You are on page 1of 22

KEBIASAAN MAKAN PADA ANAK-ANAK

oleh : Mira Suprayatmi

Kebiasaan makan dipengaruhi oleh contoh tingkah laku seseorang. Bagi seorang anak kebiasaan ini akan
berkembang sesuai dengan lingkungan yang dimasukinya, baik itu dalam keluarga, grup bermain (Play grup),
taman kanak-kanak, sekolah atau iklan-iklan yang ditawarkan melalui mass media.
Orang-orang yang terdekatnyalah yang akan dicontoh anak-anak, gambaran kebiasaan orangtua, kakek-neneknya,
pengasuhnya, gurunya akan dengan mudah ditirunya.

Pengaruh Keluarga, Sekolah dan Iklan

Suatu kebiasaan makan yang teratur dalam keluarga akan membentuk kebiasaan yang
baik bagi anak-anak. Pembiasaan makan pagi di rumah atau membawa bekal dari
rumah adalah salah satu contoh pembiasaan yang baik. Anak-anak tidak dibiasakan
jajan di warung kala mereka istirahat sekolah. Selanjutnya pola makan dalam
keluarga harus juga diperhatikan, frekwensi makan bersama dalam keluarga,
pembiasaan makan yang seimbang gizinya, tidak membiasakan makanan-makanan
atau minuman manis, membiasakan banyak makan buah-buahan atau sayuran diantara
waktu-waktu makan dsb.

Lingkungan sekolah dapat membentuk kebiasaan makan bagi anak-anak. Untuk anak
Taman Kanak-kanak, biasanya mereka membawa bekal dari rumah kemudian makan
bersama di kelas. Dalam hal ini kebiasaan dari rumah yang di bawanya. Akan tetapi
jika pulang sekolah, biasanya di luar sudah menunggu para penjual makanan yang
menawarkan jajanannya. Sehingga kadang membuat anak merengek ingin dibelikan.
Jika kebiasaan membelikan jajanan pulang sekolah ini diteruskan, akhirnya anak
menjadi terbiasa jajan makanan yang belum tentu baik gizi maupun kebersihannya.
Di samping itu permintaan mereka bukan karena lapar. Nasihat yang baik dan
pemberian pengertian di rumah sangat disarankan bagi para orang tua.

Bagi anak sekolah dasar lebih sukar lagi, karena mereka sudah tidak diawasi lagi oleh
orang tua. Peranan guru dan kebijaksanaan sekolah sangat berarti sekali di sini.
Misalnya bagaimana seorang guru memotivasi bahwa membawa bekal dari rumah itu
lebih baik dari pada jajan, kemudian memberi penerangan bekal mana yang baik dan
sehat untuk dibawa. Hal lain yang dapat dilakukan sekolah, misalnya membatasi dan
menyeleksi jajanan yang disodorkan penjual di sekolah. Selain itu para gurupun harus
memberi teladan yang baik dalam menerapkan kebiasaan makan, misalnya tidak turut
pula jajan di luar.

Kegemaran anak-anak akan hal yang manis, gurih, asam dsb, kadang dimanfaatkan
oleh produsen makanan untuk menarik konsumen terutama anak-anak. Kadangkala
produk yang ditawarkan bukan menyehatkan malah berbahaya bagi kesehatan,
misalnya terlalu tingginya kadar lemak, kadar garam, kadar gula, kadar asam atau
berbagai bahan makanan tambahan sintetis seperti bahan pewarna, bahan penyedap
(natrium glutamat, misalnya), bahan pengawet, bahan pemanis sintetis dsb. Hal yang
lebih buruk lagi dalam produk makanan yang ditawarkan tidak mengandung gizi yang
cukup, terutama bagi anak-anak. Jika iklan-iklan di televisi, radio, mass media atau
plakat-plakat tidak diseleksi, terutama oleh orang tua dan para pendidik, akan mudah
sekali membentuk kebiasaan makan yang tidak menyehatkan.

Dari beberapa penelitian Gizi yang dilakukan di Indonesia, menyatakan bahwa salah
satu penyebab Kekurangan Energi Protein (KEP), anemia, dan kekurangan Iodium
pada anak-anak karena faktor ekonomi (pendapatan rendah). Sebenarnya faktor lain
yang dirasa cukup penting adalah kurangnya penyuluhan tentang makanan sehat,
sehingga terbentuk pola-pola makan yang salah. Makanan sehat tidak selalu berasal
dari bahan yang mahal. Dari bahan nabati sayuran, buah dan biji-bijian atau kacang-
kacangan yang relatif murah dan mudah diperoleh, dapat menghasilkan makanan
sehat.

Sebagai bahan perbandingan, dinegara maju, yang dapat dikatakan tingkat pendapatan
relatif tinggi, pada sebagian mayarakat yang salah menerapkan pola makan,
menghadapi masalah pula dalam soal kesehatan, misalnya; terlalu gemuk, darah
tinggi, terlalu tinggi kolesterol, penyakit gula, kurangnya pertahanan tubuh, dan
berbagai gangguan metabolisma lainnya. Mereka bukan tidak mampu membeli
makanan sehat, tetapi salah memilihnya, misalnya anak-anak terlalu banyak dibiarkan
makanan-makan fast food, seperti Kentang goreng (pommes), Hamburger, sosis,
coklat, minuman-minuman penyegar berkadar gula tinggi, es krim dsb.

Makan Pagi dan Makan diantara Pagi dan Siang

Pada beberapa keluarga, makan pagi (sarapan) kadang dianaktirikan, karena tidak
selera atau terlambat bangun. Anak-anak akan cepat meniru kelakuan orangtuanya,
sehingga ke sekolah tanpa sarapan terlebih dahulu. Padahal makan pagi ini sangat
berarti karena memberikan asupan energi untuk kegiatannya selama di sekolah
sebelum waktu makan siang, di samping itu mencegah terjadinya tekanan darah
rendah, yang menyebabkan anak lemas, lesu, pusing atau tak dapat berkonsntrasi.

Pagi hari simpanan kalori di hati sudah kosong, setelah digunakan seharian dan
semalam tubuh diistirahatkan, dan sel-sel otak akan memerlukan suatu konsentrasi
gula darah yang konstan, dan hal ini dapat dipenuhi melalui pengisian makanan pada
pagi hari. Berdasarkan penelitian para ahli, kesiapan kerja yang dihubungkan dengan
waktu-waktu makan, paling tinggi terjadi pada waktu antara pagi dan siang hari
(sekitar pukul 9 - 10 pagi). Dengan melihat kurva pada Gambar 1. Akan lebih jelas
terlihat, kebutuhan akan makan pagi atau makan diantara pagi dan siang yang dapat
kita penuhi dengan membawakannya bekal ke sekolah.

Mengenai selera makan pada pagi hari belum timbul, karena belum banyak aktivitas
yang dilakukan. Apalagi bagi anak-anak, mereka hanya mau makan yang menurutnya
enak dan menimbulkan selera. Di sinilah orangtua diminta lebih banyak
mengeluarkan ide untuk merangsang selera makan anak-anak. Waktu makan pagi
bersama keluarga adakalanya dapat menambah selera makan bagi anak-anak. Jika
terlambat bangun atau tidak ada waktu untuk hal tersebut, dicoba mengisi dulu perut
walaupun sedikit sebagai sumber energi pertama, apakah cukup dengan secangkir
susu atau segelas teh manis serta sepotong roti, sebuah pisang matang atau ubi goreng.
Namun selanjutnya anak-anak yang sudah sekolah dibawakan bekal, agar pada jam-
jam istirahatnya kembali dapat meneruskan makan diantara pagi dan siang (sarapan ke
2). Sehingga kebutuhan akan energi untuk segala aktivitasnya di sekolah sebelum
makan siang dapat dipenuhi. Sedangkan bagi anak-anak pra sekolah, dapat diberikan
lagi makan pagi antara pukul 9 dan 10 pagi, karena pada jam-jam itulah daya kerja
sangat optimum dan memerlukan asupan energi yang cukup (Lihat Gambar 1.).

