Professional Documents
Culture Documents
DISUSUN OLEH :
1. Mecthildis Andreana Pasaribu Boruk (032015084)
2. Rica Marintan Sitorus (032015089)
3. Rodameria Ambarita (032015091)
4. Roy Wilson Sihombing (032015093)
Kelas : Ners B T -II Akademik
Sindroma Mata Kering (Dry Eye Syndrome) ialah suatu gangguan pada
permukaan mata yang ditandai dengan ketidakstabilan produksi dan fungsi dari
lapisan air mata. Angka kejadian Sindroma Mata Kering ini lebih banyak pada
wanita dan cenderung meningkat sesuai dengan peningkatan usia. Peningkatan angka
terjadinya Sindroma Mata Kering ini ialah disebabkan oleh adanya peningkatan
angka harapan hidup dari populasi, peningkatan polusi, penggunaan obat-obatan
tertentu seperti obat alergi dan obat hipertensi, peningkatan pengguna lensa kontak
dan peningkatan penggunaan komputer.
Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang
membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan
permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Karena lokasinya, konjungtiva
terpajan oleh banyak mikroorganisme dan substansi-substansi dari lingkungan luar
yang mengganggu (Vaughan, 2010). Peradangan pada konjungtiva disebut
konjungtivitis, penyakit ini bervariasi mulai dari hiperemia ringan dengan mata
berair sampai konjungtivitis berat dengan sekret purulen (Vaughan, 2010).
Konjungtivitis umumnya disebabkan oleh reaksi alergi, infeksi bakteri dan virus,
serta dapat bersifat akut atau menahun (Ilyas, 2009). Penelitian yang dilakukan di
Belanda menunjukkan penyakit ini tidak hanya mengenai satu mata saja, tetapi bisa
mengenai kedua mata, dengan rasio 2,96 pada satu mata dan 14,99 pada kedua mata
(Majmudar, 2010).
Uveitis merupakan salah satu penyebab kebutaan di dunia termasuk Indonesia,
terlebih uveitis pada anak yang merupakan penyakit sangat serius dan lebih sering
mengancam kebutaan dibanding usia dewasa. Penatalaksanaan yang mungkin
dirasakan kurang optimal pada anak komplikasi yang cukup tinggi, serta seringnya
diperlukan pengobatan sistemik menunjukkan bahwa kelainan ini kronis dan berat
pada usia muda. Insiden uveitis pada populasi 100.000 orang adalah 15 kasus
pertahun. Di Amerika terdapat 2,3 juta orang penderita uveitis dimana kasus barunya
ditemukan sebanyak 45.000 pertahun. Uveitis juga menyebabkan 10% kebutaan.
Meskipun dapat terjadi pada semua usia, kebanyakan penderita berusia 20-50 tahun
dan menurun insidennya pada usia diatas 70 tahun.
BAB 2
KONSEP MEDIS
2.1 Defenisi
2.1.1 Definisi Dry Eye
Dry eye atau Mata kering ialah suatu gangguan pada permukaan mata yang
ditandai dengan ketidakstabilan produksi dan fungsi dari lapisan air mata Mata
kering adalah penyakit multifaktorial pada air mata dan permukaan mata yang
menghasilkan gejala tidak nyaman, gangguan penglihatan, dan tidak stabilnya
film air mata yang berpotensi mengalami kerusakan pada permukaan mata. Mata
kering juga disertai dengan peningkatan osmolaritas film air mata dan
peradangan pada permukaan mata.
Istilah sindroma dry eye mewakili kelompok keadaan yang bermacam-
macam dikarakterisasikan oleh adanya gejala-gejala ketidaknyamanan okular
dan berhubungan dengan penurunan produksi airmata dan/atau abnormalitas
penguapan airmata yang sangat cepat. Prevalensi sindroma dry eye meningkat
dengan usia, mengenai sekitar 5% populasi dewasa selama dekade keempat
kehidupan, meningkat hingga 10-15% pada dewasa diatas usia 65 tahun.
Kebanyakan penelitian epidemiologis menunjukkan adanya prevalensi yang
lebih tinggi pada wanita. Sampai saat ini, sindroma dry eye tampaknya timbul
dengan prevalensi yang sama pada semua ras dan kelompok etnik.
