You are on page 1of 7

Undang - Undang Anti Monopoli dan Dampaknya Terhadap Bisnis Usaha

Kecil dan Menengah

Diposkan oleh TRIADIN , di 08.09

Pendahuluan
Fungsi untuk menjalankan administrasi dan ketatausahaan Negara termasuk juga
menyelenggarakan perekonomian dan kebijakan masalah-masalah sosial,
merupakan tugas yang diperintahkan konstitusi kepada pemerintah sebagai
pemegang kekuasaan eksekutif dan administrasi Negara.1. Modul kuliah Aspek
Hukum dalam Kebijakan Ekonomi, Anonim, slide 15, hal. 8.

Birokrasi administrasi Negara sebagai organisasi mempunyai kewenangan membuat


kebijakan publik dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas pemerintah. Kebijakan
publik dapat dikeluarkan dalam bentuk peraturan maupun keputusan-keputusan
yang mengikat bagi orang banyak pada tataran strategis atau bersifat garis besar
yang dibuat oleh pemegang otoritas publik. Kebijakan publik lazimnya menunjuk
pada keinginan penguasa atau pemerintah yang idealnya dalam masyarakat
demokratis merupakan cerminan pendapat umum.

Peraturan maupun keputusan yang dikeluarkan oleh pemegang otoritas publik


dalam bentuk kebijakan publik ditetapkan secara tertulis dan berisi tindakan hukum
yang konkret, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang
atau badan hukum perdata.

Sementara itu, hukum sangat dibutuhkan untuk mengatur kehidupan bermasyarakat


di dalam segala aspeknya, apakah itu kehidupan sosial, kehidupan politik, budaya,
pendidikan apalagi yang tak kalah pentingnya adalah fungsinya atau peranannya
dalam mengatur kegiatan ekonomi.

Dalam kegiatan ekonomi inilah justru hukum sangat diperlukan karena sumber-
sumber ekonomi yang terbatas di satu pihak dan tidak terbatasnya permintaan atau
kebutuhan akan sumber ekonomi di lain pihak sehingga konflik antara sesama
warga dalam memperebutkan sumber-sumber ekonomi tersebut akan sering terjadi.

Peranan hukum tersebut haruslah terukur sehingga tidak mematikan inisiatif dan
daya kreasi manusia yang menjadi daya dorong utama dalam pembangunan
ekonomi. Ukuran dimaksud adalah sejauh mana hukum harus berperan, dengan
cara bagaimana dan kepada siapa hukum itu mendelegasikan peranannya dalam
kegiatan nyata dan peri kehidupan ekonomi warganya.

Sebagai salah satu contoh menarik mengkaji peranan hukum dalam suatu kebijakan
ekonomi adalah UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat yang lebih dikenal sebagai UU Antimonopoli.

UU Antimonopoli ini menarik dikaji karena sejak diberlakukannya UU ini banyak


menimbulkan pro dan kontra dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan isi UU ini
seperti perusahaan-perusahaan kecil, menengah dan besar baik dalam PMDN
maupun PMA. Namun secara tidak langsung UU ini sangat menguntungkan
masyarakat sebagai konsumen dari produk-produk yang selama ini disinyalir
menjalankan praktek-praktek yang dilarang dalam UU ini, terutama dari segi
penetapan harga.

Latar Belakang Kelahiran UU Antimonopoli


Latar belakang diundangkannya Undang-undang No. 5 tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara
RI No. 33 Tahun 1999) adalah karena sebelum UU tersebut diundangkan muncul
iklim persaingan usaha yang tidak sehat di Indonesia, yaitu adanya pemusatan
kekuatan ekonomi pada perorangan atau kelompok tertentu, baik itu dalam bentuk
monopoli maupun bentuk-bentuk persaingan usaha tidak sehat lainnya. Pemusatan
kekuatan ekonomi pada kelompok pengusaha tertentu terutama yang dekat dengan
kekuasaan, telah menyebabkan ketahanan ekonomi Indonesia menjadi rapuh
karena bersandarkan pada kelompok pengusaha-pengusaha yang tidak efisien,
tidak mampu berkompetisi, dan tidak memiliki jiwa wirausaha untuk membantu
mengangkat perekonomian Indonesia.