Suatu kebiasaan yang salah dari para orangtua adalah memberinya uang jajan sebagai
pengganti makan paginya di rumah, dengan alasan tidak sempat menyiapkan makan
pagi. Padahal makan pagi atau bekal ke sekolah itu dapat disiapkan hari sebelumnya.
Aneka makanan dapat diusahakan untuk menaikkan selera makan si anak. Jika nasi
dan lauk tidak memenuhi selera mereka, dapat diganti dengan arem-arem yang sudah
dibuat sehari sebelumnya, atau jika penganan nasi bosan mereka makan, dapat diganti
dengan aneka roti yang dilengkapi dengan isinya, bihun, mie goreng, kentang, serabi
misalnya.

Hal yang sangat membantu jika sekolah mengadakan waktu istirahat antara pukul 9
dan 10 pagi, kemudian gunakan sebagian waktu itu untuk membuka bekal bersama
dalam kelas. Sehingga ketika keluar kelas anak-anak tidak disibukkan lagi mencari
jajanan, waktu istirahat yang tersisa dapat digunakan untuk bermain. Kemudian
masuk kelas kembali sudah cukup energi untuk menerima pelajaran selanjutnya. Jika
kebiasaan ini belum diterapkan di sekolah-sekolah, melalui POM (Persatuan Orangtua
Murid), dapat didiskusikan dan diusulkan. Disamping itu dapat pula diusulkan
adanya upaya penyuluhan bagi para pendidik dan orangtua tentang makanan sehat dan
menyehatkan melalui UKS (Usaha Kesehatan Sekolah).

Makan Siang , Makan Sore dan Makan Malam

Anak-anak yang telah sekolah, biasanya pulang sekolah merasa lapar, terutama jika
mereka tidak dibiasakan jajan waktu istirahat maupun pulang sekolah. Disinilah
waktu yang tepat untuk memberi asupan gizi yang lengkap bagi anak-anak. Makanan
hangat yang disajikan, selain memenuhi rasa laparnya juga memenuhi kebutuhan
gizinya. Jika pada pagi hari sulit untuk menerima sayur dan buah, maka pada saat ini
lengkapi menu makanan dengan bahan tersebut, selain makanan utamanya (nasi dan
lauk pauknya).

Waktu kapankah yang tepat untuk makan siang?. Hal ini sangat relatif tergantung
situasi dan kebiasaan yang diterapkan. Adakalanya pukul 12 siang anak-anak sudah
merasa lapar, terutama jika pagi hari tidak cukup terpenuh kebutuhannya. Tetapi pada
beberapa anak dapat dilakukan antara pukul 12.00 sampai 13.30. Hanya jangan
dibiasakan terlalu telat, dan dibiarkan mereka menyela dengan makanan-makanan
kecil dahulu. Makan siang ini sangat penting karena mengganti energi yang terbuang,
dengan kegiatan-kegiatan pagi hari dan menjelang siang, serta menyiapkan energi
untuk kegiatan-kegiatan selanjutnya, yang biasanya cukup padat pula. Hanya perlu
juga mendapat perhatian, bahwa makan itu tidak terlalu kenyang, karena kerja alat-
alat tubuh terlalu dipaksakan, akibatnya perasaan ngantuk akan datang.

Jika pada sianghari tidak memungkinkan untuk makan bersama dalam keluarga, tetapi
diusahakan agar mereka dapat makanan yang sehat. Artinya jangan dibiarkan untuk
mengganjal perutnya yang lapar, hanya dengan sepiring nasi atau mie instant tanpa
campuran lauk atau sayur. Biasanya karena lapar, anak-anak akan menyantap apa saja
yang tersedia di meja. Jika tak siap menyiapkan makanan baru pada siang itu, dapat
berupa makanan hangatan yang telah dipersiapkan sehari sebelumnya, dengan tidak
lupa melengkapinya dengan sayur segar atau buah sebagai makanan pencuci
mulutnya.

Kebiasaan makan diantara makan siang dan makan malam (makan sore) ini memang
belum umum dilakukan. Padahal secara tidak langsung hal tersebut dilakukan juga,
misalnya dengan jajan pada sore hari atau sering didengar istilah minum kopi sore.
Memang tubuh pada waktu-waktu tersebut tidak terlalu banyak memerlukan energi,
apalagi jika anak biasa tidur siang. Kebutuhan waktu makan ini sebagai pengisian
jeda waktu antara makan siang dan makan malam sehingga perut tidak dibiarkan
kosong terlalu lama. Kebutuhan ini meningkat, jika pada siang hari banyak dilakukan
aktivitas-aktivitas, misalnya : anak-anak mengerjakan pekerjaan rumah, atau ekstra
kulikuler lain, atau kegiatan-kegiatan hobbi dan pengisian waktu luang lainnya.

Waktu yang tepat untuk makan diantara siang dan malam ini pun sangat relatif. Akan
tetapi orang yang makan siangnya cepat (pukul12.00 misalnya), maka antara pukul 3
dan 4 sore sudah membutuhkan makanan selingan kembali. Makanan pada waktu ini
tidak perlu terlalu berat seperti halnya makan siang. Secangkir coklat susu dan
sepotong kuepun sudah dapat memenuhi kebutuhan. Hal yang lebih baik lagi jika
pemenuhan kebutuhan waktu ini dengan aneka panganan dari buah, selain
menyegarkan di waktu hari agak panas, juga menambah asupan vitamin, mineral dan
serat kasar pada anak-anak. Pada musim hujan dapat dengan semangkuk kecil bubur
kacang hijau misalnya. Jika anak-anak sekolah siang hari, bawakanlah juga bekal
untuk kebutuhannya di waktu istirahat sore hari.

Makan malam adalah waktu yang biasanya dapat diharapkan seluruh anggota keluarga
berkumpul. Sehingga pada beberapa keluarga, jenis menu pada waktu ini sangat
istimewa dibandingkan waktu-waktu makan lainnya. Kebiasaan makan bersama ini
sangat baik dilakukan, tetapi ada dua hal yang perlu diperhatikan, pertama siapkan
menu yang mudah dicerna oleh perut, ke dua jangan terlalu terlambat waktunya
supaya tidak tidur dengan perut penuh. Ke dua hal tersebut bertujuan agar dapat tidur
sebagai sarana istirahat dan melepaskan lelahyang tenang dan pemulihan kembali
tenaga yang cukup.

Gambar 2. Prosentasi pembagian energi pada 5 kali waktu makan

Pembagian waktu makan sebagai suatu kebiasaan yang diterapkan pada keluarga tentu
saja tidak semua harus sama. Akan tetapi pembagian 5 waktu makan seperti yang
telah dipaparkan di atas, selain menyatakan jumlah yang dimakan, berapa sering, juga
berhubungan dengan kebutuhan manusia itu sendiri (Lihat Gambar 1., Kurva Daya
Kerja).

Beberapa pakar Gizi menyatakan beberapa kelebihan dengan pembagian 5 kali waktu
makan antara lain

Peredaran darah dan pertukaran zat makanan menjadi lebih ringan kerjanya
Mencegah rasa lapar yang berlebihan karena jarak waktu makan tidak terlalu jauh
Mencegah kelebihan berat, karena makan dengan jumlah sedikit tetapi lebih kerap
Orang tidak menjadi lekas lesu, lelah karena kurang kalori.
Pada Gambar 2. dapat dilihat porsentase pembagian energi melalui 5 kali waktu
makan.

Sayur dan Buah

Bahan-bahan bergizi ini seringkali dilupakan oleh para orangtua. Sayur dan buah
hanya diberikan sebagai selingan kalau ada dan tidak dianggap sebagai makanan
penting. Sehingga anak-anak menjadi tidak terbiasa makan malah pada sebagian anak
menjadi tidak menyukainya. Padahal sayur atau buah sebaiknya dijadikan makanan
utama disamping makanan-makanan penghasil tenaga atau protein lainnya. Banyak
keuntungan yang dapat diperoleh dengan membiasakan makan sayur dan buah
tersebut, diantaranya : pertama memenuhi kebutuhan vitamin dan mineral yang
penting bagi tubuh, kedua sebagai sumber serat kasar yang dapat membantu
mengaktifkan fungsi usus dan melancarkan pembuangan sisa-sisa pencernaan, ketiga
mencegah kegemukan (obesitas), karena untuk mengurangi lapar dapat dipenuhi, akan
tetapi tidak menimbulkan kelebihan lemak, kolesterol dsb, keempat dapat digunakan
untuk sarana menambah selera makan melalui aneka warna dan rasa sayur dan buah-
buahan tersebut.

