You are on page 1of 6

Timeline

Ayam jantan berkokok simbol pagi telah tiba. Sinar mentari menembus celah-celah
ventilasi jendelaku. Hangat rasanya. Namun hal itu tak membuatku terbangun menyambut
datangnya hari yang baru. Aku malah masih berguling dengan mimpiku, ditemani selimut
dan bantal.
Rehaaan, udah siang tau. Bangun!! seru sebuah suara dari seberang jendelaku. Aku
yang saat itu masih setengah sadar hanya mengeluh sebentar sebelum akhirnya kembali
beradu dengan mimpiku terbawa alam tidur yang lebih dalam. Aku tak terlalu mendengar
jelas apa yang di katakan oleh suara itu. Hanya terkadang samar-samar suaranya yang
memekakan telinga terdengar bahkan sampai ke alam mimpi. Mendadak sebuah kerikil kecil
sekitar ibu jari mengenai kepalaku membuatku terbangun. Aku menggeram kesal menoleh ke
luar jendela.
Maya, kau melakukannya lagi! Bisa nggak sih ngebangunin aku pake cara yang
lebih indah? tanyaku pada Maya, teman masa kecilku. Ia hanya tersenyum. Wajah polos bak
malaikatnya membuatku meredam seluruh rasa kesalku.
Ree ayo cepet, udah telat tau. Aku tungguin sepuluh menit ya. Teriaknya dari
bawah tangga. Aku mengangguk melambaikan tanganku. Rumah kami memang bersebelahan
dan jendela kamar kami berhadapan, karena itulah rutinitas bangun membangunkan
merupakan hal yang biasa.
Sorry May lama. Berangkat yuk! ajakku. Maya mengangguk ceria melemparkan
satu l senyuman manisnya yang tentu saja selalu membuatku berdesir. Selalu jantungku
berdetak tak karuan di buatnya. Memang aku menyukai Maya sejak lama. Ia adalah
seseorang yang selalu bersemangat. Mungkin semangatnya yang tak pernah padam itulah
yang selalu membuatku kagum dan menyukainya. Ketika ia memiliki keinginan, ia tak
pernah mau melepasnya, ia selalu menggegam kuat angannya dan berusaha sekuat untuk
meraihnya.
Aku menyukai Maya. Namun, meskipun aku sudah menyadari perasaanku sejak lama.
Aku tak pernah sekalipun berani menyatakan rasa sukaku pada Maya. Aku terlalu takut jika
perasaanku ini akan merusak persahabatan yang sudah ku bangun sejak lama.
******
Aku memandang langit-langit kamarku yang entah mengapa berwarna putih. Tapi,
aku mensyukurinya karena wajah Maya menjadi jelas terpantul oleh mata dan otakku. Maya.
Entah kapan aku bisa mengungkapkan perasaanku padanya. Aku ingin sangat ingin dia tahu
bagaimana perasaanku padanya. Kini rasa itu bukan hanya sekedar persahabatan biasa yang
dibangun karena jarak rumah yang berdekatan. Ia sudah berubah entah sejak kapan menjadi
sebuah perasaan yang istimewa dan berbeda.
Aku menggulingkan badanku resah. Mendadak hatiku tak tentram, seolah sesuatu
mengganjal di dalam hatiku. Seolah firasat yang mengatakan sesuatu hal yang buruk akan
terjadi dalam waktu singkat. Aku berusaha mengacuhkannya. Dan tak lama kemudian aku
terlelap.
Maya! seruku begitu aku membuka mataku. Aku memegangi kepalaku yang entah
mengapa berdenyut-denyut nyeri. Hal yang paling aneh, kenapa aku menyebut nama Maya?
Rehan, Rehan! suara Mama terdengar dari balik pintu. Terdengar begitu khawatir.
Dengan segera aku membuka pintu kamarku. Kudapati Mama berdiri dengan wajah yang
pucat. Di tangannya ia menggenggam telepon.
