You are on page 1of 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Manajemen Rumah Sakit


Rumah sakit sebagai salah satu sub sistem pelayanan kesehatan mempunyai dua jenis

fungsi pelayanan kepada masyarakat yaitu pelayanan kesehatan dan pelayanan administrasi.

Pelayanan kesehatan mencangkup pelayanan medik, pelayanan penunjang medik, rehabilitasi

medik dan pelayanan keperawatan. Di Indonesia rumah sakit dibagi menjadi tiga jenis yaitu

rumah sakit berdasarkan kepemilikannya, rumah sakit berdasarkan jenis pelayanannya dan

rumah sakit berdasarkan kelasnya. Rumah sakit berdasarkan kepemilikannya dibedakan menjadi

tiga macam yaitu RS pemerintah, RS BUMN/ABRI dan RS Swasta (Kep-menkes No.51

Menkes/SK/II/1979).
Pelayanan rumah sakit saat ini di indonesia bersifat padat karya, padat modal serta padat

teknologi dalam menghadapi persaingan global. Rumah sakit juga menjadi pusat rujukan medik

untuk pusat-pusat pelayanan kesehatan yang ada diwilayah kerjanya. Berdasarkan Peraturan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan

Rumah Sakit. Rumah Sakit dibagi menjadi empat yaitu rumah sakit umum kelas A, B, C dan D.

Rumah sakit umum kelas A memiliki pelayanan yang paling banyak dan menerima rujukan dari

kelas rumah sakit yang lebih rendah dan fungsi memberikan pengayoman wilayah yang lebih

luas. Pengayoman dilaksanakan melalui dua sistem rujukan yaitu sistem rujukan kesehatan

berkaitan dengan upaya promotif dan preventif seperti bantuan teknologi, bantuan sarana dan

operasionalnya dan rujukan medik yang berkaitan dengan pelayanan yang bersifat kuratif dan

rehabilitatif. Penetapan klasifikansi tersebut didasarkan pada pelayanan rumah sakit, sumber

daya manusia yang dimiliki oleh rumah sakit tersebut, peralatan serta bangunan dan prasarana

(Permenkes, 2014).
Seluruh rumah sakit termasuk rumah sakit swasta menurut kemenkes (2010) harus

mempunyai kemampuan pelayanan sekurang-kurangnya pelayanan medik umum, gawat darurat,

pelayanan keperawatan, rawat inap, pelayanan operasi, pelayanan penunjang medik spesialis

dasar, penunjang medik, farmasi, gizi, sterilisasi, rekam medis, pelayanan administrasi dan

manajemen, penyuluhan kesehatan masyarakat, pemulasaran jenasah, laundry, pemeliharaan

sarana rumah sakit, serta pengelolaan limbah.


Rumah sakit umum swasta adalah rumah sakit umum yang diselenggarakan oleh pihak

swasta. Berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

No.806b/Menkes/SK/XII/1987 tentang klasifikasi rumah sakit umum swasta dapat

diklasifikasikan menjadi 3 yaitu rumah sakit umum swasta pratama adalah rumah sakit yang

memberikan pelayanan medik bersifat umum, rumah sakit umum swasta madya yaitu rumah

sakit swasta yang memberikan pelayanan medik bersifat umum dan spesialis dalam empat

cabang, dan rumah sakit umum swasta utama yaitu rumah sakit yang memberikan rumah sakit

pelayanan medik bersifat umum, spesialistik dan subspesialistik (Siregar, 2004).


Perkembangan rumah sakit swasta di Indonesia saat ini sangat pesat berdasarkan dari data

ditjen Pelayanan Kesehatan Kemenkes RI 2016 Indonesia telah memiliki 1.091 rumah sakit

swasta dan swasta non profit yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia. Perkembangan tersebut

menyebabkan persaingan antar rumah sakit swasta semakin ketat, sehingga rumah sakit dituntut

untuk bekerja lebih efektif dan efisien dalam melaksanakan aktifitasnya. Menurut Soeroso

(2003) agar rumah sakit tersebut mampu bersaing dan tetap menjaga mutu pelayanan yang

diberikan kepada masyarakat, keberhasilan sebuah rumah sakit sangat ditentukan oleh

pengetahuan, keterampilan, kreativitas, motivasi serta kepuasan dari karyawannya. Oleh karena

itu peranan manajemen sumber daya manusia sangat menentukan keberhasilan suatu rumah sakit

dalam mencapai tujuannya.