Sebaiknya sejak bayi, anak sudah dikenalkan akan kedua jenis bahan ini. Pada bayi
kurang lebih empat bulan, di samping Air susu ibu (ASI) sudah memerlukan makanan
pelengkap. Pertama bayi dikenalkan makanan pelengkap dapat diberikan sayur,
misalnya bubur lembut wortel yang telah direbus, dicampur sari tomat, dapat juga
bubur lembut pisang, lumatan pepaya matang dan sari buah-buahan segar lainnya.
Kemudian meningkat diberikan makanan lain seperti bubur tepung, biskuit, kemudian
bubur lunak dan selanjutnya makanan sapihan, akan tetapi kedua jenis bahan tersebut
tidak lupa diberikan. Akhirnya anak menjadi terbiasa makan sayur dan buah.

Sayur biasanya digunakan sebagai makanan pendamping nasi dan lauk, dan buah
hanya diberikan sebagai tambahan setelah makan. Pola ini dapat kita ubah dengan
membiasakan memakannya disela-sela waktu makan, sehingga lebih banyak
asupannya. Selain itu yang paling baik kedua jenis bahan ini dimakan dalam keadaan
segar. Biasanya jika sayuran sudah dilakukan pengolahan berulangkali, apalagi
dengan pemanasan tinggi, beberapa vitamin sudah tidak berfungsi lagi. Pada anak-
anak yang telah cukup gigi geliginya, baik jika diberikan wortel mentah, tomat segar
tanpa dimasak, timun, kacangpanjang segar dan muda, paprika, daun salat, serta
berbagai jenis buah-buahan diantara waktu-waktu makannya. Sehingga ketika waktu
makan mereka tidak mau lagi memakan sayuran atau buah-buahan sudah terpenuhi
sebelumnya. Tidak ada salahnya jika dalam bekal anakpun disisipkan buah-buahan
yang menaikkan selera makannya.
Minum dan Minuman

Masalah ini kadang kurang menjadi perhatian. Dari beberapa penelitian yang di
lakukan di beberapa negara Eropa, menyatakan bahwa anak-anak sangat sedikit
minum. Padahal minum bagi manusia demikian pula bagi anak-anak sama pentingnya
seperti asupan gizi lainnya. Kebiasaan yang dilakukan selanjutnya akan berpengaruh
pada perasaan haus seseorang. Jika anak dibiasakan minum 1 sampai 1.5 liter sehari,
dengan sendirinya perasaan hausnya akan datang untuk memenuhi kebutuhan cairan
bagi tubuhnya. Pada anak-anak yang sedikit minumnya, orangtuanya perlu selalu
mengingatkan atau menawarkan akan hal tersebut.

Cairan dalam tubuh merupakan bagian yang terbesar, karena sebagian cairan ada yang
terbuang melalui ginjal sebagai urine atau melalui kulit sebagai keringat, maka perlu
adanya pemasukan kembali untuk menjaga keseimbangannya. Cairan atau air dalam
tubuh mempunyai banyak tugas yang penting, diantaranya;

Sebagai bagian penting dalam darah, cairan pencernaan dan juga pengeluaran air
mata.
Sebagai bahan pelarut bagi bahan-bahan makanan yang dicerna
Sebagai alat tranportasi bahan-bahan makanan ke dalam seluruh sel tubuh
Sebagai pengatur suhu tubuh, terutama yang tengah mengalami demam atau
influensa disarankan banyak minum.
Sebagai pengantar bahan buangan sebagai produk akhir dari metabolisma.
Akibat langsung yang banyak diderita orang yang kurang minum adalah penyakit
pada saluran kencing atau ginjal, kencing batu misalnya.

Melihat begitu kompleknya tugas air dalam tubuh, maka kurang lebih 2-3 liter air
dibutuhkan orang dewasa per harinya dan 1 - 1.5 liter bagi anak-anak. Kebutuhan ini
memang sangat relatif, jika hari panas dan banyaknya aktifitas yang mengeluarkan
keringat dilakukan, maka makin banyak air dibutuhkan oleh tubuh. Pemenuhan air ini
tidak selalu dari minum, tapi juga melalui makanan-makanan yang mengandung air,
misalnya berbagai jenis sup atau sayur berkuah, buah-buahan, kue-kue bersaus dsb.
Semakin sedikit makan makanan yang mengandung air, makin banyak diperlukannya
asupan air melalui minum .

Minuman yang paling tepat untuk mengurangi rasa haus adalah air yang mengandung
mineral, atau lebih dikenal sekarang sebagai aqua, teh buah tanpa gula atau sari
buah atau perasan buah segar. Sedangkan susu atau minuman-minuman manis
lainnya sebagai sumber energi dapat diberikan pada waktu-waktu tertentu, misalnya
makan pagi, makan antara pagi dan siang atau makan sore.
Limun, sirop, minuman penyegar , atau saribuah buatan, mengandung terlalu banyak
gula dan berbagai bahan tambahan makanan lain seperti bahan pengawet, bahan
pewarna atau bahan pemanis sintetis, hal ini tidak baik untuk kesehatan. Demikian
pula Cola tidak baik jika dibiasakan diberikan pada anak-anak. Minuman tersebut
mengandung kofein (seperti pada kopi), gula yang sangat tinggi, bahan pewarna,
aroma, asam dan tidak mengandung vitamin ataupun mineral. Mungkin pada saat-
saat tertentu saja mereka diberikan minuman-minuman tersebut, misalnya ketika ada
perayaan-perayaan , tapi tidak khusus menyediakannya sebagai alternatif minuman di
rumah.

Biasanya anak hanya minum ketika ia telah makan, kebiasaan ini harus dirubah.
Karena jika hanya mengandalkan pada waktu-waktu makan terlalu sedikit asupan air,
disamping itu, mereka kenyang dengan makanan, perut sulit menampung air lagi,
untuk satu gelas sekalipun. Untuk itulah diantara waktu-waktu makan utama anak
perlu disodorkan minuman, dapat berupa perasan sari buah misalnya atau secangkir
air putih biasa yang dilengkapi sedotan. Untuk bekal ke sekolahpun, tak lupa
dilengkapi dengan minuman, sehingga jika mereka haus bukan jajan es yang
dilakukannya, yang tidak dapat dijamin kebersihannya, dan dapat menyebabkan sakit
tenggorokan.

Demikian apa yang dikemukakan di atas beberapa contoh kebiasaan makan sehat
yang dapat diterapkan dalam keluarga. Jika ingin menerapkannya pada anak-anak,
maka orangtuanya dululah yang memberi tauladan. Anak-anak tidak akan gemar
sayur atau buah, jika tidak dilihatnya orangtuanya memakannya. Demikian pula,
bagaimana anak tidak menjadi biasa jajan, jika orangtuanyapun untuk makan sehari-
hari terbiasa dengan membeli makanan jadi atau makanan cepat hidang (Fast food).

