasi ide serta
gagasan untuk menyikapi fenomena degradasi lahan pertanian. Foto : Donny
Iqbal

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian


Pertanian, Muhammad Syakir, mengatakan, Indonesia memiliki sekitar 191 juta
hektar lahan hijau, yang 64 juta hektar di antaranya hanya untuk digunakan
sebagai lahan pertanian. Dari luasan tersebut, ada 8,1 juta hektare yang secara
eksis digunakan sektor pertanian.

Berbicara pangan kedepan, maka berbicara masalah sumber daya lahan.


Lahan di Indonesia tidak semata mata untuk mendorong swasembada pangan
saja, tetapi juga andil besar untuk fungsi lain salah satunya berkontribusi
penopang lingkungan, ujarnya, pada Jumat (19/08/2016), di Universtas
Padjajaran (Unpad), Jatinangor, Jabar.

Dia memaparkan, Indonesia harus mampu mengelola dengan baik sumber


daya lahan untuk mengoptimalkan fungsi fungsi pangan yang semakin komplek
kedepan. Apakah bila 8,1 juta hektar tadi didorong secara optimal meningkatkan

iii
potensi genetik tanaman tentunya adalah tidak bisa. Maka, sumber daya lahan
harus di optimalkan, katanya.

Syakir mengungkapkan, rata rata produksi padi nasional berkisar 5,5


ton/hektar, tapi kini pertanian nasional sudah bisa produksi 8 10 ton/hektar.
Kita tidak terbelakang di Asia soal pertanian. Produksi kita masih besar
dibandingkan Thailand, katanya. Dikatakan dia, lahan pertanian 8,1 juta hektar
tersebut tidak semuanya subur dengan sebagian lahannya belum optimal. Perlu
ada intensifikasi untuk peningkatan produktifitas sesuai karakeristik pertanian di
Indonesia

Seiring dengan meningkatnya daya konsumsi akibat peningkatan populasi


manusia, pihaknya perlu menyeimbangkan aspek suplai kebutuhan pangan,
dimulai dari hal yang mendasar yaitu memperluas lahan pertanian atau
peningkatan produktifitas.

Berdasarkan data yang diperoleh, sumber daya lahan Indonesia terus


menciut akibat konversi dan degradasi yang disebabkan oleh sistem pengelolaan
tidak baik. Berdasarkan perkiraan sementara dengan mempertimbangkan laju
konversi lahan, tahun 2045 akan diperlukan tambahan lahan sekitar 14,9 juta
hektar, terdiri dari 4,9 juta hektar sawah, 8,7 juta hektar lahan kering, dan 1,2 juta
hektar lahan rawa.

iii
Plang bertulis tidak dijual ditancapkan di lahan pesawahan di Jalan
Soekarno Hatta Gede Bage, Kota Bandung, Sabtu, (13/08/2016). Sebagian
kalangan menilai lahan pertanian perlu dipertahankan sebagai penyeimbang
ekosistem ditengah konversi lahan untuk pembangunan. Foto : Donny Iqbal

Dengan kondisi demikian, maka ada tiga hal yang perlu dilakukan untuk
merealisasikan swasembada pangan, yaitu intensifikasi di lahan pertanian
eksisting, perluasan lahan, dan pengendalian konversi lahan pertanian, termasuk
perbaikan pemupukan menuju pemupukan berimbang, ujar Syakir.

Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaeman (kanan) memanen padi


menggunakan mesin combain harvester sebagai langkah
memodernisasi pertanian dalam acara Gelar Teknologi Pertanian
Modern bertema Modernisasi Pertanian untuk Swasembada Pangan, di
Desa Gardu Mukti, Kecamatan Tambak Dahan, Kab. Subang Jawa
Barat, pada Selasa (20/10/2015). Acara tersebut adakan untuk
sosialisasi modernisasi pertanian guna mewujudkan swasembada
pangan nasional. Foto : Donny Iqbal

Guru Besar Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan Unpad, Hidayat Salim,
menilai penyusutan lahan pertanian bukan masalah apabila peningkatan produksi
pertanian bisa ditingkatkan.

iii
Dulu tahun 1972, luas pengairan waduk Jati Luhur (Purwakarta) 270 ribu
hektar dengan produksi panen 2 ton/hektar. Kini lahan irigasinya tersisa 114 ribu
hektar dan rata rata produksinya 6 7 ton/hektar di Jawa Barat, ungkapnya di
acara yang sama.

