You are on page 1of 17

Hubungan pengetahuan tentang penyakit TB dengan kepatuhan berobat pada

pasien TB MDR

1. Azwar, 2007. Sikap Manusia dan Pengukurannya. Jakarta : PT. Rineka Cipta

2. Degresi. 2005. Ilmu Perilaku Manusia. Jakarta : PT. Rineka Cipta

3. Effendy. 2005. Keperawatan Keluarga. JAKARTA : EGC

4. Niven. 2008. Psikologi Kesehatan : Pengantar Untuk Perawat Dan Profesional. Jakarta :
EGC

5. Notoatmodjo. 2007. Promosi Kesehatan Ilmu Dan Seni. Jakarta : Rineka Cipta

6. Pranoto. 2007. Ilmu Kebidanan. Yogyakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono


Prawirohardjo

7. Pudjiadi, 2002. Psikologi Pendidikan. Jakarta : PT Rineka Cipta

8. Sarafino. 2003. Dukungan Keluarga. Jakarta : Salemba Medika

9. Siregar, 2004. Psikologi Keperawatan Dan Kesehatan. Jakarta : Salemba Medika

10. Slamet B. 2007. Psikologi Umum. Bandung : PT Remaja Rosdakarya

Kepatuhan berasal dari kata dasar patuh, yang berarti disiplin dan taat. Menurut Sacket
dalam Niven (2000) kepatuhan adalah sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang
diberikan oleh profesional kesehatan.
II.II.II. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien.

Faktor-fator yang mempengaruhi kepatuhan pasien menurut niven (2000) adalah sebagai beribut:

a. keadaan penyakit
pasien yang menderita penyakit kronis (TB paru) cenderung paling tidak patuh. Ini terutama
karena harus menggunakan obat dalam jangka waktu lama dimana gejala yang terasa dalam
waktu singkat.

b. keadaan pasien

kepatuhan pasien menurun pada usia tinggi yang hidup sendiri (tidak ada yang
mendorong). Tingkat ekonomi lemah, orang-orang dengan pengetahuan dan pendidikan rendah,
dimana faktor budaya atau bahasa menjadi penghalang komunikasi antara petugas kesehatan
dengan pasien.

c. petugas kesehatan .

kepatuhan pasien akan dipengaruhi oleh sikap petugas kesehatan dalam melayani
pasiennya. Petugas yang bersifat merendah, pasien kurang yakin terhadap terapi yang
diputuskaan, ada hambatan dalam komunikasi karena faktor budaya, bahasa dan waktu yang
disediakan.

d. pengobatan.

Kepatuhan pasien akan berkurang apabila obat yang diberikan dalam jangka waktu lama.
Bentuk dan keberhasilan kemasan yang terlalu sederhana dimana obat mudah pecah dan
terkontaminasi oleh kotoran juga dapat menurunkan kepatuhan pasien untuk minum obat.

e. struktur pelayanan

semakin sulit tempat pelayanan kesehatan dicapai, semakin berkurang kepatuhan pasien .

II.II.III. Faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan


Faktor yang memengaruhi ketidakpatuhan dapat digolongkan menjadi empat bagian
menurut Niven (2002) antara lain :

a. Pemahaman tentang instruksi, tidak seorang pun dapat mematuhi instruksi jika ia salah paham
tentang instruksi yang diberikan padanya.
b. Kualitas interaksi, kualitas interaksi antara profesional kesehatan dan pasien merupakan
bagian yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan.
c. Isolasi sosial dan keluarga. Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam
menentukan keyakinan dan nilai kesehatan dan nilai kesehatan individu serta juga dapat
menentukan program pengobatan yang dapat mereka terima.
d. Motivasi dapat diperoleh dari diri sendiri, keluarga, teman, petugas kesehatan dan lingkungan
sekitar
e. Pengetahuan semakin tinggi pengetahuan seseorang semakin besar kemungkinan untuk patuh
pada suatu program pengobatan.
II.II.IV. Cara mengurangi ketidakpatuhan
Dinicola dan Dimatteo yang dikutip olehniven (2000) mengusulkan beberapa rencana
untuk mengatasi ketidakpatuhan pasien, antara lain:
a. mengembangkan tujuan kepatuhan pasien harus mengembangkan tujuan kepatuhan serta
memiliki keyakinan dan sikap yang positif terhadap suatu penatalaksanaan, dan keluarga serta
teman juga harus mendukung keyakinan tersebut.
b. Perilaku sehat sangat dipengaruhi oleh kebiasaan, maka dari itu perlu dikembangkan suatu
strategi yang bukan hanya untuk mengubah perilaku, tetapi juga untuk mempertahankan
perubahan tersebut. Perilaku disini membutuhkan pemantau terhadap diri sendiri, evaluasi diri
dan penghargaan terhadap perilaku yang baru tersebut.