Maya,Re. Maya kecelakaan, ia meninggal dunia. Ucap Mama. Mendengar kabar
itu sontak tubuhku membeku. Seolah aliran darahku berhenti mengalir. Aku tak bisa
mendengar apa-apa lagi. Otakku kosong. Benar-benar kosong. Tak mungkin. Maya yang baru
tadi pagi melemparku dengan kerikil kecil, yang dengan sok ramah menawariku roti bekalnya,
yang tersenyum puas saat berhasil menjahiliku, meninggal.
Mamama bohongkan. Ucapku terbata-bata. Mama menggelengkan kepalanya.
Mama baru dapat kabar dari ibunya Maya. Mama serius Re. balas Mama dengan
tatapan penuh kesedihan. Untuk yang kedua kalinya aku membeku dan kedua kakiku terasa
lemas sekali seolah tak mampu menahan berat badanku. Maya tak mungkin pergi secepat
angin di pagi hari.
******
Siang itu mentari bersinar dengan semangat. Cahayanya yang hangat menusuk pori-
pori tubuhku seolah memerintahku untuk lebih semangat. Tapi, percuma saja. Aku baru saja
kehilangan Maya yang sangat kusayangi. Aku sangat menyesal. Aku tak pernah mempunyai
keberanian untuk mengatakan aku menyukainya. Sangat menyukainya.
Maya, maafkan kepengecutanku. Sekarang kau udah pergi bahkan saat aku belum
sempat mengatkan betapa aku menyukaimu. Seandainya aku bisa kembali ke waktu itu, aku
pasti akan mengatakannya May. Tiba-tiba saja cuaca berubah 180 derajat. Angin bertiup
kencang awan-awan hitam bergumpal. Dari balik pohon kamboja di dekat pemakaman,
seorang kakek berpakaian putih dengan angin semilir yang mengikutinya melangkah
mendekatiku. Suaranya yang bergema penuh wibawa membuatku merinding.
Kau anak muda. Jika kau bisa kembali saat gadis itu masih hidup, apakah kau yakin
kau bisa menyatakan bahwa kau menyukainya? Kalau kau yakin bisa aku akan membantumu
untuk mengatakannya. Katanya. Aku mengangguk pelan.
Aku yakin aku bisa. Aku nggak ingin menyesal! lelaki tua itu terseyum. Tiba-tiba
angin di sekitar tubuhnya mengerucut membentuk sebuah lorongan.
Masuklah, dengan begitu kau bisa bertemu dengan gadis itu sekali lagi.
Perintahnya. Entah apa kekuatan yang dimilikinya aku seolah terhipnotis dan menurutinya
untuk masuk ke lubang aneh itu. Kepalaku terasa pening sekali, seolah dunia berputar seratus
kali lebih cepat. Dan ketika sadar aku sudah berada di kamarku. Aku mengedarkan mataku ke
seluruh kamar, heran. Tiba-tiba saja sebuah kerikil kecil terlempar ke dalam kamar. Aku
mendongakkan kepalaku dan kulihat seorang cewek dengan rambut ekor kudanya yang khas
tengah tersenyum polos.
Rehaaan harus berapa kali aku berteriak padamu supaya kamu bangun sih? teriak
Maya. Maya? Kenapa Maya ada di sini? Bukankah ia seharusnya sudah meninggal?
Kepalaku terasa sakit sekali saat berusaha mengingatnya. Tiba-tiba saja aku teringat pria tua
berpakaian putih itu. Apakah ia benar-benar telah membuatku kembali bertemu Maya?
Maya sekarang hari apa? tanyaku. Maya membulatkan matanya menatapku heran.
Kau ngelindur ya? Sekarangkan hari Selasa ada apa sih? tanyanya heran. Aku
terperanjat, Selasa berarti dua hari sebelum kematian Maya.
Nggak ada apa-apa kok. Tungguin aku May? seruku. Maya hanya mengangguk
pelan. Kali ini aku harus benar-benar mengungkapkan perasaanku padanya. Aku tak ingin
ada penyesalan lagi. Aku tak ingin kehilangan Maya untuk kedua kalinya.