Daftar Pustaka

Szwillus, Marlisa. 1984. 1x1 der richtigen Ernahrung. BLV Verlagsgesellschaft


mbH. Munchen. Germany
Anonim. 1994. Brenstarke Kinderkost. Verbraucher-Zentrale Nordrhein-
Westfalen e.V. Dsseldorf. Germany.
Anak menempati posisi strategis dalam pengembangan sumberdaya manusia di masa
depan. Anak merupakan kelompok penduduk yang peling rentan terhadap gangguan
kesehatan dan gizi. Status imunitas, diet dan psikologi anak belum matang atau masih
dalam taraf kelangsungan serta kualitas hidup anak sangat tergantung pada penduduk
dewasa, dalam hal ini ibu atau orang tuanya (Utomo dalam Mariani, 2004). Orang tua
pada dasarnya berkewajiban untuk menyajikan kondisi yang menguntungkan bagi
pertumbuhan dan perkembangan bagi anaknya. Begitu juga dalam hal pemenuhan
kebutuhan jasmani, dalam hal ini berkaitan dengan pemenuhan gizi pada makanan
yang dikonsumsi sehari hari oleh anak. Masa kanak kanak paling sering
dikeluhkan oleh orang tua adalah sebagai masa dimana anak sangat sulit untuk makan,
apalagi makanan rumahan yang diracik sendiri oleh ibunya. Bahkan, terdapat banyak
orang tua yang putus asa karena anaknya sangat sulit makan sehingga mereka
membiarkan anak-anaknya membeli jajanan yang memang mereka sukai
dibandingkan dengan makanan olahan ibunya sendiri yang menurut mereka kurang
lezat. Hal ini menjadi faktor yang menyebabkan permasalahan gizi pada anak yang
tidak tercukupi.
Berbagai jenis jajanan yang di sajikan secara menarik banyak ditawarkan oleh penjual
yang diedarkan di sekolah-sekolah maupun warung-warung yang tersebar di penjuru
pemukiman warga. Namun, tidak banyak masyarakat yang tahu kandungan gizi yang
ada dalam makanan yang di jual belikan dan sangat laris manis dibeli oleh anak-anak.
Di sisi lain, orang tua selalu memberikan uang jajan untuk anaknya ketika hendak
berangkat sekolah maupun sekedar pergi bermain. Hal ini dilakukan dengan alasan
para orang tua tidak tega melihat anaknya menangis ketika merengek meminta jajan
karena permintaannya tidak dipenuhi. Orang tua akan merasa bersalah jika tidak dapat
memenuhi permintaan anaknya tersebut, karena mereka bekerja mencari uang juga
digunakan untuk memenuhi kebutuhan anak mereka.
Selain rasanya yang lezat dan dikemas secara menarik, faktor lain yang membuat anak
lebih menyukai untuk jajan dari pada makan makanan yang disajikan ibu dirumah
adalah langkanya bahan makanan yang mengandung nutrisi yang baik bagi tubuh
untuk diolah dan menurunnya keterampilan para ibu dalam mengolah bahan makanan
menjadi sesuatu yang sehat dan menarik bagi anak-anak mereka. Moehdji (dalam
Mariani) mengatakan bahwa sebagian besar kejadian gizi buruk pada anak dapat
dihindari apabila ibu mempunyai cukup pengetahuan tentang bagaimana cara
mengolah bahan makanan dan cara mengatur menu.
Pangan sebagai kebutuhan pokok manusia harus selalu diupayakan untuk dicukupi
dan tersedia setiap waktu di setiap rumahtangga. Pangan yang kita konsumsi di
samping sebagai sumber karbohidrat, juga sebagai sumber protein, vitamin dan
mineral. Sebenarnya bahan makanan yang kaya nutrisi dapat dengan mudah
didapatkan mengingat bahan makanan yang bergizi tidak harus mahal. Protein dan
karbohidrat dapat diperoleh melalui umbi-umbian yang dapat dengan mudah tumbuh
dihalaman atau kebun rumah. Kalsium dan zat besi juga bisa diperoleh dari kacang-
kacangan dan sayuran hijau yang biasa ditanam dikebun-kebun milik warga.
Psikolog Universitas Indonesia, Mayke S. Tedjasaputra (dalam
http://kliniksehatmadani.wordpress.com/2009/05/18/jangan-biarkan-anak-suka-jajan/)
mengatakan, untuk mencegah kebiasaan jajan anak harus dimulai dari pola makan
keluarga. Salah satu cara adalah membuat kudapan tandingan yang tidak kalah enak
dari jajanan yang dapat dibeli di luar rumah. Hal ini sudah sangat langka ditemui pada
keluarga-keluarga yang ada didalam masyarakat. Sebagian besar ibu-ibu merelakan
uang mereka untuk membeli makanan jadi dengan alasan lebih menghemat waktu
atau tidak sempat masak. Padahal, anak akan lebih terkontrol keamanan makanan dan
gizi terjamin. Apalagi pada anak usia sekolah yang sangat membutuhkan segala
makanan yang memberikan asupan gizi yang mencukupi kebutuhannya untuk
beraktivitas di sekolah. Tumbuh kembang anak usia sekolah sangat bergantung pada
pemberian gizi dengan kualitas dan kuantitas yang baik serta benar dalam
meningkatkan status gizi. Dalam kasus pada film Dilarang Makan Kerupuk, kritik
yang besar bagi masyarakat adalah untuk memberikan pembinaan kepada orang tua
dan anak-anak mereka mengenai pengetahuan bagaimana memilih jajanan yang sehat
baik dilingkungan sekolah, rumah, dan lingkungan masyarakat yang lebih luas,
mengingat bahwa anak-anak merupakn infestasi bangsa yang petut untuk dijaga.
Masalah keamanan pangan jajanan disekitar sekolah maupun yang dijajakan pada
warung-waarung dekat pemukiman warga antara lain ditemukannya (1) produk olahan
yang tercemar bahan berbahaya (mikrobiologis & kimia), (2) panga siap saji yang
belum memenuhi syarat higiene & sanitasi, dan sumbangan pangan yang tidak
memenuhi persyaratan kesehatan. Penyebabnya, tata cara penanganan pangan yang
mengabaikan aspek keamanan pangan dan ketidak tahuan konsumen (anak-anak
sekolah, orang tua dan masyarakat sekitar) mengenai pangan jajan yang aman (Arista
dalamhttp://kliniksehatmadani.wordpress.com/2009/05/18/jangan-biarkan-anak-suka-
jajan/). Beberapa penelitian mengatakan bahwa banyak jajanan yang dijual disekitar
sekolah maupun warung-warung di pemukiman warga yang tidak sehat seperti
tercemar bakteri patogen, menggunakan pewarna yang dilarang (Rhodamin B, dll)
atau bahkan menggunakan bahan pengawet makanan (Borax, dll), dan hal tersebut
menunjukkan bahwa sebagian besar jajanan yang digemari anak-anak tersebut sangat
tidak mengandung gizi. Bahkan sangat berbahaya bagi kesehatan anak.
Status gizi merupakan hasil konsumsi pangan dan pemanfaatannya di dalam tubuh.
Untuk mencapai status gizi yang baik, diperlukan pangan yang mengandung zat gizi
cukup dan aman untuk dikonsumsi. Selain faktor konsumsi pangan dan faktor
kesehatan, faktor pola pengasuhan anak juga merupakan faktor yang berhubungan
dengan status gizi anak (Engle, Menon & Haddad dalam Marani, 2004).
Pola pengasuhan anak berupa sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal
kedekatannya dengan anak, memberikan makan, merawat, kebersihan, memberikan
kasih sayang dan sebagainya. Semua faktor yang berhubungan dengan status gizi anak
juga berhubungan dengan ketersediaan sumberdaya keluarga seperti pendidikan dan
pengetahuan ibu, pendapatan keluarga, status bekerja ibu, sanitasi dan kesehatan
rumah. Menurut Murniati Sulastri ( dalam Palupi, 2007), tingkat pendidikan ibu juga
mempunyai pengaruh terhadap perkembangan anak. Hal ini disebabkan ibu yang
berendidikan akan memberi motivasi, mengarahkan dan mengasuh anak. Menurut
Astuti (dalam Palupi, 2007), semakin tinggi tingkat pendidikan pada umumnya, makin
pula mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan penghasilan yang lebih besar.
Dengan penghasilan yang memadahi diharapkan anggota keluarga memperoleh
makanan bergizi yang relatif lebih sesuai dengan harapan.
Seseorang akan maju dan berhasil bila ditunjang dengan pendidikan yang memadahi
atau baik. Demikian juga dengan pendidikan orang tua mempyunyai katan yang erat
dengan tugasnya sebagai pendidik yang pertama dan utama bagi anak. Melalui
pendidikan akan di peroleh perkembangan masyarakat, sehingga dapat diduga bahwa
penambahan waktu untuk mngikuti pendidikan akan menambah kesadaran satu pihak
dan perkembangan dipihak lain. Apabila orang tua tidak memiliki pengetahuan atau
tingkat pendidikan yang cukup baik dan luas tentang kesehatan, makanan/gizi, cara
mendidik anak, cara bergaul dengan masyarakat sekitar, maupun pengetahuan atau
