You are on page 1of 9

Radiology Musculoskeletal

Teknik ABCS

Adequency: pada radiografi muskuloskeletal yang adekuat, dapat di bedakan korteks, dan
medula tulang, terlihat trabekula, dan jaringan lunak
Aligenment: di nilai kesegarisan antara tulang satu dengan yang lain pada persendian
Bones: dinilai bentuk, ukuran, batass, kontur dan densitas tulang
Cartilage: dinilai tulang rawan dan persendian
Soft tissues: di periksa adanya benda asing, pembengkakan, klasifikasi, penulangan

Teknik foto
Bila secara klinis di duga adanya fraktur harus di buar 2 foto, yaitu Anterior pasterior dan lateral
(AP/LAT) bila tidak mungkin misalnya keadaan umum pasien tidak mengizinkan maka di buat 2
proyeksi tegak lurus satu sama lain. persendian proksimal dan distal harus tampak pada foto.

Interpretasi foto X-Ray


Periksa adanya benda asing
Posisi fraktur
Sebatang tulang panjang terbagi menjadi 3 bagian, (bayangkan tulang panjang di bagi 3
bagian) yaitu :
1/3 Proximal (1/3 bagian atas)
1/3 Medial (1/3 bagian tengah)
1/3 Distal (1/3 bagian bawah)

pada kasus fraktur, hal yang perlu di deskripsikan adalah: EFER

Enveronment (berdasarkan adanya luka/kontak dengan lingkungan):


Fraktur Terbuka: Bila terdapat luka dimana fragmen tulang mendesak ke otot dan kulit
sehingga adanya hubungan dengan dunia luar
Fraktur Tertutup: Dimana fraktur tidak disertai dengan adanya robekan jaringan kulit
sehingga ujung ujung fragmen yang patah tidak langsung berhubungan dengan dunia luar.

Fracture line (bentuk garis fatahannya):


Fraktur Transversal, fraktur yang memotong lurus pada tulang.
Greenstik, fraktur dimana satu sisi tulang retak dan sisi lainnya bengkok.
Fraktur Spiral, fraktur yang berputar mengelilingi tungkai tulang.
Fraktur Obliq / miring, fraktur yang arahnya membentuk sudut melintasi tulang.
Fraktur Segmental, fraktur dimana tulang terpecah menjadi beberapa bagian.
Fraktur Depresi, fraktur yang terjadi pada sebagian atau beberapa bagian tulang yang tidak
dapat digerakan (banyak dijumpai pada tulang tengkorak dan tulang muka).
Fraktur Kompresi, fraktur dimana permukaan tulang terdorong kearah permukaan tulang
lain.
Fraktur Avulsi, fragmen tulang tertarik oleh ligamen.
Fraktur Dislokasi, fraktur dengan komplikasi keluarnya atau terlepasnya tulang dari sendi.

Extend (luas frakture)


Fraktur In-komplit, meliputi hanya sebagian retakan pada sebelah sisi tilang, sebagian lagi
biasanya hanya retak.
Fraktur Komplit, garis fraktur menyilang atau memotong seluruh tulang dan fragmen
fragmen tulangnya biasanya tergeser.

Relationship (hubungan) bergeser atau tidak: kalau bergeser displaced, kalau tidak bergeser non
displaced

Spinal Cord Injury

A. Pengertian
Cidera tulang belakang adalah cidera mengenai cervikalis, vertebralis, dan lumbalis akibat
trauma; jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan lalu lintas (Sjamsuhidayat,
1997).
Spinal cord injury (SCI) adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang seringkali disebabkan
oleh kecelakaan lalu lintas. Efek dari spinal cord injury tergantung pada jenis luka dan tingkat
dari cedera. Akibat yang ditimbulkan karena cedera SCI bervariasi, dan yang terparah bisa
sampai mengakibatkan hilangnya fungsi motorik dan sensorik serta kehilangan fungsi defekasi
dan berkemih (Fransisca, 2008).
Cidera medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan oleh benturan
pada medula spinalis (Brunner & Suddart, 2001)

B. Klasifikasi

Cidera medulla spinalsi dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi cedera, antara lain:

Cidera Servikal

Lesi C1 C4

Pada lesi C1 C4, otot trapezius, sternomastoideus dan otot plasma masih berfungsi.
Otot diafragma dan interkostal mengalami paralisis dan tidak ada gerakan involunter
(baik secara fisik maupun fungsional). Dibawah transeksi spinal tersebut, kehilangan
sensori pada tingkat C1 C3 meliputi oksipital, telinga dan beberapa daerah wajah.
Pasien pada qudriplegia C1, C2, dan C3 membutuhkan perhatian penuh karena
ketergantungan pada/terhadap ventilator mekanis. Pasien ini juga ketergantungan
semua kebutuhan sehari-harinya. Quadriplegia pada C4 mungkin juga membutuhkan
ventilator mekanis tetapi dapat dilepas. Jadi penggunaannya secara intermitten saja.

