You are on page 1of 23

Tinjauan Pustaka

I. Asfiksia Neonatorum
Asfiksia pada bayi baru lahir menjadi penyebab kematian 19% dari 5 juta kematian
bayi baru lahir setiap tahun. Data mengungkapkan bahwa kira-kira 10% BBL membutuhkan
bantuan untuk mulai bernapas dari bantuan ringan (langkah awal dan stimulasi untuk
bernapas) hingga resusitasi lanjut yang ekstensif. Dari jumlah tersebut kira-kira hanya 1%
saja yang membutuhkan resusitasi ekstensif. Antara 1% sanoau 10% bayi baru lahir di rumah
sakit membutuhkan bantuan ventilasi dan sedikit saja yang membutuhkan intubasi dan
kompresi dada.
Kebutuhan resusitasi dapat diantisipasi pada sejumlah besar bayi baru lahir. Walaupun
demikian, kadang-kadang kebutuhan resusitasi tidak dapat diduga. Oleh karena itu tempat
dan peralatan untuk melakukan resustasi harus memadahi dan petugas yang sudah dilatih dan
terampil harus tersedia setiap saat di semua tempat kelahiran bayi.8,9

A. Definisi
Resusitasi adalah prosedur yang diaplikasikan pada BBL yang tidak dapat
bernapas secara spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah lahir.
Asfiksia ditandai dengan keadaaan hipoksemia , hiperkarbia dan asidosis. Menurut APP
dan ACOG (2004), berikut karakteristik asfiksia :
Asidemia metabolik atau campuran (metabolik dan respiratorik) yang jelas, yaitu
pH < 7 , pada sampel darah yang diambil dari arteri umbilical
Nilai apgar 0 7 pada menit ke 1
Manifestasi nerologi pada periode BBL segera, termasuk kejang , hipotonia ,
koma atau ensefalopati hipoksik iskemik
Terjadi disfungsi sistem multiorgan segera pada periode bayi baru lahir.8

B. Faktor Risiko
a. Faktor Risiko Antepartum
- Diabetes pada ibu
- Hipertensi pada kehamilan
- Hipertensi kronik
- Anemia janin atau isoimunisasi
- Riwayat kematian janin atau neonatus

1
- Perdarahan pada trimester dua dan tiga
- Infeksi ibu
- Ibu dengan penyakit jantung , ginjal , paru , tiroid atau kelainan
nerologi
- Polihidroamnion
- Oligohidroamnion
- Ketuban pecah dini
- Hidrops fetalis
- Kehamilan lewat waktu
- Kehamilan ganda
- Berat janin tidak sesuai masa kehamilan
- Terapi obat seperti magnesium karbonat , beta blocker
- Ibu pengguna obat bius
- Malformasi atau anomaly janin
- Tanpa pemeriksaan antenatal
- Usia < 16 tahun atau > 35 tahun
b. Faktor Risiko Intrapartum
- Seksio sesaria darurat
- Kelahira dengan ekstraksi forsep atau vakum
- Letak sungsang atau persentasi abnormal
- Kelahiran kurang bulan
- Partus presipitatus
- Korioamnionitis
- Ketuban pecah lama (< 18 jam sebelum persalinan)
- Partus lama (> 24 jam)
- Kala dua lama (> 2 jam)
- Makrosomia
- Bradikardia janin persisten
- Frekuensi jantung janin yang tidak beraturan
- Penggunaan anestesi umum
- Hiperstimulus uterus
- Penggunaan obat narkotika pada ibu dalam 4 jam sebelum persalinan
- Air ketuban bercampur mekonium
- Prolaps tali pusat

2
- Solusio plasenta
- Plasenta previa
- Perdarahan intrapartum. 8,9

C. Penilaian
Penilaian awal dilakukan pada setiap BBL untuk menentukan apakah tindakan
resusitasi harus segera dimulai. Segera setelah lahir, dilakukan penilaian dengan APGAR
Score.

Tanda Nilai O Nilai 1 Nilai 2

Appearace (warna Seluruh tubuh Tubuh merah


A Seluruh tubuh merah
kulit) biru atau putih extremitas biru

P Pulse (Denyut Nadi) Tidak ada < 100x/menit > 100x/menit

Perubahan
G Grimace (Refleks) Tidak ada Bersin/menangis
mimik/meringis

Ekstremitas sedikit Gerakan aktif


A Activity (Tonus Otot) Lunglai
fleksi Ekstremitas fleksi

Respiration effort
R Tidak ada Tak teratur Menangis kuat
(Usaha bernafas)

Tabel 1. Skor APGAR


Pembacaan APGAR Score :
i. Apgar score dinilai 3x pada menit ke 1 5 10
ii. Menit pertama digunakan untuk menentukan diagnosis (sehat /
asfiksia)
- Nilai APGAR 8 10 : Vigorous baby
- Nilai APGAR 7 : Asfiksia ringan
- Nilai APGAR 4 6 : Asfiksia sedang

3
- Nilai APGAR 0 3 : Asfiksia berat
iii. Menit ke-5 dan 10 digunakan untuk menentukan prognosis
perkembangan bayi baru lahir.