2.2 Etiologi
2.2.1 Etiologi Dry Eye
Sindrom mata kering terjadi ketika kelenjar lakrimal gagal menghasilkan air
mata yang cukup. Penurunan kualitas air mata ini beresiko menimbulkan iritasi dan
peradangan pada jaringan anterior. Selain terasa kering, gatal, dan sensasi terbakar
pada mata, penderita juga akan mengalami ketidaknyamanan khususnya saat
membaca, berkomputer, dan menonton televisi. Tidak hanya itu, sindrom ini bisa
menjadi salah satu indikasi penyakit seperti lupus, efek samping penggunaan obat-
obatan seperti antihistamin dan antidepresan, proses penuaan dan memasuki usia
menopause pada wanita. Iklim yang berangin, panas dan berdebu juga menjadi
faktor penyebabnya.
Jika hal ini terjadi, sangat disarankan untuk melakukan diagnosa guna
mengukur produksi air mata. Caranya dengan menggunakan lembar kertas filter
yang dipasang di kelopak mata bawah untuk mengukur produksi air mata pada
berbagai kondisi. Pengobatan dasar terhadap penyakit ini yaitu dengan memberikan
obat tetes yang berfungsi sebagai air mata buatan. Selain itu, mengkonsumsi asam
lemak omega-3 juga terbukti membantu meningkatkan produksi air mata. Omega-3
memiliki aktivitas anti-inflamasi alami untuk mengurangi peradangan pada
permukaan mata.
Berkedip secara teratur khususnya saat membaca dan berkomputer sangat penting
agar mata tetap terjaga kelembabannya. Selalu gunakan kacamata pelindung saat
menghadapi iklim yang buruk, dan banyak minum air putih minimal 8 gelas sehari
sebagai pencegahan.
2.3 Patofisiologis
2.3.1 Patofisiologis Dry Eye
Kualitas air mata yang kurang baik. Lapisan air mata terdiri dari tiga lapis, yaitu
lapisan minyak lipid, air/akuos dan musin. Apabila terjadi masalah di salah satu
lapisan tersebut akan menyebabkan gejala mata kering. Lapisan Minyak Lipid.
Lapisan luar ini diproduksi oleh kelenjar Meiboom yang terdapat di tepi kelopak
mata. Lapisan ini akan mengurangi penguapan lapisan dibawahnya. Jika lapisan
minyak ini tidak baik, maka penguapan lapisan akuos akan bertambah cepat.
Masalah ini sering terjadi pada orang-orang yang mengalami peradangan pada tepi
kelopak mata, acne dan beberapa kalainan kulit lain. Lapisan Air/Akuos. Lapisan
yang di tengah ini merupakan lapisan yang paling tebal dan diproduksi oleh kelenjar
air mata. Tugasnya membersihkan mata dari kotoran dan membersihkan dari benda
iritan untuk mata.Lapisan Musin. Lapisan yang paling dalam akan menempelkan
kedua lapisan diatasnya merata di permukaan mata.
Berkurangnya produksi air mata. Mata kering merupakan keadaan yang sangat
sering terjadi, terutama pada orang dengan usia lebih dari 40 tahun. Mata kering
makin bertambah dengan adanya lingkungan yang kering, matahari kuat, angin,
ketinggian tertentu dan lain-lain. Demikian pula pada pekerja yang membutuhkan
konsentrasi tinggi seperti bekerja di depan komputer, menyetir atau membaca akan
menurunkan jumlah kedipan sehingga penguapan air mata menjadi lebih banyak.
Masalah mata kering jarang menyebabkan komplikasi yang serius, tetapi apabila
mata merah, terasa kering dan tidak nyaman yang mengganggu maka sebaiknya
pergi berkonsultasi ke dokter mata anda agar dicarikan solusi yang tepat.
2.4 Klasifikasi
2.4.2 Klasifikasi Conjungtivitis
1). Konjungtivitis Bakteri
Terutama disebabkan oleh Staphylococcus aureus, Streptococcus
pneumoniae, Haemophilus influenzae, dan Moraxella catarrhalis.