c. Pengontrolan terhadap perilaku sering tidak cukup untuk mengubah perilaku itu sendiri. Faktor
kognitif juga berperan penting.

d. Dukungan sosial dalam bentuk dukungan emosional dari anggota keluarga yang lain, teman
dapat membantu mengurangi ansietas, mereka

Multidrug Resistance (MDR): kekbalan terhadap sekurang-kurangnya isoniazid dan rifampicin.


Secara singkat MDR-TB adalah resistensi terhadap INH dan rifampisin secara bersama dengan
atau tanpa OAT lini pertama yang lain.

Mycobacterium tuberculosis adalah kuman berbentuk batang yang tahan asam karena

mengandung banyak lemak dan mudah mengikat pewarnaan Ziehl-Neelsen . kuman berbentuk
batang ini merupakan bakteri aerob merupakan organisme pathogen, namun bisa bersifat

saprofit. (Sylvia A,P. 2009)

Bakteri ini sering dijumpai dilokasi yang kering dan lembab, karena balteri ini memiliki

sifat tahan panas dan akan mati pada suhu 60 0C dalam waktu 15-20 menit. Bakteri ini dapat mati

jika terkena sinar matahari langsung selama 2 jam (Ramadhani A, 2010)

Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan 4
atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan tambahan. Berikut
dijelaskan mengenai resimen pengobatan tuberkulosis saat ini.

Resimen pengobatan saat ini

Kate-
gori Resimen pengobatan
Pasien TB
Fase awal Fase lanjutan

1 TBP sputum BTA 2 SHRZ (EHRZ)2 SHRZ 6 HE4 HR


positif baru bentuk (EHRZ)
TBP berat, TB ekstra- 4 H3R3
paru (berat), TBP 2 SHRZ (EHRZ)
BTA-negatif
2 RelapsKegagalan 2 SHZE/ 1 HRZE2 SHZE/ 5 H3R3E35 HRE
1 HRZE
pengobatan

Kembali ke default

3 TBP sputum BTA- 2 HRZ atau 2 H3R3Z32 6 HE2 HR/4H


negatifTB ekstra-paru HRZ atau 2 H3R3Z3
2 H3R3/4H
(menengah berat) 2 HRZ atau 2 H3R3Z3
4 Kasus kronis (masih Tidak dapat diaplikasikan (mempertimbangkan
BTA-positif setelah menggunakan obat-obat barisan kedua)
pengobatan ulang
yang disupervisi)

Ket: TB: Tuberkulosis TBP: Tuberkulosis Paru, S: Streptomisin, H: Isoniazid, R:Ripamfisin, Z:


Pirazinamide, E: Etambutol. Cara membaca resimen; misalnya 2 SHRZ (EHRZ)/ 4 H3R3
menunjukkan sebuah resimen untuk 2 bulan di antara obat-obatan etambutol, isoniazid,
ripamfisin, dan pirazinamide yang diberikan setiap hari yang diikuti dengan 4 bulan isoniazid
dan ripamfisin yang dibeeikan tiap hari atau 3 kali seminggu.