D. Patofisiologi
a. Fisiologi Janin Memperoleh Oksigen
Sebelum lahir, paru janin tidak berfungsi sebagai sumber oksigen atau
jalan untuk mengeluarkan karbondioksida. Pembuluh arteriol yang ada di dalam
paru janin dalam keadaan konstriksi sehingga tekanan oksigen (pO 2) parsial
rendah. Hampir seluruh darah dari jantung kanan tidak dapat melalui paru karena
konstriksi pembuluh darah janin, Sehingga darah dialirkan melalui pembuluh yang
bertekanan lebih rendah yaitu duktus arteriosus kemudian masuk ke aorta.
Setelah lahir, bayi akan segera bergantung pada paru-paru sebagai sumber
utama oksigen. Cairan yang mengisi alveoli akan diserap ke dalam jaringan paru,
dan alveoli akan berisi udara. Pengisian alveoli oleh udara akan memungkinkan
oksigen mengalir ke dalam pembuluh darah di sekitar alveoli.
Arteri dan vena umbilikalis akan menutup sehingga menurunkan tahanan
pada sirkulasi plasenta dan meningkatkan tekanan darah sistemik. Akibat tekanan
udara dan peningkatan kadar oksigen di alveoli, pembuluh darah paru akan
mengalami relaksasi sehingga tahanan terhadap aliran darah bekurang.
Keadaan relaksasi tersebut dan peningkatan tekanan darah sistemik,
menyebabkan tekanan pada arteri pulmonalis lebih rendah dibandingkan tekanan
sistemik sehingga aliran darah paru meningkat sedangkan aliran pada duktus
arteriosus menurun.
Pada saat kadar oksigen meningkat dan pembuluh paru mengalami
relaksasi, duktus arteriosus mulai menyempit. Darah yang sebelumnya melalui
duktus arteriosus sekarang melalui paru-paru, akan mengambil banyak oksigen
untuk dialirkan ke seluruh jaringan tubuh.
Pada akhir masa transisi normal, bayi menghirup udara dan menggunakan
paru-parunya untuk mendapatkan oksigen. Tangisan pertama dan tarikan napas
yang dalam akan mendorong cairan dari jalan napasnya. Oksigen dan
pengembangan paru merupakan rangsang utama relaksasi pembuluh darah paru.
Pada saat oksigen masuk adekuat dalam pembuluh darah, warna kulit bayi akan
berubah dari abu-abu/biru menjadi kemerahan.

4
b. Kesulitan yang dialami bayi selama masa transisi
Bayi dapat mengalami kesulitan sebelum lahir, selama persalinan atau
setelah lahir. Tanda klinis awal dapat berupa deselerasi frekuensi jantung janin.
Masalah yang dihadapi setelah persalinan lebih banyak berkaitan dengan jalan
nafas dan atau paru-paru, misalnya sulit menyingkirkan cairan atau benda asing
seperti mekonium dari alveolus, sehingga akan menghambat udara masuk ke
dalam paru mengakibatkan hipoksia. Bradikardia akibat hipoksia dan iskemia
akan menghambat peningkatan tekanan darah (hipotensi sistemik).
Pada saat pasokan oksigen berkurang, akan terjadi konstriksi arteriol pada
organ seperti usus, ginjal, otot dan kulit, namun demikian aliran darah ke jantung
dan otak tetap stabil atau meningkat untuk mempertahankan pasokan oksigen.
Walaupun demikian jika kekurangan oksigen berlangsung terus maka terjadi
kegagalan fungsi miokardium dan kegagalan peningkatan curah jantung,
penurunan tekanan darah, yang mengkibatkan aliran darah ke seluruh organ akan
berkurang. Sebagai akibat dari kekurangan perfusi oksigen dan oksigenasi
jaringan, akan menimbulkan kerusakan jaringan otak yang irreversible, kerusakan
organ tubuh lain, atau kematian.
Penelitian menunjukkan bahwa pernapasan adalah tanda vital pertama
yang berhenti ketika bayi baru lahir kekurangan oksigen. Setelah periode awal
pernapasan yang cepat maka periode selanjutnya disebut apnu primer. Rangsangan
seperti mengeringkan atau menepuk telapak kaki akan menimbulkan pernapasan.
Walaupun demikian bila kekurangan oksigen terus berlangsung, bayi akan
melakukan beberapa usaha bernapas megap-megap dan kemudian terjadi apnu
sekunder, rangsangan saja tidak akan menimbulkan kembali usaha pernapasan
bayi baru lahir.