2.2 Manajemen Sumber Daya Manusia Rumah Sakit
Sumber daya manusia (SDM) semakin penting perannya dalam pencapaian tujuan suatu

organisasi, maka berbagai pengalaman dan hasil penelitian dalam bidang SDM dikumpulkan

secara sistematis dalam manajemen SDM (Rivai, 2008). Manajemen SDM merupakan bagian

intergral dari keseluruhan manajemen rumah sakit. Strategi manajemen SDM merupakan bagian

internal dari strategi rumah sakit. SDM adalah aset utama rumah sakit, manajemen SDM yang

strategis memandang semua karyawan pada tingkat apapun baik secara struktural maupun

fungsional (Soeroso, 2003).


Manajemen SDM merupakan salah satu bidang dalam manajemen umum yang meliputi

segi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian. Menurut Soesono (2003),

saat ini keberhasilan sebuah rumah sakit sangat ditentukan oleh pengetahuan, keterampilan,

kreativitas dan motivasi staff dan karyawannya. oleh karena itu peranan manajemen SDM sangat

menentukan keberhasilan rumah sakit untuk mencapai tujuannya. Menurut Hasibuan (2013),

manajemen SDM memiliki 11 fungsi manajemen yang meliputi fungsi perencanaan (Human

resource planning) yaitu merencanakan tenaga kerja secara efektif dan efisien agar sesuai dengan

kebutuhan dirumah sakit, fungsi pengorganisasian (organizing) adalah kegiatan

mengorganisasikan dengan menetapkan pembagian kerja, hubungan kerja, delegasi, integrasi dan

koordinasi. Fungsi pengarahan (directing) adalah kegiatan mengarahkan kegiatan agar seluruh

karyawan mau bekerjasama dan bekerja dengan efektif dan efisien dalam mencapai tujuan rumah

sakit. Fungsi pengendalian (controlling) adalah kegiatan mengendalikan semua karyawan agar

menaati peraturan perusahaan dan bekerja sesuai dengan tanggung jawab dan rencana yang

sudah ditentukan. Fungsi pengadaan (procurement) adalah proses penarikan, seleksi, perjanjian

kerja, penempatan, orientasi, induksi untuk mendapatkan karyawan yang sesuai dengan

kebutuhan rumah sakit. Fungsi pengembangan (development) adalah proses peningkatan


keterampilan teknis, teoritis, konseptual dan moral karyawan melalui pendidikan dan pelatihan.

Fungsi Kompensasi (compensation) adalah pemberian balas jasa berupa uang maupun barang

kepada karyawan sebagai imbalan jasa yang diberikan kepada perusahaan. Fungsi

pengintegrasian (integration) merupakan kegiatan untuk mempersatukan kepentingan

perusahaan dan kebutuhan karyawan agar tercipta kerjasama yang serasi. Fungsi Pemeliharaan

(maintenance) adalah kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kondisi fisik, mental dan

loyalitas karyawan agar karyawan tetap mau bekerja sampai pensiun. Fungsi Kedisiplinan adalah

fungsi manajemen SDM untuk membuat karyawan patuh dan sadar terhadap peraturan

peraturan perusahaan dan norma-norma sosial serta karyawan bersedia untuk menaatinya. Fungsi

manajemen yang terakhir adalah fungsi pemberhentian (separation) merupakan putusnya

hubungan kerja karyawan dari suatu perusahaan. Pemberhentian ini erat hubungannya dengan

turnover (pemberhentian yang disebabkan oleh keinginan karyawan itu sendiri), keinginan

perusahaan, berakhirnya kontak kerja, pensiun dan penyebab lainnya.


Menurut penelitian ini...... fungsi manajemen SDM dirumah sakit yang sering menjadi

permasalahan yaitu fungsi pemberhentian. Fungsi pemberhentian ini berupa pemberhentian yang

disebabkan oleh keinginan karyawan sendiri atau turnover sehingga kebutuhan perencanaan

karyawan akan susah untuk diprediksi.

karyawan yang banyak melakukan hal itu adalah tenaga keperawatan yang memiliki

jumlah yang paling dominan di suatu rumah sakit.


Tahapan tenaga keperawatan
a. tenaga manejem
b. tenaga fungsional

2.3 Konsep Kepuasan Kerja

Kepuasan kerja merupakan apa yang dirasakan oleh karyawan yang menyangkut tentang

pekerjaannya. Perasaan itu merupakan sikap umum seseorang terhadap pekerjaannya yang
didasarkan atas penilaiannya terhadap aspek-aspek pekerjaannya (Wibowo, 2012). Salah satu

faktor penyebab timbulnya keinginan untuk turnover adalah ketidakpuasan pada tempat bekerja

sekarang. Sebab-sebab ketidak puasan itu dapat beraneka ragam seperti penghasilan rendah,

kondisi kerja yang kurang memuaskan, hubungan dengan rekan sekerja atau dengan atasan yang

kurang serasi baik, pekerjaan yang tidak sesuai dan faktor lainnya (Siagian, 2009). Munandar

(2001) mengungkapkan semakin banyak aspek-aspek atau nilai-nilai dalam perusahaan sesuai

dengan dirinya maka semakin tinggi tingkat kepuasan yang dirasakannya. Karena pada dasarnya

kepuasan kerja pada dasarnya merupakan sesuatu yang bersifat individu. Setiap individu

memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan sistem nilai yang berlaku pada

dirinya (Wibowo, 2012).