.
Kepatuhan
Kepatuhan adalah istilah yang menggambarkan suatu penggunaan persis sesuai dengan
petunjuk, mencakup penggunaannya pada waktu yang benar dan mengikuti pembatasan yang
berlaku ( Spiritia, 2003 ).
Perilaku manusia pada hakekatnya adalah aktivitas dari manusia itu sendiri baik
yang dapat diamati secara langsung maupun yang dapat diamati secara tidak langsung.
Perilaku ketaatan berobat seseorang pada dasarnya adalah respon seseorang
atau
organisme terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakitnya, sistem
pelayanan kesehatan dan pengobatan ( Machfoedz, 2006).
Kepatuhan adalah suatu perilaku seseorang untuk bersedia melaksanakan aturan
yang ditetapkan.
Kepatuhan seorang pas
ien didasarkan atas kesadaran akan resiko
kesehatan pribadi dan prosedur kepatuhan, mau dan mampu untuk melaksanakan
kegiatan
-
kegiatan untuk mengurangi bahaya kesehatan.
Perilaku dipandang dari segi
biologis adalah suatu kegiatan atau aktifitas organisme
yang bersangkutan (Notoatmojo,
2003).
Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan adalah respon seseorang terhadap
sistem pelayanan kesehatan baik sistem pelayanan kesehatan modern maupun tradisional.
Perilaku ini men
y
angkut respon terhadap fasilitas pel
ayanan, cara pelayanan, petugas
kesehatan dan obat
-
obatannya
yang terwujud dalam pengetahuan, persepsi, sikap dan
penggunaan fasilitas, petugas dan obat
-
obatan (Notoatmojo, 2003)

4.4 Sampel

Sampel dari penelitian ini adalah yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi

kriteria eksklusi, pada waktu dilakukan penelitian yang memenuhi kriteria penelitian.
a) Besar populasi kurang dari 10.000, penentuan jumlah sampelnya dapat dihitung dengan

menggunakan rumus:
N
n = 1+ N ( d 2)

Keterangan:
n : besar sample
N : besar populasi
d : tingkat kepercayaan/ketetapan yang diinginkan (0,1)
Dalam penelitian ini besarnya populasi (N) adalah , dengan jumlah

pasien yang tercatat dalam register buku paru . Maka jumlah sampel

perstratanya adalah:
..
n = 1+ (0,12)

n=
n=

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring, pengetahuan berarti


segala sesuatu yg diketahui; kepandaian: atau segala sesuatu yg diketahui
berkenaan dengan hal (mata pelajaran)

2.3.6. Pathogenesis

2.3.6.1.Pathogenesis TB primer

Penularan TB paru dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet

nuclei dalam udara sekitar kita. Bila partikel ini terhisap oleh orang sehat, ia akan

menempel pada saluran napas atau jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar

bila ukuran partikel < 5 mikrometer. Kuman akan dihadapi pertama kali oleh

neutrophil, kemudian baru oleh makrofag. Kebanyakan partikel ini akan mati atau

dibersihkan oleh keluar dari percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia

dengan sekretnya. (Aru W.S. dkk, 2009)

Bila kuman menetap di jaringan paru, berkembang biak dalam sitoplasma

makrofag. Kuman yang bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang


tuberculosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau efek primer atau

sarang (focus) Ghon. Sarang primer ini dapat terjadi disetiap bagian jaringan paru.

Bila menjalar sampai ke pleura, maka terjadi efusi pleura. Kuman juga bisa masuk

melalui saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring, dan kulit, terjadi

limfadenopatiregional kemudian bakteri masuk kedalam vena dan menjalar

keseluruh organ seperti paru, otak, ginjal, tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis

maka terjadi penjalaran keseluruh bagian paru menjadi TB milier. (Aru W.S. dkk,

2009)

Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju

hilus (limfangitis lokal), dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus

(limfadenitis regional). Sarang primer limfangitis local + limfadenitis regional =

kompleks primer (ranke). Semua proses ini memakan waktu 3-8 minggu.

Kompleks primer ini selanjutnya menjadi:

Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Ini yang banyak

terjadi.
Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis

fibrotic, kalsifikasi di hilus, keadaan ini terhadap lesi pneumoni

yang luasnya > 5mm dan 10% di antaranya dapat terjadi

reaktivasi lagi karena kuman dormant.


Berkomplikasi dan menyebar secara : a) perkontuinuitatum, yakni

menyebar ke sekitarnya, b) secara bronkogen pada paru yang

bersangkutan maupun paru disebelahnya. Kuman dapat juga

tertelan bersama sputum atau ludah sehingga menyebar ke usus, c)


secara limfogen, ke organ tubuh lainnya, d) secara hematogen, ke

organ tubuh lainnya.