Konjungtivitis bakteri sangat menular, menyebar melalui kontak langsung
dengan pasien dan sekresinya atau dengan objek yang terkontaminasi.
2) Klasifikasi klinis
a) Uveitis akut : onset simtomatik terjadi tiba-tiba dan berlangsung selama
<6 minggu
b) Uveitis kronik : uveitis yang berlangsung selama berbulan-bulan atau
bertahun-tahun, seringkali onset tidak jelas dan bersifat
asimtomatik
3) Klasifikasi etiologis
a) Uveitis eksogen : trauma, invasi mikroorganisme atau agen lain dari
luar tubuh
b) Uveitis endogen : mikroorganisme atau agen lain dari dalam tubuh
berhubungan dengan penyakit sistemik, contoh: ankylosing spondylitis
Infeksi Yaitu infeksi bakteri (tuberkulosis), jamur (kandidiasis),
virus (herpes zoster), protozoa (toksoplasmosis), atau
roundworm (toksokariasis)
Uveitis spesifik idiopatik Yaitu uveitis yang tidak berhubungan
dengan penyakit sistemik, tetapi memiliki karakteristik khusus
yang membedakannya dari bentuk lain (sindrom uveitis Fuch)
Uveitis non-spesifik idiopatik Yaitu uveitis yang tidak termasuk ke
dalam kelompok di atas.
4) Klasifikasi patologis
a) Uveitis non-granulomatosa : infiltrasi dominan limfosit pada koroid
b) Uveitis granulomatosa : koroid dominan sel epiteloid dan sel-sel raksasa
multinukleus.
Gejala dan keluhan mata kering biasanya mengenai kedua mata antara
lain : sensasi rasa panas, kering dan gatal di mata; ada kotoran mata;
meningkatnya rasa iritasi mata terhadap angin dan asap; mata lelah setelah
membaca meski dalam waktu yang tidak terlalu lama; tidak tahan terhadap
cahaya; kesulitan mengenakan lensa kontak; mata berair; penglihatan kadang
buram terutama setelah digunakan untuk waktu yang lama atau akhir kerja.
2) Uveitis intermediet
Gejala uveitis intermediet biasanya berupa floater, meskipun
kadang-kadang penderita mengeluhkan gangguan penglihatan
akibat edema makular sistoid kronik. Tanda dari uveitis
intermediet adalah infiltrasi seluler pada vitreus (vitritis) dengan
beberapa sel di COA dan tanpa lesi inflamasi fundus.
3) Uveitis posterior
Dua gejala utama uveitis posterior adalah floater dan gangguan
penglihatan. Keluhan floater terjadi jika terdapat lesi inflamasi
perifer. Sedangkan koroiditis aktif pada makula atau
papillomacular bundle menyebabkan kehilangan penglihatan
sentral.Tanda-tanda adanya uveitis posterior adalah perubahan
pada vitreus (seperti sel, flare, opasitas, dan seringkali posterior
vitreus detachment), koroditis, retinitis, dan vaskulitis.
2.6 Komplikasi
2.6.2 Komplikasi Conjungtivitis
Komplikasi yang sering timbul biasanya adalah:
Ulkus kornea dan menurut beberapa ahli komplikasi ini lebih cepat timbul
pada orang dewasa dari pada bayi (pada bayi komplikasi ulkus kornea timbul
sesudah minggu pertama) ulkus kornea dapat mengalami perforasi dengan
berakibat timbulnya endoftalmitis yang berakhir dengan kebutaan.
Oleh karena itu setiap penderita konjungtuvitis gonoreika perlu sekali untuk
diperiksa keadaan korneanya. Berhubung bahaya timbulnya komplikasi yang
dapat menimbulkan kebutaan, maka setiap penderita konjungtivitis gonoreika
harus dirawat dalam kamar isolasi.
Kesulitannya ialah penderita anak dan dewasa yang sulit diisolasi, sehingga
berbahaya untuk penularan sekitanya. Pengobatan dilakukan dengan
memberikan salep mata penisilin tiap jam sesudah terlebih dahulu setiap kali
mata dibersihkan dari pada sekret, selain itu juga diberikan penisilin
intramuskulus. Bila kuman telah resisten terhadap penisilin, dapat dipakai
antibiotika lain seperti kloramfenikol atau tertasiklin.
