You are on page 1of 11

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki berbagai jenis tanah


yang tidak semuanya sesuai untuk budidaya baik tanaman pertanian maupun
perkebunan. Satu diantara jenis tanah di Indonesia yang tidak direkomendasikan
sebagai lahan pertanian maupun perkebunan yang potensial adalah tanah
Spodosol. Sekitar 2.16 juta ha Tanah Spodosol (1.1% dari luas daratan Indonesia)
ditemukan tersebar di dataran rendah dan juga dataran tinggi di Kalimantan,
Sumatera, Sulawesi dan Papua (Suharta dan Prasetyo, 2009).

Van Wambeke, 1992 menyatakan bahwa Spodosol adalah tanah mineral


yang mempunyai horison spodik yang batas atasnya berada di dalam 2 meter dari
permukaan tanah. Sementara Driessen dan Dudal, 1989 berpendapat bahwa
Spodosol juga dikenal sebagai tanah yang horison bawahnya mempunyai
kenampakan seperti abu, sebagai akibat dari pencucian asam organik yang kuat.
Pada prinsipnya Spodosols tersusun atas dua macam horison utama, yaitu horison
albik di bagian atas dan horison spodik di bagian bawah. Horison albik terbentuk
karena proses pencucian (elluviasi) yang intensif oleh asam organik sehingga
semua bahan-bahan mudah lapuk tercuci dan yang tertinggal hanyalah butir-butir
pasir kuarsa (Driessen dan Dudal, 1989). Horison ini merupakan tempat
terakumulasinya mineral-mineral yang tahan terhadap pelapukan (resisten) dan
bahan-bahan lainnya yang susah larut. Horison spodik terbentuk karena proses
podsolisasi, yang merupakan pergerakan larutan kompleks metal humus (chelate)
dari lapisan permukaan ke lapisan yang lebih dalam (cheluviation), kemudian
disusul oleh akumulasi (illuviasi) dari kelat Al dan Fe di horison spodik (Driessen
dan Dudal, 1989).

Spodosol atau yang lebih dikenal dengan Podzol adalah tanah dengan
cakra spomik B, cakrawala E albic dan tidak memiliki epipedon plagen, horizon
argilik dan horizon kandik, namun mungkin memiliki horizon sementasi seperti
fragipan, duripan atau plasenta (Staf Survei Tanah 2006). Distribusi Spodosol
terluas ada di bagian utara Rusia dan Kanada (Mc Keague dkk., 1983). Di
Indonesia,Spodosol didistribusikan di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan Papua,
dengan total luas sekitar 2,16 juta ha atau 1,1% dari luas daratan Indonesia
(Subagjo et al., 2000).

Tanah spodosol merupakan tanah yang miskin hara (Wiratmokoet al.


2007; Suharta dan Yatno, 2009). Hal ini dapat dilihat dari karakteristik kandungan
karbon (C) yang agak rendah (0,11-1,31%) dan agak tinggi (4,62%) pada horizon
spodik. Memiliki kandungan Nitrogen (N) rendah hingga agak rendah (0,10-
0,11%), rasio C/N agak rendah (0,10-0,11%) pada lapisan atas dan tinggi pada
lapisan spodik (46,2%). Memiliki fosfor (P) tersedia rendah (1-8 ppm) pada
seluruh lapisan, kapasitas tukar kation (KTK) tergolong rendah hingga sedang
pada seluruh horizon (7,64-14,98), kejenuhan basa (KB) rendah (1-3%) pada
seluruh lapisan, memiliki pH yang masam (pH 3,7-4,5) (Adiwiganda et al.1993).

Tanah spodosol memiliki dua faktor pembatas berat yang perlu menjadi
perhatian yaitu kedalaman lapisan spodik dan tekstur tanah berpasir. Kedalaman
lapisan spodik berkaitan dengan kemudahan akar dalam menembus tanah,
sedangkantekstur tanah berpasir akan mengakibatkan rendahnya kemampuan
tanah dalam menahan air dan peluang tercucinya hara juga semakin besar. Faktor
pembatas lain yang berpotensi dapat menghambat pertumbuhan tanaman ialah
drainase buruk dan kemasaman tanah (Wiratmokoet al. 2007; Kasno dan Subarja,
2010).