Lesi C5

Bila segmen C5 medulla spinalis mengalami kerusakan, fungsi diafragma rusak


sekunder terhadap pascatrauma akut. Paralisis intertinal dan dilatasi lambungdapat
disertai dengan depresi pernafsan. Quadriplegia pada C5 biasanya mengalami
ketergantungan dalam melakukan aktivitas seperti mandi, menyisir rambut, mencukur
teapi pasien mempunyai koodinasi tangan dan mulut yang baik.

Lesi C6

Pada lesi segmen C6, distress pernafasan dapat terjadi karena paralisis intestinal dan
edema asenden dari medulla spinalis. Biasanyaakan terjadi gangguan pada otot bisep,
triep, deltoid dan pemulihannya tergantung pada perbaikan posisi lengan. Umumnya
pasien masih dapat melakukan aktivitas higiene secara mandiri, bahkan masih dapat
memakai dan melepaskan baju.

Lesi C7

Lesi medulla pada tingkat C7 memungkinkan otot diafragma dan aksesoris untuk
mengkompensasi otot abdomen dan interkostal. Fleksi jari tangan biasanya berlebihan
ketika kerja refleks kembali. Quadriplegia C7 mempunyai potensi hidup mandiri tanpa
perawatandan perhatian khusus. Pemindahan mandiri, seperti berpakaian dan melepas
pakaian melalui ekstrimitas atas dan bawah, makan, mandi, pekerjaan rumah yang
ringan dan memasak.

Lesi C8

Hipotensi postural bisa terjadi bila pasien ditinggikan pada posisi duduk karena
kehilangan control vasomotor. Hipotensi postural dapat diminimalkan dengan pasien
berubah secara bertahap dari berbaring ke posisi duduk. Jari tangan pasien biasanya
mencengkram.Quadriplegia C8 harus mampu hidup mandiri, mandiri dalam berpakaian,
melepaskan pakaian, mengemudikan mobil, merawatrumah, dan perawatan diri.
Cidera Thorakal

Lesi T1 T5

Lesi pada region T1-T5 dapat menyebabkan pernafasan dengandiafragmatik. Fungsi


inspirasi paru meningkat sesuai tingkat penurunan lesi pada toraks. Hipotensi postural
biasanya muncul.Timbul paralisis parsial dari otot adductor pollici, interoseus, dan
ototlumrikal tangan, seperti kehilangan sensori sentuhan, nyeri, dan suhu.

Lesi T6 T12

Lesi pada tingkat T6 menghilangkan semua refleks adomen.Dari tingkat T6 ke bawah,


segmen-segmen individual berfungsi, dan pada tingkat 12, semua refleks abdominal
ada. Ada paralisis spastik pada tubuh bagian bawah. Pasien dengan lesi pada tingkat
torakalharus befungsi secara mandiri.

Batas atas kehilangan sensori pada lesi thorakal adalah:

T2 : Seluruh tubuh sampai sisi dalam dari lengan atas.

T3 : Aksilla.

T5 : Putting susu.

T6 : Prosesus xifoid.

T7, T8 : Margin kostal bawah.

T10 : Umbilikus.

T12 : Lipat paha

Cidera Lumbal

Kehilangan sensori lesi pada lumbal, antara lain:

Lesi L1

Semua area ekstrimitas bawah, menyebar ke lipat paha& bagian belakang dari bokong.

Lesi L2

Ekstrimitas bagian bawah kecuali sepertiga atas aspek anterior paha

Lesi L3
Ekstrimitas bagian bawah dan daerah sadel.

Lesi L4

Sama dengan L3, kecuali aspek anterior paha.

Lesi L5

Aspek luar kaki dan pergelangan kaki serta ekstrimitas bawah dan area sadel

Cidera Sakral

Pada lesi yang mengenai S1-S5, mungkin terdapat beberapa perubahan posisi dari telapak kaki.
Dari S3-S5, tidak terdapat paralisisdari otot kaki. Kehilangan sensasi meliputi area sadel,
skrotum, danglans penis, perineum, area anal, dan sepertiga aspek posterior paha.