keterampilan yang berkaitan dengan pekerjaan, sehingga dalam memberikan
pendidikan kepada anak tentu juga sesuai dengan apa yang dimiliki. Namun
sebaliknya jika orang tua memiliki pengetahuan atau pendidkan yang cukup tinggi
ataupun baik, wawasannya luas, maka dalam memberikan pendidikan kepada anak
akan baik pula sesuai dengan apa yang dimiliki.
Menurut Karyadi (dalam Maryati, 2004), pola asuh makan adalah praktik-praktik
pengasuhan yang diterapkan oleh ibu kepada anak yang berkaitan dengan pemberian
makan. Tujuan memberi makanan pada anak adalah untuk memenuhi kebutuhan zat
gizi yang cukup demi kelangsungan hidup, pemulihan kesehatan, aktivitas
pertumbuhan dan perkembangan. Jika asupan gizi pada anak dapat terpenuhi dengan
baik maka anak pun dapat mengikuti segala kegiatan sehari-hari untuk
mengaktualisasikan dirinya dan siap bersaing dengan teman sebaya pada umumnya.
Pengaruh lingkungan masyarakat juga membawa dampak pada kebiasaan untuk jajan.
Anak-anak sekolah misalnya, akan merasa iri jika teman-temannya membeli jajanan
ketika jam istirahat tiba namun dia sendiri tidak membelinya. Mereka akan merasa
berbeda dengan teman-temannya yang lain. Masyarakat mempunyai pengaruh
perkembangan yang sangat besar dalam kehidupan individu. Kegiatan jajan bagi anak
kadang dapat diartikan sebagai proses untuk menyamakan dirinya dengan teman-
teman yang ada disekitarnya, dan sebagai ajang untuk mendapatkan teman.
Keluarga merupakan bagian dari masyarakat. Awal dari masyarakat pun dapat kita
katakan berasal dari hubungan antar individu, kemudian kelompok yang lebih
membesar lagi menjadi kelompok yang besar orang-orang yang disebut dengan
masyarakat. Jadi keluarga dapat diartikan inti dari masyarakat. Maka segala tindak
perilaku dalam keluarga juga tidak dipungkiri bisa jadi adalah pengaruh dari
masyarakat sekitar. Jika keluarga pada umumnya sudah membatasi jajan anak
perharinya, belum tentu anak akan menuruti. Dia pasti akan terpengaruh teman-
temannya yang membeli jajan lebih dari dirinya dan pasti dia akan meminta kepada
orang tuanya untuk ddisamakan dengan teman-teman yang lainnya. Disinilah betapa
perlunya sinergi antara keluarga dan masyarakat sekitar.
Selain kandungan yang ada didalam makanan tersebut dapat membahayakan tubuh,
kebiasaan jajan anak-anak dapat pula mngakibatkan konsumerisme secara tidak
langsung bagi rumah tangga. Pengeluaran yang dlakukan tiap bulannya dapat
dipastikan membengkak hanya karena digunakan untuk memenuhi keinginan si anak.
Jika fenomena jajan anak ini dikaitkan dengan teori konsumerisme, Marx mengatakan
bahwa hasil produksi tidak secara langsung terkait dengan kebituhan masyarakat.
Barang produksi adalah komoditas yang mendahulukan nilai tukar dari pada nilai
guna. Dalam kondisi demikian, masyarakat merupakan objek yang didorong produsen
untuk mengkonsumsi, dimana produsen mampu menciptakan kebutuhan masyarakat
sedangkan masyarakat berada dalam subordinat kebutuhan masyarakat. Dalam
pemutaran film Dilarang Makan Kerupuk, ditunjukkan bahwa pengeluaran pertahun
setiap rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan anaknya, dalam hal ini jajan (junk
food) melebihi APBD daerah tempat tinggal mereka. Betapa sia-sianya uang mereka
hanya terbuang begiu saja untuk membeli makanan yang menurut anak-anak mereka
enak, lezat namun tidak mengandung manfaat bahkan berbahaya bagi tubuh.
Banyaknya organisasi yang ada dalam masyarakat bisa dijadikan sebagai sarana untuk
memberikan penyuluhan mengenai makanan atau jajanan yang sehat bagi anak.
Sehingga keterampilan dalam memilih dan mengolah bahan makanan dapat dimiliki
semua lapisan masyarakat. Melalui penyulihan di desa-desa saat KKN mahasiswa
misalnya, materi penyampaian juga dapat sekitar bahaya jajan sembarangan, dll.
Kegiatan pengajian yang rutin didatangi ibu-ibu juga cukup efektif untuk diselingi
materi tersebut. Yang menjadi poin penting disini adalah bagaimana
pengkomunikasian materi yang dsampaikan kepada para pendengar, sehingga mereka
benar-benar memahami dan melakukan apa yang menjadi saran dari pemateri, dan
warga benar-benar dapat melakukan kerja nyata setelah mendapatkan
penyuluhan.Pada kegiatan PKK (atau yang serupa), selain melakukan penyuluhan
juga dapat melakukan pelatihan membuat aneka kue atau makanan untuk disajikan
pada keluarga. Dengan seperti ini, kemampuan ibu-ibu untuk mengolah bahan
makanan akan semakin terasah dan semakin kreatif untuk mengolah bahan makan
menjadi makanan yang sehat dan terjamin.
Jika perlu, dibentuk organisasi masyarakat. Sebagai organisasi yang berbasis pranata
dalam masyarakat, institusi ini biasanya kuat eksistensinya termasuk pola
kepemimpinannya dan dapat mengikat serta melibatkan mayoritas warga masyarakat
dlam komunitas tersebut. Hal ini tentu lebih efektif karena semua lapisan masyarakat
akan terliat langsung dalam berbagai kegiatan. Biasanya organisasi seperti ini bersifat
swadaya dari masyarakat, sehingga mereka terlepas dari pemerintah karena tumbuh
dari dalam dan atas prakarsa dari masyarakat sendiri.
Di lingkungan sekolah, pengetahuan mengenai jajanan sehat juga penting dilakukan.
Hal ini dapat dilakukan melalui praktek UKS yang ada di sekolah. Sekolah-sekolah
secara berkala pasti akan mendapat pantauan dari unit kesehatan setempat
(Puskesmas), dan guru berperan untuk menginternalisasikan nilai yang disampaikan
agar benar-benar dipatuhi oleh para siswanya. Lalu peran sekolah, yang dapat
dilakukan adalah melakukan pengawasan terhadap jajanan anak, menyediakan sarana
kantin yang bersih, layak dan sehat, mengedukasi siswa tentang makanan yang aman
dan sehat. Pengelola kantin juga harus memperhatikan kebersihan kantinnya, higienis
dan baik sanitasinya, menghindari penggunaan zat berbahaya dalam makanannya.
Dalam keluarga, orangtua juga perlu mengawasi kebiasaan jajan anaknya,
mengarahkan dan memberikan pemahaman tentang jajanan yang aman, sehat dan
bergizi. Membiasakan anaknya sarapan di rumah sebelum berangkat sekolah, atau
memberi bekal makanan dari rumah yang bersih, sehat, aman dan bergizi.
Memberikan pengetahuan atau sosialisasi mengenai makanan sehat juga menjadi
kewajiban bagi orang tua agar anak dapat memilih makanan sejak dini. Mulai dari si
ibu sebagai orang pertama yang menjadi lawan interaksi dari si anak, kemudian
anggota-anggota keluarga lainnya dan seterusnya nanti dalam masyarakat. Proses
sosialisasi yaitu proses membantu individu melalui proses belajar dan penyesuaian
diri bagaimana cara hidup, bagaimana cara berpikir dari kelompok. Dari berbagai
defini tentang sosisalisai, Vembriarto (dalam Khairuddin, 1985) menyimpulkan bahwa
sosialisasi:
(1) Proses sosialisasi adalah proses belajar, yaitu proses akomodasi dengan mana
individu menahan, mengubah impuls dalam dirinya dan mengambil cara hidup atau
kebudayaan masyarakat disekitarnya;
(2) Dalam proses sosialisasi itu individu mempelajari kebiasaan, sikap, ide, pola, nilai
dan tingkah laku, serta standar tingkah laku pada masyarakat dimana dia hidup;
(3) Semua sifat dan kecakapan yang dipelajari dalam proses sosialisasi itu disusun
dan dikembangkan sebagai suatu kesuatuan sistem dalam pribadinya.
Apabila di implementasikan, jika keluarga terbiasa mengkonsumsi makanan rumah,
sangat jarang jajan, maka secara tidak langsung si anak akan belajar kebiasaan yang
ada dalam keluarga tersebut. Dan dapat dipastikan anak akan jarang meminta untuk
jajan.
Jika semua elemen masyarakat sudah mengetahui bagaimana memilih dan mengolah
jajanan yang baik hendaknya mereka juga dapat memilah dagangan yang akan mereka
jual dan bahan yang mereka olah. Mengurangi atau membatasi penjualan makanan
instan dan memperbanyak bahan makanan yang bergizi. Pengefektifan lahan yang ada
dirumah-rumah warga juga membantu warga untuk dapat menanam bahan makanan
yang diperlukan.