2.3.1 Dimensi Kepuasan Kerja


Kepuasan kerja dapat diukur dengan kepuasan terhadap kompensasi, kepuasan terhadap beban

kerja, kepuasan terhadap promosi, kepuasan terhadap supervisor dan kepuasan terhadap rekan

kerja (Robbins dan Judge, 2008).


Luthan (2006) dalam bukunya yang berjudul Perilaku Organisasi mengungkapkan secara rinci

dimensi terjadinya kepuasan kerja meliputi:


a. Kepuasan terhadap gaji
Gaji merupakan faktor dalam kepuasan kerja yaitu sejumlah uang yang diterima oleh

karyawan. Uang tidak hanya membantu seseorang untuk memperoleh kebutuhan dasar

tetapi juga merupakan alat untuk meningkatkan kepuasan seseorang yang lebih tinggi.

Karyawan melihat gaji tersebut sebagai refleksi dari bagaimana suatu manajemen

perusahaan memandang kontribusi mereka. Jika karywan fleksibel dalam memilih jenis

beneft yang mereka sukai maka akan ada peningkatan secara signifikan terhadap

kepuasan benefit dan kepuasan kerja secara keseluruhan.


b. Kepuasan terhadap promosi KARIR
Promosi merupakan kesempatan untuk maju dalam suatu organisasi. kesempatan promosi

ini memiliki pengaruh yang berbeda pada kepuasan kerja setiap individu karyawan. Hal

ini dikarenakan promosi memiliki sejumlah bentuk yang berbeda dan merupakan suatu

penghargaan. seperti pada promosi atas dasar senioritas atau kinerja dan promosi kenaikan

gaji. lingkungan kerja yang positif dan kesempatan untuk berkembang secara intelektual

dan memperluas keahlian dasar menjadi lebih penting daripada kesempatan promosi.
Karir didefinisikan oleh Mathis dan Jackson (2006) serangkaian posisi yang berkaitan

dengan kerja yang ditempati seseorang sepanjang hidupnya. Karir dapat ditinjau dari

sejumlah perspektif yang berbeda. Dari satu perspektif karir merupakan serangkaian

posisi yang di duduki oleh seseorang selama hidupnya hal ini merupakan karir yang

objektif. Akan tetapi dari sudut pandang lain karir terdiri atas arah yang harus dituju

seseorang dalam kehidupan kerjanya seperti sikap, nilai dan harapan seseorang hal ini

merupakan karir subjektif. Kedua sudut pandang ini berfokus pada individu. Mereka

memiliki kendali atas nasibnya dan mereka dapat memanfaatkan kesempatan untuk

memaksimalkan kesuksesan dan kepuasan yang berasal dari karir.


Dessler (2010) mengungkapkan pengusaha dianggap memiliki pengaruh yang signifikan

pada karier karyawan melalui pengaruh pada proses pengrekrutan, seleksi, penempatan,

pelatihan, penilaian, penghargaan, promosi dan pemisahan karyawan. Hal tersebut dapat

mempengaruhi kepuasan karir karyawan.


Menurut Yani (2012) permintaan berhenti akan dilakukan karyawan bila melihat

kesempatan karir yang lebih besar ditempat lain. Permintaan berhenti itu akan menjadi

suatu cara karyawan untuk mencapai sasaran karir yang diinginkan di rumah sakit

lainnya.
c. Kepuasan terhadap pengawasan (supervisi)
Pengawasan merupakan kepuasan terhadap penyedia untuk memberikan bantuan teknis

dan dukungan prilaku. Luthans menyebutkan dalam pengawasan ini ada dua dimensi gaya
pengawasan yang mempengaruhi kepuasan kerja. Yang pertama adalah berpusat pada

karyawan, pengawasan ini diukur menurut tingkat dimana penyedia menggunakan

ketertarikan personal dan peduli terhadap karyawan, komunikasi dengan karyawan dan

menilai seberapa baik kerja karyawan tersebut. yang kedua adalah iklim partisipasi atau

pengaruh dalam pengambilan keputusan yang dapat mempengaruhi pekerjaan karyawan.


d. Kepuasan terhadap rekan kerja
Rekan kerja yang kooperatif merupakan sumber kepuasan kerja yang paling sederhana.

kelompok kerja yang kuat bertindak sebagai sumber dukungan, kenyamanan, nasihat dan

bantuan terhadap individ karena kelompok kerja memerlikan ketergantungan antar

anggota dalam menyelesaikan pekerjaan. Kondisi seperti iniefektif membuat pekerjaan

menjadi lebih menyenangkan sehingga berdampak yang sangat positif terhadap kepuasan

kerja tersebut.
e. Kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri
Kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri merupakan sumber utama dari kepuasan kerja.