Tanah spodosol memiliki potensi yang tergolong rendah dan jarang
digunakan untuk usaha pertanian. Menurut Koedadiri et al.(1995), tanaman kelapa
sawit yang ditanam di lahan spodosol pada umur 9 tahun memiliki produktivitas
yang rendah yaitu hanya berkisar 5,4 ton TBS/ha/tahun. Namun demikian, banyak
pekebun yang tetap memaksakan untuk menanam kelapa sawit pada tanah jenis
ini. Untuk itu, diperlukan tindakan kultur teknis yang tepat, agar tanaman kelapa
sawit yang di tanam pada lahan spodosol dapat tumbuh dan berproduksi dengan
optimal.
BAB II
TANAH SPODOSOL
2.1 Karakteristik Tanah Ultisol
Profil Spodosol terdiri dari (1)horizon A, permukaan mineral organik
dengan warna gelap; (2) Horizon albic E, horizon eluviation dengan warna pucat;
(3) B horizon spodik, horizon iluviation dengan warna gelap atau hitam
kemerahan, terdiri dari bahan organik yang diperkaya oleh aluminium amorf
dengan atau tanpa besi; Dan (4) horizon C yang merupakan bahan induk berpasir
(Mc Keague et al 1983; Buurman et al 2007).
Horison A atau horison permukaan yang berwarna gelap (coklat sangat tua
hingga hitam) adalah horison yang kaya akan bahan organik. Akumulasi bahan
organik di horison A dihasilkan dari deposisi litter yang didukung oleh aktivitas
mikroorganisme dalam pelapukannya. Ketebalan horison A sangat bervariasi dari
beberapa cm hingga tigapuluhan cm, tergantung pada kondisi vegetasi di atasnya.
Pada kondisi hutan alami, ketebalan horison A dapat mencapai tigapuluhan cm,
sedangkan pada kondisi vegetasi alangalang atau sudah pernah diusahakan/diolah,
ketebalan horison A hanya beberapa cm atau bahkan tanpa horison A dan lapisan
permukaan berada langsung di atas horison E.
Sebuah horizon spodik terbentuk melalui transportasi Fe dan Al dengan
kompleks organik dari horizon permukaan ke horizon yang lebih dalam. Ada tiga
teori pembentukan horizon spodik. Pertama, teori fulvat, bahwa asam fulvat tak
jenuh di tanah bagian atas melarutkan Fe dan Al dari mineral primer atau sekunder
dan diendapkan di horizon bawah dengan rasio C / logam tertentu (Peterson 1976
di Buurman 1984). Kedua, teori alofan, bahwa dengan meningkatkan pH tanah,
Fe dan Al diangkut ke horizon B sebagai sol silikat bermuatan positif, di mana
mereka mengendap sebagai alofon amorf dan imogollit. Bahan organik akan
mengendap dengan alofan untuk membentuk horizon spodik (Farmer et al 1980
pada Buurman 1984). Ketiga, teori asam berat molekul rendah, bahwa asam-berat
molekul rendah berperan untuk pengangkutan Fe dan Al ke horizon yang lebih
rendah, dan presipitasi terjadi setelah penguraian carrier oleh mikroorganisme
(Lundstrom et al 1995 pada Buurman 1984) . Sols amorf Si-Al-Fe tidak stabil
dalam kondisi kompleks dengan asam organik, sehingga pembentukan horizon
spodik cenderung terjadi mengikuti teori pertama dan ketiga, sedangkan teori
kedua mungkin terjadi tetapi kemungkinannya kecil (Buurman dan van Reeuwijk
1984) . jurnal bahasa inggris
Dengan berbagai sifat fisika dan kimia yang menjadi karakteristiknya,
Spodosol dikategorikan sebagai tanah yang kurang subur baik untuk tanaman
pangan maupun perkebunan. Walaupun demikian, peluang pemanfaatan tanah
Spodosol untuk pengembangan komoditi perkebunan khususnya kelapa sawit
(Elaeis guineensis Jacq.) masih terbuka lebar dengan memanfaatkan teknologi
yang tepat dan dilakukan dengan pengawasan teknis yang baik. Pengawasan yang
baik harus dilakukan sehubungan dengan rekomendasi para ahli untuk menjadikan
tanah Spodosol sebagai lahan konservasi termasuk sifat tanah Spodosol yang
sangat mudah mengalami erosi terutama setelah dilakukan pembukaan lahan.