UU No. 5/1999 ini diundangkan setelah Indonesia mengalami krisis ekonomi di


tahun 1997-1998 yang meruntuhkan nilai rupiah dan membangkrutkan negara serta
hampir semua pelaku ekonomi. Undang-undang ini juga merupakan salah satu
bentuk reformasi ekonomi yang disyaratkan oleh International Monetary Fund untuk
bersedia membantu Indonesia keluar dari krisis ekonomi.

Undang-undang ini berlaku efektif pada tanggal 5 Maret 2000. Untuk mengawasi
dan menerapkan Undang-undang ini dibentuk Komisi Pengawas Pengawas
Persaingan Usaha atau disingkat KPPU (berdasar pasal 30 UU No. 5/1995).

Secara umum, isi UU No. 5/1999 telah merangkum ketentuan-ketentuan yang umum
ditemukan dalam undang-undang antimonopoli dan persaingan tidak sehat yang ada
di negara-negara maju, antara lain adanya ketentuan tentang jenis-jenis perjanjian
dan kegiatan yang dilarang undang-undang, penyalahgunaan posisi dominan pelaku
usaha, kegiatan-kegiatan apa yang tidak dianggap melanggar undang-undang, serta
perkecualian atas monopoli yang dilakukan negara.

Sejauh ini KPPU telah sering menjatuhkan keputusan kepada para pelaku usaha di
Indonesia yang melakukan perjanjian-perjanjian atau kegiatan-kegiatan yang
dikategorikan terlarang oleh UU No. 5/1999 serta yang menyalahgunakan posisi
dominan mereka.

Perjanjian yang dilarang oleh UU No. 5/1999 adalah: oligopoli, penetapan harga,
pembagian wilayah, pemboikotan, kartel, trust, oligopsoni, intregasi vertikal, dan
perjanjian tertutup. Sedang kegiatan yang dilarang oleh UU No. 5/1999 adalah:
monopoli, monopsoni, penguasaan pasar dan persengkongkolan.

Pada 5 Maret 2009 yang lalu UU No. 5/1999 genap berusia sepuluh tahun, waktu
yang cukup panjang dan relevan untuk melakukan refleksi dan evaluasi terhadap
pelaksanaan UU Antimonopoli tersebut.
Praktik monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku
usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang
dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan
dapat merugikan kepentingan umum. Sementara itu, persaingan usaha tidak sehat
adalah persaingan antarpelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan
atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau
melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.Penjelasan Umum atas UU
No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat.

Sepuluh tahun penerapan UU Antimonopoli perlu dilakukan suatu refleksi, apa


dampaknya bagi dunia usaha, bagi konsumen dan pemerintah. Selama sepuluh
tahun berlakunya UU Antimonopoli, sejak tahun 2000 sampai sekarang menurut
Zubaedah, Kasubdit Advokasi KPPU, KPPU telah menerima 963 laporan
pelanggaran tentang larangan praktik monopoli dan persaingan tidak sehat.

Setelah laporan itu diklarifikasi, yang ditindaklanjuti berjumlah 179. Dari jumlah
tersebut sebanyak 121 diputuskan, 43 statusnya penetapan, sedangkan 15 lainnya
sedang ditangani.

Dilihat dari jumlah kasus yang dilaporkan, yang sudah diputuskan dan yang sedang
diproses, KPPU dapat dikatakan tergolong aktif melaksanakan tugas dan
wewenangnya. Tetapi yang perlu dievaluasi secara sederhana adalah dampak UU
Antimonopoli tersebut terhadap pelaku usaha, terhadap konsumen dan Pemerintah
sendiri.

Tujuan UU Antimonopoli
Sebelum lebih jauh mengkaji UU Antimonopoli ini, perlu diketahui terlebih dahulu
tujuan UU Antimonopoli. Adapun tujuan UU Antimonopoli sebagaimana ditetapkan di
dalam Pasal 3 adalah untuk:

1. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional


sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;

2. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha


yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang
sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha
kecil;

3. Mencegah praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang
ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan

4. Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.