Dia memaparkan, tanah pertanian perlu kombinasi pemupukan


berintetragasi untuk menjaga dan memulihkan unsur hara dalam tanah. Dia
menyebutkan, pemupukan berimbang memiliki dua manfaat utama. Pertama,
meningkatkan hasil pertanian dan yang kedua memperbaiki kesehatan tanah.

Hidayat mangatakan pupuk berimbang menjadi solusi terbaik, kombinasi


antara pupuk organik dan pupuk anorganik secara terintegrasi dan berimbang akan
saling mendukung terhadap kesehatan tanah, kualitas tanah, produktivitas tanah
dan tanaman, secara berkelanjutan.

Pupuk anorganik berfungsi sebagai nutrisi tanaman, pupuk organik


sebagai pembenah tanah dan pupuk hayati sangat beguna sekali untuk
dekomposer kerena mengandung mikroorganisme yang berfungsi sangat luar
biasa, imbuhnya.

Direktur Petrokimia Gresik Rahmat Pribadi mengatakan, sejauh ini petani


Indonesia masih menggunakan sebagian besar pupuk anorganik sebanyak 68%
sebagai penyubur tanaman. Dia mengungkapkan, saat ini sebagian pupuk non
subsidi masih diimpor dari luar negeri untuk memenuhi pupuk. Dikatakan
Rahmat, setiap tahunnya impor benih padi dan jagung terus mengalami
peningkatan.

Hematnya, saat ini kondisi lahan pertanian di Indonesia rata-rata dalam


tidak sehat. Pasalnya, kandungan karbon organiknya masih rendah. Padahal
idealnya karbon organik mesti mencapai 5%, namun tingkatnya hanya 1,5%.

Kalo tanah sakit pasti berpengaruh pada produktifitas. Maka dari itu
kami mengembangkan pupuk dengan kandungan 500 kg organik, 300 kg NPK,

iii
200 kg urea, supaya pemupukan berimbang bisa berjalan dengan baik, ucap
Rahmat.

Untuk itu, dia menyarankan petani agar menggunakan pupuk organik.


Terlebih, dengan penggunaan pupuk berimbang ini relatif menaikkan produksi
hingga 15-20%. Kisarannya naik sekitar 1 hingga 1,5 ton/hektar. Dia
menyebutkan, kontribusi biaya pupuk terhitung sebesar 15-30% dari total biaya
produksi.

Pimpinan Komisi IV DPR RI Herman Khaeron, pada acara yang sama


menegaskan untuk subsidi pupuk ini pemerintah menganggarkan biaya yang tidak
sedikit. Dalam setahun APBN 2016 telah mengucurkan sebanyak Rp31 triliun.
Dia menyebutkan selain penyerapan anggaran mensubsidi pupuk, pemerintah juga
mengalokasikan dana untuk subsidi benih sebesar Rp1 triliun

Dikatakan Herman, pertanian Indonesia memiliki masalah yang cukup


komplek. Maraknya alih fungsi kawasan bisa mencapai 100 120 ribu hektar
setiap tahun. Dia menambahkan, Selain ingin menggenjok produktivitas, saat ini
jumlah petani di Indonesia menurun, dari sebelumnya 31 juta, kini hanya tersisa
sebanyak 26 juta petani.

Pembangunan pertanian kita fokusnya masih terhadap intensifikasi pada


angka produktivitas. Perlu menjangkau tahapan ekstensifikasi untuk
pengembangan pertanian kedepan. Dan diversifikasi yang jika dilakukan agar
memaksimalkan keuntungan lalu bisa memangkas ongkos produksi dan
distribusi, kata dia.

Herman mengungkapkan, seminggu lalu Food and Agriculture


Organization (FAO) merilis data terbaru bahwa Indonesia mengalami ketahanan
pangan meningkat dan peningkatan ketersedian pangan. Tapi kalo kita tinjau dari
ketersediaan pangan kita, justru menurut saya, lebih banyak didorong oleh impor,
jelasnya.

iii
DPR telah mengesahkan sejumlah undang-undang guna mendukung
pertanian berkelanjutan dan konservasi tanah dan air di Indonesia. Namun hal ini
harus menjadi usaha kolaboratif antara pemerintah, pelaku usaha, penyuluh
pertanian, hingga petani, juga masyarakat, ujar Herman.