Dengan tingkat kesuburan tanah Spodosol yang rendah, pemilihan jenis tanaman
perkebunan yang akan diusahakan sangat bergantung pada kemampuan
adaptasinya. Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) memiliki
kemampuan adaptasi yang baik pada berbagai lingkungan termasuk pada kondisi
kesuburan tanah yang rendah. Sebagai tanaman yang mampu beradaptasi dengan
baik, kelapa sawit sangat toleran terhadap ketidaksesuaian dalam penanganannya
dan pertumbuhannya dapat segera pulih dengan baik dari stress akibat pindah
tanam, kekeringan, kebakaran dan gangguan lainnya (Turner, P.D 2003). Dengan
memanfaatkan kemampuan adaptasi yang tinggi dari kelapa sawit, diperlukan
suatu kajian karakter tanah Spodosol untuk memaksimalkan kemampuan adaptasi
tersebut sehingga kesesuaian lahan Spodosol untuk pertumbuhan dan produksi
tanaman kelapa sawit meningkat.
2.2 Penyebaran Tanah Spodosol
Spodosol terutama didistribusikan di daerah-daerah yang kaya pasir kuarsa
dengan fluktuasi air tanah dangkal (Mc. Keague et al 1983; Staf Survei Tanah
2006). Spodosol di daerah tropis lembab umumnya ditandai oleh kandungan
mineral lapang yang rendah dan memiliki horizon albic E yang bisa mencapai
setebal 200 cm (Buurman 1986). Di daerah pegunungan atau dataran tinggi,
Spodosol dapat ditemukan pada bahan induk yang kaya secara kimiawi, iklim
yang terus-menerus basah, namun suhu rendah karena ketinggian tinggi (Mohr et
al 1972). Kondisi ini berlaku untuk Toba Spodosols, yang berasal dari bahan
vulkanik yang kaya akan mineral cuaca, iklim basah, dan suhu rendah karena
ketinggian tinggi (> 1600 m dpl). Spodosol dataran tinggi Toba memiliki
karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan Spodosol umum di daerah
dataran rendah. Di daerah dataran rendah, Spodosol umumnya berasal dari
endapan pasir kuarsa, kekurangan mineral cuaca, dan terjadi pada suhu yang lebih
tinggi.jurnal bahasa inggris
Secara fisiografis, tanah ini dijumpai di dataran pantai baik berupa dataran
pasir pantai maupun sand dune, di dataran aluvial atau koluvial, di dataran
tektonik atau plateau batupasir. Spodosols di dataran pantai dicirikan oleh relief
datar hingga agak berombak, sedangkan yang terbentuk di sand dune mempunyai
relief bergelombang atau berbukit kecil. Penyebarannya dijumpai di Provinsi
Kalimantan Timur (Suharta et al., 1998; 2000; Hikmatullah et al., 2000; Suharta
dan Suratman, 2001), Kalimantan Barat (Suharta dan Suratman, 2004), dan
Kalimantan Selatan (Suharta et al., 1999). Spodosols di dataran aluvial atau
koluvial menyebar di Provinsi Kalimantan Barat (Lembaga Penelitian Tanah,
1973; Puslittan, 1985; Suharta dan Suratman, 2004), Kalimantan Timur
(Hikmatullah et al., 2000; Suharta dan Suratman, 2001), Kalimantan Selatan
(Suharta et al., 1999), dan Kalimantan Tengah (Puslittanak, 2000). Spodosols di
daerah plateau batupasir dengan relief datar hingga agak berombak dijumpai di
Provinsi Kalimantan Barat (Puslittan, 1985; Suharta dan Suratman, 2004). Di
dataran tinggi, tanah ini dijumpai di sebelah barat Danau Toba pada ketinggian
>1.500 m dpl, dan terbentuk dari bahan pasir volkan masam (BBSDLP, 2008).
Penyebaran dominan Spodosols dijumpai di dataran aluvial dan koluvial yang
merupakan daerah peralihan antara dataran struktural/tektonik dari batupasir
kuarsa dengan dataran berawa/gambut, seperti dijumpai di hampir sebagian besar
Pulau Kalimantan. Subagjo et al., 2004) mengemukakan, penyebaran terluas
Spodosols dijumpai di Provinsi Kalimantan Tengah seluas 1,51 juta ha,
Kalimantan Barat 0,42 juta ha, dan Kalimantan Timur 0,15 juta ha.