Semua kejadian di atas tergolong dalam perjalanan tuberculosis primer. (Aru W.S.

dkk, 2009)

2.3.6.2. Pathogenesis TB sekunder.

Kuman yang dormant pada TB primer akan muncul bertahun-tahun

kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberculosis dewasa (tuberculosis post

primer = TB pasca primer = TB sekunder). Tuberculosis sekunder terjadi karena

imunitas menurun seperti malnutrisi, alcohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS,

gagal ginjal. Tuberculosis pasca primer ini dimulai dengan sarang dini yang

berlokasi di region atas paru. Invasinya adalah kedaerah parengkim paru-paru

tidak ke nodulus hiler paru. (Aru W.S. dkk, 2009)

Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam

3-10 minggu menjaddi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel

histosit dan sel Datia-Langhans yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan berbagai

jaringan. (Aru W.S. dkk, 2009)

TB pasca primer juga dapat berasal dari infeksi eksogen dari usia muda

menjadi TB usisa tua. Tergantung dari jumlah kuman, virulensinya dan imunitas

pasien, sarang dini ini dapat menjadi:

Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat


Sarang yang mula-mula meluas, tetapi segera menyembuh dengan

serbukan jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri menjaddi keras,


menimbulkan perkapuran. Sarang dini yang meluas sebagai granuloma

berkembang menghancurkan jaringan ikat sekitarnya dan bagian

tengahnya mengalami nekrosis, menjadi lembek membentuk jaringan

keju. Bila jaringan keju dibatukkan keluar akan terjadilah kavitas. Kavitas

ini mula-mula berdinding tipis berdinding tipis, lama-lama dindingnya

menebal karena infiltrasi jaringan dalam jumlah besar, sehingga menjadi

kavitas sklerotik (kronik). Terjadinya perkiuan dan kavitas adalah karena

hidrolisis protein lipid dan asam nukleat oleh enzim yang diproduksi oleh

makrofag, dan proses berlebihan sitokin dengan TNF-nya. Bentuk

perkiuan lain yang jarang adalah cryptic dissiminate TB yang terjadi

imunodiffisienis dan usia lanjut.


Disini lesi sangat kecil, tetapi berisi bakteri sangat banyak. Kavitas dapat:

A. meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonia baru. B. memadat

dan membungkus diri sehingga menjadi tuberkuloma. C. bersih dan

menyembuh, disebut open healed cavity. Dapat juga menyembuhkan

dengan membungkus diri menjadi kecil. Kadang-kadang berakhir menjadi

kavitas yang terbungkus, menciut dan berbentuk seperti bintang disebut

stellate shaped .
Secara keseluruhan akan terdapat 3 macam sarang yakni: 1) sarang yang

sudah sembuh, 2) sarang aktif eksudatif, 3)sarang yang berada antara aktif dan

sembuh.

2.3.7. Gejala-gejala klinis


Keluham dirasakan pasien TB dapat bermacam macam atau malah banyak pasien
ditemukan TB paru tanpa keluhan sama sekali dalam pemeriksaan kesehatan. Keluhan
yang terbanyak adalah :
A. Demam biasanya subfebril menyerupai influenza. Tetapi kadang-kadang panas badan
dapat mencapai 40-41oc.
B. Batuk/ Batuk darah gejala ini banyak ditenukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi
pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk radang. Kebanyakan
batuk darah pada TB terjadi pada kavitas, tetapi dapat terjadi pada kavitas, tetapi dapat
juga terjadi pada ulkus dinding bronkus.
C. Sesak napas. Pada penyakit yang ringan belum dirasakan. Sesak ditemukan pada
penyakit yang sudah lanjut.
D. Nyeri dada gejala jarang ditemukan. Ini ditemukan jika infiltrasi radanng sampai ke
pleura sehingga menimbulkan pleuritis.
E. Malaise, gejala ini sering ditemukan berupa anoreksia tidak nafsu makan, badan makin
kurus, sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam.dll.
2.3.8. pemeriksaan fisis
Pemeriksaaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan konjungtiva
mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (subfebris), respirasi meningkat badan
kurus atau berat badan turun. Tanda fisik tergantung pada lokasi kelainan serta luasnya kelainan
struktur paru. Dapat ditemukan tanda-tanda antara lain penarikan struktur sekitar, suara napas
bronkial, amforik, ronki basah, suara nafas melemah di apex paru, tergantung luas lesi dan
kondisi pasien (Aru W.S. dkk, 2009)

