You are on page 1of 15

BIOSINTESA DAN CARA KERJA AZADIRACHTIN

SEBAGAI
BAHAN AKTIF INSEKTISIDA NABATI

BIOSINTESA DAN CARA KERJA AZADIRACHTIN SEBAGAI


BAHAN AKTIF INSEKTISIDA NABATI

Samsudin
Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri
(BALITTRI) Jl. Raya Sukabumi, Pakuwon, Sukabumi
Email: lps_samsudin@yahoo.co.id

ABSTRAK
Azadirachtin merupakan salah satu metabolit sekunder yang
dihasilkan dari tanaman mimba (Azadirachta indica A. Juss).
Metabolit ini termasuk dalam kelompok triterpenoid yang telah
lama dimanfaatkan sebagai bahan aktif insektisida nabati dan
terbukti dapat mengendalikan lebih dari 300 spesies serangga
hama. Saat ini azadirachtin sudah dapat diproduksi melalui kultur
in vitro. Dengan memanfaatkan prekursor utama dari biosintesa
triterpenoid melalui lintasan asetat mevalonat yaitu skualen, maka
produksi azadirachtin dapat ditingkatkan dengan cara
menambahkan prekursor tersebut pada media kultur in vitro.
Azadirachtin bekerja sebagai zat penolak makan (antifeedant)
karena menghasilkan stimulant penolak makan spesifik dan
mengganggu persepsi rangsangan untuk makan. Pengaruh
azadirachtin terhadap pengaturan pertumbuhan dan
perkembangan serangga terjadi karena terganggunya sistem
hormonal (neuroendocrine) dan diduga bertindak sebagai
ecdysone blocker, sehingga serangga gagal berganti kulit. Pada
beberapa jenis serangga azadirachtin juga berfungsi sebagai
insektisida yang dapat mematikan secara langsung. Kematian
serangga dapat terjadi dalam beberapa hari, tergantung dari stadia
dan siklus hidup serangga target.
Kata kunci : Biosintesa, cara kerja, azadirachtin, antifeedant,
insektisida nabati.
PENDAHULUAN
Semakin intensifnya penelitian yang terfokus pada interaksi
secara kimia antara tanaman sebagai inang ( host) dengan
serangga pemakan tumbuhan (fitofag) telah mengungkap potensi
pemanfaatan metabolit sekunder atau allelochemical yang
dihasilkan tanaman sebagai agens pengendali hama yang ramah
lingkungan. Pemanfaatan pestisida nabati (botanical pesticide)
merupakan salah satu teknologi alternatif dalam program
Pengendalian Hama Terpadu (PHT) sebagai pengganti dari
penggunaan pestisida kimia yang telah diketahui memiliki
dampak negatif
Samsudin, Semnas Pesnab IV, Jakarta 15
Oktober 2011

sangat luas bagi sistem ekologi pertanian (agroecological system)