Pekerjaan tersebut apakah merupakan pekerjaan yang menarik bagi karyawan itu sendiri,

apakah dapar memberikan kesempatan untuk belajar, kesempatan untuk menerima

tanggung jawab dan kemajuan untuk karyawan itu sendiri atau tidak.

2.3.2 Meningkatkan Kepuasan Kerja


Peningkatan kepuasan kerja dapat dilakukan dengan cara (Ringgio, 2005) :
a. Melakukan perubahan struktur kerja
Dalam meningkatkan kepuasan kerja karyawan perusahaan dapat melakukan perputaran

pekerjaan (job rotation) yaitu sebuah sistem perubahan pekerjaan dari salah satu tugas ke

tugas yang lainnya. Cara kedua yang harus dilakukan adalah dengan pemekaran (job

enlargement) yaitu perluasan pekerjaan sebagai tambahan pekerjaan. Hal ini dapat

bertujuan untuk membuat mereka merasakan bahwa mereka lebih dari sekedar anggota

dalam organisasi tersebut.


b. Melakukan perubahan struktur pembayaran
Peningkatan kepuasan kerja juga dapat dilakukan dengan cara merubah sistem

pembayaran. Sistem pembayaran dapat dilakukan dengan Skill-based pay yaitu

pembayaran yang dilakukan berdasarkan keahlian dari karyawan tersebut. Kedua, sistem

pembayaran Merit Pay yaitu sistem pembayaran berdasarkan pencapaian finansial pekerja

berdasarkan pada hasil yang dicapai oleh individu itu sendiri. Pembayaran yang ketiga

yaitu Gainsharing atau pembayaran berdasarkan pada keberhasilan kelompok,

keuntungan nantinya akan dibagikan kepada seluruh anggota kelompok.


c. Pemberian jadwal yang fleksibel
Pemberian jadwal ini bisa dilakukan dengan cara Compressed work week atau pekerjaan

mingguan yang dipadatkan. Misalnya, jumlah pekerjaan perhari dikurangi dan jumlah jam

pekerjaan perharinya ditingkatkan. Hal ini dapat mebuat karyawan memadatkan

pekerjaannya yang hanya dilakukan misalnya dari hari senin sampai jumatsehingga

mereka dapat memiliki waktu longgar untuk liburan.


d. Mengadakan program yang mendukung perusahaan untuk meningkatkan kepuasan kerja

karyawannya seperti profit sharing, health center dan employee sponsored child care.

2.4 Konsep Turnover Intention


Robbins (2006) membagi turnover menjadi dua tipe yaitu voluntery turnover (turnover yang

sukarela yang diprakarsai oleh karyawan itu sendiri) dan involuntary turnover (turnover yang

terpaksa yang diprakarsai oleh organisasi) bisa disebabkan oleh kematian atau pengunduran diri

atas desakan. Turnover perawat menurut Benson (1976) dalam Elizabeth (2011) merupakan

perpindahan seorang perawat dari satu rumah sakit ke rumah sakit lainya. Handoko (2000)

menyatakan turnover merupakan permasalahan yang khusus bagi pengembang sumber daya

manusia karena kejadian-kejadian tersebut tidak dapat diperkirakan. Menurut Elizabeth (2011),

23% keseluruhan tingkat turnover tahunan di industri kesehatan 50% diantaranya adalah
turnover perawat. Tingginya tingkat turnover pada perawat tersebut menjadi tantangan yang

besar bagi manajemen keperawatan


Beberapa rumah sakit mempunyai masalah yang signifikan dengan nursing turnover, efek yang

bisa diukur dari tingginya turnover adalah meningkatnya biaya rekrutmen dan relokasi staff yang

baru. Upaya untuk meningkatkan kualitas perawatan sulit terutama karena sangat tergantung

pada tingkat kepuasan dan kapasitas dari staff perawat yang rentan terhadap tingginya turnover

(Puri dan Engberg, 2006). Timbulnya turnover ini diawali dengan adanya turnover intention

dari perawat. Hal tersebut merupakan suatu fenomena penting dalam kehidupan organisasi.