Sementara itu, Rektor Unpad Tri Hanggono Achmad merespons positif


diadakannya seminar nasional bertema pencapaian kedaulatan pangan ini. Dia
menyebutkan, seminar ini merupakan wujud dari konsep pentahelix untuk
mengatasi masalah yang berkembang saat ini dan untuk menghadapi tantangan ke
depan.

d. Keanekaragaman Hayati
MARGASATWA BURUNG INDONESIA DIJARAH UNTUK
MEMASOK PASAR-PASAR BURUNG DI JAWA

Jakarta, Indonesia, 11 Agustus 2016 Perdagangan burung asli


Indonesia berlangsung dan berkembang pesat, jauh melampaui pasar-pasar burung
terkenal di Jakarta, sebagaimana dilaporkan dalam sebuah hasil studi baru dari
TRAFFIC yang terfokus pada pulau Jawa bagian tengah dan timur.
Hampir 23.000 burung tercatat di lima pasar di Surabaya, Yogyakarta, dan
Malang dalam survei yang berlangsung selama tiga hari, dengan indikasi jelas
bahwa sebagian besar burung-burung ini diambil secara ilegal dari alam liar.

iii
Menjual Kepunahan - Perdagangan Burung di Jawa Timur dan Jawa
Bagian Tengah (PDF, 3 MB) melaporkan bahwa 28 dari 241 spesies yang
diperdagangkan dilindungi sepenuhnya oleh hukum Indonesia, yang berarti
larangan terhadap semua kegiatan perburuan dan perdagangan. Spesies yang
dilindungi ini mencakup tujuh ekor Jalak Putih (Acridotheres melanopterus),
spesies yang kritis terancam punah (Critically Endangered) yang hanya ditemukan
di Pulau Jawa dan Bali, dan seekor Poksay Kuda (Garrulax rufifrons), spesies
yang terancam punah (Endangered) yang hanya ditemukan di Pulau Jawa.
Burung asli Indonesia hanya boleh ditangkap sesuai dengan jumlah kuota
yang dialokasikan oleh pihak berwajib. Akan tetapi, tidak ada kuota semacam ini
yang telah diberikan, kecuali untuk beberapa tujuan penggunaan, misalnya bila
burung yang ditangkap digunakan sebagai stok pembiakan untuk usaha
penangkaran komersial.
Besarnya skala perdagangan ini sangat mencengangkan. Hampir semua
burung-burung ini adalah spesies asli Indonesia, 15% di antaranya tidak dapat
ditemukan di tempat lain di bumi ini perkiraan nasib bagi beberapa populasi
burung liar Indonesia sangat mengkhawatirkan, ujar Serene Chng, Programme
Officer TRAFFIC dan salah satu penulis laporan terbaru ini.
Survei ini melengkapi sebuah inventarisasi serupa yang dilakukan di
Jakarta pada tahun 2014, yang mencatat 19.036 ekor burung yang dijual dalam
periode tiga hari, dan memperkuat ancaman terhadap burung liar di Indonesia,
negara yang memiliki jumlah terbesar spesies burung yang terancam di Asia.
Bila dibandingkan dengan kondisi pasar-pasar burung di Jakarta, survei ini
mencatat lebih banyak spesies-spesies dan subspesies endemik Indonesia,
terutama dari Indonesia timur, di pasar-pasar burung di Jawa bagian tengah dan
timur.
Sebagian besar burung yang ditemukan dijual di pasar-pasar ini
seharusnya tidak berada di pasar tersebut, ungkap Dr. Chris R. Shepherd,
Regional Director TRAFFIC di Asia Tenggara.

iii
Pemerintah Indonesia harus mengambil tindakan tegas terhadap para
pedagang yang terlibat ini adalah waktunya untuk menghentikan perdagangan
burung ilegal di Indonesia untuk selamanya.
TRAFFIC juga menghimbau Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan
perlindungan hukum terhadap spesies yang terancam oleh kepunahan. Antara lain
mencakup Poksay Sumatera Garrulax bicolor yang perlu disertakan ke dalam
daftar spesies dilindungi dalam aturan hukum margasatwa Indonesia yang sedang
dirivisi saat ini.
Satu spesies lain yang menjadi sumber kekhawatiran adalah Cicadaun
Besar Chloropsis sonnerati, yang ditemukan dalam jumlah besar baik dalam studi
ini maupun dalam survei sebelumnya di Jakarta, sementara lebih dari seribu
tercatat dalam sejumlah penyitaan yang berlangsung pada akhir tahun 2015.