(van Emden 1989; Whitten 1992).
Saat ini telah ditemukan sekitar 11 spesies tumbuhan
dari famili Meliaceae yang diketahui mengandung metabolit
sekunder berupa terpenoid yang bekerja sebagai penolak makan
(antifeedant) bagi serangga (Simmonds et al. 1992). Mimba
(Azadirachta indica A. Juss.) merupakan satu diantara famili
Meliaceae yang sudah semenjak lama dijadikan pestisida nabati
untuk mengendalikan berbagai jenis hama tanaman budidaya. Biji
dan daunnya telah diketahui mengandung beberapa jenis
metabolit sekunder yang aktif sebagai pestisida, diantaranya
azadirachtin, salanin, meliatriol, dan nimbin. Senyawa kimia
tersebut dapat berperan sebagai penghambat pertumbuhan
serangga, penolak makan (antifeedant), dan repelen bagi
serangga. Metabolit lain yang terdapat di dalam mimba adalah
nimbandiol, 3-desasetil salanin, salanol, azadiron, azadiradion,
epoksiazadiradion, gedunin, dan alkaloid. Pada bagian kulit batang
dan kulit akarnya mengandung nimbin, nimbosterol, nimbosterin,
sugiol, nimbiol dan margosin, sedangkan pada bunganya
ditemukan kuersetin dan kaemferol, dan bagian kayunya
ditemukan nimaton dan 15% zat samak terkondensasi alkaloid
(azaridin) (Singhal dan Monika 1998).
Metabolit sekunder utama yang berfungsi sebagai
insektisida pada tanaman mimba adalah azadirachtin yang
terbentuk secara alami berupa substansi yang termasuk dalam
kelas molekul organik tetranortriterpenoids (Grace-Sierra Crop
Protection Co., 1990). Azadirachtin telah diketahui dapat bekerja
sebagai penolak makan (antifeedancy), menghambat
pertumbuhan, menghambat proses ganti kulit ( moulting
inhibition), mengakibatkan abnormalitas anatomi dan dapat
mematikan serangga. Walter (1999), melaporkan bahwa
azadirachtin telah terbukti efektif mengendalikan lebih dari 300
spesies serangga hama termasuk hama-hama penting tanaman
budidaya seperti ulat grayak (armyworm), pengorok daun
(leafminer), kutu daun (aphid) dan kutu putih (whiteflies).

6
2
BIOSINTESA DAN CARA KERJA AZADIRACHTIN
SEBAGAI
STRUKTUR KIMIA DAN BIOSINTESA AZADIRACHTIN
BAHAN AKTIF INSEKTISIDA

Azadirachtin merupakan molekul kimia C 35H44O16 yang


termasuk dalam kelompok triterpenoid (Gambar 1). Struktur kimia
azadirachtin hampir

6
3
sama dengan hormone "ecdysone" pada serangga yang
mengatur proses metamorphosis yaitu perubahan bentuk
serangga dari larva ke pupa kemudian menjadi imago.

Gambar 1. Struktur molekul Azadirachtin (Mordue(Luntz) and

Nisbet, 2000) Biosintesa azadirachtin dimulai dengan

prekursor steroid (lanosterol,


euphol, tirucallol), azadirone, azadiradione dan and C-ring terbuka
(nimbin, salannin), setelah melalui proses beberapa tahapan reaksi
membentuk struktur komplek formasi ring furan (Rembold, 1989,
Ley et al. 1993). Sedangkan menurut Schmutterer (1995),
azadirachtin merupakan tetranortriterpenoid yang dibentuk dari
prekursor euphol dan apo-euphol melalui degradasi oksidatif pada
C-17 dengan kehilangan 4 atom karbon. Meskipun biosintesa
azadirachtin secara lengkap dan mendetail belum ditentukan
secara pasti, tetapi secara umum biosintesanya dapat ditelusuri
pada proses pembentukan triterpenoid melalui lintasan asetat
mevalonat dengan prekursor utama berupa skualen (Gambar 2).
Sampai saat ini, produksi azadirachtin sebagai bahan aktif
pestisida nabati dari tanaman mimba dilakukan dengan cara
mengisolasi langsung dari tanaman utuh, terutama dari biji.
Setiap gram biji nimba mengandung 3,6 mg azadirahtin
(Schmutterer, 1995), namun keberadaan nimba di Indonesia relatif
sedikit karena daerah penyebarannya terbatas di Jawa dan Bali.
Disamping itu, mimba juga digunakan sebagai sumber obat-obatan
dan bahan bangunan. Eksploitasi terhadap tanaman ini
menyebabkan penurunan populasinya di alam yang secara
langsung mengakibatkan berkurangnya sumber pestisida nabati,
khususnya azadirahtin (Fowler & Stafford, 2003, Howatt, 1999).
Asam mevalonat

Dimetilalil pirofosfat

Geranil pirofosfat

Farnesil pirofosfat

Squalen

Steroid Triterpenoid

Azadirachtin

Gambar 2. Biosintesa azadirachtin yang melalui lintasan asetat


mevalonat ( Vickery dan Vickery 1981)

Sejalan dengan perkembangan bioteknologi, saat ini


azadirachtin telah dapat diproduksi melalui teknologi kultur in vitro
di laboratorium. Melalui teknologi kultur kalus, Babu et al. (2006),
melaporkan hasil penelitiannya seperti terlihat pada Tabel 1 di
bawah ini.