Gambar 1. Perubahan frekuensi jantung dan tekanan darah selama apnu

5
Frekuensi jantung mulai menurun pada saat bayi mengalami apnu primer.
Tekanan darah akan tetap bertahan sampai dimulainya apnu sekunder (kecuali jika
terjadi kehilangan darah pada saat memasuki periode hipotensi). Bayi dapat berada
pada fase antara apnu primer dan apnu dan seringkali keadaan yang
membahayakan ini dimulai sebelum atau selama persalinan. Akibatnya saat lahir,
sulit untuk menilai berapa lama bayi telah berada dalam keadaan membahayakan.
Pemeriksaan fisik tidak dapat membedakan antara apnu primer dan sekunder,
namun respon pernapasan yang ditunjukkan akan dapat memperkirakan kapan
mulai terjadi keadaan yang membahayakan itu.
Jika bayi menunjukkan tanda pernapasan segera setelah dirangsang, itu
adalah apnu primer. Jika tidak menunjukkan perbaikan apa-apa, ia dalam keadaan
apnu sekunder. Sebagai gambaran umum, semakin lama seorang bayi dalam
keadaan apnu sekunder, semakin lama pula dia bereaksi untuk dapat memulai
pernapasan. Walau demikian, segera setelah ventilasi yang adekuat, hampir
sebagian besar bayi baru lahir akan memperlihatkan gambaran reaksi yang sangat
cepat dalam hal peningkatan frekuensi jantung.

E. Komplikasi
Sistem Pengaruh
Sistem Saraf Ensefalopati hipoksik-iskemik, infark, perdarahan intrakranial, kejang,
Pusat edema otak, hipotonia, hipertonia
Kardiovaskular Iskemia miokardium, bising jantung, insufisiensi trikuspidalis, hipotensi
Sirkulasi janin persisten, perdarahan paru, sindrom kegawatan
Pulmonal
pernapasan
Ginjal Nekrosis tubular akut atau korteks
Adrenal Perdarahan adrenal
Saluran Cerna Perforasi, ulserasi, nekrosis
Metabolik Hiponatremia, hipoglikemia, hipokalsemia
Kulit Nekrosis lemak subkutan
Hematologi Koagulasi intravaskular
Tabel 2. Komplikasi Asfiksia

F. Penatalaksanaan
a. Resusitasi

6
Bagan 1. Alur resusitasi
b. Terapi medikamentosa :
i. Epinefrin :
- Indikasi :

7
o Denyut jantung bayi < 60 x/m setelah paling tidak 30 detik
dilakukan ventilasi adekuat dan pemijatan dada.
o Asistolik.
- Dosis :
o 0,1-0,3 ml/kg BB dalam larutan 1 : 10.000 (0,01 mg-0,03
mg/kg BB) Cara : i.v atau endotrakeal. Dapat diulang setiap
3-5 menit bila perlu.
ii. Volume ekspander :
- Indikasi :
o Bayi baru lahir yang dilakukan resusitasi mengalami
hipovolemia dan tidak ada respon dengan resusitasi.
o Hipovolemia kemungkinan akibat adanya perdarahan atau
syok. Klinis ditandai adanya pucat, perfusi buruk, nadi
kecil/lemah, dan pada resusitasi tidak memberikan respon
yang adekuat.
- Jenis cairan :
o Larutan kristaloid yang isotonis (NaCl 0,9%, Ringer Laktat)
o Transfusi darah golongan O negatif jika diduga kehilangan
darah banyak.
- Dosis :
o Dosis awal 10 ml/kg BB i.v pelan selama 5-10 menit. Dapat
diulang sampai menunjukkan respon klinis.
iii. Bikarbonat :
- Indikasi :
o Asidosis metabolik, bayi-bayi baru lahir yang mendapatkan
resusitasi. Diberikan bila ventilasi dan sirkulasi sudah baik.
o Penggunaan bikarbonat pada keadaan asidosis metabolik dan
hiperkalemia harus disertai dengan pemeriksaan analisa gas
darah dan kimiawi.
o Dosis : 1-2 mEq/kg BB atau 2 ml/Kg BB (4,2%) atau 1
ml/kg bb (8,4%)
- Cara :

8
o Diencerkan dengan aquabides atau dekstrose 5% sama
banyak diberikan secara intravena dengan kecepatan minimal
2 menit.
- Efek samping :
o Pada keadaan hiperosmolaritas dan kandungan CO2 dari
bikarbonat merusak fungsi miokardium dan otak.
iv. Nalokson :
- Nalokson hidrochlorida adalah antagonis narkotik yang tidak
menyebabkan depresi pernafasan. Sebelum diberikan nalakson
ventilasi harus adekuat dan stabil.
- Indikasi :
o Depresi pernafasan pada bayi baru lahir yang ibunya
menggunakan narkotik 4 jam sebelum persalinan.
o Jangan diberikan pada bayi baru lahir yang ibunya baru
dicurigai sebagai pemakai obat narkotika sebab akan
menyebabkan tanda with drawltiba-tiba pada sebagian bayi.
- Dosis :
o 0,1 mg/kg BB (0,4 mg/ml atau 1 mg/ml)
- Cara :
o Intravena, endotrakeal atau bila perfusi baik diberikan
i.m/s.c
v. Suportif
- Jaga kehangatan.
- Jaga saluran napas agar tetap bersih dan terbuka.
- Koreksi gangguan metabolik (cairan, glukosa darah dan elektrolit

G. Prognosis
Pada asfiksia ringan-sedang, prognosis tergantung pada kecepatan
penetalaksanaan. Pada asfiksia berat dapat terjadi kematian atau kelainan saraf pada hari-
hari pertama. Asfiksia dengan PH 6,9 dapat menyebabkan kejang sampai koma dan
kelainan neurologis permanen, misalnya serebral palsi atau retardasi mental.