Klasifikasi berdasarkan keparahan:

Klasifikasi Frankel:

Grade A : motoris (-), sensoris (-)

Grade B : motoris (-), sensoris (+)

Grade C : motoris (+) dengan ROM 2 atau 3, sensoris (+)

Grade D : motoris (+) dengan ROM 4, sensoris (+)

Grade E : motoris (+) normal, sensoris (+)

Klasifikasi ASIA (American Spinal Injury Association)

Grade A : motoris (-), sensoris (-) termasuk pada segmen sacral

Grade B : hanya sensoris (+)

Grade C : motoris (+) dengan kekuatan otot < 3

Grade D : Motoris (+) dengan kekuatan otot > 3

Grade E : motoris dan sensoris normal

C. Etiologi

Menurut Jones & Fix (2009) dan Brunner &Suddart (2001) ada beberapa penyebab dari spinal
cord injury (SCI), antara lain:
Trauma tumpul
Trauma tusuk
Spondilitis ankilosa
Artritis rheumatoid
Abses spinal dan tumor, khususnya limfoma dan mieloma multipel.
Kecelakaan lalu lintas/jalan raya.
Injuri atau jatuh dari ketinggian.

D. Tanda dan gejala

Menurut Jones & Fix (2009) ada beberapa tanda nda gejala dari SCI, antara lain:

1. Pada awalnya syok spinal: paralisis flaksid dengan penurunan atau tidak adanya aktivitas
refleks.
2. Hilangnya fungsi motorik sebagia/parsial di bawah level SCI (termasuk pergerakan
volunter & pergerakan melawan gravitasi atau tahanan).
3. Kehilangan fungsi sensori sebagian atau total di bawah level SCI (termasuk sentuhan,
suhu, nyeri, propriosepsi (misalnya; posisi)).
4. Pada awalnya peningkatan HR bradikardia; pada awalnya peningkatan TD
penurunan TD.
5. Nyeri akut di punggul atau leher, dapat menjalar di sepanjang saraf.
6. Refleks tendon dalam dan aktivitas refleks perianal abnormal.
7. Hilangnya keringat dan vagomotor.
8. Hilangnya refleks-refleks sensorik, motorik dan tendon dalam di bawah level cedera.
9. Retensi sekresi paru, menurun kapasitas vital, peningkatan PaCO , penurunan O gagal
2 2

nafas dan edema pulmonal.


10. Inkontenensia kemih dan usus dengan retensi urin dan distensi kandung kemih.
11. Ileus paralitik yang menyebabkan konstipasi dan/atau impaksi usus besar.
12. Hilangnya kontrol suhu hipertermia.
13. Berkeringat di atas level lesi.
14. Priapismus pada pria.

E. Patofisiologi

Cedera spinal cord terjadi akibat patah tulang belakang, dan kasus terbanyak cedera spinal cord
mengenai daerah servikal dan lumbal. Cedera dapat terjadi akibat hiperfleksi, hiperekstensi,
kompresi atau rotasi pada tulang belakang.

Fraktur pada cedera spinal cord dapat berupa patah tulang sederhana, kompresi, kominutif, dan
dislokasi. Sedangkan kerusakan pada cedera spinal cord dapat berupa memar, kontusio,
kerusakan melintang laserasi dengan atau tanpa gangguan peredaran darah, dan perdarahan.
Kerusakan ini akan memblok syaraf parasimpatis untuk melepaskan mediator kimia,
kelumpuhan otot pernapasan, sehingga mengakibatkan respon nyeri hebat dan akut anestesi.
Iskemia dan hipoksemia syok spinal, gangguan fungsi rektum serta kandung kemih. Gangguan
kebutuhan gangguan rasa nyaman nyeri, oksigen dan potensial komplikasi, hipotensi, bradikardia
dan gangguan eliminasi.

Temuan fisik pada spinal cord injury sangat bergantung pada lokasi yang terkena: jika terjadi
cedera pada C-1 sampai C-3 pasien akan mengalami tetraplegia dengan kehilangan fungsi
pernapasan atau sistem muskular total; jika cedera mengenai saraf C-4 dan C-5 akan terjadi
tetraplegia dengan kerusakan, menurunnya kapasitas paru, ketergantungan total terhadap
aktivitas sehari-hari; jika terjadi cedera pada C-6 dan C-7 pasien akan mengalami tetraplegia
dengan beberapa gerakan lengan atau tangan yang memungkinkan untuk melakukan sebagian
aktivitas sehari-hari; jika terjadi kerusakan pada spinal C-7 sampai T-1 seseorang akan
mengalami tetraplegia dengan keterbatasan menggunakan jari tangan, meningkat
kemandiriannya; pada T-2 sampai L-1 akan terjadi paraplegia dengan fungsi tangan dan berbagai
fungsi dari otot interkostal dan abdomen masih baik; jika terjadi cedera pada L-1 dan L-2 atau
dibawahnya, maka orang tersebut akan kehilangan fungsi motorik dan sensorik, kehilangan
fungsi defekasi dan berkemih (Fransisca, 2008).