2.3.8. pemeriksaan radiologis

Lokasi lesi TB umumnya di apeks parutetapi bisa juga mengenai lobus bawah atau daerah
hilus menyerupai tumor paru. Pada awal penyakit lesi merupakan sarang-sarang pneumonia,
gambarannya berupa bercak-bercak seperti awan dengan batas-batas yang tegas. Lesi ini disebut
tuberkuloma. Pada kavitas bayangannya berupa cincin yang mula-mula dindingnya tipis. Lama-
lama dinding jadi sklerotik dan tebal. Bila terjadi fibrosisada bayangan garis-garis. Pada
kalsifikasi bayangan tampak seperti bercak-bercak padat dengan densitas yang tinggi. Pada
atelectasis terlihat fibrosis yang luas dan penciutan yang terjadi pada sebagian atau satu lobus
maupun satu bagian paru. Gambaran TB milier terlihat berupa bercak-bercak halus yang
umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan paru. (Aru W.S. dkk, 2009)

2.3.9. Pemeriksaan Laboratorium

A. Pemeriksaan Darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik. Pada
kasus baru akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit meninggi dengan hitung jenis
pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit masih dibawah normal. LED mulai meningkat. Hb
turun. (Aru W.S. dkk, 2009)
B. Pemeriksaan Dahak
Pemeriksaan bakteriologis sangat berperan untuk menegakkan diagnosis.
Spesimen dapat berupa dahak, cairan pleura, cairan serebro spinalis, bilasan lambung,
bronkoalveolar lavage, urin, dan jaringan biopsi. Pemeriksaan dapat dilakukan secara
mikroskopik dan biakan.
Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis pada semua suspek TB dilakukan
dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan
yang berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS):
C. S(sewaktu):
Dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada
saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada
hari kedua.
a.
P(Pagi):
Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun
tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di Unit Pelayanan
Kesehatan.
b.
S(Sewaktu):
Dahak dikumpulkan di Unit Pelayanan Kesehatan pada hari kedua, saat
menyerahkan dahak pagi.
Bila hanya satu spesimen positif, perlu pemeriksaan foto thoraks atau SPS
ulang bila foto thoraks mendukung TB maka didiagnosis sebagai TB paru
BTA (+). Bila foto thoraks tidak mendukung TB maka perlu dilakukan
pemeriksaan SPS ulang. Bila SPS ulang hasilnya negatif berarti bukan
penderita TB. Bila SPS positif berarti penderita TB BTA (+). Bila foto
thoraks mendukung TB tetapi pemeriksaan SPS negatif, maka diagnsis
adalah TB paru BTA negatif rontgen positif. (Aru W.S. dkk, 2009)
2.3.10. Tes tuberculin.
Uji tuberkulin (tuberculin skin test/TST) merupakan alat diagnostik yang sampai saat ini
mempunyai sensitivitas dan spesifisitas cukup tinggi untuk mendiagnosis adanya infeksi
tuberkulosis. Tes ini hanya menyatakan seseorang individu sedang atau pernah mengalami
infeksi M. tuberculosis, M. bovis, vaksinasi BCG, dan Mycobacteria pathogen lainnya (Aru W.S.
dkk, 2009)
Interpretasi Tes Mantoux: Tes Mantoux dinyatakan negative indurasi 0-5 mm
(diameternya), golongan no sensivity disini peran antibody humoral paling menonjol, Mantoux
hasil meragukan induransi 6-9mm golongan low grade sensitivity disini peran antibody humoral
masih menonjol, Mantoux hasil positif golongan normal sensitivity, disni peran antibody
seimbang, Mantoux positif kuat golongan hypersensitivity peran antibody seluler paling
menonjol . (Aru W.S. dkk, 2009)
2.3.6.3. Klasifikasi TB

