Professional Documents
Culture Documents
3. Penyebab
a) Faktor Predisposisi
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan isolasi sosial adalah:
1. Faktor Perkembangan
Setiap tahap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus
dilalui individu dengan sukses, karena apabila tugas perkembangan
ini tidak dapat dipenuhi, akan menghambat masa perkembangan
selanjutnya. Keluarga adalah tempat pertama yang memberikan
pengalaman bagi individu dalam menjalin hubungan dengan orang
lain. Kurangnya stimulasi, kasih sayang, perhatian dan kehangatan
dari ibu/pengasuh pada bayi bayi akan memberikan rasa tidak
aman yang dapat menghambat terbentuknya rasa percaya diri. Rasa
ketidakpercayaan tersebut dapat mengembangkan tingkah laku
curiga pada orang lain maupun lingkungan di kemudian hari.
Komunikasi yang hangat sangat penting dalam masa ini, agar anak
tidak mersaa diperlakukan sebagai objek.
Menurut Purba, dkk. (2008) tahap-tahap perkembangan
individu dalam berhubungan terdiri dari:
1) Masa Bayi
Bayi sepenuhnya tergantung pada orang lain untuk
memenuhi kebutuhan biologis maupun psikologisnya.
Konsistensi hubungan antara ibu dan anak, akan menghasilkan
rasa aman dan rasa percaya yang mendasar. Hal ini sangat
penting karena akan mempengaruhi hubungannya dengan
lingkungan di kemudian hari. Bayi yang mengalami hambatan
dalam mengembangkan rasa percaya pada masa ini akan
mengalami kesulitan untuk berhubungan dengan orang lain
pada masa berikutnya.
2) Masa Kanak-kanak
Anak mulai mengembangkan dirinya sebagai individu yang
mandiri, mulai mengenal lingkungannya lebih luas, anak mulai
membina hubungan dengan teman-temannya. Konflik terjadi
apabila tingkah lakunya dibatasi atau terlalu dikontrol, hal ini
dapat membuat anak frustasi. Kasih sayang yang tulus, aturan
yang konsisten dan adanya komunikasi terbuka dalam keluarga
dapat menstimulus anak tumbuh menjadi individu yang
interdependen, Orang tua harus dapat memberikan pengarahan
terhadap tingkah laku yang diadopsi dari dirinya, maupun
sistem nilai yang harus diterapkan pada anak, karena pada saat
ini anak mulai masuk sekolah dimana ia harus belajar cara
berhubungan, berkompetensi dan berkompromi dengan orang
lain.
3) Masa Praremaja dan Remaja
Pada praremaja individu mengembangkan hubungan yang
intim dengan teman sejenis, yang mana hubungan ini akan
mempengaruhi individu untuk mengenal dan mempelajari
perbedaan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Selanjutnya
hubungan intim dengan teman sejenis akan berkembang
menjadi hubungan intim dengan lawan jenis. Pada masa ini
hubungan individu dengan kelompok maupun teman lebih
berarti daripada hubungannya dengan orang tua. Konflik akan
terjadi apabila remaja tidak dapat mempertahankan
keseimbangan hubungan tersebut, yang seringkali
menimbulkan perasaan tertekan maupun tergantung pada
remaja.
4) Masa Dewasa Muda
Individu meningkatkan kemandiriannya serta
mempertahankan hubungan interdependen antara teman sebaya
maupun orang tua. Kematangan ditandai dengan kemampuan
mengekspresikan perasaan pada orang lain dan menerima
perasaan orang lain serta peka terhadap kebutuhan orang lain.
Individu siap untuk membentuk suatu kehidupan baru dengan
menikah dan mempunyai pekerjaan. Karakteristik hubungan
interpersonal pada dewasa muda adalah saling memberi dan
menerima (mutuality).
5) Masa Dewasa Tengah
Individu mulai terpisah dengan anak-anaknya,
ketergantungan anak-anak terhadap dirinya menurun.
Kesempatan ini dapat digunakan individu untuk
mengembangkan aktivitas baru yang dapat meningkatkan
pertumbuhan diri. Kebahagiaan akan dapat diperoleh dengan
tetap mempertahankan hubungan yang interdependen antara
orang tua dengan anak.