2.3 Proses Pembentukan Tanah spodosol
Proses Podzolization yang menghasilkan profil tanah asam (Spodosols)
sangat kuat diekspresikan pada tanah berpasir dan berpasir di bagian utara
Michigan bagian bawah (Gardner dan Whiteside 1952; Brewer 1982). Podzolisasi
adalah istilah yang diterapkan pada rangkaian proses pelepasan asam yang
menghasilkan profil tanah Podzol atau Spodosol (DeConinck 1980; Ugolini dan
Dahlgren 1987). Proses ini paling baik diekspresikan di tanah bertekstur kasar
(Gardner dan Whiteside 1952; Messenger et al 1972; Vance et al 1986). Proses
podzolisasi dapat diringkas sebagai berikut: (1) pembusukan bahan organik di
horizon atas (0 dan A) menghasilkan asam yang mampu mengkelat kation Fe dan
A1, sehingga membuat mereka bergerak dalam profil tanah dan (2) kompleks
organologam ini translokasi Ke dalam horizon B dan diendapkan (Messenger et al
1972; De Coninck 1980; Vance et al 1986; Ugolini dan Dahlgren 1987). Tanah
yang dihasilkan memiliki horizon E yang keputihan habis dari Fe dan Al, yang
menutupi horizon coklat spodik (B) coklat tua yang telah mengalami illuviation
(keuntungan) Fe dan A1 (Elliott 1953). Perekatan vertikal air melalui profil tanah
adalah kekuatan pendorong di balik translokasi kompleks organo-metalik.
Perbandingan regional pengembangan tanah di bawah iklim yang berbeda di
Finlandia menunjukkan bahwa podzolisasi meningkat dengan meningkatnya
"kelembaban iklim" dan pencucian (Jauhiainen 1973). Spodosol mi
Akumulasi bahan organik pada horison A dihasilkan dari deposisi litter di
permukaan tanah dan bergabungnya aktivitas fauna tanah dalam pelapukan bahan
organik tersebut. Pada tahap pertama, podsolisasi akan berlangsung apabila cukup
besi dan aluminium pada horison permukaan dan imobilisasi akan segera terjadi
di dekat permukaan tanah. Dengan demikian terbentuklah horison B spodik yang
dangkal. Mookma dan Buurman (1982) selanjutnya mengemukakan, dengan
waktu horison B akan bergerak lebih dalam. Kandungan besi dan aluminium pada
horison A, semakin lama akan semakin berkurang, dan komplek organo-logam
akan semakin tidak jenuh pada waktu mencapai lapisan permukaan horison B
spodik. Sebagai akibatnya, komplek ini akan menggerakan bagian atas horison B
dengan mengambil beberapa aluminium dan besi dari komplek organo-logam
yang telah diendapkan sebelumnya. Proses ini akan mengakibatkan pergerakan
sebagian bahan organik di lapisan atas horison B spodik yang telah diendapkan
terdahulu. Bahan organik yang tidak jenuh ini bergerak dan berpindah tempat ke
lapisan di bawahnya. Proses ini akan berlangsung terus-menerus secara berulang.
Hal inilah yang dapat menjelaskan pembentukan horison B spodik dengan
kedalaman bervariasi. Buurman dan Jongmans (2002) mengemukakan bahwa
pergerakan bahan organik dari lapisan atas horison B spodik ke lapisan lebih
bawah terjadi karena adanya proses dekomposisi bahan organik. Proses ini lebih
dominan dibandingkan dengan pelarutan kembali (redissolution). Walaupun
logam (Fe dan Al) bergerak dengan membentuk komplek organo-logam, akan
tetapi akumulasi komplek organo-logam pada horison B tidak harus disebabkan
oleh proses penjenuhan. Mikroba, melalui penghancuran bahan organik juga
berperan aktif dalam pembentukan horison B spodik. Komplek organo-logam
tersebut dapat bergerak kembali setelah ada tambahan bahan organik segar dari
horison di atasnya. Prasetyo et al. (2006) menunjukkan bahwa pergerakan liat ke
lapisan bawah, juga diikuti oleh kenaikan jumlah Al dapat tukar. Sebagai akibat
proses podsolisasi, pada horison eluviasi atau horison E albik terjadi deplesi
unsur-unsur Fe, Al, Ca, K, Mg, dan C.