2. Rose bengal 15
Pewarnaan ini memiliki afinitas terhadap sel epitel yang telah mati
dan mukus. Rose bengal mewarnai konjungtiva bulbi yang terpapar,
menghasilkan pola pewarnaan yang khas dari dua buah segitiga dengan
dasarnya di limbus. Filamen-filamen dan plak pada kornea juga tampak lebih
jelas dengan pewarnaan ini. Satu kekurangan dari pewarnaan dengan rose
bengal ini adalah dapat menyebabkan iritasi okular yang dapat bertahan
selama satu hari, khususnya pada dry eye yang berat. Untuk meminimalisasi
iritasi yang dapat terjadi diberikan hanya satu tetes kecil saja, namun
penggunaan anastesi topikal tidak diberikan oleh karena dapat memberikan
hasil positif palsu.
3. Tes Schirmer
Produksi lapisan akuos airmata dapat dilakukan dengan berbagai macam
cara Tes Schirmer dilakukan dengan meletakkan kertas strip tipis pada
kuldesak inferior. Jumlah pembasahan dapat diukur untuk mengetahui
jumlah produksi akuos. Terdapat berbagai macam cara melakukan tes
Schirmer. Tes sekresi basal (Basal secretion test) dilakukan setelah diteteskan
anastetik topikal. Kertas strip tipis (lebar 5 mm, panjang 35 mm) diletakkan
pada pertemuan antara pertengahan dan 1/3 lateral palpebra inferior untuk
meminimalisasi iritasi pada kornea selama tes berlangsung. Tes ini dapat
dilakukan dengan mata tertutup ataupun terbuka, meskipun beberapa ahli
merekomendasikan dengan mata yang tertutup untuk membatasi efek dari
berkedip. Meskipun pengukuran normal cukup bervariasi, pemeriksaan yang
telah diulang dengan hasil pembasahan 5 mm dengan anastesi, dapat
merupakan sugesti yang besar terhadap defisiensi lapisan akuos, sedangkan
5-10 mm masih meragukan.
Tes Schirmer I, dimana cara pemeriksaannya serupa dengan tes sekresi
basal namun dilakukan tanpa anastetik topikal, mengukur keduanya baik
basal sekresi dan refleks sekresi dikombinasikan. Pembasahan 10 mm
setelah 5 menit merupakan diagnostik untuk defisiensi lapisan akuos.
Tes Schirmer II yang mengukur refleks sekresi, dilakukan dengan cara
yang serupa tanpa anastetik topikal. Namun setelah kertas filter diletakkan
pada forniks inferior, aplikator dengan ujung kapas digunakan untuk
mengiritasi mukosa nasal. Pembasahan 15 mm setelah 5 menit konsisten
dengan adanya defek pada refleks sekresi.
4. Tear meniscus 12
Dilakukan dengan inspeksi tinggi tear meniscus antara bola mata dengan
kelopak mata bawah (normal tingginya adalah 1,0 mm dan konveks). Tear
meniscus 0,3 mm atau kurang dianggap abnormal.
Kasus
Diagnosa 1
Gangguan Rasa nyaman berhubungan dengan gejala yang terkait ditandai dengan rasa
tidak nyaman, gatal, gelisah, kurang puas dengan keadaan, merintih.