F. Pemeriksaan Penunjang

Foto Polos Vertebra


Merupakan langkah awal untuk mendeteksi kelainan-kelainan yang melibatkan medula
spinalis, kolumna vertebralis dan jaringan di sekitarnya. Pada trauma servikal digunakan
foto AP, lateral, dan odontoid. Pada cedera torakal dan lumbal digunakan foto AP dan
lateral.
CT-scan Vertebra
Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan jaringan lunak, struktur tulang, dan kanalis
spinalis dalam potongan aksial. CT-Scan merupakan pilihan utama untuk mendeteksi
cedera fraktur pada tulang belakang.
MRI Vertebra
MRI dapat memperlihatkan seluruh struktur internal medula spinalis dalam sekali
pemeriksaan (Dewanto dkk, 2009).

H. Komplikasi

Beberapa komplikasi yang muncul akibat SCI, antara lain:

1. Perubahan tekanan darah, bisa menjadi ekstrim (autonomic hyperreflexia).


2. Komplikasi akibat imobilisasi:
a) Deep vein thrombosis
b) Infeksi pulmonal : atelektasis, pneumonia
c) Kerusakan integritas kulit : decubitus
d) Kontraktur
e) Peningkatan resiko injuri pada bagian tubuh yang mati rasa
f) Meningkatkan resiko gagal ginjal
g) Meningkatkan resiko infeksi saluran kemih
h) Hilangnya kontrol pada bladder
i) Hilangnya kontrol pada bowel
j) Kehilangan sensasi
k) Disfungsi seksual (impoten pada pria)
l) Spasme otot
m) Nyeri
n) Paralysis otot pernapasan
o) Paralysis (paraplegia, quadriplegia) (Fransisca, 2008; Brunner & Suddart, 2001)

I. Penatalaksanaan

1. Cidera pada cervikal


a) Immobilisasi sederhana
b) Traksi skeletal
c) Pembedahan untuk spinal dekompresi
2. Cidera pada thoracal dan lumbal
a) Immobilisasi pada lokasi fraktue
b) Hiperekstensi dan branching
c) Bed-rest
3. Obat: adrenal corticosteroid untuk mencegah dan mengurangi edemamedulla spinalis

Prinsip-prinsip utama penatalaksanaan traumaspinal:

Immobilisasi

Tindakan immobilisasi harus sudah dimulai dari tempatkejadian/kecelakaan sampai ke unit


gawat darurat.. Yang pertama ialahimmobilisasi dan stabilkan leher dalam posisi normal;
denganmenggunakan cervical collar. Cegah agar leher tidak terputar (rotation).Baringkan
penderita dalam posisi terlentang (supine) pada tempat/alasyang keras. Pasien diangkat/dibawa
dengan cara 4 men lift ataumenggunakan Robinsons orthopaedic stretcher.

Stabilisasi Medis
Terutama sekali pada penderita tetraparesis/etraplegia:
Periksa vital signs

Pasang nasogastric tube

Pasang kateter urin.

Segera normalkan vital signs.


Pertahankan tekanan darah yang normal dan perfusi jaringan yang baik. Berikan oksigen,
monitor produksi urin, bila perlu monitor AGD(analisa gas darah), dan periksa apa ada
neurogenic shock. Pemberianmegadose Methyl Prednisolone Sodium Succinate dalam
kurun waktu 6 jam setaleh kecelakaan dapat memperbaiki konntusio medula spinalis.
Mempertahankan posisi normal vertebra (Spinal Alignment)
Bila terdapat fraktur servikal dilakukan traksi dengan Cruthfield tongatau Gardner-Wells
tong dengan beban 2.5 kg perdiskus. Bila terjadidislokasi traksi diberikan dengan beban
yang lebih ringan, beban ditambahsetiap 15 menit sampai terjadi reduksi.
Dekompresi dan Stabilisasi Spinal
Bila terjadi realignment artinya terjadi dekompresi. Bilarealignment dengan cara
tertutup ini gagal maka dilakukan openreduction dan stabilisasi dengan
approachanterior atau posterior.
Rehabilitasi.
Rehabilitasi fisik harus dikerjakan sedini mungkin. Termasuk dalam program ini adalah
bladder training, bowel training, latihan otot pernafasan, pencapaian optimal fungsi
fungsi neurologik dan programkursi roda bagi penderita paraparesis/paraplegia.

You might also like