Turnover intention merupakan keinginan karyawan untuk keluar dari satu perusahaan

dengan berbagai alasan guna mendapatkan pekerjaan yang lebih baik (Harnoto, 2002). Turnover

Intention yang biasa disebut sebagai keinginan berpindah merupakan niat berhenti karyawan dari

pekerjaannya itu sendiri secara sukarela, perpindahan ini merupakan salah satu pilihan terakhir

karyawan apabila kondisi pekerjaannya sudah tidak sesuai dengan keinginannya (Petronila,

2009). Menurut Robbins (2006) keinginan berpindah tersebut merupakan pemberhentian

karyawan secara permanen yang dilakukan karyawan itu sendiri dengan sukarela. Penelitian

yang dilakukan oleh Edwards dan Forbush (2002) dalam Ratri (2008) menunjukkan bahwa

keinginan karyawan untuk melakukan sesuatu turnover merupakan anteseden utama terhadap

perilaku nyata. Hal ini menunjukkan bahwa turnover lebih mengarah kepada hasil akhir suatu

organisasi pada periode tertentu sedangkan turnover intention mengacu pada hasil evaluasi

karyawan mengenai kelanjutan hubungannya dengan organisasi tempat kerjanya dan belum

diwujudkan dalam tindakan nyata meninggalkan organisasi tersebut.


2.3.1 Dampak turnover intention
Turnover intention harus disikapi sebagai suatu fenomena dan prilaku karyawan yang

penting dalam suatu organisasi dari sudut pandang individu maupun sosial hal ini dikarenakan
adanya dampak yang cukup signifikan bagi perusahaan dan individu yang bersangkutan tersebut

(Toly, 2001).
Pemberhentian karyawan dengan sukarela adakalanya memiliki dampak yang positif

namun adakala membawa pengaruh yang kurang baik terhadap organisasi. Turnover memberikan

dampak yang positif apabila timbul kesempatan untuk menggantikan karyawan yang memiliki

kinerja tidak optimal dengan karyawan yang memiliki keterampilan, motivasi dan loyalitas yang

tinggi (Agus, 2002). Sedangkan dampak kurang baik yang ditimbulkan adalah kerugian mulai

dari biaya pelatihan yang sudah diinvestasikan bagi karyawan tersebut sampai pada tingkat

kinerja yang dikorbankan. Selain itu turnover merupakan petunjuk kestabilan karyawan, semakin

tinggi turnover berarti semakin sering terjadi pergantian karyawan kerugian tidak hanya pada

biaya rekrutmen dan seleksi saja tapi juga biaya yang berhubungan degan pencatatan data

karyawan baru di departemen personalia, membuat data gaji di bagian akunting, biaya pelatihan

dan penyediaan peralatan keselamatan bagi karyawan baru. Biaya-biaya tersebut tidak pernah

muncul sebagai biaya dipencatatan untung-rugi peusahaan sehingga tidak diperhatikan oleh

manajemen (Wether, 1990).


Adapun indikasi terjadinya turnover intention menurut Harnoto (2002) yaitu :
a. Absensi yang meningkat
Karyawan yang berkeinginan untuk pindah kerja biasanya ditandai dengan absensi

yang semakin meingkat dan tingkat tanggung jawab karyawan terhadap pekerjaannya

pada fase ini sangat kurang dibandingkan sebelumnya


b. Peningkatan terhadap pelanggaran tata tertib kerja
Pelanggaran tata tertib dalam lingkungan pekerjaan sering dilakukan karyawan yang

akan melakukan turnover. Karyawan lebih sering meninggalkan tempat kerja ketika

jam kerja berlangsung.


c. Mulai malas bekerja
Karyawan yang berkeinginan untuk melakukan turnover biasanya akan malas bekerja

karena orientasi mereka adalah bekerja ditempat lain yang dipandang lebih mampu

memenuhi semua keinginannya


d. Peningkatan protes terhadap atasan
Karyawan yang berkeinginan untuk turnover lebih sering melakukan protes kepada

atasannya tentang kebijakan-kebijakan yang ada di perusahannya terutama yang

berhubungan dengan balas jasa atau aturan lain yang tidak sependapat dengan mereka
e. Perilaku positif yang sangat berbeda dari biasanya
Karyawan yang berkeinginan untuk turnover dengan karakteristik yang positif biasanya

prilaku karyawan yang positif tersebut akan meningkat jauh dan berbeda dari biasanya.
2.3.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi turnover intention
Berbagai macam alasan yang diungkapkan karyawan pada saat ditanya mengenai kenapa

berkeinginan keluar dari pekerjaan antara lain karena akan mengurus orang tua, kesehatan yang

kurang baik, melanjutkan pendidikan atau ingin berwiraswasta. Akan tetapi alasan tersebut hanya

dibuat-buat sedangkan alasan sesungguhnya adalah balas jasa yang terlalu rendah, ingin

mendapat pekerjaan yang lebih baik, suasana lingkungan pekerjaan yang kurang cocok,

kesempatan promosi yang tidak ada, perlakuan yang kurang adil dan sebagainya (Hasibuan,

2007). Asad (2003) juga mengungkapkan timbulnya keinginan untuk turnover ini memang

telah menjadi masalah oleh para pengusaha sejak revolusi industri. kondisi lingkungan kerja

yang kurang baik, upah terlalu rendah, jam kerja melampaui batas seta tidak adanya jaminan

sosial merupakan penyebab utama timbulanya turnover pada waktu itu. Menurut Kuswadi (2004)

banyak faktor yang mempengaruhi turnover pegawai namun faktor ketidakpuasan karyawan

merupakan faktor yang paling utama. Hal tersebut juga didukung oleh Robbins (2001) bahwa

ketidakpuasan kerja karyawan akan diungkapkan ke dalam berbagai cara dan salah satunya

adalah dengan meninggalkan pekerjaannya dan mencari pekerjaan lain.