2.4 Sifat Fisik dan Kimia Tanah
Analisis profil tanah pada profil tanah lubang besar sangat berbeda
dibanding profil tanah dari lubang tanam normal tanpa adanya pemecahan horizon
Spodik yang berupa lapisan keras kedap air (plakik dan ortstein) dimana profil
tanah Spodosol sub group Typic Placorthod terwakili (Profil B) yang merupakan
profil lubang tanam non big hole menunjukkan susunan horison A-E-Bh-Bhs-C
dengan ketebalan horison yang bervariasi. Susunan horison contoh tanah Profil B
ini sesuai dengan pernyataan Mc Keague et al. 1983; Buurman et al. 2007 bahwa
profil tanah Spodosol terdiri dari (1) horison A yaitu horison permukaan yang
mengandung mineral dan bahan organik dengan warna gelap; (2) horison E albik
yang merupakan horison iluviasi dengan warna pucat; (3) horison B spodik,
merupakan horison iluviasi dengan warna gelap kemerahan atau berwarna hitam,
mengandung bahan organik yang diperkaya aluminium amorf dengan atau tanpa
besi (Fe); dan (4) horison C yang mengandung bahan induk berpasir. Pada profil
tanah big hole (Profil A), zonasi penciri tanah Spodosol berupa zona elluviasi dan
illuviasi sudah berubah dan tidak bisa lagi dilihat karena material tanah dari
horizon di atas (upper horizons) maupun di bawah (lower horizons) sudah
bercampur (haploidisasi) ( Surianto,2015 ).
Tanah Spodosol dengan tekstur pasir lepas dan kandungan C-organik yang
rendah akan cepat mengalami kekeringan pada periode dimana curah hujan
rendah sebagaimana terjadi pada tahun 2009 dimana curah hujan bulanan < 100
mm selama lima bulan berturut- turut (bulan Juni hingga Oktober) sehingga tanah
tidak mampu memegang air (low water holding capacity). Tekstur dan kandungan
C-organik yang rendah seperti ini dapat menyebabkan kehilangan beberapa jenis
unsur hara makro dan air melalui penguapan (evaporasi). Kurangnya air akan
mengganggu metabolisme tanaman yang berarti pemupukan yang diberikan tidak
akan tersedia secara optimal dan cepat untuk pertumbuhan tanaman (
Surianto,2015 ).
Sifat fisik Spodosols yang mudah dikenali di lapangan adalah tekstur
tanahnya yang kasar (pasir hingga pasir berlempung), struktur tanah butir
tunggal/pasir kuarsa dengan konsistensi lepas, kecuali pada horison B spodik yang
tersementasi oleh bahan organik, besi, dan aluminium dengan konsistensi teguh
hingga sangat teguh, serta kemampuan meretensi hara dan air rendah. Distribusi
tekstur dalam penampang tanah umumnya hampir seragam kecuali pada horison B
spodik, sebagian bertekstur lebih halus dibandingkan dengan horison A maupun E.
Pengerasan horison yang tersementasi pada Spodosols sering terjadi antara lain
dengan terbentuknya horison plakik, orstein, duripan, atau fragipan. Keberadaan
horison tersebut pada Spodosols telah digunakan sebagai pembeda klasifikasinya
baik pada tingkat subgrup maupun greatgrup. Horison plakik mempunyai
ketebalan antara 2-10 mm, berwarna hitam sampai gelap kemerahan, dan
tersementasi oleh Fe-oksida, Fe dan Mnoksida atau komplek Fe-organik. Horison
plakik bersifat tidak tembus akar dan air, sehingga dapat menghambat perakaran
tanaman. Orstein adalah horison tersementasi oleh bahan-bahan amorf (Al dan Fe)
dan organik pada horison spodik. Komplek Fe-organik umumnya merupakan
bagian yang dominan, sedangkan komplek Alorganik biasa dijumpai pada tanah
yang telah mengalami perkembangan lanjut (Mc Keague et al., 1983).
PH tanah cenderung meningkat dengan kedalaman tanah, mulai dari 3,7
menjadi 5,3 atau sangat asam sampai asam. PH tanah terendah berada di lapisan
permukaan (Oa horizon), mulai dari 3,7 ke 4.3, meningkat ke horizon spon E albic
dan B berkisar antara 4,4 sampai 5,0. PH tanah rendah di permukaan horizon
disebabkan oleh lapisan organik dengan bahan sapric.Kondisi ini agak berbeda
dengan daerah timur Kalimantan Spodosols (Prasetyo et al 2006) bahwa Reaksi
tanah terendah ditemukan di cakrawala spon B (Suharta ,2009 ).