6) Masa Dewasa Akhir
Individu akan mengalami berbagai kehilangan baik kehilangan
keadaan fisik, kehilangan orang tua, pasangan hidup, teman,
maupun pekerjaan atau peran. Dengan adanya kehilangan
tersebut ketergantungan pada orang lain akan meningkat,
namun kemandirian yang masih dimiliki harus dapat
dipertahankan.
2. Faktor Komunikasi Dalam Keluarga
Masalah komunikasi dalam keluarga dapat menjadi kontribusi
untuk mengembangkan gangguan tingkah laku.
1) Sikap bermusuhan/hostilitas
2) Sikap mengancam, merendahkan dan menjelek-jelekkan anak
3) Selalu mengkritik, menyalahkan, anak tidak diberi kesempatan
untuk mengungkapkan pendapatnya.
4) Kurang kehangatan, kurang memperhatikan ketertarikan pada
pembicaananak, hubungan yang kaku antara anggota keluarga,
kurang tegur sapa, komunikasi kurang terbuka, terutama dalam
pemecahan masalah tidak diselesaikan secara terbuka dengan
musyawarah.
5) Ekspresi emosi yang tinggi
6) Double bind (dua pesan yang bertentangan disampaikan saat
bersamaan yang membuat bingung dan kecemasannya
meningkat)
3. Faktor Sosial Budaya
Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan merupakan
faktor pendukung terjadinya gangguan berhubungan. Dapat juga
disebabkan oleh karena norma-norma yang salah yang dianut oleh
satu keluarga.seperti anggota tidak produktif diasingkan dari
lingkungan sosial.
4. Factor Biologis
Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan jiwa.
Insiden tertinggi skizofrenia ditemukan pada keluarga yang
anggota keluarga yang menderita skizofrenia. Berdasarkan hasil
penelitian pada kembar monozigot apabila salah diantaranya
menderita skizofrenia adalah 58%, sedangkan bagi kembar dizigot
persentasenya 8%. Kelainan pada struktur otak seperti atropi,
pembesaran ventrikel, penurunan berat dan volume otak serta
perubahan struktur limbik, diduga dapat menyebabkan skizofrenia.
b) Faktor Presipitasi
Stresor presipitasi terjadinya isolasi sosial dapat ditimbulkan oleh
faktor internal maupun eksternal, meliputi:
a. Stressor Sosial Budaya
Stresor sosial budaya dapat memicu kesulitan dalam berhubungan,
terjadinya penurunan stabilitas keluarga seperti perceraian,
berpisah dengan orang yang dicintai, kehilangan pasangan pada
usia tua, kesepian karena ditinggal jauh, dirawat dirumah sakit atau
dipenjara. Semua ini dapat menimbulkan isolasi sosial.
b. Stressor Biokimia
1) Teori dopamine: Kelebihan dopamin pada mesokortikal dan
mesolimbik serta tractus saraf dapat merupakan indikasi
terjadinya skizofrenia.
2) Menurunnya MAO (Mono Amino Oksidasi) didalam darah
akan meningkatkan dopamin dalam otak. Karena salah satu
kegiatan MAO adalah sebagai enzim yang menurunkan
dopamin, maka menurunnya MAO juga dapat merupakan
indikasi terjadinya skizofrenia.
3) Faktor endokrin: Jumlah FSH dan LH yang rendah ditemukan
pada pasien skizofrenia. Demikian pula prolaktin mengalami
penurunan karena dihambat oleh dopamin. Hypertiroidisme,
adanya peningkatan maupun penurunan hormon adrenocortical
seringkali dikaitkan dengan tingkah laku psikotik.
4) Viral hipotesis: Beberapa jenis virus dapat menyebabkan
gejala-gejala psikotik diantaranya adalah virus HIV yang dapat
merubah stuktur sel-sel otak.
c. Stressor Biologik dan Lingkungan Sosial
Beberapa peneliti membuktikan bahwa kasus skizofrenia sering
terjadi akibat interaksi antara individu, lingkungan maupun
biologis.
d. Stressor Psikologis
Kecemasan yang tinggi akan menyebabkan menurunnya
kemampuan individu untuk berhubungan dengan orang lain.
