You are on page 1of 6

1. Apa yang dimaksud dengan saksi mahkota?

Istilah saksi mahkota memang tidak ditemui dalam peraturan perundang-


undangan yang mengatur hukum acara pidana di Indonesia yaitu UU Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Walaupun demikian
istilah saksi mahkota sering ditemui pada praktik hukum acara pidana.

Istilah saksi sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 26 KUHAP diartikan:

Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan


penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia
dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.

Menurut Lilik Mulyadi definisi mengenai saksi mahkota, yaitu saksi yang
berasal dari atau diambil dari salah seorang tersangka atau terdakwa lainnya
yang bersama-sama melakukan tindak pidana, dan dalam hal mana kepada
saksi tersebut diberikan mahkota: adapun mahkota yang diberikan kepada
saksi yang mempunyai status terdakwa tersebut adalah dalam bentuk
ditiadakan penuntutan terhadap perkaranya atau dimaafkan atas kesalahan
yang pernah dilakukan

Namun, saksi mahkota memiliki perbedaan definisi dengan saksi. Mengenai


definisi saksi mahkota sendiri, kami mengutip alasan pemohon kasasi
(kejaksaan) dalam Putusan Mahkamah Agung No. 2437 K/Pid.Sus/2011
yang menyebutkan bahwa:

Walaupun tidak diberikan suatu definisi otentik dalam KUHAP mengenai


Saksi mahkota (kroongetuide), namun berdasarkan perspektif empirik
maka Saksi mahkota didefinisikan sebagai Saksi yang berasal atau
diambil dari salah seorang tersangka atau Terdakwa lainnya yang
bersama-sama melakukan perbuatan pidana, dan dalam hal mana
kepada Saksi tersebut diberikan mahkota. Adapun mahkota yang diberikan
kepada Saksi yang berstatus Terdakwa tersebut adalah dalam bentuk
ditiadakan penuntutan terhadap perkaranya atau diberikannya suatu
tuntutan yang sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke
Pengadilan atau dimaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan.
Menurut Prof. DR. Loebby Loqman, S.H., M.H., dijelaskan bahwa yang
dimaksud dengan Saksi mahkota adalah kesaksian sesama Terdakwa,
yang biasanya terjadi dalam peristiwa penyertaan.

2. Bagaimana dalam praktiknya mengenai dihadirkannya seorang saksi


mahkota?

Dalam praktiknya, pengajuan saksi mahkota dalam persidangan bukan hal


yang baru. Misalnya, dalam kasus Bank Bali, mantan Gubernur Bank
Indonesia, Syahril Sabirin pernah dijadikan saksi mahkota. Dalam kasus yang
menjerat mantan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Antasari Azhar, saksi
mahkota juga dihadirkan dalam persidangan.

Berdasarkan Surat Edaran Jaksa Agung RI tentang Hukum Pembuktian Dalam


Perkara Pidana, yaitu SE No. B-69/E/02/1997, butir 2. a, dijelaskan bahwa
dalam KUHAP tidak terdapat istilah saksi mahkota, namun sejak sebelum
berlakunya KUHAP, istilah saksi mahkota sudah dikenal dan lazim diajukan
sebagai alat bukti. Di dalam praktik, saksi mahkota digunakan dalam hal
terjadi penyertaan (deelneming), di mana terdakwa yang satu dijadikan saksi
terhadap terdakwa lainnya oleh karena alat bukti yang lain tidak ada atau
sangat minim, dan hal ini dimaksud untuk mempermudah pembuktian.
Dengan pertimbangan bahwa dalam status sebagai terdakwa, keterangannya
hanya berlaku untuk dirinya sendiri sesuai ketentuan Pasal 189 ayat (3)
KUHAP sehingga dengan berpedoman pada Pasal 142 KUHAP maka berkas
perkaranya diadakan pemisahan agar para terdakwa dapat disidangkan secara
terpisah sehingga terdakwa yang satu dapat menjadi saksi terhadap terdakwa
lainnya.
3. Apakah diperbolehkan jika dihadirkan saksi mahkota ke dalam
persidangan?

Penggunaan saksi mahkota mendapat pertentangan dari beberapa kalangan,


salah satunya datang dari mantan Hakim Agung RI, Adi Andojo Soetjipto
yang dalam bukunya Menyongsong dan Tunaikan Tugas Negara Sampai Akhir:
Sebuah Memoar (hal. 167) menyatakan bahwa cara pembuktian dengan
menggunakan saksi mahkota (kroongetuige) tidaklah dibenarkan dan dilarang
menurut Ilmu Pengetahuan Hukum.

Jika mengacu pada ketentuan Pasal 66 KUHAP dan Article 14 point 3 point
g ICCPR yang mengatakan bahwa Terdakwa tidak boleh dipaksa untuk
mengaku bersalah, maka seorang terdakwa tidak dibebankan suatu beban
pembuktian dan tidak dapat dipaksa untuk bersaksi atas dirinya sendiri atau
dipaksa mengaku bersalah (asas non-self incrimination), bahkan dalam Pasal
175 KUHAP pun seorang terdakwa memiliki hak ingkar (right to remain
silent), yaitu untuk menolak menjawab pertanyaan yang diajukan pada dirinya
di dalam persidangan, maka dengan demikian rasanya mustahil untuk
menghadirkan seorang yang secara bersama-sama bertindak sebagai
terdakwa dalam acara pemeriksaan di suatu sidang pengadilan. Hal ini
tercermin secara parsial melalui Pasal 189 ayat (3) KUHAP bahwa
keterangan terdakwa hanya dapat dipergunakan bagi dirinya sendiri, dan
tidak adanya pengakuan terdakwa sebagai alat bukti yang sah sebagaimana
diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, serta Pasal 168 KUHAP tentang
pengecualian yang bersifat relatif untuk menjadi saksi.