2.3.6.3.1. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh (anatomical site) yang terkena:


a.
Tuberkulosis paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan
(parenkim) paru. tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus. (Depkes
RI 2011)
b.
Tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru,
misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (perikardium), kelenjar limfe, tulang,
persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. (Depkes RI
2011)
Pasien dengan TB paru dan TB ekstraparu diklasifikasikan sebagai TB paru.
2.3.6.3.2. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, keadaan ini terutama
ditujukan pada TB Paru: (Depkes RI 2011)
a. Tuberkulosis paru BTA positif terdiri dari: Sekurang-kurangnya 2/3 spesimen dahak
SPS hasilnya BTA positif. Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto
thoraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis. Satu spesimen dahak SPS hasilnya
BTA positif dan biakan kuman TB positif. Satu atau lebih spesimen dahak hasilnya
positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA
negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotik non OAT.
b. Tuberkulosis paru BTA negatif kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA
positif. Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi: Paling tidak 3
spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif. Foto thoraks abnormal sesuai dengan
gambaran tuberkulosis. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT,
bagi pasien dengan HIV negatif. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk
diberi pengobatan. (Depkes RI 2011)
2.3.6.3.3. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya disebut sebagai tipe pasien,
yaitu:
a. Kasus baru Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). Pemeriksaan BTA bisa positif atau
negatif. (Depkes RI 2011)
b. Kasus yang sebelumnya diobati terdiri dari : Kasus kambuh (Relaps) Adalah pasien
tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah
dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif
(apusan atau kultur), Kasus setelah putus berobat (Default) adalah pasien yang telah
berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif, Kasus setelah gagal
(Failure) Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif/kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. (Depkes RI 2011)
c. Kasus Pindahan (Transfer In) Adalah pasien yang dipindahkan ke register lain untuk
melanjutkan pengobatannya. (Depkes RI 2011)
d. Kasus lain Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, seperti yang
tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya, pernah diobati tetapi tidak diketahui
hasil pengobatannya, kembali diobati dengan BTA negatif.

2.3. Multi Drugs Resistant Tuberculosis (MDR-TB)

2.3.1. Definisi MDR-TB


Multidrug Resistance (MDR): kekebalan terhadap sekurang-kurangnya isoniazid dan
rifampicin. Secara singkat MDR-TB adalah resistensi terhadap INH dan rifampisin secara
bersama dengan atau tanpa OAT lini pertama yang lain. (Jusuf M.W. dkk,2010)

2.3.2. Diagnosis MDR-TB

Resistnesi obat berhubungan dengan riwayat pengobatan sebelumnya. Kemungkinan


terjadi resistensi pada pasien dengan riwayat pengobatan sebesar 4 kali lipat, sedangkan
terjadinya MDR-TB sebesar 10 kali lipat atau lebih dibandingkan dengan pasien yang belum
pernah diobati. Diagnosis MDR-TB ditegakkan dengan uji sensitivity obat atau drug
susceptibility testing (DST), bukan sekedar berdasarkan Gambaran foto toraks, dan adanya
faktor resiko yang ada pada seseorang. Pemilihan pasien yang akan dilakukan DST di negara
dimana sumber daya yang terbatas, maka semua pasien TB akan dilakukan DST pada saat
pengobatan TB dimulai. Akan tetapi, dinegara dengan sumber daya yang terbatas, pemilihan
pasien yang akan dilakukan DST untuk menegakkan diagnosis MDR-TB didasarkan indikai.
Pasien suspek MDR-TB akan dilakukan kultur dan DST. Untuk itu WHO 2008 guidelines
mengindikasikan kelompok populasi yang dicurigai sebagai penderita MDR-TB adalah pasien
dengan faktor resiko resisten terhadap obat TB sebagai berikut.