Intesitas kecemasan yang ekstrim dan memanjang disertai
terbatasnya kemampuan individu untuk mengatasi masalah akan
menimbulkan berbagai masalah gangguan berhubungan pada tipe
psikotik.
Menurut teori psikoanalisa; perilaku skizofrenia disebabkan
karena ego tidak dapat menahan tekanan yang berasal dari id
maupun realitas yang berasal dari luar. Ego pada klien psikotik
mempunyai kemampuan terbatas untuk mengatasi stress. Hal ini
berkaitan dengan adanya masalah serius antara hubungan ibu dan
anak pada fase simbiotik sehingga perkembangan psikologis
individu terhambat.
Menurut Purba, dkk. (2008) strategi koping digunakan pasien
sebagai usaha mengatasi kecemasan yang merupakan suatu
kesepian nyata yang mengancam dirinya. Strategi koping yang
sering digunakan pada masing-masing tingkah laku adalah sebagai
berikut:
1) Tingkah laku curiga: proyeksi
2) Dependency: reaksi formasi
3) Menarik diri: regrasi, depresi, dan isolasi
4) Curiga, waham, halusinasi: proyeksi, denial
5) Manipulatif: regrasi, represi, isolasi
6) Skizoprenia: displacement, projeksi, intrijeksi, kondensasi,
isolasi, represi dan regrasi.
5. Petalaksanaan
1. Terapi Psikofarmaka
a. Chlorpromazine
Mengatasi sindrom psikis yaitu berdaya berat dalam kemampuan
menilai realitas, kesadaran diri terganggu, daya ingat norma sosial
dan tilik diri terganggu, berdaya berat dalam fungsi-fungsi mental:
faham, halusinasi. Gangguan perasaan dan perilaku yang aneh atau
tidak terkendali, berdaya berat dalam fungsi kehidupan sehari-hari,
tidak mampu bekerja, berhubungan sosial dan melakukan kegiatan
rutin. Mempunyai efek samping gangguan otonomi (hypotensi)
antikolinergik/parasimpatik, mulut kering, kesulitan dalam miksi,
hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intra okuler meninggi,
gangguan irama jantung. Gangguan ekstra pyramidal (distonia
akut, akathsia sindrom parkinson). Gangguan endoktrin
(amenorhe). Metabolic (Soundiee). Hematologik, agranulosis.
Biasanya untuk pemakaian jangka panjang. Kontraindikasi
terhadap penyakit hati, penyakit darah, epilepsy, kelainan jantung
(Andrey, 2010).
b. Haloperidol (HLP)
Berdaya berat dalam kemampuan menilai realita dalam fungsi
mental serta dalam fungsi kehidupan sehari-hari. Memiliki efek
samping seperti gangguan miksi dan parasimpatik, defeksi, hidung
tersumbat mata kabur , tekanan infra meninggi, gangguan irama
jantung. Kontraindikasi terhadap penyakit hati, penyakit darah,
epilepsy, kelainan jantung (Andrey, 2010).
c. Trihexyphenidil (THP)
Segala jenis penyakit Parkinson, termasuk pasca ensepalitis dan
idiopatik, sindrom Parkinson akibat obat misalnya reserpina dan
fenotiazine. Memiliki efek samping diantaranya mulut kering,
penglihatan kabur, pusing, mual, muntah, bingung, agitasi,
konstipasi, takikardia, dilatasi, ginjal, retensi urine. Kontraindikasi
terhadap hypersensitive Trihexyphenidil (THP), glaukoma sudut
sempit, psikosis berat psikoneurosis (Andrey, 2010).