Tabel 1: Kandungan triterpenoid pada kultur kalus beberapa


bagian Azadirachta indica setelah inkubasi 120 hari pada
media MS dengan suplemen 5 mg/l NAA dan 10 mg/l IBA

Sumber: Babu et al. (2006)


Salah satu metode pendekatan yang dapat digunakan
untuk meningkatkan produksi metabolit sekunder dalam kultur in
vitro adalah dengan penambahan prekursor (Buitelaar dan
Tramper, 1991). Penambahan prekursor ke dalam medium kultur
dapat merangsang aktivitas enzim tertentu yang terlibat dalam
lintasan biosintesis, sehingga dapat meningkatkan produksi
metabolit sekunder (Mantell dan Smith 1983). Dengan mengetahui
biosintesa triterpenoid melalui lintasan asetat mevalonat maka
penambahan prekursor pada media kultur in vitro diharapkan
dapat meningkatkan produksi azdirachtin. Prekursor yang dapat
digunakan untuk meningkatkan kandungan senyawa triterpenoid
secara in vitro adalah skualen, yang merupakan senyawa
triterpenoid linear tak jenuh dan merupakan prekursor untuk
semua triterpenoid (Charlwood dan Charlwood 1991). Penelitian
mengenai kandungan azadirahtin dalam kultur in vitro telah
dilakukan oleh Veeresham et al. (1998). Kandungan azadirahtin
terdeteksi pada kalus yang diinduksi dari eksplan daun sebanyak
2,68 % berat kering (BK) pada umur kultur 20 minggu dan eksplan
bunga sebanyak 2,48 % BK pada minggu ke 129. Penambahan
skualen berpengaruh nyata dalam meningkatkan kandungan
azadirahtin di dalam sel sebanyak 0,076 0,006 g/g BK dengan
persentase peningkatan sebesar 85,37 % pada perlakuan dengan
penambahan 100 M skualen dan umur kultur 10 hari. Zakiah et
al. (2003) juga melaporkan bahwa peningkatan kandungan
azadirahtin di dalam sel dan medium dipengaruhi secara nyata
oleh konsentrasi skualen dan umur kultur. Kandungan azadirahtin
meningkat secara nyata setelah penambahan skualen 100 M pada
umur kultur 10 dan 12 hari.

