Professional Documents
Culture Documents
ILEGAL?
Kebun sawit di lahan gambut dalam yang terbakar di Riau. Mau disegel, malah
petugas KLHK kena sandera dan diminta cabut segel. Kebun ini diduga ilegal dan berada di
kawasan hutan. Dengan adanya RUU Perkelapasawitan, seakan mau melegalkan hal-hal yang
ilegal yang sudah ada aturan hukum Indonesia. Mengapa ada aturan, kalau aturan dibuat
Seakan galau mau fokus mengatur apa, setelah dalam bahasan-bahasan sebelumnya
masukan kuat menyatakan tak perlu UU Perkelapasawitan karena sudah ada UU Perkebunan,
kini muncul alasan baru dengan tetap mengatasnamakan demi rakyat. RUU ini, disebut-
Ini baru proses di Baleg (badan legislasi-red), draf masih diformulasikan hingga bisa
berubah. Kalau sekadar dibahas dengan pemerintah tahun ini, kata Daniel Johan, Wakil
Ketua Komisi IV DPR, dalam diskusi beberapa pekan lalu di Jakarta. RUU, katanya, akan
mengakomodir persoalan perizinan ilegal dan lahan sawit tumpang tindih dengan wilayah
kehutanan.
Selama ini, UU Perkebunan masih dianggap tak mengatur perkebunan legal. Dia
ilegal. Banyak penanaman sawit di luar APL (alokasi penggunaan lain-red) dan luar hak guna
usaha, katanya. RUU ini dianggap menjadi jalan keluar agar masyarakat tak dirugikan,
terutama yang berada di kawasan hutan. Namun, Daniel tak menyebut, sebenarnya berapa
banyak kebun sawit warga di kawasan hutan dan berapa besar milik perusahaan.
Baca juga: Ada UU Perkebunan, Sebenarnya Mau Atur Apalagi RUU Perkelapasawitan?
masuk di Riau Rp9 triliun, dengan potensi seharusnya diterima Rp25 triliun. Data perkebunan
ilegal berdasarkan KPK 1,6 juta hektar, Dinas Perkebunan 1,2 juta hektar.
Normalnya, negara nggak mungkin mengatur yang ilegal. Kalau ilegal pasti ditahan,
padahal banyak sekali yang ilegal. Beleid ini, katanya, akan ada batas waktu dalam
penyesuaian dengan seluruh peraturan. Jika tak dilaksanakan, akan ada sanksi mulai
pembekuan, pencabutan hingga pidana. Dia bilang, UU ini malah sebuah terobosan dalam
(Kebun itu) harus dikembalikan kepada negara tapi harus diberikan kepastian,
katanya. Dia mencontohkan, kalau ada perusahaan sudah terlanjur menanam dan berproduksi
maka mendapatkan kesempatan waktu untuk tetap berproduksi agar pabrik tetap jalan.
Herry Purnomo, Peneliti dari Centre for International Foresty (CIFOR) mengatakan,
jika berbicara menagkomodir sawit ilegal, yang harus dilakukan bukan membuat UU baru,
namun merevisi UU Perkebunan. Muatkan dalam klausul terakhir, di bab peralihan atau satu
bab lain. Hingga tak membuat UU baru, bisa dalam bentuk perpres atau peraturan
pemerintah.
Sawit salah satu komoditas yang selalu disuarakan penyebab konflik masyarakat,
deforestasi dan pecemaran lingkungan. Sawit itu butuh hutan, jika tak ada hutan, air
darimana? Siapa yang mengontrol hama pada tanaman sawit, siapa yang mengatur hutan?
katanya. Untuk itu, perlu ada harmonisasi. Sawit harus melestarikan hutan, dan sawit untuk
ekonomi masyarakat.
Kalau hanya untuk status legalitas, aturan ini bisa melalui Perpres Sertifikasi Lahan
yang kini disebutkan berada di meja Presiden. Adapun perpres ini memuat land amnesty,
dimana terjadi pengembalian lahan dalam jangka waktu tertentu pada hutan produksi dan
jangka waktu secepatnya untuk hutan lindung, konservasi, dan taman nasional. Selama ini,
Herry menyarankan, jika RUU lanjut, perlu ada penyempurnaan beleid dengan
melibatkan koalisi lingkungan, seperti Walhi, ICEL, Greenpeace, SPKS, WWF dan lain-lain.
Dalam diskusi itu pun turut hadir Indonesia Center For Environmental Law (ICEL)
dan Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS). Sebaiknya pembahasan RUU ini dihentikan, kata
Henri Subagiyo, Direktur Eksekutif ICEL. Dia bilang, standar keberlanjutan seperti
Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) maupun Roundtable on Sustainable Palm Oil
Posisi DPR, kata Henri, seharusnya lebih mengawasi apakah aturan mampu
revisi ini memuat prinsip keberlanjutan dan memberikan tata kelola serta penyelesaian
masalah.
RUU ini bukan untuk memberikan solusi, tapi membuat permasalahan baru.
Engagement Golden Agri Resources dan Edi Suhardi dari Indonesia Growers Caucus setuju
RUU Perkelapasawitan lanjut. Ini (RUU Perkelapasawitan) diharapkan bertumpu pada best
practice, bukan pada literatur akademik dan keilmuan, lebih pada aplikasi, kata Agus.
Dia berharap, RUU ini mampu mengatasi kepastian usaha berkaitan dengan status
kawasan hutan yang seringkali berubah. Hal itu menjadi kendala dalam usaha perkebunan,
bertabrakan dengan status ilegal. Selain itu, pemahaman keberlanjutan perlu diperjelas karena
berkaitan dengan keragaman hayati, masalah sosial, hak hidup dan terpenting rantai pasokan.
Seberapa detail aturan ini masuk, karena masih terlalu general. Permasalahan
teknologi dan keberlanjutan terus berkembang. Soal, ketelanjuran investasi, katanya, juga
Edi Suhardi mengatakan, penyusunan RUU harus berdasarkan tiga aspek, yakni,
clarity, certainty dan coheren. Koheren, katanya, terkait permasalahan tumpah tindih dengan
kehutanan dan lahan lain-lain. Definisi legalitas yang mau dituangkan dalam aturan ini perlu
diperjelas.
Tantangan industri lain yang penting adalah industri budidaya belum masuk dalam
aturan ini, baru pengolahan. Dukungan RUU Perkelapasawitan datang dari Kementerian
Pertanian. Dedi Junaedi, Direktur Pemasaran Hasil Perkebunan Kementan mengatakan, sawit
Kita harus aware keberadaannya, sumber lapangan kerja. Kita perlu persiapkan
proses, kelembagaan dan keberterimaan di pasar internasional. Indonesia menjadi tuan rumah