2. Terapi Individu
Terapi individu pada pasien dengan masalah isolasi sosial dapat
diberikan strategi pertemuan (SP) yang terdiri dari tiga SP dengan
masing-masing strategi pertemuan yang berbeda-beda. Pada SP satu,
perawat mengidentifikasi penyebab isolasi social, berdiskusi dengan
pasien mengenai keuntungan dan kerugian apabila berinteraksi dan
tidak berinteraksi dengan orang lain, mengajarkan cara berkenalan, dan
memasukkan kegiatan latihan berbiincang-bincang dengan orang lain
ke dalam kegiatan harian. Pada SP dua, perawat mengevaluasi jadwal
kegiatan harian pasien, memberi kesempatan pada pasien
mempraktekkan cara berkenalan dengan satu orang, dan membantu
pasien memasukkan kegiatan berbincang-bincang dengan orang lain
sebagai salah satu kegiatan harian. Pada SP tiga, perawat mengevaluasi
jadwal kegiatan harian pasien, memberi kesempatan untuk berkenalan
dengan dua orang atau lebih dan menganjurkan pasien memasukkan ke
dalam jadwal kegiatan hariannya (Purba, dkk. 2008)
3. Terapi kelompok
Menurut (Purba, 2009), aktivitas pasien yang mengalami
ketidakmampuan bersosialisasi secara garis besar dapat dibedakan
menjadi tiga yaitu:
a. Activity Daily Living (ADL)
Adalah tingkah laku yang berhubungan dengan pemenuhan
kebutuhan sehari-hari yang meliputi:
1) Bangun tidur, yaitu semua tingkah laku/perbuatan pasien
sewaktu bangun tidur.
2) Buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK), yaitu semua
bentuk tingkah laku/perbuatan yang berhubungan dengan BAB
dan BAK.
3) Waktu mandi, yaitu tingkah laku sewaktu akan mandi, dalam
kegiatan mandi dan sesudah mandi.
b. Tingkah laku sosial
Adalah tingkah laku yang berhubungan dengan kebutuhan sosial
pasien dalam kehidupan bermasyarakat yang meliputi:
1) Kontak sosial terhadap teman, yaitu tingkah laku pasien untuk
melakukan hubungan sosial dengan sesama pasien, misalnya
menegur kawannya, berbicara dengan kawannya dan
sebagainya.
2) Kontak sosial terhadap petugas, yaitu tingkah laku pasien untuk
melakukan hubungan sosial dengan petugas seperti tegur sapa,
menjawab pertanyaan waktu ditanya, bertanya jika ada
kesulitan dan sebagainya.
C. POHON MASALAH
Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi
Perilaku Kekerasan
E. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Isolasi Sosial
A. Proses Keperawatan
1. Kondisi Klien
Data subjektif:
a) Klien mengatakan malas berinteraksi dengan orang lain.
b) Klien mengatakan orang-orang jahat dengan dirinya
c) Klien merasa orang lain tidak selevel
Data objektif:
a) Klien tampak menyendiri
b) Klien terlihat mengurung diri
c) Klien tidak mau bercakap-cakap dengan orang lain.
2. Diagnosa Keperawatan
Isolasi Sosial
3. Tujuan Umum : Klien dapat berinteraksi dengan orang lain
Tujuan Khusus:
a. Klien dapat membina hubungan saling percaya
b. Klien dapat menyebutkan penyebab isolasi social
c. Klien mampu menyebutkan keuntungan dan kerugian hubungan
dengan orang lain
d. Klien dapat melaksanakan hubungan social secara bertahap
e. Klien mampu menjelaskan perasaan setelah berhubungan dengan
orang lain
f. Klien mendapat dukungan keluarga dalam memperluas hubungan
social
g. Klien dapat memanfaatkan obat dengan baik
4. Tindakan Keperawatan
a. Membina hubungan saling percaya
b. Mengidentifikasi penyebab isolasi sosial pasien
c. Berdiskusi dengan pasien tentang keuntungan berinteraksi dengan
orang lain.
d. Berdiskusi dengan pasien tentang kerugian berinteraksi dengan orang
lain
e. Mengajarkan pasien cara berkenalan dengan satu orang
f. Menganjurkan pasien memasukkan kegiatan latihan berbincang-
bincang dengan orang lain dalam kegiatan harian
B. Strategi Pelaksanaan
1. Fase Orentasi
a) Salam Terapeutik
Selamat Pagi Bu! Perkenalkan nama saya zian faizah, biasa di
panggil zian, saya mahasiswa poltekkes depkes jakarta III. Saya
praktek disini mulai dari hari ini sampai tanggal 23 Desember 2010
dari jam 08.00-14.00 WIB. Nama ibu siapa? Senang di panggil
apa?