Dari keempat tujuan tersebut, Martinus Udin Silalahi dalam tulisannnya yang dimuat
dalam situs Koran Harian Sore Sinar Harapan tanggal 9 Maret 2005 merumuskan
menjadi dua tujuan pokok, yaitu tujuan ekonomi dan tujuan sosial.

Menurut Martinus, maksud tujuan ekonomi adalah terselenggaranya persaingan


usaha yang sehat, kondusif dan efektif yang mengakibatkan efisiensi ekonomi.
Sedangkan tujuan sosial adalah melalui persaingan usaha yang sehat tersebut
kesejahteraan masyarakat akan ditingkatkan (the maximization of consumer
welfare), yaitu masyarakat akan mempunyai pilihan untuk membeli suatu barang
atau jasa dengan harga yang lebih murah. Jadi, kedua tujuan tersebut menjadi dasar
parameter untuk menilai, apakah dampak UU Antimonopoli tersebut terhadap pelaku
usaha, terhadap masyarakat (konsumen), dan terhadap Pemerintah sendiri.

Dampak UU Antimonopoli Bagi Pelaku Usaha


Dampak UU Antimonopoli tersebut bagi pelaku usaha adalah yang pertama, pelaku
usaha tidak boleh menjalankan usaha dengan cara tidak fair atau menjalankan
usaha merugikan pesaingnya baik secara langsung maupun tidak langsung; yang
kedua pelaku usaha harus sungguh-sungguh bersaing dengan kompetitornya
supaya tetap dapat eksis di pasar yang bersangkutan, baik dari aspek kualitas,
harga maupun pelayanannya. Karena suatu pelaku usaha tidak tahu persis apa
yang dilakukan oleh kompetitornya untuk tetap eksis, maka setiap pelaku usaha
akan melakukan perbaikan peningkatan terhadap produknya (inovasi) untuk
menghasilkan kualitas yang lebih baik, harga yang lebih murah dan memberikan
pelayanan yang terbaik untuk menarik hati konsumen. Apakah ini sudah dijalankan
oleh pelaku usaha di Indonesia? Sejak diberlakukannya UU Antimonopoli sepuluh
tahun yang lalu, pelaku usaha umumnya sudah memperhatikan rambu-rambu yang
ditetapkan di dalam UU Antimonopoli.

Paling tidak mengetahui bahwa ada UU Antimonopoli yang memberi kebebasan


kepada pelaku usaha untuk menjalankan usahanya, tetapi kebebasan tersebut
sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan di dalam UU Antimonopoli tersebut.

Misalnya, adanya larangan penguasaan pangsa pasar lebih dari 50% untuk satu
pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha (Pasal 17), dan penguasaan pangsa
pasar lebih dari 75% untuk dua atau tiga pelaku usaha (Pasal 25 ayat 2 huruf b).
Namun, batasan ini tidak berlaku mutlak.

Artinya tidak setiap pelaku usaha melebihi pangsa pasar tersebut langsung dilarang,
melainkan harus dibuktikan terlebih dahulu, apakah dengan melebihi penguasaan
pangsa pasar yang ditetapkan tersebut mengakibatkan persaingan usaha tidak
sehat. Kalau ya, maka larangan tersebut dikenakan kepada pelaku usaha yang
bersangkutan, kalau tidak, maka pelaku usaha tersebut tidak dikenakan larangan
tersebut.

Dengan demikian UU Antimonopoli tidak anti perusahaan besar. Justru UU


Antimonopoli mendorong perusahaan menjadi perusahaan besar asalkan atas
kemampuannya sendiri, bukan karena melakukan praktik persaingan usaha yang
tidak sehat.
Dampak UU Antimonopoli Bagi Masyarakat
(Konsumen)
Dampak UU Antimonopoli bagi masyarakat (konsumen) sangat dirasakan, yaitu
akibat persaingan antara pelaku usaha masyarakat mempunyai pilihan dalam
membeli suatu produk tertentu, baik dari aspek harga, kualitas maupun
pelayanannya.