9
II. Neonatal Infeksi

A. Definisi
Infeksi yang terjadi pada bayi baru lahir dibagi dua yaitu early infection (diperoleh
dari ibu saat masih berada di dalam kandungan) dan late infection (infeksi yg diperoleh
dari lingkungan luar). 8

B. Patofisiologi
Infeksi pada neonates dapat dibagi menjadi beberapa cara, yaitu:
a. Infeksi antenatal
Kuman mencapai janin melalui sirkulai ibu ke plasenta. Selanjutnya
infeksi melalui sirkulasi umbilicus dan masuk ke janin. Yang dapat masuk melalui
cara ini antara lain:
- Virus: rubella, poliomyelitis, coxakie, variola, varicella, CMV.
- Spirochaeta: treponema palidum
- Bakteri: E.Coli dan listeria monocytogenes
b. Infeksi intranatal
Mikroorganisme dari vagina naik dan masuk ke dalam rongga amnion
setelah ketuban pecah. Ketuban pecah lama (jarak waktu antara pecahnya ketuban
dengan lahirnya bayi lebih dari 12 jam) memilik peranan penting terhadap
timbulnya plasentisitas dan amnionitik. Infeksi dapat pula terjadi walau ketuban
masih utuh, misalnya pada partus lama dan seringkali dilakukan manipulasi
vagina. Infeksi janin terjadi melalui inhalasi likuor yang septik sehingga terjadi
pneumonia congenital selain itu infeksi dapat sebabkan septisemia.infeksi
intranatal dapat juga melalui kontak langsung dengan kuman yang berasal dari
vagina misalnya blenorea dan oral trush.
c. Infeksi pascanatal
Infeksi ini terjadi setelah bayi lahir lengkap. Sebagian besar infeksi yang
berakibat fatal terjadi sesudah lahir sebagai akibat kontaminasi pada saat
penggunaan alat atau akibat perawatan yang tidak steril atau sebagai akibat infeksi
silang. Infeksi pascanatal ini sebetulnya sebagian besar dapat dicegah. Hal ini
penting karena mortalitas pascanatal ini sangat tinggi.8,10

C. Diagnosis

10
Diagnosis infeksi perinatal tidak mudah. Biasanya diagnosis dapat ditegakkan
dengan observasi yang teliti, anamnesis kehamilan dan persalinan yang teliti, dan dengan
pemeriksaan fisik serta laboratorium.
Diagnosis dini dapat ditegakkan bila kita cukup waspada terhadap kelainan
tingkah laku neonatus. Neonatus terutama BBLR yang dapat hidup selama 72 jam
pertama dan bayi tersebut tidak menderita penyakit maupun kelainan congenital tertentu,
namun tiba-tiba tingkah lakunya berubah, hendaknya selalu diingat bahwa kelainan
tersebut disebabkan infeksi.
Menegakkan kemungkinan infeksi bayi baru lahir sangat penting, terutama pada
bayi BBLR, karena infeksi dapat menyebar dengan cepat dan menimbulkan angka
kematian yang tinggi. Di samping itu, gejala klinis infeksi yang perlu mendapat perhatian
yaitu 8,10:
- Bayi malas minum
- Bayi tertidur
- Tampak gelisah
- Pernafasan cepat
- Berat badan turun drastis
- Terjadi muntah dan diare
- Panas badan dengan pola bervariasi
- Aktivitas bayi menurun
- Pada pemeriksaan dapat ditemui: bayi berwarna kuning, pembesaran hepar,
purpura, dan kejang-kejang
- Terjadi edema
- Sklerema
Ada 2 skoring yang digunakan untuk menemukan diagnosis neonatal infeksi yaitu
Bell Squash Score dan Gupte Score: 10,11
- Bell Squash Score:
1. Partus tindakan
2. Ketuban tidak normal
3. Kelainan bawaan
4. Asfiksia
5. Preterm
6. BBLR
7. Infeksi tali pusat

11
8. Riwayat penyakit ibu
9. Riwayat penyakit kehamilan
Hasil: < 4 Observasi NI; > 4 NI

- Gupte Score:

Prematuritas 3

Cairan amnion berbau busuk 2

Ibu demam 2

Asfiksia 2

Partus lama 1

Vagina tidak bersih 2

KPD 1
Hasil: 3-5 screening NI; > 5 NI

D. Klasifikasi
Infeksi pada neonatus dapat dibagi menurut berat ringannya dalam dua golongan
besar, yaitu infeksi berat dan infeksi ringan.
- Infeksi berat (major infection): sepsis neonatal, meningitis, pneumonia, diare
epidemik, pielonefritis, osteitis akut, tetanus neonatorum.
- Infeksi ringan (minor infection): infeksi pada kulit, oftalmia neonatorum, infeksi
umbilicus, moniliasis.

a. Sepsis Neonatorum
Sepsis neonatorum sering didahului oleh keadaan hamil dan persalinan
sebelumnya dan merupakan infeksi berat pada neonatuss dengan gejala-gejala
sistemik.
Faktor resiko:
- Persalinan lama
- Persalinan dengan tindakan
- Infeksi / febris pada ibu
- Air ketuban bau, keruh
- KPD > 12 jam

12
- Prematuritas & BBLR
- Fetal distress
Tanda & gejala:
- Refleks hisap lemah
- Bayi tampak sakit, tidak aktif, tampak lemah
- Hipotermia atau hipertermia
- Merintih
- Dapat disertai kejang, pucat, atau ikterus
Prinsip pengobatan:
- Penggunaan antibiotika secara IV : Ampisilin 200 mg/kg/hr 3-4x
pemberian & gentamisin 5 mg/kg/hr 2x pemberian atau
Kloramfenikol 25 mg/kg /hr 3-4x pemberian
- Pemeriksaan laboratorium urin
- Biakan darah dan uji resistensi
b. Meningitis pada Neonatus
Tanda dan gejala:
- Sering didahului atau bersamaan dengan sepsis
- Kejang
- UUB menonjol
- Kaku kuduk
Pengobatan:
- Gunakan antibiotic yang mampu menembus sawar darah otak
diberikan minimal 3 minggu
- Pungsi lumbal
c. Sindrom Aspirasi Mekonium
SAM terjadi di intrauterin akibat inhalasi mekonium dan sering sebabkan
kematian terutama pada BBLR karena refleks menelan dan batuk belum sempurna
Gejala:
- Pada waktu lahir ditemukan meconium staining
- Letargia
- Malas minum
- Apneu neonatal
- Dicurigai bila ketuban keruh atau bau
- Rhonki (+)

13
Pengobatan:
- Laringoskop direct segera setelah lahir bila terdapat meconium
staining dan lakukan suction bila terdapat mekonium pada jalan
nafas.
- Bila setelah suction rhonki tetap ada, pasang ET
- Bila setelah suction rhonki hilang, lakukan resusitasi
- Terapi antibiotika spectrum luas
- Cek darah rutin, BGA, GDS, foto baby gram
d. Osteitis akut
Merupakan infeksi yang disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus
Gejala :
- Suhu tubuh tinggi
- Bayi tampak sakit berat
- Terdapat pembengkakan dan bayi menangis saat bagian yang
terkena digerakkan, biasanya pada maksila dan pelvis
- Lokal ditemukan pus pada aspirasi
Pengobatan :
- Pemberian antibiotika : kloksasilin 50 mg/kg BB/hr scr parenteral
e. Tetanus Neonatorum
Etiologi:
- Perawatan tali pusat yang tidak steril
- Pembantu persalinan yang tidak steril
Gejala:
- Bayi yang semula dapat menyusu menjadi kesulitan karena kejang
otot rahang dan faring
- Mulut mencucu seperti ikan (trismus)
- Kekakuan otot menyeluruh (perut keras seperti papan) dan
epistotonus
- Tangan mengepal (boxer hand)
- Kejang
- Kadang disertai sesak dan wajah bayi membiru
Tindakan:
- Berikan antikonvulsan dan bawa ke RS
- Pasang O2 saat serangan atau bila ada tanda-tanda hipoksia

14
- Pasang IV line dan OGT
- Pemberian ATS 3000-6000 unit IM
- Penisilin prokain G 200000 unit / KgBB / 24 jam IV selama 10
hari
- Rawat tali pusat
- Observasi dilakukan dengan mengurangi sekecil mungkin
terjadinya rangsangan
f. Oftalmia neonatorum
Merupakan infeksi mata yang disebabkan oleh kuman Neisseria
gonorrhoeae saat bayi melewati jalan lahir.
Dibagi menjadi 3 stadium:
- Stadium infiltratif
Berlangsung 1-3 hari. Palpebra bengkak, hiperemi, blefarospasme,
bisa terdapat pseudomembran.
- Stadium supuratif
Berlangsung 2-3 minggu. Gejala tidak begitu hebat, terdapat sekret
bercampur darah, yang khas sekret akan muncrat dengan
mendadak saat palpebra dibuka.
- Stadium konvalesen
Berlangsung 2-3 minggu. Sekret jauh berkurang, gejala lain tidak
begitu hebat lagi.
Penatalaksanaan:
- Bayi harus diisolasi
- Bersihkan mata dengan larutan garam fisiologis sampai lendir
hilang, keringkan dengan kasa steril
- Beri salep mata antibiotik tiap 15 menit pada jam pertama,
kemudian dilanjutkan diberikan setiap jam selama 3 hari
- Penisilin prokain 50000 unit/KgBB IM pada anterolateral paha. 8
g. Infeksi Umbilikus
Merupakan infeksi pd pangkal umbilikus yang disebabkan oleh infeksi
Staphylococcus aureus.
Gejala :
- Tanda radang (+) dan bernanah
- Pada keadaan berat dapat menjalar ke hepar