b) Validasi
Bagaimana perasaan ibu hari ini ?
c) Kontrak
1) Topik
Senangya bisa berkenalan dengan ibu hari ini, bagaimana
kalau kita berbincang-bincang untuk lebih saling mengenal
sekaligus agar ibu dapat mengetahui keuntungan dan kerugian
berinteraksi dengan orang lain?
2) Waktu
berapalama ibu punya waktu untuk berbincang-bincang
dengan saya? Bagaimana kalau 15 menit saja?
3) Tempat
di mana ibu mau berbincang-bincang dengan saya? Ya
sudah... di ruangan ini saja kita berbincang-bincang...
4) Tujuan
Agar ibu dengan saya dapat saling mengenal sekaligus ibu
dapat mengetahui keuntungan berinteraksi dengan orang lain
dan kerugian tidak berinteraksi dengan orang lain.
2. Fase kerja
Ibu, kalau boleh saya tau orang yang paling dekat dengan ibu siapa?
Menurut ibu apa keuntungann berinteraksi dengan orang lain dan
kerugian tidak berinteraksi dengan orang lain? Kalau ibu tidak tahu
saya akan memberitahukan keuntungan dari berinteraksi dengan orang
lain yaitu bapak punya banyak teman, saling menolong, saling
bercerita, dan tidak selalu sendirian. Sekarang saya akan mengajarkan
ibu berkenalan. Bagus... ibu dapat mempraktekkan apa yang saya
ajarkan tadi..bagaiman kalau kegiatan berbincang-bincang dengan
orang lain di masukkan kedalam jadwal kegiatan harian?
3. Fase Terminasi
a. Evaluasi
1) Evaluasi Subyektif
Bagaimana perasaan ibu setelah kita berbincang-bincang
tadi?
2) Evaluasi Objektif
coba ibu ceritakan kembali keuntungan berinteraksi dan
kerugian tidak berinteraksi dengan orang lain?
3) Tindak Lanjut
Tadi saya sudah menjelaskan keuntungan dan kerugian tidak
berinteraksi dengan orang lain dan cara berkenalan yang benar.
Saya harap ibu dapat mencobanya bagaimana berinteraksi
dengan orang lain!
4) Kontrak yang akan datang
Topik
Baiklah... pertemuan kita cukup sampai disini. Besok kita
akan berbincang-bincang lagi tentang jadwal yang telah kita
buat dan mempraktekkan cara berkenalan dengan orang
lain?
Waktu
Berapa lama ibu punya waktu untuk berbincang-bincang
dengan saya besok? Bagaimana kalau 15 menit saja?
Tempat
di mana ibu mau berbincang-bincang dengan saya besok?
Ya sudah... bagaimana kalau besok kita melakukannya di
teras depan saja?...
A. Proses Keperawatan
1. Kondisi Klien
a) Data subjektif:
Klien mengatakan sudah dapat berinteraksi dengan orang lain
Klien mengatakan sudah mengajak beberapa untuk berkenalan
b) Data objektif
Klien tampak sudah mau keluar kamar
Klien dapat melakukan aktivitas di ruangan
2. Diagnosa Keperawatan
Isolasi Sosial
3. Tujuan
a. Klien mempu berkenalan dengan dua orang atau lebih
b. Klien dapat memasukkan kedalam jadwal kegiatan harian
4. Tindakan Keperawatan
1) Mengevaluasi jadwal kegitan harian pasien
2) Memberikan kesempatan pada klien berkenalan
3) Menganjurkan pasien memasukkan kedalam jadwal kegiatan harian.