Model turnover intention dari Mobley (1987) dalam buku Munandar (2001)

mengungkapkan bahwa turnover intention dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain :
a. Kondisi Eksternal Organisasi
Faktor kondisi eksternal organisasi yang dimaksud meliputi tingkat pengangguran

karyawan, komposisi dan bauran angkatan kerja serta laju inflasi. Faktor tersebut

mempengaruhi laju pergantian karyawan dan memiliki hubungan negatif yang kuat dalam

perpindahan karyawan. Apabila pengangguran meningkat maka tingkat keluar karyawan

akan menurun dan sebaliknya. Komposisi dan bauran angkatan kerja juga turut

mempengaruhi tingkat laju pergantian karyawan. Efek yang mungkin terjadi bila

komposisi dan bauran angkatan kerja yang berubah-ubah adalah bertambah banyaknya

gerakan karyawan yang lebih muda ke organisasi-organisasi lain dan peningkatan

pergantian karyawan. Selain faktor tingkat pengangguran serta komposisi dan bauran

angkatan kerja laju inflasi atau laju perekonomian juga turut mempengaruhi laju pergantian

karyawan. Namun, hubungan faktor tersebut dengan terjadinya turnover intention pada

karyawan belum pernah diteliti sebelumnya.


b. Karakteristik individu
Faktor karakteristik individu yang meliputi faktor usia, masa kerja, jenis kelamin, tingkat

pendidikan, status pernikahan dan status kerja merupakan bagian karakteristik individu

yang turut mempengaruhi turnover intention seorang perawat.


1) Usia
Penelitian-penelitian terdahulu menunjukan adanya hubungan yang signifikan

antara usia dengan turnover intention yaitu semakin tinggi usia seseorang maka

semakin rendah turnover intention karyawan tersebut. Perawat yang lebih muda

akan lebih tinggi kemungkinan untuk meninggalkan pekerjaannya. Hal ini

disebabkan oleh karena perawat yang lebih muda mempunyai kesempatan yang

lebih banyak untuk mendapatkan pekerjaan yang baru. Menurut Robbins (2001)

Perawat yang memiliki usia yang lebih tua akan merasa enggan untuk berpindah-

pindah tempat kerja karena berbagai alasan seperti tanggung jawab terhadap
keluarga lebih banyak, mobilitas yang mulai menurun, tidak mau repot pindah dan

memulai pekerjaan di tempat yang baru, energi yang sudah mulai berkurang dan

kesenioritasan yang belum tentu diperoleh di tempat kerja mereka yang baru.
2) Masa kerja
Mobley (1986) menyatakan bahwa pada setiap kelompok tertentu dari orang-

orang yang dipekerjakan, dua pertiga sampai tiga perempat bagian dari mereka

akan keluar dan terjadi pada akhir tiga tahun masa bakti. Hasil penelitian yang

pernah dilakukan oleh Robbin (2001) menunjukkan adanya korelasi negatif antara

masa kerja dengan turnover intention, semakin lama masa kerja akan semakin

rendah kecendrungan keinginan turnover. Turnover intention lebih banyak terjadi

pada perawat dengan masa kerja lebih singkat.


3) Jenis kelamin
Hubungan antara jenis kelamin dengan pergantian karyawan bukan merupakan

pola yang sederhana dan masih diragukan hubungannya terkait dengan turnover

intention. Mobley (1986) mengungkapkan jenis kelamin memiliki interaksi

dengan variabel-variabel lain seperti status jabatan dan tanggung jawab terhadap

keluarga.
4) Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan berpengaruh pada dorongan untuk melakukan turnover

intention. Robbins (2001) mengatakan bahwa mereka yang mempunyai tingkat

intelegensi tidak terlalu tinggi akan memandang tugas-tugas yang sulit sebagai

tekanan dan sumber kecemasan. Mereka akan gelisah akan tanggung jawab yang

mereka berikan padanya dan merasa tidak aman. Sebaliknya mereka yang

memiliki tingkat intelegensi yang lebih tinggi akan merasa cepat bosan dengan

pekerjaan-pekerjaan yang monoton. Mereka akan memiliki tingkat turnover


intention lebih tinggi dan berani untuk keluar mencari pekerjaan lain daripada

mereka yang memiliki tingkat pendidikan yang terbatas.