15
- Pada keadaan kronik dapat terjadi granuloma
Pengobatan :
- Berikan salep yang mengandung neomisin & basitrasin, serta salep
gentamisin
- Bila terdapat granuloma, berikan Argentinitras 3%
Pencegahan :
- Perawatan tali pusat yang baik
o Tali pusat ditutup dengan kasa steril & diganti setiap hari

E. Pencegahan
Prinsip pencegahan infeksi antara lain:
- Berikan perawatan rutin kepada bayi baru lahir
- Cuci tangan atau gunakan pembersih tangan beralkohol
- Gunakan teknik aseptic
- Berhati-hati dengan instrument tajam dan bersihkan atau
desinfeksi instrument dan peralatan
- Bersihkan unit perawatan khusus bayi baru lahir secara rutin
- Pisahkan bayi infeksius untuk mencegah infeksi nosokomial.8,10

16
III. Hiponatremia

A. Fisiologi Natrium
Natrium adalah kation terbanyak dalam cairan ekstrasel, jumlahnya bisa mencapai
60 mEq per kilogram berat badan dan sebagian kecil (sekitar 1014 mEq/L) berada dalam
cairan intrasel. Lebih dari 90% tekanan osmotik di cairan ekstrasel ditentukan oleh garam
yang mengandung natrium, khususnya dalam bentuk natrium klorida (NaCl) dan natrium
bikarbonat (NaHCO3) sehingga perubahan tekanan osmotik pada cairan ekstrasel
menggambarkan perubahan konsentrasi natrium. 14
Perbedaan kadar natrium intravaskuler dan interstitial disebabkan oleh
keseimbangan GibbsDonnan, sedangkan perbedaan kadar natrium dalam cairan ekstrasel
dan intrasel disebabkan oleh adanya transpor aktif dari natrium keluar sel yang bertukar
dengan masuknya kalium ke dalam sel (pompa Na+ K+). 16
Jumlah natrium dalam tubuh merupakan gambaran keseimbangan antara natrium
yang masuk dan natrium yang dikeluarkan. Pemasukan natrium yang berasal dari diet
melalui epitel mukosa saluran cerna dengan proses difusi dan pengeluarannya melalui
ginjal atau saluran cerna atau keringat di kulit. Pemasukan dan pengeluaran natrium
perhari mencapai 48-144 mEq. Tabel 1 menunjukkan kadar elektrolit dalam cairan
intrasel dan ekstrasel. 14

Tabel 1. Kadar Elektrolit dalam Cairan Ekstrasel dan Intrasel


Jumlah natrium yang keluar dari traktus gastrointestinal dan kulit kurang dari
10%. Cairan yang berisi konsentrasi natrium yang berada pada saluran cerna bagian atas
hampir mendekati cairan ekstrasel, namun natrium direabsorpsi sebagai cairan pada

17
saluran cerna bagian bawah, oleh karena itu konsentrasi natrium pada feses hanya
mencapai 40 mEq/L. Keringat adalah cairan hipotonik yang berisi natrium dan klorida.
Kandungan natrium pada cairan keringat orang normal rerata 50 mEq/L.
Ekskresi natrium terutama dilakukan oleh ginjal. Pengaturan eksresi ini dilakukan
untuk mempertahankan homeostasis natrium, yang sangat diperlukan untuk
mempertahankan volume cairan tubuh. Natrium difiltrasi bebas di glomerulus,
direabsorpsi secara aktif 60-65% di tubulus proksimal bersama dengan H 2O dan klorida
yang direabsorpsi secara pasif, sisanya direabsorpsi di lengkung henle (25-30%), tubulus
distal (5%) dan duktus koligentes (4%). Sekresi natrium di urine <1%. Aldosteron
menstimulasi tubulus distal untuk mereabsorpsi natrium bersama air secara pasif dan
mensekresi kalium pada sistem renin-angiotensin-aldosteron untuk mempertahankan
elektroneutralitas. 14
B. Nilai Rujukan Natrium
Nilai rujukan kadar natrium pada:
- Serum bayi : 134-150 mmol/L
- Serum anak dan dewasa : 135-145 mmol/L
- Urine anak dan dewasa : 40-220 mmol/24 jam
- Cairan serebrospinal : 136-150 mmol/L
- Feses : < 10 mmol/hari

