You are on page 1of 4

asus Hukum Perdata : Perebutan Harta Warisan

09:29

Adhie Suseno

Hukum

1 comment

Sebelum membahas contoh kasus Perebutan Harta Warisan, saya akan memberikan
sedikit hal-hal yang bersangkutan dengan undang-undang pembagian harta warisan.
Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), ada dua cara untuk
memperoleh harta warisan : secara absentatio dan testamentair.

Pewarisan berdasarkan testamentair artinya pewarisan didasarkan pada wasiat dari


orang yang meninggal (pewaris). Pewarisan dengan wasiat tersebut harus dibuat dengan
Surat Wasiat. Surat wasiat atau testament adalah surat atau akta yang memuat
pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya kelak terhadap harta kekayaannya
setelah ia meninggal dunia. Sebuah wasiat harus dibuat dalam bentuk akta atau surat
(yang ditandatangani oleh pewaris), dan tidak boleh hanya dalam bentuk lisan. Surat
tersebut harus berisi pernyataan tegas dari pewaris tentang apa yang akan terjadi terhadap
harta kekayaannya jika ia kelak meninggal dunia. Sebelum pewaris meninggal dunia, surat
wasiat tersebut masih dapat dicabut atau diubah oleh pewaris.

Agar sebuah surat wasiat bernilai hukum dan tidak cacat, maka harus diperhatikan hal-
hal berikut:

Pewaris harus telah dewasa, yaitu telah berumur minimal 21 tahun.

Obyek warisan yang akan diwariskan harus jelas dan tegas, dan merupakan milik dari
pewaris.

Obyek warisan bukan sesuatu yang bertentangan dengan hukum atau bertentangan
dengan kesusilaan dan kepentingan umum.
Pewaris memiliki akal yang sehat (tidak terganggu jiwanya), menandatangani surat
wasiat tanpa tekanan atau paksaan, tidak berada dalam kekhilafan atau kekeliruan,
dan tidak sedang berada dibawah pengampuan.

Pewarisan secara absentatio adalah pewarisan menurut undang-undang karena


adanya hubungan kekeluargaan (hubungan darah). Berbeda dengan absentatio, pewarisan
berdasarkan testamentair dilakukan dengan cara penunjukan, yaitu pewaris (orang yang
meninggalkan harta warisan) semasa hidupnya telah membuat surat
wasiat (testament) yang menunjuk seseorang untuk menerima harta warisan yang
ditinggalkannya kelak.

Pewarisan secara absentatio membagi ahli waris atas 4 (empat) golongan:

Golongan I, yaitu jika pewaris telah menikah, maka yang menjadi ahli waris adalah
istri/suami dan/atau anak-anak pewaris.

Golongan II, yaitu jika pewaris belum menikah, atau telah menikah tapi cerai dan tidak
mempunyai anak (tidak memiliki ahli waris Golongn I), maka yang menjadi ahli waris adalah
orang tua (ayah dan ibu) dan/atau saudara-saudaranya.

Golongan III, Jika pewaris tidak memiliki hubungan kekeluargaan dalam Golongan I dan
Golongan II diatas, maka yang menjadi ahli waris adalah keluarga dalam garis lurus ke atas,
baik dari ayah maupun ibu.

Golongan IV, jika pewaris tidak memiliki hubungan kekeluargaan dalam Golongan I,
Golongan II dan Golongan III diatas, maka yang menjadi ahli waris adalah kerabat pewars
dalam garis keturunan menyamping sampai derajat keenam. (www.legalakses.com).

Dibawah ini adalah contoh kasus Perebutan Harta Warisan, dimana seorang mantan
suami yang telah meninggal dan hartanya menjadi rebutan antara sang ibu dari almarhum
dengan mantan istri dari almarhum, berikut simak beritanya.

Sidang Rebutan Warisan Adi Firansyah

indosiar.com, Jakarta - Kasus rebutan warisan almarhum Adi Firansyah akhirnya bergulis ke
Pengadilan. Sidang pertama perkara ini telah digelar Kamis (12/04) kemarin di Pengadilan
Agama Bekasi. Warisan pesinetron muda yang meninggal akibat kecelakaan sepeda motor
ini, menjadi sengketa antara Ibunda almarhum dengan Nielsa Lubis, mantan istri Adi.
Nielsa menuntut agar harta peninggalan Adi segera dibagi. Nielsa beralasan Ia hanya
memperjuangkan hak Chavia, putri hasil perkawinannya dengan Adi. Sementara Ibunda Adi
mengatakan pada dasarnya pihaknya tidak keberatan dengan pembagian harta almarhum
anaknya. Namun mengenai rumah yang berada di Cikunir Bekasi, pihaknya berkeras tidak
akan menjual, menunggu Chavia besar.