Sumber referensi:
Mariani. 2004. Hubungan Pola Asuh Makan, Konsumsi Pangan Dan Infeksi Dengan
Status Gizi Anak Balita. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Tahun ke-10 No. 049
Hal 564

Palupi, Sri. 2007. Hubungan Tingkat Pendidikan Orang Tua dengan Pola Hidup Sehat
Anak, Cakrawala Pendidikan, Th. XXVI, No. 2 Hal 309
Puspitaningrum, Dwi Aulia. 2008, Ketahanan Pangan dan Peran Wanita untuk
Mewujudkannya (Suatu Studi di Tingkat Rumahtangga Wilayah Daerah Istimewa
Yogyakarta), Paradigma, Volume 12, Nomor 2 Hal 102

Citrobroto, R.I Suhartin. 1984. Cara Mendidik Anak Dalam Keluarga Masa Kini.
Jakarta: Penerbit Bhratara Karya Aksara

Khairuddin. 1985. Sosiologi Keluarga. Yogyakarta: Nur Cahya

Anonim.http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/12436/BAB%20I
%20Pendahuluan_I09rwi.pdf?sequence=7
Anonim. 2011. Waspadai Makanan Berbahaya di
Sekolah.http://www.dinaspendidikan-parepare.info/index.php?
option=com_content&view=article&id=478:waspadai-makanan-berbahaya-di-
sekolah&catid=56:highlight-news diunduh pada tanggal 25 Oktober 2011
Anonim. 2011. Bahaya Junk Food atau Makanan Cepat Saji pada Anak (Bagian
2). http://id.shvoong.com/medicine-and-health/2199139-bahaya-junk-food-atau-
makanan/ di unduh pada tanggal 25 Oktober 2011
Kliniksehatmadani. 2009. Jangan Biarkan Anak Suka
Jajan.http://kliniksehatmadani.wordpress.com/2009/05/18/jangan-biarkan-anak-suka-
jajan/ di unduh pada tanggal 27
Soejadmiko, Haryanto. 2009. Konsumerisme dan Sosiologi
Konsumsi.http://haryantosujatmiko.multiply.com/journal/item/30 di unduh pada
tanggal 27 Oktober 2011
SEIMBANGKAH POLA MAKAN KELUARGA ANDA?
Tuesday, 6 November 2012 | By : admin
1