5) Status pernikahan
Hasil riset yang dilakukan oleh Siswanto dan Sucipto (2008) membuktikan bahwa

karyawan yang menikah lebih sedikit absensinya, mengalami pergantian lebih

rendah dan lebih puas dengan pekerjaan mereka daripada rekan sekerjanya yang

masih bujang. Pernikahan akan meningkatkan tanggung jawab karyawan terhadap

keluarganya hal tersebut membuat karyawan memandang penting dan berharga

pekerjaan yang mereka miliki saat ini. Sangat mungkin bahwa perawat yang tekun

dan puas terhadap pekerjaannya diperoleh dari perawat yang sudah menikah
6) Status Kerja
Status kerja mempengaruhi seseorang dalam turnover intention dan mencari

pekerjaan yang baru. Kurniadi (2013) mengungkapkan karyawan dengan status

kontrak akan memiliki turnover intention lebih tinggi dibandingkan dengan

karyawan yang berstatus sebagai karyawan tetap.


c. Kepuasan kerja
Kepuasan kerja pada karyawan memiliki arti penting bagi suatu perusahaan. Karyawan

yang merasa puas dengan apa yang didapatkan maka ia akan bertahan diperusahaan itu dan

mampu bekerja dengan produktif. Karyawan-karyawan yang melakukan turnover

umumnya ditemukan karena mereka merasa tidak puas dengan manajemen perusahaan,

kualitas dan sifat-sifat dari kondisi kerja, besarnya upah, perasaan diperlakukan secara

tidak adil oleh perusahaan dan mutu perusahaan yang tidak memadai. Kondisi-kondisi

tersebut akan membuat karyawan merasa dikecewakan dan tidak dihargai (Sunarno, 2000).

Mobley (1986) mengungkapkan bahwa perasaan tidak puas dapat menimbulkan pikiran

untuk keluar pada karyawan tersebut, dilanjutkan dengan upaya untuk mencari pekerjaan

lain. Jika kerugian yang ditanggung akibat keluar dari pekerjaan tersebut terlalu tinggi
maka individu akan mengevaluasi kembali pekerjaannya yaitu dengan meninjau perasaan

tidak puasnya terhadap pekerjaanya, mengurangi pikiran untuk keluar, dan melakukan

alternatif lain dari turnover seperti absensi yang mulai meningkat, mangkir dari pekerjaan

atau berprilaku pasif terhadap pekerjaan. Sedangkan jika kerugian yang dialami tidak

terlalu tinggi dan ada pekerjaan lain yang lebih baik, maka akan merangsang individu

untuk keluar yang diikuti dengan keluarnya individu dari perusahaan tersebu. Tetapi jika

pekerjaan lain tidak lebih baik maka akan membuat individu tersebut tetap bertahan pada

pekerjaannya semula.

Bagan 2.1
Langkah-langkah dalam proses meninggalkan pekerjaan

Kepuasan kerja

Model meninggalkan
Berfikir untuk pekerjaanKeinginan
dari Mobley (1986) dalam
mencari
Munandar
Keinginan untuk (2001) yang dapat
keluar pekerjaan lain keluar atau bertahan
dilihat pada bagan 2.1 tersebut menunjukkan bahwa setelah karyawan menjadi tidak puas

akan ada tahap karyawan berfikir untuk turnover intention sebelum keputusan untuk
Kemungkinan menemukan alternatif pekerjaan lain Keluar / Bertahan
turnover diambil. Dari penelitian dengan menggunakan model ini ditemukan bukti yang

menunjukkan bahwa
Sumber: Mobley tingkat
(1986) kepuasan(2001)
dalam Munandar kerja berkorelasi dengan turnover intention dan

selanjutnya turnover intention menyebabkan turnover secara aktual.


2.3.3 Upaya Pengendalian Turnover Intention
Melihat dari dampak turnover, maka suatu organisasi harus melakukan upaya pengendalian

tingkat turnover tersebut. Menurut Lingrensing (1997) yang dikutip oleh Frizal (2006) ada

beberapa hal yang dapat dilakukan oleh suatu perusahaan ntuk menanggulangi tingginya tingkat

turnover intention pada perawat antara lain perusahaan dapat mengevaluasi kembali praktek

perekrutan dan seleksi perawat, perusahaan dapat melakukan pengembangan rencana pensiun
atau pembagian keuntungan, perusahaan memastikan kembali telah membuat kesempatan

kesempatan bagi promosi kepada seluruh karyawan dengan adil, membuka saluran komunikasi

antar karyawan dengan manajemen, meningkatkan penggunaan insentif non-finansial,

melakukan interview bagi perawat yang akan melakukan turnover, menanyakan kepada perawat

tentang apa yang disukai dan apa yang tidak disukai selama bekerja diperusahaan tersebut dan

melakukan penilaian kerja secara teratur.