C. Hiponatremia
a. Definisi
Hiponatremia didefinisikan sebagai serum Na 135 mmol/l. Hiponatremia
dilaporkan memiliki insiden dalam praktek klinis antara 15 dan 30%. 15
b. Etiologi dan Klasifikasi
Penyebab hiponatremia diklasifikasikan menurut status cairan pasien
(euvolemik,hipovolemik, atau hypervolaemic). Pseudohiponatremia ditemukan
ketika ada pengukuran natrium rendah karena lipid yang berlebihan atau protein
dalam plasma, atau karena hiperglikemia, dimana pergerakan air bebas terjadi ke
dalam ruang ekstraselular dalam menanggapi akumulasi glukosa ekstraseluler. 16
Ada tiga penyebab utama hypervolaemic hiponatremia: congestive cardiac
failure (CCF), gagal ginjal dan sirosis hati. Dalam kasus ini jumlah natrium tubuh
meningkat tetapi jumlah total air dalam tubuh tidak proporsional lebih besar
mengarah ke hiponatremia dan edema. Penurunan curah jantung di CCF

18
menyebabkan penurunan aliran darah ginjal, merangsang produksi ADH dan
resorpsi air di collecting ducts. Penurunan aliran darah ginjal juga merangsang
sistem reninangiotensin, menyebabkan retensi natrium dan air. Hiponatremia di
CCF juga dapat diperburuk oleh penggunaan diuretik. Ini telah ditunjukkan dalam
beberapa penelitian bahwa hiponatremia di CCF adalah faktor prognosis yang
buruk. 15
Sirosis hati merupakan salah satu faktor menyebabkan hiponatremia. Ini
termasuk pengurangan volume sirkulasi, hipertensi portal menyebabkan ascites,
dan kegagalan hati untuk metabolisme zat vasodilatasi. Perubahan ini
mengakibatkan stimulasi sistem renin-angiotensin dan retensi natrium dan air.
Hiponatremia terjadi karena konsumsi berlebihan air dan ekskresi natrium yang
relatif lebih rendah (seperti pada pelari maraton), tetapi mekanisme lain yang
dijelaskan dalam literature lain meliputi peningkatan ADH, dan menurunnya
motilitas usus. 17
Tabel 2. Klasifikasi hiponatremia
Euvolaemic Hypovolaemic Hypervolaemic Other
SIADH GIT loss: CCF Hyperglycaemia
Psychogenic Diarrhoea and Liver cirrhosis Mannitol
polydipsia vomiting Nephrotic syndrome administration
Bowel obstruction
sepsis
Renal loss:
Addisons disease
Renal tubular
acidosis
Salt wasting
nephropathy
Diuretic use cerebral
salt wasting

c. Manifestasi klinis
Gejala-gejala dan tanda-tanda hiponatremia dapat sangat halus dan non
spesifik (lihat Tabel 3). Hal ini penting untuk menentukan apakah hiponatremia ini
akut (memburuk dalam 48 jam) atau kronis (memburuk dalam 48 jam).

19
Tingkat toleransi natrium jauh lebih rendah jika hiponatremia berkembang
menjadi kronis. Etiologi hiponatremia harus dipertimbangkan ketika melakukan
anamnesa dan melakukan pemeriksaan pasien, misalnya cedera kepala, bedah
saraf, abdominal symptoms and signs, pigmentasi kulit (terkait dengan penyakit
Addison), riwayat obat, dll. Status cairan pasien sangat penting untuk diagnosis
dan pengelolaan selanjutnya. 15
Tabel 3. Gambaran klinis dari hiponatremia
Severity Expected plasma sodium Clinical features
Mild 130 135 mmol/ l Often no features, or, anorexia, headache, nausea,
vomiting, lethargy

Moderat 120 129 mmol/ l Muscle cramps, muscle weakness, confusion, ataxia,
e personality change

Severe 120 mmol /l Drowsiness, reduced reflexes, convulsions, coma,


death

d. Tatalaksana
Tatalaksana hiponatremia harus dipertimbangkan dari kronisitasnya,
keseimbangan cairan pasien, dan potensi etiologinya. Dalam hiponatremia akut
(durasi 48 jam), pengobatan yang cepat dan koreksi natrium disarankan untuk
mencegah edema serebral. Hal ini berbeda dengan hiponatremia kronis, di mana
koreksi harus lambat untuk mencegah central pontine myelinolysis yang dapat
menyebabkan kerusakan saraf permanen. Target yang harus dicapai untuk
meningkatkan natrium ke tingkat yang aman ( 120 mmol / l). Natrium tidak
harus mencapai level normal dalam 48 jam pertama.
Central pontine myelinolysis adalah suatu kondisi dimana terjadi
demielinasi fokus di daerah pons dan extrapontine. Hal ini menyebabkan dampak
serius dan ireversibel gejala sisa neurologis yang cenderung dilihat satu sampai
tiga hari setelah natrium telah diperbaiki.
Pada pasien dengan hiponatremia akut dan gejala sisa neurologis (kejang
atau koma) pengobatan dapat dimulai dengan 3% saline. Tidak ada konsensus
universal untuk penggunaan atau dengan rezim yang harus diberikan: bisa dimulai
pada 1-2 ml / kg / jam dengan pengukuran rutin natrium serum, urin dan status