Salah satu buktinya di sektor penerbangan, setelah sektor penerbangan


diliberalisasi, masyarakat dapat menikmati bepergian dengan pesawat terbang,
karena harga tiket pesawat terjangkau oleh masyarakat. Ini adalah merupakan
dampak yang langsung dirasakan konsumen, karena persaingan usaha dijamin oleh
UU Antimonopoli.

Konsumen lebih sejahtera, karena dahulu Konsumen tidak mampu membeli tiket
pesawat kalau mau bepergian ke Surabaya misalnya, maka sekarang Konsumen
dapat bepergian dengan pesawat terbang, karena tiket pesawat terjangkau oleh
masyarakat.

Namun di sisi lain, dalam kasus angkutan umum ini, akibat terjadinya persaingan
usaha yang sehat melalui perang tariff ini, perusahaan-perusahaan maskapai
penerbangan tidak lagi memperhatikan keselamatan penumpangnya sehingga
banyak terjadi kecelakaan yang merenggut banyak korban jiwa. Hal ini disebabkan
maskapai penerbangan mencoba meningkatkan keuntungan dengan mengabaikan
prosedur keselamatan penerbangan sebagai akibat harus menekan pendapatan dari
penetapan tariff yang murah.

Terlepas dari permasalahan keselamatan penumpang yang merupakan tanggung


jawab Departemen Perhubungan, dengan kehadiran UU Antimonopoli ini membuat
konsumen lebih bisa menikmati fasilitas-fasiltas yang dulunya adalah barang mewah
karena harga yang tidak terjangkau seperti fasilitas komunikasi seluler.

Dampak UU Antimonopoli Bagi Pemerintah


Kehadiran UU Antimonopoli ini jelas sangat membantu tugas berat pemerintah
dalam mengawasi persaingan usaha yang kerap merugikan masyarakat dalam
mendapatkan pelayanan produk-produk yang dihasilkan oleh dunia usaha. Sebelum
kehadiran UU Antimonopoli ini pemerintah kesulitan untuk menyediakan pelayanan
bagi masyarakat terkait dengan produk-produk yang banyak dibutuhkan masyarakat.

Di sisi lain, perusahan-perusahaan miliki pemerintah (BUMN) yang melayani


kebutuhan publik seperti listrik (PLN), pos (PT. Pos Indonesia), pelayaran (PT. Pelni),
maskapai penerbangan (PT. Garuda Indonesia), dll dituntut untuk dikelola secara
benar dan professional dan tidak dimungkinkan lagi melakukan praktek monopoli
atau diberi hak istimewa sesuai dengan tuntutan UU Antimonopoli.

BUMN yang dikelola dengan manajemen yang baik dan benar tidak akan
mendapatkan kesulitan menghadapi UU Antimonopoli karena jauh sebelum
dibelakukannya UU Antimonopoli ini mereka telah mendapatkan hak-hak istimewa
untuk dapat berkembang dibalik keluhan-keluhan publik terhadap mutu
pelayanannya. Kesempatan yang panjang dapat dipergunakan untuk memperkuat
infrastruktur perusahaan hingga mencapai pelosok daerah di Indonesia. Dibanding
perusahaan-perusahaan milik swasta sudah barang tentu BUMN lebih siap. Apabila
ada permintaan dari BUMN untuk diberi hak ekslusif seperti yang diminta PT. Pos
Indonesia maka perlu dicurigai sebagai ketidak beresan dalam pengelolaan usaha.

Permasalahan Pelaksanaan UU Antimonopoli


Pengalaman Negara Indonesia dalam menerapkan UU Antimonopoli belumlah
banyak sehingga masih banyak ditemukan kekurangan di sana sini. Seperti yang
disinyalir oleh Afifah Kusumadara, SH. LL.M. SJD dalam sebuah artikelnya
menyatakan, sejauh ini KPPU belum pernah memberi keputusan yang berkaitan
dengan kegiatan-kegiatan usaha yang dikecualikan dari ketentuan UU No. 5/1999,
padahal terdapat sepuluh jenis perjanjian dan kegiatan usaha yang dikecualikan dari
aturan UU No. 5/1999 (sebagaimana diatur di pasal 50 dan 51).