Dalam prinsip pola makan seimbang menganjurkan porsi yang berimbang antara
sumber-sumber karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral. Sebagai bahan
perbandingan, beberapa komunitas masyarakat menikmati usia tua yang produktif
(hidup sehat hingga 100 tahun), seperti suku Hunza di Himalaya dan Okinawa di
Jepang. Mereka memiliki pola makan yang lebih sehat yaitu dengan mengonsumsi
sayur dan buah lebih banyak, mengonsumsi makanan segar (fresh, bukan olahan
pabrik), sedikit mengonsumsi daging dan lemak, serta sering beraktivitas fisik.
Namun seiring perkembangan waktu, prinsip pola makan seimbang mulai banyak
ditinggalkan. Bahkan pola konsumsi anak-anak, khususnya untuk makanan jajanan,
makanan instan dan junk food semakin meresahkan. Tidak jarang ditemukan, anak-
anak kecil dengan lahapnya mengonsumsi makanan cepat saji. Lebih celaka, sistem
pemasaran restoran junk food menarik perhatian anak-anak dengan memberikan
hadiah.
Strategi marketing dengan memanfaatkan kelemahan anak-anak telah menggiring pola
konsumsi yang tidak berimbang dan konsumtif. Tak berlebihan jika kemudian anak-
anak akan memilih restoran cepat saji ketika lapar menyerang ketimbang rumah
makan tradisional. Berdasarkan pantauan YLKI, strategi pemasaran yang kerap
diterapkan oleh restoran cepat saji diantaranya gencarnya iklan yang menyasar
segmen anak-anak, menyediakan tempat bermain anak di restoran fast food, ikon yang
lekat dengan anak-anak seperti badut, artis anak-anak, tokoh kartun dan sebagainya,
pemberian hadiah khusus untuk anak-anak di dalam kemasan produk serta promosi ke
sekolah-sekolah.
Sementara, anak-anak adalah golongan konsumen yang rentan terhadap dampak
strategi marketing yang tidak etis oleh produsen pangan tidak sehat. Menghadapi
kekuatan ini berbagai pihak harus bersinergi untuk mengupayakan perlindungan
maksimal kepada anak-anak.
Kebiasan mengonsumsi makanan cepat saji inilah yang akhirnya menjadi kebiasaan
bagi orang tua untuk mulai meminggirkan makanan sehat dan seimbang. Guna
mendapatkan gambaran bagaimana masyarakat memahami makanan seimbang, baru-
baru ini YLKI mengadakan survei tentang pola konsumsi keluarga. Dan berikut
Telaah hasil survey yang dilakukan YLKI.
Ibu dan Anak
Survei yang dilakukan pada Mei 2012, menyasar di 5 wilayah DKI Jakarta (Jakarta
Utara, Jakarta Timur, Jakarta Pusat, Jakarta Selatan dan Jakarta Barat). Survei
difokuskan pada 60 sekolah yang terdiri dari 20 sekolah taman kanak-kanak (TK); 30
sekolah dasar negeri (SDN) dan 10 sekolah dasar swasta (SDS). Setiap sekolah yang
disurvei, diambil responden 10 11 orang tua murid. Kuesioner diisi langsung oleh
orang tua murid, karena yang mengambil keputusan di dalam keluarga, khususnya
untuk makanan yang akan dikonsumsi adalah orang tua.
Jumlah responden yang terlibat dalam survei ini sebanyak 204 responden (34%) untuk
tingkat TK, 300 responden (49%) untuk SDN dan 105 responden (17%) untuk SDS.
Total responden adalah 609 orang yang melibatkan responden laki-laki (6 orang; 1%)
dan responden perempuan (603 orang; 99%).
Berdasarkan usia, responden berkisar antara kurang dari 25 tahun sebanyak 14 orang
(2%), usia 25 30 tahun sebanyak 111 orang (18%), usia 31 35 tahun, 188 orang
(31%) dan lebih dari 35 tahun sebanyak 296 orang (49%).
Produk Segar
Survei menemukan sebanyak 66% responden membeli produk segar di pasar
tradisional, hanya 14% yang berbelanja di swalayan (ritel modern). Sedangkan,
beberapa responden masih memanfaatkan tukang sayur keliling dan warung yang
biasa menjual produk segar untuk kebutuhan keluarga. Ini menunjukkan bahwa animo
masyarakat mengunjungi pasar tradisonal untuk kebutuhan konsumsi sehari-hari
masih mendominasi. Khususnya untuk berbelanja produk segar, kendati swalayan/ritel
modern tersebar luas di wilayah pemukiman.
Label Kemasan
Setiap produk kemasan yang beredar harus dilengkapi dengan label. Label merupakan
media komunikasi, informasi dan edukasi antara produsen dan konsumen. Keterangan
yang terlampir dalam label mengenai pangan dapat berbentuk gambar, tulisan atau
kombinasi keduanya yang dimasukkan ke dalam, ditempelkan atau merupakan bagian
dari kemasan.
Sebagai konsumen sangat penting untuk memperhatikan, membaca dan memahami
informasi pada label yang tercantum di kemasan. Dengan membaca label, konsumen
akan mengonsumsi pangan yang sesuai dengan keinginannya. Secara umum,
informasi dasar pada label yang kerap diperhatikan konsumen sebelum membeli
produk kemasan, antara lain; nama pangan olahan, berat bersih atau isi bersih, nama
dan alamat produsen atau importir yang memasukkan pangan ke wilayah Indonesia,
bahan yang digunakan, tanggal kadaluarsa, kode produksi serta nomor registrasi.
Selain informasi tersebut, sebenarnya penting juga bagi konsumen untuk
memperhatikan informasi nilai gizi, label halal, keterangan tentang petunjuk
penyimpanan, serta peringatan.
Kesadaran konsumen dalam membaca label pangan kemasan memang cukup tinggi.
Berdasarkan hasil survei YLKI, 96 persen responden membaca informasi yang
tercantum pada kemasan ketika membeli produk, kendati tidak membaca secara detail.
Hanya sebagian kecil responden yang tidak membaca label. Salah satu alasan tidak
membaca label karena produk yang dibeli sudah rutin dikonsumsi.
Pertanyaan terbuka diberikan kepada responden terkait informasi apa saja dari label
kemasan yang di baca, mayoritas responden menjawab tanggal kadaluarsa (545
orang). Sedangkan informasi terkait nomor registrasi produk (nomor pendaftaran
produk) sangat kecil nilainya (2 orang). Padahal, nomor pendaftaran merupakan
informasi penting yang menyatakan bahwa produk tersebut merupakan legal, terdaftar
di Badan POM atau Dinas Kesehatan terkait. Selain itu, dengan adanya nomor
registrasi, tanggung jawab dari produsen lebih jelas.
Survei juga menemukan bahwa mayoritas (449 responden) konsumen memilih produk
kemasan dilandasi oleh faktor manfaat.
Bekal Makanan
Bagaimana cara anak makan dan apa yang dimakan oleh anak merupakan tanggung
jawab orang tua sepenuhnya. Jika menginginkan anak yang sehat, perhatikanlah jenis,
sumber dan proses dari makanan tersebut. Sebagai orang tua, menyiapkan makanan
yang sehat merupakan tanggung jawab yang besar. Masih banyak masyarakat kita
yang tidak mengetahui dengan jelas apa bekal makanan itu? Apakah dengan
membawa kotak makan dan membeli makanan di kantin sekolah itu termasuk bekal?
Atau jika kita membuatnya sendiri di rumah, itulah yang disebut bekal? Membawa
mie instan, nugget dan sosis juga bolehkah disebut sebagai bekal sehat? Definisi ini
masih belum jelas.
Bekal makanan seharusnya terdiri dari makanan yang kaya akan gizi, dibuat sendiri di
rumah dengan tidak menggunakan bahan-bahan kimia tambahan yang tentunya akan
berbahaya bagi anak-anak kita dan keluarga yang mengonsumsinya.
Menyiapkan bekal makanan untuk anak dan keluarga merupakan tantangan tersendiri.
Tidak sedikit orang tua, yang akhirnya memutuskan untuk memberikan uang jajan
sebagai pengganti bekal makanan. Asupan gizi anak-anak paling banyak dibutuhkan
pada siang hari. Bisa dibayangkan, jika anak-anak tidak membawa bekal, maka
mereka akan jajan berbagai jenis makanan yang tidak sehat yang ada di lingkungan
sekolah, misalnya: minuman dingin dengan beragam pewarna buatan, gorengan,
makanan instan dan berbagai jenis makanan yang tidak terdaftar.
Dari hasil survei YLKI, sebanyak 84 persen responden membiasakan anggota
keluarganya membawa bekal makanan dengan frekuensi yang bervariasi, yakni: setiap
hari (58%); 2-3 kali dalam seminggu (21%) dan lainnya (kadang-kadang, tergantung
permintaan anak) sebanyak 21%. Jenis makanan yang dijadikan bekal pun bervariasi,
yaitu: mie instan, nugget, sosis, nasi dan lauk pauk, roti, susu kotak, biskuit, dan
makanan ringan.
Jika melihat jenis bekal makanan yang dominan dengan makanan instan,
pertanyaannya seberapa sering mereka memberikan asupan tersebut kepada buah hati
mereka?. Hasilnya 93% dari 609 reponden mengonsumsi makanan kemasan cepat
saji (instan) dengan frekuensi yang berbeda-beda, yaitu: 8 persen (43 responden)
mengonsumsi setiap hari; 48 persen (274 responden) mengonsumsi dalam waktu 2-3
kali dalam seminggu; dan sisanya sekitar 44 persen (252 responden) mengonsumsi
dengan rentang waktu yang berbeda-beda.
Pola konsumsi makanan kemasan instan yang tinggi, tentunya sangat berbahaya bagi
kesehatan. Ini dikarenakan makanan instan banyak mengandung bahan pengawet,
pewarna, pemanis buatan yang lama kelamaan akan terakumulasi dan berpotensi
menimbulkan penyakit yang berbahaya bagi kesehatan, terutama anak-anak yang
masih sangat rentan. Produk kemasan instan tidak hanya berdampak pada kesehatan
tetapi juga bagi lingkungan, kemasan plastik, kaleng yang dibuang secara
sembarangan dapat menimbulkan tumpukan sampah dan menyumbang polusi terbesar
bagi climate change (perubahan iklim).
Alasan responden mengonsumsi makanan kemasan cepat saji (instan): 82% responden
menjawab karena praktis dan cepat, 12% (69 responden) memberikan alasan lain
yaitu: karena permintaan anak, bosan dengan menu yang ada, malas masak.
Fast Food Restaurant
Banyak ahli gizi mengelompokkan makanan fast food sebagai makanan junk
food (makanan sampah), dalam artian makanan dan minuman dengan komposisi tidak
seimbang karena tingginya kandungan lemak, garam, gula dan serat yang rendah.
Dari hasil survei ditemukan: 94% (574 responden) pernah mengunjungi Fast Food
Restaurant(restoran siap saji) dengan frekuensi: 2 3 kali dalam seminggu (7%);
sekali dalam seminggu (13%); sebulan sekali (47%) dan 33% dengan jawaban lain
(jarang, setahun sekali).
Efek Samping
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010, masalah gizi pada anak-
anak merupakan masalah yang mendasar di Indonesia, yang antara lain: kekurangan
gizi, kelebihan berat badan dan obesitas. Data ini menunjukkan 14% anak mengalami
kelebihan berat badan dan obesitas. Anak yang kegemukan cenderung membawa
keadaan ini hingga dewasa, yang pada akhirnya berpotensi menimbulkan penyakit
degeneratif, seperti jantung koroner, stroke, dan diabetes tipe 2.
Dari berbagai penelitian kesehatan di seluruh dunia, dampak dari junk food ini
menunjukkan efek yang sangat buruk bagi kesehatan, terutama bagi anak-anak, karena
dampak yang diberikan bersifat jangka panjang. Peningkatan masalah gizi berlebih
diduga kuat karena pola makan yang salah. Maraknya iklan-iklan pangan yang
ditujukan untuk anak, serta promosi-promosi pangan siap saji untuk anak, berperan
mengacaukan pola makan anak.
Ketika responden ditanyakan mengenai pengetahuannya tentang efek samping dari
makanan kemasan cepat saji (instan); makan di fast food restaurant dan makanan
yang menggunakan pengawet, menyatkan 72% mengetahui dan menyebutkan efek
samping yang bisa terjadi, seperti: kegemukan, menjadikan anak hiperaktif,
menimbulkan penyakit kanker, mengakibatkan kolesterol tinggi, makanan tersebut
juga mengandung banyak pengawet, lemak, garam, gula dan pemanis buatan.
Anak-anak yang tergila-gila dan doyan pada junk food disebut pula generasi junk
food. Anak-anak kita akan menjadi generasi yang tidak sehat pada 20 30 tahun ke
depan. Generasi tidak sehat, produktivitasnya rendah dan kurang mampu
berkontribusi pada negara dan tidak mampu bersaing dengan negara-negara lain di
dunia.
Simpulan dan Saran
Pemerintah seharusnya menyusun kebijakan, peraturan dan kode etik yang ketat
sekaligus pengawasannya tentang periklanan/promosi pangan tidak sehat kepada
anak-anak, sesuai dengan rekomendasi WHO, serta standar tentang bahan tambahan
pangan sintetis/kimiawi (zat pewarna, pemanis, pengawet, penggurih, pengental,
hormon, antibiotik).
Sementara bagi orang tua perlu untuk menyediakan pangan sehat di rumah dan
menyiapkan bekal makanan sehat sebagai pengganti jajan. Anak-anak dilatih untuk
kritis terhadap segala bentuk promosi/iklan pangan tidak sehat serta mulai mengurangi
jajan junk food.
Semua lapisan masyarakat harus terlibat dalam mendukung kampanye Gerakan
Indonesia Cinta Sehat melalui pola hidup sehat, konsumsi pangan yang sehat dan
menghindari junk food.
NOOR JEHAN
http://www.ylki.or.id/seimbangkah-pola-makan-keluarga-anda.html