5. Strategi Pelaksanaan
1. Fase Orentasi
a) Salam Terapeutik
Selamat Pagi Bu! masih ingat dengan saya? Benar ibu! saya
suster zian...
b) Validasi
Bagaimana perasaan ibu hari ini ? masih ingat dengan yang
kemarin ibu lakukan?
d) Kontrak
Topik
sesuai dengan janji kita kemarin, hari ini ibu akan melakukan
interaksi dengan orang lain sebanyak 2 orang atau lebih pada
orang yang tidak ibu kenal atau orang baru...
Waktu
sesuai dengan kesepakatan kita kemarin, kita akan
melakukannya selama 15 menit... bagaimana menurut ibu?
Tempat
kesepakatan kita kemarin!! Kita akan melakukannya di teras...
apakah ibu setuju?
Tujuan
Agar ibu dengan orang lain dapat saling kenal dan mempunyai
teman yang banyak
2. Fase kerja
sebelum kita berkenalan dengan orang lain, coba ibu perlihatkan
kepada saya bagaimana cara berkenalan dengan orang lain? Hebat...
ibu dapat melakukannya dengan baik... sekarang, mari kita
melakukannya dengan orang lain yang ibu tidak kenal sebanyak 2
orang atau lebih!! Bagus... ibu dapat mempraktekkan dengan baik dan
mulai berkembang dalam berinteraksi dengan orang
lain..bagaimanakalau kegiatan berkenalan dengan orang lain yang baru
dikenal di masukkan kedalam jadwal kegiatan harian?
3. Fase Terminasi
a. Evaluasi
1) Evaluasi Subyektif
Bagaimana perasaan ibu setelah kita berbincang-bincang tadi?
Siapa-siapa saja nama orang yang ibu ajak berkenalan tadi?
2) Evaluasi Objektif
klien terlihat berkenalan dengan orang yang baru di kenalnya
sebanyak 3 orang
b. Tindak Lanjut
nah..saat saya tidak ada, ibu dapat melakukannya hal seperti yang
ibu lakukan tadi dengan orang yang baru ibu kenal... kemudian ibu
ingat nama yang pernah ibu ajak kenalan atau bisa ibu catat di
buku saat berkenalan.
c. Kontrak yang akan datang
Topik
baiklah... pertemuan hari ini kita akhiri. Besok kita ulangi apa
yang telah kita pelajari dari kemarin ya bu..apakah ibu bersedia
Waktu
berapa lama ibu mau melakukannya? Bagaimana kalau besok
kita melakukannya selama 15 menit?
Tempat
di mana ibu bisa melakukannya besok? Baiklah kita
melakukannya di sini saja....selamat siang ibu!!!
SP PADA PASIEN
SP I p
1. Mengidentifikasi penyebab isolasi sosial pasien
2. Mengidentifikasi keuntungan berinteraksi dengan orang lain.
3. Mengidentifikasi kerugian tidak berinteraksi dengan orang lain.
4. Melatih pasien berkenalan dengan satu orang.
5. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
SP II p
1. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.
2. Melatih pasien berkenalan dengan dua orang atau lebih.
3. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
SP III p
1. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.
2. Melatih pasien berinteraksi dalam kelompok.
3. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
SP PADA KELUARGA
SP I k
1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien
2. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala isolasi sosial yang dialami
pasien beserta proses terjadinya
3. Menjelaskan cara-cara merawat pasien isolasi sosial
SP II k
1. Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan isolasi
sosial
2. Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada pasien isolasi
sosial
SP III K
1. Membantu keluarga membuat jadual aktivitas di rumah termasuk minum
obat (discharge planning)
2. Menjelaskan follow up pasien setelah pulang
DAFTAR PUSTAKA
Budi Anna Keliat. 2009. Model praktik keperawatan professional jiwa. Jakarta.
ECG
Yosep Iyus. 2007. Keperawatan Jiwa. Jakarta. ECG
Ernawati, dkk.(2009). Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Jiwa.
Jakarta: Trans Info Media.
Farida, Yudi Hartono. (2010). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba
Medika.
Keliat, Budi Anna. (2011). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas. Jakarta:
EGC.
Nita, Fitria. (2009). Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan
Pendahuluan dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP
dan SP). Jakarta: Salemba Medika.
Yosep, Iyus. (2009). Keperawatan Jiwa. Jakarta: Refika Aditama.