NOC
Status Kenyamanan
Batasan Karakteristik:
1. Tingkat Kenyamanan
2. Tingkat Kecemasan
3. Tingkat Rasa Takut
4. Tingkat Stress
NIC
Diagnosa 2
Resiko mata kering
Definisi : Beresiko terhadap ketidaknyamanan mata atau kerusakan kornea dan
konjungtiva karena penurunan kuantitas atau kualitas air mata untuk melembabkan mata
Faktor Resiko :
Penuaan
Penyakit autoimun (mis, arthritis rheumatoid, diabetes mellitus, penyakit toroid, gout,
osteoporosis, dll)
Lensa kontak
Factor Iingkungan (mis, penyejuk udara, angin berlebihan, pemanjanan sinar matahari,
polusi udara, kelembaban rendah)
Gender wanita
Riwayat alergi
Hormone
Gaya hidup (mis, merokok, pengguna kafein, membaca dalam waktu lama)
Terapi ventilasi mekanis
Lesi neuologis dengan kehilangan reflek sensoro atau motorik (lagoftalmos, kurang reflek
kedip spontan karena penurunan kesadaran dan gangguan medis lain)
Kerusakan permukaan ocular
Tempat hidup
Efek samping terkait pengobatan (mis ,agens farmaseutikal seperti inhibitor enzim
pengubah angiotensin, deuretik, trasquilizer, analgesik, sedatif, agens blok
neuromuscular)
Defisiensi vitamin A
NOC
Sensory Function : Vision
Kriteria Hasil :
Ketajaman pusat penglihatan kanan dan kiri
Ketajaman menglihat sekeliling mata kanan dan kiri
Dapat menangkap penglihatan terpusat kanan dan kiri
Menangkap penglihatan penifer kanan dan kiri
Respon stimulus penglihatan adekua
Tidak ada penglihatan ganda
Tidak ada penglihatan kabur
Tidak ada sakit kepala
Ketegangan mata berkurang
Tidak ada pusing
Mata lembab
Tidak terdapat benda asing dimata
NIC
Eyes Care
Monitor tanda-tanda kemerahan, cairan, atau ulserasi
Istruksikan pasien tidak menggosok mata
Monitor reflek kornea
Ganti lensa kontak jika perlu
Gunakan pelindung mata (kaca mata) jika diperlukan
Lakukan Perawatan mata jika perlu
Lakukan alternative perbaikan mata untuk diplopia
Gunakan tetes mata untuk melembabkan
Gunakan salep mata untuk melembabkan
Medication Administrasion : Eyes
Ikuti administrasi lima benar dalam pemberian obat
Catat riwayat pengobatan pasien dan riwayat alergi
Kaji pengetahuan pasien tentang pengobatan dan pengetahuan pasien tentang metode
pengobatan
Instrksikan pasien membuka mata untuk mempermudah memasukkan obat
Monitor efek lokal sistemik yang berlawanan dari pengobatan
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Syndrome mata kering (keratokonjungtivis sica) adalah kondisi dimana mata pasien
tidak bisa memproduksi air mata yang cukup, atau air mata menguap terlalu cepat. Ini
bisa menyebabkan mata kekurangan air dan menjadi meradang. Syndrome ini dapat
terjadi karena dipengaruhi gejala blefaritis, dermatitis seboroik, dan dermatitis rosea,
namun dapat juga disebabkan karena kualitas air mata yang kurang baik.
Gejalanya ditandai dengan nyeri atau kering, sekitar mata, dan ada yang mengganjal di
dalam mata dengan penglihatan yang buram. Semua gejala tersebut dapat dihilangkan
dengan menggunakan obat tetes mata yang mengandung cairan yang dibuat untuk bisa
menggantikan air mata.
Konjungtivitis adalah suatu peradangan konjungtiva yang disebabkan oleh bakteri,
virus, jamur, clamida, alergi atau iritasi dengan bahan-bahan kimia.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. H. Sidarta illias.SpM., Penuntun Ilmu penyakit mata., 2010., Jakarta.,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Ns. Anas Tamsuri., S.Kep., Klien gangguan Mata dan penglihata., Jakarta., EGC
Kanski JJ. Retinal Vascular Disorders in Clinical Ophthalmology: A Systematic
Approach. 3rdEdition. Oxford: Butterworth-Heinemann Ltd, 1994. 152-200
Rao NA, Forster DJ. Basic Principles In: Berliner N, editors. The Uvea Uveitis and
Intraocular Neoplasms Volume 2. New York: Gower Medical Publishing, 1992. 1.1
Riordan-Eva P. Anatomy & Embryology of the Eye In: Riordan-Eva P, Whitcher JP,
editors. General Ophthalmology 17th Ed. London: McGraw Hill, 2007.
Schlaegel TF, Pavan-Langston D. Uveal Tract: Iris, Ciliary Body, and Choroid In:
Pavan-Langston D, editors. Manual of Ocular Diagnosis and Therapy. 2nd Edition,
Boston: Little, Brown and Company, 1980. 143-144.