CATATAN AKHIR TAHUN : MANIS JAVANICA, NASIBMU TAK


SEMANIS NAMAMU
Manis javanica Desmarest 1822 (Sunda Pangolin/Malayan Pangolin) atau
lebih dikenal dengan sebutan trenggiling/peusing di Indonesia, merupakan salah
satu satwa dengan penyebaran di daratan Asia Tenggara. Negara-negara di Asia
Tenggara antara lain Indonesia, Malaysia, Vietnam, Kamboja, Thailand, Brunei,
Laos. Saudara Manis javanica ini hidup di Afrika dan Asia. Di Asia antara lain
Manis crassicaudata (Indian pangolin), Manis culionensis (Philippine pangolin),
dan Manis pentadactyla (Chinese pangolin). Satwa yang memiliki sisik ini dapat
ditemukan di hutan primer dan sekunder. Sebaran trenggiling di Indonesia di
Sumatera, Jawa, dan Kalimantan.

iii
Trenggiling merupakan satwa yang aktif di malam hari (nocturnal) dan
biasanya hidup soliter (sendiri) namun ada pula yang ditemukan berpasangan.
Tempat hidup berada dilubang-lubang yang dibuat misalnya di batang-batang
pohon. Makanan utamanya berupa rayap dan semut atau serangga dengan
menggunakan lidahnya yang berselaput lendir (Masyud et al, 2011).

Bahkan, satwa ini mampu mengkonsumsi 7 juta semut/tahun dan biasanya


trenggiling menandani wilayah mereka dengan air kencing, tinja, dan sekresi yang
berbau dari kelenjar khusus (annamiticus.com). Satwa ini tergolong pemalu, tak
jarang untuk menghindari ancaman dari luar, trenggiling melingkarkan tubuhnya
seperti bola.

Perdagangan illegal Mengancam Trenggiling (Manis javanica) tidak


luput dari ancaman, terutama perburuan illegal. Trenggiling telah masuk dalam
PP No. 7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Menurut
penelusuran Mongabay, bahwa sejak puluhan tahun silam (setidaknya dari mulai
tahun 2000) telah banyak informasi perburuan terhadap trenggiling.

Di tahun 2008, Wildlife Crime Unit (WCU) Wildlife Conservation Society


(WCS) bersama dengan Bareskrim Mabes Polri mengungkap penyelundupan
daging beku trenggiling seberat 13.8 ton di Palembang, Sumatera Selatan. Di
tahun 2010, setidaknya 10 ton daging trenggiling diselundupkan dari Indonesia ke
Vietnam tanpa terdeteksi oleh aparat di Indonesia.

iii
Setidaknya pada tahun 2012 petugas menemukan 4.124,12 kg daging beku
dan 31,36 kg sisik trenggiling yang jika dikalkulasikan ada kerugian Negara
sekitar Rp8,23 miliar dalam bentuk daging siap saji di China (Hamzah, 2012).
Beberapa satwa hasil sitaan yang hidup dilepasliarkan kembali ke alam. Seperti
halnya, di Medan, pada tahun 2012 yang lalu 60 ekor trenggiling dilepasliarkan
kembali ke habitat alaminya. Pada tahun 2013, diamankan 29 trenggiling dari
Ketapang, tahun 2015 yang lalu juga ada upaya penyelundupan 445 trenggiling
melalui bandara Juanda. Kejadian tersebut terus berjalan hingga saat ini.

Menurut catatan Mongabay di Medan masih marak perdagangan


trenggiling yang ditangani oleh BBKSDA Sumut, satu ekor trenggiling ada yang
dihargai antara Rp4-5 juta. Sebuah bisnis yang menggiurkan tentunya. Dan pelaku
yang tertangkap tersebut dari mulai masyarakat biasa hingga oknum militer.

Selain di Sumut, ditemukan juga di Jambi, dimana petugas menemukan 13


kg sisik trenggiling dan 2 ton daging tenggiling beku dengan pelaku sebanyak 3
orang. Perkiraan harga satuan kilo sisik trenggiling dijual seharga USD400.
Berbagai Negara tujuan meliputi China, Vietnam, Malaysia, dan Hongkong.

iii
Pada tahun 2016 ini, tercatat beberapa temuan dari pihak berwajib dimana
di Kapuas Hulu diamankan 15 ekor trenggiling, selain itu pada tahun yang sama
ditemukan pula awetan trenggiling sebanyak 657 ekor tanpa sisik di Jombang.