Solusi mengurangi tingkat turnover yang tinggi juga disarankan oleh Mensah dan Alemma

(1997) yang dikutip oleh Endang (2010) yaitu :


1. Wawancara setelah-keluar seharusnya digunakan untuk mengidentifikasikan dan

memecahkan penyebab sebenarnya yang mengarah pada turnover.


2. Hubungan antar rekan kerja (atasan-bawahan) harus diperbaiki
3. Prosedur rekrutmen dan seleksi harus diperbaiki
4. Lowongan kerja harus diumumkan dengan tepat
5. Program pelatihan karyawan yang lengkap, termasuk program-program khusus seminar,

harus didesain untuk membantu para profesional agar dapat menyesuaikan diri dengan

perkembangan terbaru
6. Diadakan pengayaan pekerjaan atau mendesain ulang pekerjaan sehingga karyawan dapat

memiliki pekerjaan yang lebih menarik, menantang dan memuaskan.


7. Promosi seharusnya dilakukan berdasarkan informasi kualitatif dimana potensi karyawan

dinilai dengan tepat dan tidak hanya berdasarkan senioritas maupun masa kerja.

2.5 Hubungan Dimensi Kepuasan Kerja dengan Turnover Intention


Dalam mengukur kepuasan kerja Luthan (2006) membagi kepuasan kerja menjadi 5

indikator dimensi. Dimensi kepuasan kerja tersebut memiliki hubungan erat dengan adanya

turnover intention. Salah satu dimensi kepuasan kerja yaitu kepuasan karyawan dengan gaji. Gaji

merupakan kompensasi yang diperoleh karyawan dari satu perusahaan tempat mereka bekerja.

Menurut Kurniadi (2013) Kompensasi merupakan salah satu komponen penting yang

menentukan tingkat kepuasan kerja seorang karyawan. Semakin besar kompensasi yang
diperoleh oleh karyawan maka akan semakin tinggi kepuasan karyawan tersebut. Menurut

Mcbey (2000) juga mengungkapkan kepuasan terhadap kompensasi ini akan mempengaruhi

karyawan termasuk perawat untuk tetap tinggal atau meninggalkan perusahaan tempat dia

bekerja. hal itu dibuktikan bahwa kepuasan kompensasi yang tinggi yang diterima oleh perawat

menunjukkan turnover intention yang cenderung rendah.

Kepuasan karir juga termasuk faktor selain kompensasi yang turut mempengaruhi

keinginan perawat untuk meninggalkan pekerjaannya. Purbowo (2006) mengungkapkan bahwa

karyawan yang diberikan keterbatasan jenjang karir akan lebih tinggi turnover intentionnya

dibandingkan dengan pegawai yang diberikan jenjang karir yang luas.


Dimensi yang ketiga yaitu kepuasan karyawan dengan rekan sekerja. Hubungan yang baik

dengan rekan kerja dapat mempengaruhi keinginan seorang karyawan termasuk perawat untuk

meninggalkan perusahaan tempat mereka. Rekan kerja merupakan orang-orang yang ada di

dalam lingkungan tempat mereka bekerja. Hal ini berkaitan dengan komunikasi dan hubungan

baik mereka dalam bekerja. Perawat yang memiliki hubungan baik dengan rekan sekerjanya akan

merasakan nyaman, betah dan enggan untuk berhenti dari tempat kerjanya tersebut (Tan, 2008).
Kepuasan terhadap atasan juga dapat mempengaruhi keinginan seorang perawat untuk

meninggalkan suatu organisasi. Menurut Coomber dan Barribal (2006) Ketidakpuasan terhadap

atasan terjadi ketika seorang atasan tidak bisa memberikan penghargaan dan dukungan serta tidak

dapat menghargai dan mengabaikan masalah yang dihadapi oleh bawahannya. Hal ini turut

mempengaruhi perawat untuk keluar meninggalkan pekerjaannya.


Kepuasan karyawan terhadap pekerjaannya sendiri juga merupakan salah satu faktor yang

mempengaruhi turnover intention. Menurut Munandar (2001) Karakteristik pekerjaan yang dapat

mempengaruhi seorang untuk meninggalkan perusahaannya antara lain adalah jumlah

pekerjaannya yang diberikan olehnya, tingkat tanggung jawab dan kebebasan, keragaaman dan

tingkat kesulitan dari pekerjaan tersebut. Mobley (1986) juga mengungkapkan bahwa terdapat
hubungan yang positif antara pengulangan tugas dengan pergantian seorang perawat serta

hubungan yang negatif antara otonomi, tanggung jawab dalam pergantian perawat.

You might also like