Lebih jauh Afifah mengatakan, sepuluh jenis perjanjian dan kegiatan usaha yang
dikecualikan tersebut berpotensi menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya
karena dimungkinkan munculnya penafsiran yang berbeda-beda antara pelaku
usaha dan KPPU tentang bagaimana seharusnya melaksanakan sepuluh jenis
perjanjian dan kegiatan usaha tersebut tanpa melanggar UU No. 5/1999. Bisa jadi
suatu perjanjian atau suatu kegiatan usaha dianggap masuk dalam kategori pasal 50
UU No. 5/1999 oleh pelaku usaha, tetapi justru dianggap melanggar undang-undang
oleh KPPU. Oleh karena itu, perlu adanya ketentuan lanjutan yang lebih detil
mengatur pelaksanaan sepuluh jenis perjanjian dan kegiatan usaha tersebut demi
menghindarkan salah tafsir dan memberikan kepastian hukum baik bagi pengusaha
maupun bagi KPPU. Sebagaimana dapat dibaca di pasal 50 dan 51, aturan tentang
sepuluh jenis perjanjian dan kegiatan usaha tersebut masing-masingnya diatur
dengan sangat singkat, dalam satu kalimat saja.

Salah satu kegiatan/perjanjian usaha yang tidak dikategorikan melanggar UU No.


5/1999 adalah perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang
tidak mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri (pasal 50 huruf
g UU No. 5/1999). Ketentuan ini sangat sumir, terlalu singkat, yang dapat
menimbulkan perbedaan penafsiran dan ketidakpastian hukum dalam
pelaksanaannya.

Selain itu, KPPU sebagai lembaga yang diberi wewenang menjalankan UU


Antimonopoli ini juga masih minim pengalaman dalam menerjemahkan amanah
yang dimuat dalam UU Antimonopoli sehingga setiap keputusan yang dikeluarkan
KPPU masih rentan bantahan dari pihak yang digugat.

Masih banyak yang harus dipahami oleh KPPU dalam menjalankan tugasnya
sebagai pengawal UU Antimonopoli baik dari segi pemahaman prosedur
pengelolaan perusahaan, persaingan usaha, perjanjian-perjanjian dan tindakan-
tindakan ekonomi dari pengusaha yang kental dengan konsep capital untung dan
rugi serta pemahaman terhadap kepentingan Negara yang lebih umum.
Penutup
Terlepas dari kelemahan-kelemahan yang dimiliki oleh UU Antimonopoli dan KPPU
saat ini, UU Antimonopoli telah menjadi ikon penting dalam penataan ekonomi
persaingan usaha yang sehat dan telah menimbulkan harapan baru bagi semua
pihak terutama perusahaan-perusahan kecil menengah yang selama ini tidak
berdaya bersaing dengan perusahaan-perusahaan besar dan bermodal kuat. UU
Antimonopoli juga memberikan dampak yang positif bagi masyarakat Indonesia
sebagai konsumen produk-produk yang dihasilkan perusahaan-perusahaan
terutama menurunnya harga produk secara drastis dan dapat dijangkau oleh
masyarakat. Kondisi ini jauh berbeda sebelum diberlakukannya UU Antimonopoli
dimana masyarakat tidak dapat menjangkau harga-harga produk yang relative
mahal disbanding dengan tingkat pendapatan rakyat Indonesia yang masih rendah.

DAFTAR PUSTAKA
1. Martinus Udin Silalahi, Enam Tahun UU Antimonopoli: Refleksi Singkat dan Dampak
bagi Dunia Usaha, dimuat dalam situs Koran Harian Sore Sinar Harapan tgl 9
Maret 2005.
2. Letter of Intent and Memorandum of Economic and Financial Policies yang dibuat
oleh Pemerintah Indonesia kepada IMF tanggal 11 September 1998.
http://www.imf.org/external/np/loi/091198.htm. Diakses pada 29 Maret 2009.
3. KPPU Terima 963 Laporan Monopoli, Berita yang dimuat dalam situs
www.kompas.com, tanggal 12 Maret 2009. Diakses pada 31 Maret 2009.
4. Undang-undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat.
5. Modul Kuliah Aspek Hukum Dalam Kebijakan Ekonomi.

You might also like