You are on page 1of 5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Asfiksia neonatorum adalah keadaan gawat bayi yang tidak dapat bernafas
spontan dan teratur, sehingga dapat meurunkan oksigen dan makin meningkatkan
karbon dioksida yang menimbulkan akibat buruk dalam kehidupan lebih lanjut
(Manuaba, 2007).
B. Klasifikasi Asfiksia
Berdasarkan nilai APGAR (Appearance, Pulse, Grimace, Activity, Respiration)
asfiksia diklasifikasikan menjadi 4, yaitu:
1. Asfiksia berat dengan nilai APGAR 0-3
2. Asfiksia ringan sedang dengan nilai APGAR 4-6
3. Bayi normal atau sedikit asfiksia dengan nilai APGAR 7-9
4. Bayi normal dengan nilai APGAR 10 (Ghai, 2010)
Nilai APGAR (Ghai, 2010)
Nilai 0 1 2 Nafas Tidak ada Tidak teratur Teratur Denyut jantung Tidak ada <100
>100 Warna kulit Biru atau pucat Tubuh merah jambu & kaki, tangan biru. Merah
jambu Gerakan/tonus otot Tidak ada Sedikit fleksi Fleksi Reflex (menangis) Tidak
ada Lemah/lambat Kuat
C. Etiologi dan Faktor Risiko Asfiksia
Beberapa kondisi tertentu pada ibu hamil dapat menyebabkan gangguan sirkulasi
darah uteroplasenter sehingga pasokan oksigen ke bayi menjadi berkurang yang
mengakibatkan hipoksia bayi di dalam rahim dan dapat berlanjut menjadi asfiksia
bayi baru lahir. Beberapa faktor tertentu diketahui dapat menjadi penyebab terjadinya
asfiksia pada bayi baru lahir, diantaranya adalah (Gomella, 2009):
1. Faktor ibu
a. Pre-eklampsi dan eklampsi
b. Pendarahan abnormal (plasenta previa atau solusio plasenta)
c. Kehamilan Lewat Waktu (sesudah 42 minggu kehamilan)
d. Partus lama (rigid serviks dan atonia/ insersi uteri).
e. Ruptur uteri yang memberat, kontraksi uterus yang terus-menerus
mengganggu sirkulasi darah ke plasenta.
f. Perdarahan banyak: plasenta previa dan solutio plasenta (Gomella, 2009).
2. Faktor Tali Pusat
a. Lilitan tali pusat
b. Tali pusat pendek
c. Simpul tali pusat
d. Prolapsus tali pusat(Gomella, 2009).
3. Faktor Bayi
a. Bayi prematur (sebelum 37 minggu kehamilan)
b. Persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar, distosia bahu, ekstraksi
vakum, ekstraksi forsep)
c. Kelainan bawaan (kongenital)
d. Air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan) (Gomella, 2009 &
Toweil 1966)
D. Patofisiologi Asfiksia pada Pre-eklampsi
Ibu yang mengalami pre-eklampsi cenderung akan melahirkan bayi yang
asfiksia. Sesuai yang diungkapkan oleh Cunningham (2005) disfungsi endotel akan
mengakibatkan gangguan keseimbangan antara kadar hormon vasokonstriktor
(endotelin, tromboksan, angiotensin) dan vasodilator (nitritoksida, prostasiklin).
Vasokonstriksi yang meluas menyebabkan hipertensi (Cunningham, 2005). Pada
ginjal juga mengalami vasokonstriksi pembuluh darah sehingga menyebabkan
peningkatan plasma protein melalui membran basalis glomerulus yang akan
menyebabkan proteinuria.
Vasokonstriksi pembuluh darah mengakibatkan kurangnya suplai darah ke
plasenta sehingga terjadi hipoksia janin. Akibat lanjut dari hipoksia janin adalah
gangguan pertukaran gas antara oksigen dan karbon dioksida sehingga terjadi asfiksia
neonatorum (Winkjosastro, 2007).
Pengembangan paru bayi baru lahir terjadi pada menit-menit pertama
kemudian disusul dengan pernapasan teratur dan tangisan bayi. Proses perangsangan
pernapasan ini dimulai dari tekanan mekanik dada pada persalinan, disusul dengan
keadaan penurunan tekanan oksigen arterial dan peningkatan tekanan karbon dioksida
arterial, sehingga sinus karotikus terangsang terjadinya proses bernapas. Bila
mengalami hipoksia akibat suplai oksigen ke plasenta menurun karena efek hipertensi
dan proteinuria sejak intrauterin, maka saat persalinan maupun pasca persalinan
berisiko asfiksia (Winkjosastro, 2007).
Pada awal proses kelahiran setiap bayi akan mengalami hipoksia relatif dan
akan terjadi adaptasi akibat aktivitas bernapas dan menangis. Apabila proses adaptasi
terganggu, maka bayi bisa dikatakan mengalami asfiksia yang akan berefek pada
gangguan sistem organ vital seperti jantung, paru-paru, ginjal dan otak yang
mengakibatkan kematian (Manuaba, 2008).
E. Manifestasi klinis Asfiksia
1. Denyut jantung janin lebih dari 1OOx/mnt atau kurang dari lOOx/menit dan tidak
teratur
2. Mekonium dalam air ketuban ibu
3. Apnoe
4. Pucat
5. Sianosis
6. Penurunan kesadaran terhadap stimulus
7. Kejang (Ghai, 2010)
F. Diagnosis Asfiksia
Anamnesis diarahkan untuk mencari faktor risiko terhadap terjadinya asfiksia
neonatorum.
1. Gangguan/ kesulitan waktu lahir.
2. Cara dilahirkan.
3. Ada tidaknya bernafas dan menangis segera setelah dilahirkan (Ghai, 2010).
4. Bayi tidak bernafas atau menangis.