20
kardiovaskular. Disarankan agar natrium dikoreksi tidak lebih dari 8 mmol dalam
24 jam. Furosemide juga dapat digunakan untuk mengeluarkan air yang
berlebihan.
Hiponatremia hipovolemik terkait penyakit Addison harus ditangani
dengan saline isotonik dan menggunakan hormon pengganti dengan hidrokortison.
Pasien-pasien ini dapat memerlukan sejumlah besar penggantian cairan ketika
mereka berada dalam keadaan krisis. Hiponatremia kronis dapat diobati dengan
menghilangkan penyebab (misalnya diuretik) dan pembatasan cairan menjadi
sekitar 500-800 ml / hari. Vasopresin antagonis reseptor adalah kelompok baru
obat untuk pengobatan hiponatremia. Mereka bekerja dengan menghalangi
pengikatan ADH (AVP - arginin vasopressin) di nefron distal, sehingga
mempromosikan ekskresi air bebas. Tolvaptan adalah salah satu obat tersebut dan
telah terbukti efektif meningkatkan natrium serum pada euvolemik atau
hypervolaemic hiponatremia kronis. 15
Dapat diberikan NaCl:
1. Na+ > 125 mg/L -> restriksi cairan
2. Na+ < 120 mg/L -> NaCl 3%: (140-X) x BB x 0,6= mEq
3. Pediatrik: 1,5-2,5 mg/kgBB

21
DAFTAR PUSTAKA

1. F. Gary Cunningham., Kenneth J. L., Stephen L. B., Dwight J. Rouse., John C. H.,
Catherine Y. Spong. 2010. Fetal Growth Diorder Dalam : EBook Williams Obstetric.
23st edition. New York : Mc graw Hill
2. Current : Pediatric Diagnosis and Treatment: Neonatal Intensive Care, page 22-30.
Edition 15 Th 2001 Mc Graw Hill Companies.
3. Markum A.H. Prematuritas dan Retardasi Pertumbuhan Intrauterine. Dalam: Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Anak, jilid I, cet.3, Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 1996; 221-36
4. Wood David and Malan Atties : Notes On The Newborn Infant Fifth Edition.1996.
5. Rudolfs Fundamental Of Pediatric, Page 161-164 Mc Graw Hill Companies 2002.
6. Stell BJ. The-High Risk Infant. Nelson Textbook of Pediatrics 19th edition. Dalam
Kliegman RM, editor. Philadelphia, USA: Saunders 2011.
7. S a i f u d d i n , A B , A d r i a n z , G . M a s a l a h B a y i B a r u L a h i r . D a l a m : B u k u
A c u a n Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal; edisi ke-1.
Jakarta :yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2000;376-8.
8. IDAI. Buku Ajar Neonatologi Edisi Pertama. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2010
9. Rennie MJ, Roberton NRC. A manual of neonatal intensive care; edisi ke-4.
London:Arnold, 2002; 62-88.
10. Ann L, Ted R. Neonatal Sepsis. 2011. Avalaible
at http://emedicine.medscape.com/article/964312 accessed at Oktober 10th, 2011
11. Aminullah A. Masalah Terkini Sepsis Neonatorum. Dalam : Update in Neonatal
Infection. Pendidikan Berkelanjutan IKA XL VIII.Jakarta 2005:1-13
12. Camilia R.M, Cloherty J.P. Neonatal hyperbilirubinemia. Dalam: Cloherty J.P et al

Manual of Neonatal Care 5th Ed., Lippincott Williams & Wilkins, 2004 : 185-221.
13. Depkes RI. 2001. Klasifikasi Ikterus Fisiologis dan Ikterus Patologis. Dalam : Buku
Bagan MTBM (Manajemen Terpadu Bayi Muda Sakit). Metode Tepat Guna untuk
Paramedis, Bidan dan Dokter. Depkes RI.
14. . Yaswir R, Ferawati I. Fisiologi dan Gangguan Keseimbangan Natrium, Kalium, dan
Klorida, serta Pemeriksaan Laboratorium. Jurnal Kesehatan Andalas 2012; 1(2) : 80-
84.
15. 2. The College of Emergency Medicine and Doctors. 2011. Diakses dari:
<http://collemergencymed.ac.uk >. [08 Januari 2015].
16. 3. Wang N, Ewen MD. Management of Electrolyte Emergencies in Hospital Physician
Board Review Manual. Turner White. 2006; 8(3) : 1-12.
17. 4. Lobo DN, Lewington AJP, Allison SP. Disorders of Sodium, Potassium, Calcium,
Magnesium, and Phosphate. In: Basic Concepts of Fluid and Electrolyte Therapy.
2013, hal 101-112.

22
23

You might also like