CARA KERJA AZADIRACHTIN


Cara kerja dari azadirachtin sangat tergantung dari spesies
serangga targetnya dan konsentrasi yang diaplikasikan. Efek
primer dari azadirachtin terhadap serangga berupa antifeedant
dengan menghasilkan stimulan penolak makan spesifik berupa
reseptor kimia (chemoreceptor) pada bagian mulut (mouthpart)
yang bekerja bersama-sama dengan reseptor kimia lainnya yang
mengganggu persepsi rangsangan untuk makan (Mordue et al.
1998).
Efek sekunder dari azadirachtin terhadap serangga berupa
gangguan pada pengaturan perkembangan dan reproduksinya,
akibat efek langsungnya terjadi pada sel somatik dan jaringan
reproduksi serta efek tidak langsungnya akan mengganggu proses
neuroendocrine. Pengaruh azadirachtin terhadap pengaturan
pertumbuhan serangga dengan mengganggu sistem
neuroendocrine-nya inilah yang paling banyak mendapat
perhatian (Mordue (Luntz) dan Nisbet 2000). Hormon utama pada
tubuh serangga yang mengatur proses pertumbuhan adalah
hormon ecdysone dan 20-hydroxy-ecdysone yang merupakan
hormon ganti kulit (moulting hormones) yang keduanya berasal
dari fitosteroid yang diambil dari tanaman inang oleh serangga,
serta juvenile hormone (JH). Hormon ecdysone dan 20-hydroxy-
ecdysone diproduksi oleh kelenjar protoraks (prothoracic gland),
sedangkan juvenile hormone diproduksi oleh corpora allata,
melalui stimulasi hormon PTTH (prothoracicotropic hormone)
yang disekresikan pada otak (Wigglesworth 1972). Untuk
terjadinya proses metamorphosis membutuhkan adanya
sinkronisasi dari beberapa jenis hormon dan perubahaan fisik
sehingga proses tersebut berhasil dengan baik, dan nampaknya
azadirachtin memiliki fungsi sebagai "ecdysone blocker" yang
menghambat serangga untuk memproduksi dan melepas
hormone-hormon vital dalam proses metamorfosis (Gambar 3).
Akibatnya serangga tidak dapat ganti kulit, sehingga kemudian
siklus hidupnya menjadi terganggu (National Research Council
1992; AgriDyne Technologies Inc. 1994).
Azadirachtin juga berfungsi sebagai insektisida bagi
beberapa jenis serangga. Kematian serangga dapat terjadi dalam
beberapa hari, tergantung dari stadia dan siklus hidup serangga
target. Akan tetapi, apabila termakan dalam jumlah kecil saja
mengakibatkan serangga tidak bergerak dan berhenti makan.
Aktivitas residu insektisida dari azadirachtin ini umumnya terjadi
antara tujuh sampai 10 hari atau lebih lama lagi, tergantung dari
jenis serangga dan aplikasinya (Thomson 1992).
Beberapa contoh pengaruh azadirachtin pada serangga
terlihat pada Gambar 4 yang memperlihatkan terganggunya proses
metamorfosa serangga sasaran dan Gambar 5 yang menunjukan
pengaruh mematikan (insecticidal effect) pada ulatgarayak.
Azadirachtin

Gambar 3. Azadirachtin sebagai ecdysone blocker

Gambar 4. Pengaruh azadirachtin pada proses ganti kulit beberapa serangga uji (Sumber: Mo
Gambar 5. Pengaruh azadirachtin yang bersifat insektisidal pada
ulat grayak

KESIMPULAN
Azadirachtin merupakan metabolit sekunder golongan
triterpenoid yang terdapat pada tanaman mimba Azadirachta
indica diketahui efektif mengendalikan lebih dari 300 spesies
serangga hama. Meskipun secara detail biosintesa azadirachtin
belum diketahui, tetapi dengan menelusuri biosintesa triterpenoid
melalui lintasan asetat mevalonat dapat diketahui prekursor
umumnya berupa skualen. Penambahan skualen sebagai
prekursor pada media terbukti dapat meningkatkan produksi
azadirachtin secara in vitro. Azadirachtin bekerja sebagai penolak
makan (antifeedancy), menghambat pertumbuhan, menghambat
proses ganti kulit (moulting inhibition), mengakibatkan
abnormalitas anatomi dan dapat mematikan serangga.

DAFTAR PUSTAKA

AgriDyne Technologies, Inc. March. 1994. Greenhouse Grower.