Sebagai kesimpulan, saksi mahkota adalah istilah untuk tersangka/terdakwa


yang dijadikan saksi untuk tersangka/terdakwa lain yang bersama-sama
melakukan suatu perbuatan pidana. Walaupun tidak diatur secara tegas dalam
KUHAP, tapi dalam praktiknya memang sering dijumpai adanya saksi mahkota
untuk pembuktian pada perkara pidana.

4. Apa dasar hukum yang memperbolehkan keterangan saksi dilakukan


melalui teleconference?
Dalam ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, yang menegaskan ada tiga pilihan saksi tak
harus dihadirkan ke pengadilan, yaitu :

a. Saksi diperbolehkan memberi keterangan secara tertulis di hadapan


pejabat seperti notaris, hakim, atau camat.
b. Keterangan saksi dapat diperiksa lewat teleconference.
c. Pemeriksaannya seperti mistery guest, yang memberikan keterangan
dalam ruangan khusus.

Selain itu keterangan saksi melalui sarana teleconference telah memenuhi


ketentuan pasal 185 ayat (1) KUHAP yang pada pokoknya menyatakan
keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di depan
sidang pengadilan, dimana keterangan saksi secara teleconference juga
dinyatakan di depan persidangan akan tetapi tidak secara langsung (fisik)
hadir dalam persidangan. Dari ketentuan tersebut, memang secara tekstual
tidak dituntut kehadiran seorang saksi secara fisik di ruang sidang.

Mengenai pemikirkan mengenai pemeriksaan tanpa hadirnya terdakwa


sejatinya telah ada jauh sebelumnya, hal ini terbukti dari putusan Mahkamah
Agung RI Nomor : 661 K/Pid/1988 tanggal 19 Juli 1991 dengan
kaidah hukum : keterangan saksi yang tidak dapat hadir di persidangan
karena suatu halangan yang sah pada dasarnya tetap di sumpah. Dan
keterangannya tersebut sama nilaianya dengan kesaksian di bawah sumpah.

Praktisi hukum Luhut M.P. Pangaribuan juga berpendapat bahwa


teleconference bisa dijadikan alat bukti untuk mencari kebenaran materiil.
Menurutnya, tempat kesaksian tidaklah terlalu penting dalam mencari
kebenaran materiil itu.

Kesimpulannya, bahwa kekuatan pembuktian (kracht beweijs) dari kesaksian


yang dikemukakan melalui teleconference, jika dihubungkan dengan alat bukti
sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 184 KUHAP, baik secara langsung
maupun melalui penafsiran hukum, maka kesaksian yang dikemukakan
melalui teleconference dapat digolongkan sebagai alat bukti keterangan saksi
sebagaimana diataur dalam ketentuan pasal 184 ayat (1) KUHAP,
sehingga kesaksian yang dikemukakan melalui teleconference ini adalah sah
dan dapat diajukan sebagai alat bukti pada proses pembuktian perkara
pidana, sedangkan mengenai kekuatan hukum keterangan saksi
secara teleconference, memiliki kekuatan hukum sama dengan pembuktian
pada kasus pidana konvensional sebagaimana diatur dalam pasal 184 KUHAP.

5. Syarat apa saja yang harus dilakukan apabila teleconference


diperbolehkan untuk dilakukan?

a. Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji lebih dahulu (pasal 160
ayat (3) jo. pasal 185 ayat (7) KUHAP)
b. Keterangan saksi dinyatakan secara lisan melalui alat komunikasi audio
visual /teleconference di muka sidang pengadilan (merupakan
perluasan dari pasal 185 ayat (1) KUHAP)
c. Isi keterangan harus mengenai hal yang saksi lihat, dengar, dan alami,
serta menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu (pasal 1 angka 27
KUHAP)
d. Keterangan saksi tersebut saling bersesuaian satu sama lain (pasal 185
ayat (6) KUHAP)

6. Apa dasar hukum yang tidak memperbolehkan dilakukan teleconference


dalam persidangan?

Melihat pada pengaturan pemeriksaan saksi di persidangan, Pasal 185 UU


No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menegaskan
keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang
pengadilan. Saksi wajib untuk menghadap sendiri di muka persidangan,
terlihat pada Pasal 185 ayat (1) KUHAP yang menyatakan keterangan
saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.
Pasal 160 KUHAP menyebutkan saksi dipanggil ke dalam ruang sidang
seorang demi seorang menurut urutan yang dipandang sebaik-baiknya oleh
hakim ketua sidang setelah mendengar pendapat penuntut umum, terdakwa
atau penasihat hukumnya.

Selain itu, kami berpendapat bahwa teleconference bukan merupakan alat


bukti yang sah, didasarkan pada pendapat mantan Hakim Agung M. Yahya
Harahap dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan
Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi
dan Peninjauan Kembali, pada halaman 209 berpendapat bahwa
keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan.

Dengan demikian, jika bercermin dengan pertimbangan hakim dalam


Putusan Mahkamah Agung Nomor 112 PK/Pid/2006 atas nama Terdakwa
Schapelle Leigh Corby pada halaman 35 menyatakan bahwa alat bukti
teleconference tidak termasuk alat bukti yang sah karena tidak termasuk
dalam kategori alat bukti menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP dan tidak
memiliki kekuatan pembuktian. Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa cara
pemeriksaan saksi menggunakan teleconference tidak memenuhi kualifikasi
keterangan saksi yang sah dan menyebabkan alat bukti teleconference tidak
memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna.

You might also like