Data dari WCU menunjukkan bahwa pada tahun 2015 setidaknya telah
diamankan barang bukti trenggiling sebanyak 1.524 individu sedangkan barang
bukti sisik sebanyak 77 kg. Sedangkan pada tahun 2016, barang bukti trenggiling
yang diamankan sebanyak 1.584 ekor dan 282 kg sisik, serta 120 sisik trenggiling.

Kepedulian Internasional Para bulan September-Oktober 2016 yang lalu,


telah dilaksanakan Konferensi Perdagangan Internasional Tumbuhan dan Satwa
Liar Terancam Punah (CITES) melalui Pertemuan Para Pihak (COP) 17 di
Johannesburg, Afrika Selatan. Lebih dari 100 negara yang hadir dalam acara
tersebut termasuk Indonesia.

Sebagai catatan, CITES mengeluarkan 3 appendix yaitu Appendix 1


memuat tentang daftar dan perlindungan seluruh jenis satwa dan tumbuhan yang
terancam dari segala bentuk perdagangan, Appendix 2 berisi daftar spesies
tumbuhan dan satwa yang tidak terancam punah namun memungkinkan terancam
punah jika perdagangan terus berlanjut tanpa pengaturan.

Sedangkan Appendix 3 berisi daftar spesies tumbuhan dan satwa yang


dilindungi di sebuah Negara tertentu dalam batas-batas kawasan habitatnya, dan

iii
memberikan pilihan bagi Negara-negara anggota CITES bila suatu saat akan
dipertimbangkan untuk dimasukkan Appendix 2 atau bahkan Appendix 1.

Pada COP 17 tersebut, Amerika dan Vietnam mengusulkan trenggiling


untuk masuk dalam Appendix 1. Mengapa diusulkan naik peringkat appendix-
nya? karena kedua jenis ini terancam punah yang disebabkan oleh perdagangan
internasional sehingga populasi dialam terus menurun. CITES mencatat bahwa
kecenderungan populasi menurun dan spesies terdaftar sebagai satwa kritis
terancam punah oleh IUCN karena penurunan populasi.

Begitu perdulinya Negara Internasional terhadap nasib trenggiling ini


hingga memasukkan dalam list appendix 1 CITES serta daftar merah di IUCN
Redlist dengan status critically endangered.

Bagaimana dengan Indonesia? Hasil penelusuran Mongabay mencatat


bahwa delegasi Indonesia menolak proposal yang diajukan terkait peningkatan
status trenggiling dari Appendix 2 ke Appendix 1. Sikap Indonesia dalam COP 17
(23 September-5 Oktober 2016) tersebut tercermin dari catatan laman Wildlife
Trade of India menyebutkan bahwa Indonesia tidak setuju dengan peningkatan
status tersebut.

Ketika pengambilan suara dilakukan, sebanyak 114 negara mendukung


proposal pengajuan peningkatan status trenggiling menjadi appendix 1, 5 negara
abstain termasuk (China dan Jepang), dan Indonesia menolak. Mengapa?
Alasannya karena penangkaran di yang ada di Indonesia menunjukkan

iii
keberhasilan. Indonesia, seperti dikutip dari grinners.co menolak usulan Appendix
1 untuk trenggiling karena dalam PP N0.7/1999 sudah melindungi trenggiling dan
menerapkan zero kuota atau tidak boleh diperdagangkan sama sekali.

657 ekor trenggiling beku tanpa sisik dalam 5 freezeer ini disita polisi dari rumah
pelaku di Jombang, sekarang diamankan di Mapolda Jawa Timur. Foto: Petrus
Riski

Menurut Indonesia, upaya peningkatan daftar status ke dalam Appendix 1


tidak akan signifikan dalam mencegah perdagangan illegal tanpa adanya upaya
peningkatan regulasi dan penegakan hukum baik di range, transit maupun Negara
konsumen.

Upaya penangkaran terus dikembangkan seperti yang telah dilakukan di


Indonesia sebagai strategi peningkatan pelibatan masyarakat dalam menjaga
populasi di alam. Benarkah demikian? Fakta berkata lain bahwa perdagangan
semakin marak hingga tahun 2016 ini karena banyak temuan-temuan berupa
trenggiling yang masih hidup, awetan, maupun sisiknya yang masih
diperdagangkan secara illegal.