Pemeriksaan fisik

1. Denyut jantung kurang dari 100x/menit.


2. Tonus otot menurun.
3. Bisa didapatkan cairan ketuban ibu bercampur mekonium, atau sisa mekonium
pada tubuh bayi.
4. BBLR (berat badan lahir rendah) (Ghai, 2010).

Laboratorium: hasil analisis gas darah tali pusat menunjukkan hasil asidosis pada
darah tali pusat jika: Pemeriksaan penunjang

1. PaO2 < 50 mm H2O


2. PaCO2 > 55 mm H2
3. pH < 7,30 (Ghai, 2010)
G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan secara umum pada bayi baru lahir dengan asfiksia menurut
Wiknjosastro (2005) adalah sebagai berikut:
1. Pengawasan suhu
Bayi baru lahir secara relatif kehilangan panas yang diikuti oleh penurunan suhu
tubuh, sehingga dapat mempertinggi metabolisme sel jaringan sehingga kebutuhan
oksigen meningkat, perlu diperhatikan untuk menjaga kehangatan suhu bayi baru
lahir dengan:
a. Mengeringkan bayi dari cairan ketuban dan lemak.
b. Menggunakan sinar lampu untuk pemanasan luar.
c. Bungkus bayi dengan kain kering.
2. Pembersihan jalan nafas
Saluran nafas bagian atas segera dibersihkan dari lendir dan cairan amnion,
kepala bayi harus posisi lebih rendah sehingga memudahkan keluarnya lendir.
3. Rangsangan untuk menimbulkan pernafasan
Rangsangan nyeri pada bayi dapat ditimbulkan dengan memukul kedua telapak
kaki bayi, menekan tendon achilles atau memberikan suntikan vitamin K. Hal ini
berfungsi memperbaiki ventilasi.
Menurut Perinasia (2006), Cara pelaksanaan resusitasi sesuai tingkatan asfiksia,
antara lain:

1. Asfiksi Ringan (Apgar score 7-10)


Caranya:
a. Bayi dibungkus dengan kain hangat
b. Bersihkan jalan napas dengan menghisap lendir pada hidung kemudian mulut
c. Bersihkan badan dan tali pusat.
d. Lakukan observasi tanda vital dan apgar score dan masukan ke dalam
inkubator.
2. Asfiksia sedang (Apgar score 4-6)
Caranya:
a. Bersihkan jalan napas.
b. Berikan oksigen 2 liter per menit.
c. Rangsang pernapasan dengan menepuk telapak kaki apabila belu ada reaksi,
bantu pernapasan dengan melalui masker (ambubag).
d. Bila bayi sudah mulai bernapas tetapi masih sianosis berikan natrium
bikarbonat 7,5%sebanyak 6cc. Dextrosa 40% sebanyak 4cc disuntikan
melalui vena umbilikus secara perlahan-lahan, untuk mencegah tekanan intra
kranial meningkat.
3. Asfiksia berat (Apgar skor 0-3)
Caranya:
a. Bersihkan jalan napas sambil pompa melalui ambubag.
b. Berikan oksigen 4-5 liter per menit.
c. Bila tidak berhasil lakukan ETT.
d. Bersihkan jalan napas melalui ETT.
e. Apabila bayi sudah mulai benapas tetapi masih sianosis berikan natrium
bikarbonat 7,5% sebanyak 6cc. Dextrosa 40% sebanyak 4cc.
H. Pencegahan Pencegahan secara Umum Pencegahan terhadap asfiksia neonatorum
Adalah dengan menghilangkan atau meminimalkan faktor risiko penyebab
asfiksia. Derajat kesehatan wanita, khususnya ibu hamil harus baik. Komplikasi saat
kehamilan, persalinan dan melahirkan harus dihindari. Upaya peningkatan derajat
kesehatan ini tidak mungkin dilakukan dengan satu intervensi saja karena penyebab
rendahnya derajat kesehatan wanita adalah akibat banyak faktor seperti kemiskinan,
pendidikan yang rendah, kepercayaan, adat istiadat dan lain sebagainya. Untuk itu
dibutuhkan kerjasama banyak pihak dan lintas sektoral yang saling terkait (Perinasia,
2006).
Pencegahan saat persalinan Pengawasan bayi yang seksama sewaktu
memimpin partus adalah penting, juga kerja sama yang baik dengan Bagian Ilmu
Kesehatan Anak.Yang harus diperhatikan :
1. Hindari forceps tinggi, versi dan ekstraksi pada panggul sempit, sertapemberian
pituitarin dalam dosis tinggi.
2. Bila ibu anemis, perbaiki keadaan ini dan bila ada perdarahan berikan oksigen
dan darah segar.
3. Jangan berikan obat bius pada waktu yang tidak tepat, dan jangan menunggu
lama pada kala II (Perinasia, 2006).

You might also like