Floritech report: Tough on pests, easy on crops--and the
environment. AgriDyne Technologies, Inc., Salt Lake City,
UT.
Babu, V.S., S. Narasimhan dan G.M. Nair. 2006. Bioproduction of
azadirachtin-A, nimbin and salannin in callus and cell
suspension
cultures of neem (Azadirachta indica A. Juss.). Current
Science, Vol 91: No. 1, 10 July 2006.
Buitelaar, R.M. dan J. Tramper. 1991. Strategies to Improve the
Production of Secondary Metabolite with Plant Cell Culture:
A Literature Review, Journal of Biotechnology, 23: 6-9.
Charlwood, B.V. dan K.A. Charlwood. 1991. Terpenoid Production in
Plant Cell Culture dalam Ecological Chemistry and
Biochemistry of Plant Terpenoid. Proceeding of the
Phytochemical Society of Europe, 31 (ed: J.B.Harborne &
F.A. Tomas, Barberan Oxford Science Publications, Oxford),
90-91.
Fowler, M.W., dan A.M. Stafford. 2003. Plant Cell Culture: Process
System and Product Synthesis, dalam Plant Biotechnology
(ed: M.W.Fowler
& M. Moo-Young; Pergamon Press. Oxford, New York, 79-95.
Howatt, K. 1999. Azadirachta indica: One Trees Arsenal against
Pest, (http://www.treemail.nl/eurobio/press/ azadir.htm.)
Grace-Sierra Crop Protection Co. 1990. Margosan-O technical
bulletin.
Grace-Sierra Crop Protection Co., Milpitas, CA.
Ley, S.V., A.A. Denhom dan A. Wood. 1993. The chemistry of
azadirachtin.
Nat. Prod. Rep.: 109-157.
Mantell, S.H. dan H. Smith. 1983. Plant Biotechnology,
Cambridge University Press, Cambridge, London, 39-102.
Mordue (Luntz), A.J., M.S.J. Simmonds, S.V. Ley, W.M. Blaney, W.
mordue,
M. Nasiruddin dan A.J. Nisbet. 1998. Actions of azadirachtin,
a plant allelochemical, against insects. Pestic. Sci. 54: 277-
284.
Mordue (Luntz) A. J. and A. J. Nisbet. 2000. Azadirachtin from the
Neem Tree Azadirachta indica: its Action Against Insects. An.
Soc. Entomol. Brasil 29:615-632.
National Research Council. 1992. Neem: A tree for solving global
problems.
National Academy Press, Washington, DC.
Rembold, H. 1989. Azadirachtins: Their structure and mode of
action, p.150-
163. In J.T.Arnason, B.J.R. Philogne & P. Morand (eds.),
Insecticides of plant origin. ACS Symp. Ser. 387 American
Chemical Society, Washington, DC.
Singhal, N. dan S. Monika. 1998. Neem and Environment, World
Neem 14, New Delhi
Simmonds, M.S.J., H.C. Evans dan W.M. Blaney. 1992. Pesticides
for the year 2000: mycochemicals and nabaticals,
p.127-164. In
A.A.S.A. Kadir (ed.), Pest management and the environment
in 2000. C.A.B.I., Wallingford.
Schmutterer, H. 1995. The neem tree: source of unique natural
products for integrated pest management, medicine,
industry and other purposes. VCH, Weinheim, 696 p.
Thomson, W.T. 1992. Agricultural Chemicals. Book I: Insecticides.
Thomson Publications, Fresno, CA.
van Emden, H.F. 1989. Pest control. 2nd ed., Edward Arnold,
London, 117 p.
Veeresham, C., Kumar, M.R., Sowjanya, D., Kokate, C.K., & Apte,
S.S. 1998. Production of Azadirachtin from Callus Cultures
of Azadirachta indica, Fitoterapia, 69: 423-424.
Vickery, M.L. dan B. Vickery. 1981. Secondary Plant Metabolism,
The Macmillan Press. Ltd. London.
Walter, J. F. 1999. Commercial Experience with Neem Products, p.
155-170. In Franklin R. Hall and Julius J. Menn. Biopesticides
Use and Delivery. Humana Press. Totowa, New Jersey.
Whitten, M.J. 1992. Pest management in 2000: what we might learn
from the twentieth century, p. 9-44. In A.A.S.A. Kadir (ed.),
Pest management and the environment in 2000. C.A.B.I.,
Wallingford.
Wigglesworth, V.B. 1972. The principles of insect physiology. 7th
ed., John Wiley, New York, 827 p.
Zakiah Z., E. Marwani dan A. H. Siregar, 2003. Peningkatan
Produksi Azadirahtin dalam Kultur Suspensi Sel Azadirachta
indica A.Juss melalui Penambahan Skualen. Jurnal
Matematika dan Sains Vol. 8 No. 4, 141 146 hal.

You might also like