Apakah pengkaran trenggiling dikatakan berhasil? Hal ini perlu menjadi


perhatian apakah penangkaran yang ada saat ini telah menghasilkan keturunan
yang bisa menyumbang populasi di alam. Keterbukaan hasil penangkaran perlu

iii
dipublikasikan sehingga benar bahwa penangkaran menghasilkan turunan yang
berkontribusi untuk populasi.

Berdasarkan hasil penelitian dari Novrianti (2011) menyebutkan bahwa


awal pembangunan penangkaran di Sibolga contohnya sebanyak 110 ekor
trenggiling (45 ekor jantan dan 65 ekor betina). Namun dalam perkembangannya
terus mengalami penurunan drastis akibat kematian menjadi 26 ekor dan menurun
lagi menjadi 12 ekor yang kemudian dipindahkan ke penangkaran Sunggal pada
2009.
Di penangkaran tersebut jumlahnya juga terus mengalami penurunan
hingga akhir 2010 walaupun ada juga kelahiran anak trenggiling di penangkaran
sebanyak 3 ekor (1 ekor jantan dan 2 ekor betina) dengan jumlah indukan hanya 6
ekor (4 ekor jantan dan 2 ekor betina). Diduga kematian induk trenggiling tersebut
karena penyakit caplak dan infeksi luka akibat jerat oleh manusia.

Oleh karena itu, perlu ditinjau ulang terhadap upaya penangkaran. Upaya
penegakan hukum terhadap perdagangan/penyelundupan satwa masih tergolong
rendah, baik hukuman maupun dendanya, sehingga belum memungkinkan
terjadinya efek jera bagi pelaku.

Langkah kedepan Indonesia merupakan Negara yang telah menjadi


bagian dari CITES, sehingga tetap harus menghormati keputusan yang dihasilkan
dari COP 17 Johannes burg tersebut.

Langkah-langkah nyata yang perlu segara ditindaklanjuti adalah


mengawasi dengan serius upaya perburuan, penyelundupan, maupun perdagangan
trenggiling baik hidup maupun mati, baik secara utuh maupun bagian-bagiannya
sebagai komitmen terhadap hasil COP 17 tersebut. Memutuskan aliran perburuan
dari hulu hingga hilir menjadi penting untuk dilakukan, termasuk pengawasan di
pintu-pintu keluar, baik jalur darat, laut, maupun udara.

Memperkuat jaringan pengamanan lintas Negara. Dengan kuatnya


pengakan hukum di wilayah Asean akan dapat menjadi nilai positif bagi banyak

iii
pihak, bahkan di luar Negara Asean. Kerjasama internasional selain di Asean
mutlak diperlukan, terutama dalam upaya penangkal perdagangan illegal
trenggiling ini.

Penegakan hukum menjadi salah satu kunci yang penting untuk menekan
penyusutan populasi dan ancaman terhadap trenggiling yang bernasib pahit ini.
Diharapkan dengan hukuman dan denda maksimal akan dapat membantu
pengurangi ancaman terhadap trenggiling di masa depan.

Menjaga habitat dan satwanya lebih aman merupakan tindakan yang lebih
baik, namun demikian jika memang akan diarahkan ke penangkaran yang belum
menunjukkan keberhasilan yang signifikan maka perlu memperhatikan dan
memastikan pengangkaran memiliki kaidah (syarat/kriteria) yang ketat dalam
pengadaan bibit. Karena dari penangkaran yang ada di Sumut pada tahun 2010
tersebut menunjukkan trend kematian yang cenderung naik.

Hal ini dimaksudkan agar tidak semakin banyak kematian dalam


penangkaran dan tentunya pengawasan/pemantauan yang ketat dari lembaga
terkait agar pengawasan/pemantauan dapat memberikan dampak positif bagi
penangkaran dengan tidak tergantung/mengandalkan dari alam/hasil tangkapan.

Dengan demikian trenggiling tidak mengalami nasib semakin buruk akibat


perburuan dan perdagangan ditingkat local maupun regional dan internasional
untuk berbagai alasan kebutuhan. Keseriusan Indonesia dalam mengawal
trenggiling yang telah masuk dalam Appendix 1 CITES perlu lebih kuat lagi agar
trenggiling tidak mengalami kepunahan.

iii
D. PENUTUP
a. Kesimpulan
Ekosistem Darat ialah ekosistem yang lingkungan fisiknya berupa
daratan. Berdasarkan letak geografisnya (garis lintangnya).