Hati-hati Jangan Jajan Sembarangan


Oleh : Administrator pada 14 February 2011
Gambar dan Peringatan seperti ini mungkin sudah sering kita lihat dan dengar, kalau
timbul masalah keracunan makanan karena jajanan sekolah yang mengandung
formalin, boraks, pewarna makanan, pemakaian minyak goreng yang berulang kali,
makanan kadaluarsa yang diolah kembali, air minuman yang tidak direbus de
ngan benar, pencemaran timbal (Pb) pada makanan yang dijajakan di pinggir jalan,
hingga makanan jajanan yang tidak higienis dan tercemar bakteri E.coli..baru
kita tersadar lagibegitulah kodratnya manusia. ingat
ingat lupa (seperti judul lagu yang dinyanyikan grup musik Kuburan).
Bila kita melintas di depan sebuah sekolah dasar negeri di daerah Kelapa Gading
Timur Jakarta Utara tampak pemandangan yang menyenangkan, melihat anak-anak
kecil bergerak kesana kemari penuh keceriaan dan pedagang kaki lima yang
menjajakan makanannya.

Pedagang kaki lima kebanyakan ditemukan di sekolah


dasar negeri, tapi ada juga beberapa sekolah swasta yang memperbolehkan pedagang
ini menggelar dagangannya. Jajanan waktu kita di sekolah dasar itu sangat menarik
bila diamati, sebab ide makanannya kebanyakan sangat sederhana dan penuh
kreativitas. Mulai dari sosis kiloan yang disulap jadi sate sosis dan diberi siraman
kuah cabe merah sampai gulali dengan beragam bentuk yang menarik.
Pada dasarnya anak-anak sekolah dasar kebanyakan suka makanan jajanan, dibanding
makanan berat. Mereka menghabiskan uang jajannya untuk membeli jajanan di kantin
sekolah maupun pedagang kaki lima di sekitar sekolah dasar.
Kebiasaan jajan pada anak sudah menjadi kebiasaan umum dan ditemui di berbagai
tingkat sosial ekonomi masyarakat. Bagi anak yang tidak terbiasa makan pagi,
makanan jajanan berfungsi sebagai makanan yang pertama kali masuk ke saluran
pencernaan, sehingga pada sebagian orang, jajanan menjadi penting artinya.
Sungguh kontradiksi bukan? Jajanan SD seperti dua sisi mata uang. Baik dan
buruknya berjalan beriringan, selain banyak kandungan zat kimia yang digunakan
bertentangan dengan tubuh. Sebut saja, mulai boraks, formalin, MSG, dan masih
banyak kawan-kawannya yang lain. Dilain sisi, jajanan ini diperlukan sebagai
makanan tambahan anak.
Coba kita perhatikan, ada berapa macam jenis jajanan yang sering dikonsumsi oleh
anak-anak sekolah? Jajanan anak sekolah dasar biasanya lontong, otak-otak, tahu
goreng, mie bakso dengan saus, es sirop, sate sosis dengan saus, empek-empek dan
lain sejenisnya. Selain kontaminasi mikrobiologis, kontaminasi kimiawi yang umum
ditemukan pada makanan jajanan kaki lima adalah penggunaan bahan tambahan
pangan (BTP) ilegal seperti boraks (mengandung logam berat Boron), formalin
(pengawet mayat), rhodamin B ( pewarna merah pada tekstil), dan methanil
yellow (pewarna kuning pada tekstil). Bahan-bahan ini terakumulasi pada tubuh
manusia dan bersifat karsinogenik yang dalam jangka panjang menyebabkan
penyakit-penyakit antara lain kanker dan tumor pada organ tubuh manusia.

Belakangan juga terungkap bahwa dampak makanan tertentu ternyata mempengaruhi


fungsi otak termasuk gangguan perilaku pada anak sekolah. Gangguan perilaku
tersebut meliputi gangguan tidur, gangguan konsentrasi, gangguan emosi, gangguan
bicara, hiperaktif hingga memperberat gejala pada penderita autis.
Pengaruh jangka pendek penggunaan BTP ini menimbulkan gelaja-gejala yang sangat
umum seperti pusing, mual, muntah, diare atau kesulitan buang air besar. Joint Expert
Committee on Food Additives(JECFA) dari WHO yang mengatur dan mengevaluasi
standar BTP melarang penggunaan bahan kimia tersebut pada makanan. Standar ini
juga diadopsi oleh Badan POM dan Departemen Kesehatan RI melalui Peraturan
Menkes Nomor 722/Menkes/Per/IX/1998.
Pedagang kaki Lima (PKL) mengungkapkan bahwa mereka tidak tahu adanya BTP
ilegal pada bahan baku jajanan yang mereka jual. BTP ilegal menjadi bahan tambahan
di jajanan kaki lima karena harganya murah, memberikan penampilan makanan yang
menarik (misalnya warnanya sangat cerah sehingga menarik perhatian anak-anak) dan
mudah didapat. Makanan yang dijajakan oleh PKL umumnya tidak dipersiapkan
secara baik dan bersih. Sebagian besar PKL mempunyai pengetahuan yang rendah
tentang penanganan pangan yang aman, mereka juga kurang mempunyai akses
terhadap air bersih serta fasilitas cuci dan buang sampah.
Pemerintah telah mengeluarkan banyak peraturan untuk melindungi masyarakat
khususnya anak sekolah dari dampak buruk makanan yang tidak sehat seperti yang
terdapat dalam Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 tahun 2009, Undang Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen , Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996
tentang Pangan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan,
Mutu dan Gizi Pangan, tetapi tetap saja sanksi dari pelanggaran peraturan ini belum
diterapkan dengan tegas.
Sekolah dan pemerintah sebaiknya menyusun program untuk penelitian dan
pengawasan terhadap pangan/jajanan anak di sekolah. Teknisnya dengan mengambil
sampel jajanan anak sekolah yang kemudian diteliti di laboratorium atau BPOM untuk
mengetahui kandungan campuran produk makanan olahan yang di perdagangkan di
sekolah. Selanjutnya melakukan sosialisasi dan himbauan ataupun kampanye terhadap
konsumen dan produsen jajanan anak untuk tidak memakai campuran barang yang
berbahaya dan dilarang menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 722 Tahun 1988
yang berisi daftar bahan campuran makanan yang diproduksi dan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 239 Tahun 1985 yang berisi tentang bahan campuran makanan
yang dilarang.
Sekolah dan pemerintah juga perlu menggiatkan kembali UKS (Usaha Kesehatan
Sekolah) dan memanfaatkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk
memperbaiki atau meningkatkan kualitas kantin sekolah.Upaya ini dilakukan agar
keberadaan jajanan di kantin sekolah layak dikonsumsi siswa. Adanya koordinasi
antara pihak sekolah, persatuan orang tua murid dibawah konsultasi dokter sekolah
atau Pusat Kesehatan Masyarakat setempat sehingga dapat menyajikan makanan
ringan pada waktu istirahat sekolah yang bisa diatur porsi dan nilai gizinya.Upaya ini
tentunya akan lebih murah dibanding anak jajan diluar disekolah yang tidak ada
jaminan gizi dan kebersihannya.
Jadi dapat kita simpulkan bahwa usia anak adalah periode yang sangat menentukan
kualitas seorang manusia dewasa nantinya. Anak usia sekolah adalah investasi bangsa,
karena mereka adalah generasi penerus bangsa. Kualitas bangsa di masa depan
ditentukan kualitas anak-anak saat ini. Upaya peningkatan kualitas sumber daya
manusia harus dilakukan sejak dini, sistematis dan berkesinambungan. Tumbuh
berkembangnya anak usia sekolah yang optimal tergantung pemberian nutrisi dengan
kualitas dan kuantitas yang baik serta benar. (drg. R. Edi Setiawan-Dit. Bina
Kesehatan Anak)
http://www.gizikia.depkes.go.id/archives/837

You might also like