*****
Lagi-lagi aku memandangi langit-langit rumahku yang berwarna putih. Jam dinding
menunjukan pukul 05.30, hari Kamis. Hampir dua hari waktu berlalu dan bahkan aku masih
belum bisa mengungkapkan perasaanku pada Maya. Aku masih saja terjebak dalam
kepengecutanku. Ketakutan apabila ditolak Maya selalu terbayang. Aku hanya tak ingin
persahabatan kami rusak apabila aku mengatakan padanya bahwa aku menyukainya.
Mentari mulai tinggi menyebarkan sinarnya yang kehangatan. Sama seperti hari itu,
sinarnya menembus ventilasi jendela kamarku. Hanya yang berbeda kini aku tak lagi bergulat
dengan mimpiku. Aku mendesah gelisah. Apa yang harus kulakukan jika aku masih tak
mampu mengatakannya? Apakah Maya akan pergi lagi untuk yang kedua kalinya?
Rehan bangun udah siang tau! seru Maya seperti biasa. Aku masih terdiam di
tempat tidurku tak merespon seruan Maya. Pikiranku masih dipenuhi oleh segala
kemungkinan. Mungkinkah aku memang tak bisa mengungkapkan perasaanku pada Maya,
apakah aku sepengecut itu?
Rehaaaaaan serunya lagi. Aku mendesis kesal. Kulambaikan tanganku kearah
jendela untuk memberitahukan Maya bawa aku sudah terbangun.
Cepetaaaaaan bentar lagi telat lohhh. Serunya lagi. Terpaksa aku bangun dari
tempat tidurku. Dengan malas aku menarik handuk dan bergegas ke kamar mandi. Pikiranku
masih dipenuhi oleh berbagai kemungkinan. Lagi-lagi aku ragu. Haruskah aku
menyatakannya?
Pagi itu sama seperti hari itu. Mentari bersinar terang. Burung-burung terbang
berusaha mencari makan. Maya tetap tersenyum ceria menceritakan semua hal yang ingin
diceritakannya. Sedangkan aku? Mungkin hanya aku yang berubah, karena aku tahu bahwa
hari ini Maya akan kecelakaan dan aku akan kehilangannya. Aku tahu, tapi aku masih saja
merasakan rasa sakit itu. Karena rasa sakit itu aku kembali untuk menyatakan padanya aku
menyukainya. Agar aku tak menyesal aku seharusnya menyatakan aku menyukainya. Tapi,
lagi-lagi kepengecutanku hanya membuat langkahku tersendat. Tak bisa maju ataupun
mundur. Mungkin bagian dai diriku itulah yang selamanya tak pernah berubah. Tiba-tiba
sebuah rencana melintas di kepalaku. Setidaknya masih ada hal yang bisa kulakukan.
******

Bel pulang sekolah berbunyi nyaring. Aku sudah membereskan semua bukuku ke
dalam tas. Sebelum Pak Rio mengakhiri pelajarannya hari ini, aku sudah melesat keluar kelas.
Teriakanya yang sangat berisik tak kuhiraukan. Aku punya rencana. Aku akan
menyelamatkan Maya. Aku tak akan kehilangan cewek itu lagi. Tidak, tidak untuk yang
kedua kalinya. Aku akan melindunginya.
Seperti biasa Maya pulang dengan langkah yang cepat. Hari itu aku tak pulang
bersamanya. Dan kali ini aku akan membuntutinya. Aku mengikuti Maya dari belakang.
Tampaknya ia tak merasa sedang diikuti olehku. Maya berebelok kearah mall. Aku masih
saja mengikutinya. Ada banyak mobil di jalan itu. Maya memang sangat serampangan. Ia tak
pernah menengok ketika ia akan menyebarang. Dan mungkin hal itulah yang membuatnya
celaka. Disaat Maya sedang menyebrang sebuah mobil berkecepatan tinggi melaju. Mobil itu
terlambat menginjak rem dan Mayapun tak mengetahui apa yang terjadi. Mobil itu semakin
dekat. Aku memaksakan kakiku untuk menyebrang menyelamatkan Maya. Saat mobil itu
sudah benar-benar mendekati tubuhnya saat itulah aku berhasil mendorong tubuh Maya ke
pinggir jalan, membiarkan tubuhku menjadi sasaran empuk mobil itu.