Hal-hal yang dilakukan pemerintah antara lain:

1. Mengeluarkan UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 yang


mengatur tentang Tata Guna Tanah.

2. Menerbitkan UU No. 4 Tahun 1982, tentang Ketentuan-


ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.

3. Memberlakukan Peraturan Pemerintah Rl No. 24 Tahun


1986, tentang AMDAL (Analisa Mengenai Dampak
Lingkungan).

4. Pada tahun 1991, pemerintah membentuk Badan


Pengendalian Lingkungan, dengan tujuan pokoknya:

a. Menanggulangi kasus pencemaran.

b. Mengawasi bahan berbahaya dan beracun (B3).

c. Melakukan penilaian analisis mengenai dampak


lingkungan (AMDAL).

5. Pemerintah mencanangkan gerakan menanam sejuta


pohon.

Deforestasi adalah proses penghilangan hutan alam


dengan cara penebangan untuk diambil kayunya atau
mengubah peruntukan lahan hutan menjadi non-hutan.

iii
Bisa juga disebabkan oleh kebakaran hutan baik yang
disengaja atau terjadi secara alami.

Degradasi lahan adalah proses di mana kondisi


lingkungan biofisik berubah akibat aktivitas manusia
terhadap suatu lahan.

Keragaman istilah biologi atau keanekaragaman


hayati dapat memiliki banyak interpretasi. Hal ini paling
sering digunakan untuk menggantikan istilah yang lebih
jelas dan lama didirikan, keragaman spesies dan kekayaan
spesies.

B. SARAN
Dari tulisan paper yang kami buat, kami berharap dapat menambah
pengetahuan kepada teman-teman, agar dapat mengetahui mengenai Ekosistem
Darat, Deforestasi, degradasi lahan dan keanekaragaman hayati. Kami juga
berharap, bahwa kita sebagai generasi penerus, tidak hanya membaca buku satu
saja tapi lebih banyak buku mengenai radiasi benda hitam,sehingga dengan begitu
akan semakin banyak ilmu dan pengetahuan yang dapat kita peroleh.

iii
DAFTAR PUSTAKA

http://hmdassuja.blogspot.com/2013/04/ekosistem-ekosistem-darat.html

http://jujubandung.wordpress.com/2012/10/18/upaya-pelestarian-lingkungan/

Novriyanti. 2011. Kajian Manajemen Penangkaran, Tingkat Konsumsi,

Palatabilitas Pakan, dan Aktivitas Harian Trenggiling (Manis javanica

Desmarest, 1822) di Penangkaran UD Multi Jaya Abadi Sumatera Utara.

Dep. Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fahutan, IPB

Sawitri, R., et al. 2012. Perilaku Trenggiling (Manis javanica Desmarest, 1822) di

Penangkaran Purwodadi, Deli Serdang, Sumatera Utara.

Elizabeth John, Senior Communications Officer, TRAFFIC di Asia Tenggara


Tel: 03-7880 3940 Email: elizabeth.john@traffic.org

Ferdinand F, Ariebowo. 2009. Praktis Belajar Biologi 1. Jakarta: Pusat Perbukuan

Departemen Pendidikan Nasional

http://www.wri-indonesia.org/id/blog/3-ways-achieve-zero-tropical-deforestation

2020

iii
http://hmdassuja.blogspot.co.id/2013/04/ekosistem-ekosistem-darat.html

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL...................................................................................i
KATA PENGANTAR......................................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................................iii
A. Pendahuluan........................................................................................1
a. Latar Belakang...............................................................................1
b. Rumusan Masalah..........................................................................1
c. Tujuan............................................................................................2
B. Definisi.................................................................................................3
a. Ekosistem Darat.............................................................................3
b. Deforestasi.....................................................................................3
c. Degradasi Lahan............................................................................3
d. Keanekaragaman hayati.................................................................3
C. Issu Yang Terjadi Pada Ekosistem Darat, Deforestasi,
Degradasi Lahan Dan Keanekaragaman Hayati.............................4
a. Ekosistem Darat..............................................................................4
b. Deforestasi......................................................................................10
c. Degradasi Lahan.............................................................................14
d. Keanekaragaman Hayati.................................................................21
D. Penutup................................................................................................31
a. Kesimpulan.....................................................................................31
b. Saran...............................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA

iii

You might also like