Menurut Nielsa Lubis, Mantan Istri Alm Adi Firansyah, "Saya menginginkan penyelesaiannya
secara damai dan untuk pembagian warisan toh nantinya juga buat Chavia. Kita sudah coba
secara kekeluargaan tapi tidak ada solusinya."

Menurut Ny Jenny Nuraeni, Ibunda Alm Adi Firansyah, "Kalau pembagian pasti juga dikasih
untuk Nielsa dan Chavia. Pembagian untuk Chavia 50% dan di notaris harus ada tulisan
untuk saya, Nielsa dan Chavia. Rumah itu tidak akan dijual menunggu Chavia kalau sudah
besar."

Terlepas dari memperjuangkan hak, namun mencuatnya masalah ini mengundang


keprihatinan. Karena ribut-ribut mengenai harta warisan rasanya memalukan. Selain itu,
sangat di sayangkan jika gara-gara persoalan ini hubungan keluarga almarhum dengan
Nielsa jadi tambang meruncing.

Sebelum ini pun mereka sudah tidak terjalin komunikasi. Semestinya hubungan baik harus
terus dijaga, sekalipun Adi dan Nielsa sudah bercerai, karena hal ini dapat berpengaruh
pada perkembangan psikologis Chavia.
"Saya tidak pernah komunikasi semenjak cerai dan mertua saya tidak pernah berkomunikasi
dengan Chavia (jaranglah)", ujar Nielsa Lubis.

"Bagaimana juga saya khan masih mertuanya dan saya kecewa berat dengan dia. Saya siap
akan mengasih untuk haknya Chavia", ujar Ny Jenny Nuraeni. (Aozora/Devi)

Solusi:

Dikasus ini, yang meninggalkan harta warisan adalah almarhum mantan suami yang
menjadi rebutan antara sang ibu almarhum dengan mantan istri almarhum, dan almarhum
telah memiliki anak dari mantan istrinya.

Untuk status rumah yang ditinggalkan oleh almarhum, tergantung kapan almarhum
memiliki rumah tersebut, jika almarhum sudah memilikinya sejak masih bersama mantan
istri maka status rumah merupakan harta bersama atau harta gono gini yang diperoleh dari
almarhum saat masih bersama mantan istrinya. Hal ini sesuai dengan pengertian harta
bersama menurut ketentuan pasal 35 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(UUP) yang menyatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi
harta bersama.
Dan Apabila terjadi suatu perceraian, maka pembagian harta bersama diatur menurut
hukum masing masing (pasal 37 UUP). Yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing
ialah hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya.

Mengenai harta benda dalam perkawinan, pengaturan ada di dalam pasal 35 UUP dan
dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:

1. Harta bersama, yaitu harta benda yang diperoleh selama perkawinan dan dikuasai oleh
suami dan istri dalam artian bahwa suami atau istri dapat bertindak terhadap harta bersama
atas persetujuan kedua belah pihak. Apabila perkawinan putus karena perceraian, harta
bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Yang dimaksud "hukumnya" masing-
masing adalah hukum agama, hukum adat, dan hukum-hukum lain (pasal 37 UUP).

2. Harta bawaan, yaitu harta benda yang dibawa oleh masing-masing suami dan istri ketika
terjadi perkawinan dan dikuasai oleh masing-masing pemiliknya yaitu suami atau istri.
Masing-masing atau istri berhak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai
harta bendanya (pasal 36 ayat 2 UUP). Tetapi apabila pihak suami dan istri menentukan lain,
misalnya dengan perjanjian perkawinan, maka penguasaan harta bawaan dilakukan sesuai
dengan isi perjanjian itu. Demikian juga apabila terjadi perceraian, harta bawaan dikuasai
dan dibawa oleh masing-masing pemiliknya, kecuali jika ditentukan lain dalam perjanjian
perkawinan.

3. Harta perolehan, yaitu harta benda yang diperoleh masing-masing suami dan istri sebagai
hadiah atau warisan dan penguasaannya pada dasarnya seperti harta bawaan.
Berdasarkan uraian di atas apabila dikaitkan dengan kasus diatas maka mantan istri
almarhum mempunyai hak atau berhak atas harta yang diperoleh selama perkawinan
berlangsung tanpa melihat alasan-alasan yang diajukan dan harta tersebut disebut harta
bersama.

Mengenai hibah terhadap anak dapat saja dilakukan tetapi tanpa penghibahan pun
seorang anak secara otomatis sudah menjadi ahli waris dari kedua orang tuanya. Hibah
dapat dilakukan jika tidak merugikan apa yang menjadi hak dari ahli waris, disamping itu
mantan istri almarhum juga berhak atas harta warisan tersebut.

You might also like