Aku mendengar jeritan. Suara itu. Maya. Aku merasakan tubuhku melayang jauh dan
aku merasakan sekujur tubuhku sakit. Aku berusaha membuka mataku. Maya. Ia menangis?
Aku merasakan hangat. Darah segar mengucur dari tubuhku. Maya masih menangis menjerit-
jerit. Aku tersenyum mencoba untuk meraihnya. Setidaknya bukan kau yang meninggalkan
aku.
Syukurlah May kau selamat. Ucapku pelan.
******
Sama seperti hari itu. Menatri bersinar sangat cerah. Hanya saja kali ini aku tidak
terduduk tanpa semangat di depan nisan Maya. Kali ini aku berdiri di depan Maya yang
terduduk di depan sebuah makam. Ia menangis. Maya. Menangis. Hatiku sakit sekali melihat
air matanya bercucuran. Aku ingin menghapusnya. Tapi, tanganku tak mampu menyentuhnya.
Kenapa? Kenapa aku masih merasa sakit? Bukannya aku telah berhasil menyelamatkannya.
Kenapa rasa sakit ini tak mau menghilang.
Rehan, kamu bodoh. Bodoh sekali. Buat apa kau menyelamatkanku? Untuk apa?
Apakah ada gunanya jika kau pergi? Dasar bodoh! Sekarang aku tak bisa lagi melihatmu.
Aku tak mampu lagi mendengar suaramu. Rehan bodoh! isaknya. Aku berjongkok berusaha
membelai Maya. Tapi, tentu saja hasilnya nihil. Tak bisa ia tak mampu ku raih. Maya. Tanpa
kusadari air mataku ikut mengalir menemani air mata Maya. Apa gunanya aku mati kalau kau
sedih May. Apa gunanya aku jika kamu yang meninggalkan aku May. Kenapa semua seperti
ini?
Sama seperti hari itu, seorang kakek beraju putih dengan angin di sekilingnya datang.
Dengan senyum lembut sama seperti hari itu, ia berdiri di sampingku. Membelai bahuku yang
terguncang menahan kesedihan.
Sekarang kau sudah tahu akibat kepengecutanmu, benarkan Rehan. Ucapnya. Aku
memandang wajah itu mengangguk sedih.
Nggak ada gunanya. Apapun hasilnya aku selalu merasa sakit. Aku nggak bisa
menahannya. Kataku. Lelaki itu tersenyum lebut memandang wajahku.
Sudah sepantasnya kau kembali. Tiba-tiba langit mendung. Hujan turun begitu
deras. Pemandangan sekitarku menjadi tak jelas. Aku merasa berputar-putar seolah melewati
ruang dan waktu. Rasa tak jelas seolah di jejali sesuatu. Kepalaku berdenyut-denyut pusing.
Aku membuka mataku.. Mimpi. Aneh sekali. Mimpi itu terasa nyata, aku bahkan
masih bisa merasakan kehilangan itu. Aku berusaha beranjak dari tempat tidurku diliputi rasa
kebingungan dan sakit. Sakit. Ah ya, kepalaku masih terasa sakit. Sangat sakit malahan .
Sebuah batu krikil sebesar ibu jari tergeletak di bawah kasurku. Aku menengok keluar
jendela. Seorang cewek berambut ekor kuda tersenyum lebar sambil melambaikan tangannya.

Re, kutunggu sepuluh menit ayo turun! teriaknya. Aku tersenyum melambai
kepadanya.
Aku melangkahkan kakiku cepat mencapai tempat cewek itu menungguku. Masih
dengan senyumannya ia menyambutku. Aku tersenyum. Mata kami beradu. Kukumpulkan
segala keberanianku.
Maya, aku menyukaimu!seruku. sesaat aku menangkap rasa keterkejutan Maya di
matanya. Namun tak lama ia menarik bibirnya membentuk sebuah senyuman.
Ya, aku juga menyukaimu. Jawabnya. Aku tersenyum bahagia. Kugandeng tangan
lembutnya berjalan menuju sekolah. Kali ini apapun yang terjadi aku tak akan pernah
menyesal. Karena sekarang Maya, telah berada disisiku.
TAMAT

You might also like