Sifat kimia penting dari Spodosols adalah reaksi tanah masam hingga
sangat masam. Kandungan C-organik umumnya tinggi sampai sangat tinggi pada
horison B spodik dan sebagian horison A, sedangkan pada horison E albik
tergolong rendah sampai sangat rendah. Pengecualian pada horison E albik pedon
SM 648, kandungan C-organik masih relatif tinggi karena pedon tersebut masih
relatif muda perkembangannya. Kandungan unsur hara P potensial (HCl 25%)
umumnya tergolong sangat rendah (<15 mg/100g), dan K potensial (HCl 25%)
juga tergolong sangat rendah (<10 mg/100g), kecuali K potensial di lapisan bawah
pedon SM 648 tergolong sangat tinggi. Hal tersebut dapat dijelaskan karena
Spodosols tersebut terbentuk di atas bahan liparit yang diketahui mengandung
sumber K sangat tinggi .
Kandungan basa-basa dapat dipertukarkan (Ca, Mg, K, Na) tergolong
sangat rendah. Pedon DR 9, MK 18, dan P 3, jumlah kandungan basa-basanya
relatif lebih tinggi dibandingkan pedon lainnya. Pedon tersebut terbentuk dari
bahan induk batupasir dan bahan aluvium. Spodosols dengan kandungan basabasa
terrendah dijumpai pada pedon DR 10 yang telah mengalami perkembangan
sangat lanjut seperti ditunjukkan oleh adanya lebih dari satu horison E albik
maupun B spodik. Kapasitas tukar kation tanah (KTK tanah) Spodosols sangat
bervariasi tergantung kandungan bahan organiknya. Pada horison B spodik yang
mengandung bahan organik tinggi mempunyai KTK tanah yang jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan horison E albik dengan kandungan bahan organik rendah.
Prasetyo et al. (2006) mengemukakan bahwa KTK tanah pada horison A dan B
akan lebih tinggi daripada horison lainnya disebabkan oleh tingginya kandungan
bahan organik pada horison tersebut. Hubungan antara C-organik dengan KTK-
tanah telah diperlihatkan oleh hasil penelitian Prasetyo et al. (2006) pada tanah
Spodosols di Kalimantan Timur.
2.5 Kandungan Mineral Tanah Spodosol
Komposisi mineral pada Spodosols menunjukkan perkembangan tanah
yang lanjut. Dalam fraksi liat (<2 m) yang ditetapkan dengan X-ray
difraktometer, susunan mineral didominasi oleh kuarsa dan feldpars (Mc Keague
et al., 1983). Mineral phylosilikat pada horison B dan C umumnya sangat lemah
hingga tidak ada. Hasil penelitian Prasetyo et al. (2006) pada Arenic Alorthods
menunjukkan walaupun susunan mineral fraksi pasir didominasi oleh kuarsa
dengan kandungan mendekati 100%, dalam fraksi liat horison eluviasi masih
dijumpai adanya mineral phylosilikat seperti kaolinit, illit, dan vermikulit,
sedangkan pada horison iluviasi, kaolinit dijumpai dalam jumlah lebih tinggi.
Perbedaan susunan tersebut terjadi sebagai akibat adanya perbedaan bahan induk
tanah dan atau tingkat perkembangan/derajat pelapukannya.
Adanya bahan-bahan amorf pada horison B spodik, diperlihatkan oleh
hasil penelitian Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan
Pertanian (2008) pada Spodosols dataran tinggi plateau Toba. Jumlah persentase
Al+Fe yang diekstrak dengan NH4-oksalat pada horison B spodik mencapai
nilai 13,01 atau >2,0, sebagai kriteria untuk tanah yang mempunyai sifat andik
atau mengandung bahan-bahan amorf. Hasil serupa dikemukakan oleh Prasetyo et
al. (2006) yang mengemukakan tidak tajamnya pola difraksi pada Spodosols
Kutai Kertanagara disebabkan oleh adanya bahan amorf pada horison spodik
tersebut.
BAB III
PERMASALAHAN DAN POTENSI PENGGUNAAN
Tanah Spodosol dengan tekstur pasir lepas dan kandungan C-organik yang
rendah akan cepat mengalami kekeringan pada periode dimana curah hujan
rendah sebagaimana terjadi pada tahun 2009 dimana curah hujan bulanan < 100
mm selama lima bulan berturut- turut (bulan Juni hingga Oktober) sehingga tanah
tidak mampu memegang air (low water holding capacity). Tekstur dan kandungan
C-organik yang rendah seperti ini dapat menyebabkan kehilangan beberapa jenis
unsur hara makro dan air melalui penguapan (evaporasi). Kurangnya air akan
mengganggu metabolisme tanaman yang berarti pemupukan yang diberikan tidak
akan tersedia secara optimal dan cepat untuk pertumbuhan tanaman (
Surianto,2015 ).

You might also like