Di Indonesia mengadopsi dari WHO 2008 guidelines diatas, saat ini kelompok individu
yang perlu dilakukan DST sebagai pasien suspek MDR-TB adalah kelompok yang berisiko
tinggi yaitu : Individu yang mengalami gagal terapi setelah treatment dan kasus kronik, dimana
kelompok ini memiliki angka tertinggi (80%) menempati kasus MDR-TB. Individu yang gagal
terapi dengan OAT kategori 2 (sputum tetap positif pada bulan ke-3). Individu yang diterapi Oat
tetapi sputum tetap positif pada bulan ke-3 setelah pemberian sisipan pada kategori 1. Individu
yang kembali drop out pada pengobatan kategori 1 atau 2. Memiliki riwayat pengobatan TB
yang tidak adekuat, bukan DOTS atau menejemen yang buruk. Tinggal didaerah yang kasus
MDR-TB tinggi. Kasus TB kambuh (kategori 1 atau 2). Individu yang memiliki keluhan TB dan
kontak erat dengan penderita MDR-TB, termasuk petugas kesehatan yang kontak erat dengan
penderita MDR-TB. Memiliki kondisi ko-morbid dengan MDR-TB, malabsorbsi atau rapid
transit diare. individu dengan infeksi HIV (Jusuf M.W. dkk,2010)
2.3.3. Dasar-dasar pengobatan MDR-TB

Menurut WHO guidelines membagi obat MDR-TB menjadi lima grup berdasarkan
potensi dan efekasinya, sebagai berikut: Kelompok pertama : pirazimnamid dan etambutol
karena paling efektif dan dapat ditoleransi dengan baik. Kelompok kedua : obat injeksi bersifat
bakterisidal, kanamisin atau amikasin, jika alergi diganti kapreomisin, viomisin. Kelompok
ketiga : flourokuinon, obat bakterisidal tinggi, misalnya levofloksasin, Moksifloksasin,
Ofloksasin. Semua pasien sensitive terhadap obat ini harus mendapat kuinolon dalam
regimennya. Kelompok keempat : obat bakteriostatik lini kedua, PAS (para aminosalicylic acid),
etionamid, protinamid, dan sikloserin. Kelompok kelima: obat yang belum jelas efekasinya,
amoksisilin+asam klavunalat, macrolide baru (klaritromisin), dan linezolid.

Saat ini Indonesia sumber daya masih terbatas, pendekatan yang dipakai dalam
mengobati penderita MDR-TB dadalah pendekatan pengobatan dengan regimen standar.
Meskipun demikian seorang klinisi hendaknya mengetahui bagaiman pentahapan dalam mebuat
regimen untuk pengobatan MDR-TB. WHO guidelines 2008 membuat pentahapan tersebut
antara lain:

1. Tahap pertama gunakan obat dari lini pertama yang manapun masih menunjukkan efikasi
2. Tambahkan obat di atas dengan salah satu golongan obat injeksi berdasarkab hasil uji
sensitivitas dan riwayat pengobatan
3. Tambahkan obat-obat di atas dengan salah satu obat golongan flourokuinolon.
4. Tambahkan obat-obat tersebut di atas dengan satu atau lebih dari golongan 4 sampai
sekurang-kurangnya sudah tersedia 4 obat yang mungkin efektif
5. Pertimbangkan menambahkan sekurang-kurangnya 2 obat dari golongan 5 (melalui
proses konsultasi dengan pakar MDR-TB) apanila dirasakan belum ada 4 obat yang
efektif dari golongan 1 sampai 4.

Pengobatan MDR-TB terdiri 2 tahap anatara lain : tahap awal dan tahap lanjutan.
Pengobatan MDR-TB membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan pengobatan pasien TB
bukan MDR., yaitu sekitar 18-24 bulan. Pada tahap awal pasien akan mendapatkan obat lini
kedua minimal 4 jenis (kanamycin, capreomisin, levofloksasin, ethionamide,sikloserin) dimana
salah satunya adalah obat injeksi. Pada tahap lanjutan semua OAT lini kedua yang dipakai pada
tahap awal dilanjutkan kecuali OAT injeksi. (Jusuf M.W. dkk,2010).
Jusuf M.W. dkk,2010)

RAMADHANI a, pengaruh pelaksanaan pengawas menelan obat (PMO) terhadap


konservasi BTA (+) pada pasien TB paru di RSDK (jurnal) tahun 2009/2010

SYLVIA A,P. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6 Jakarta EGC
2009. Hlm 852-859.

You might also like