You are on page 1of 8

Say, I Love You

Aku menyukainya, tampaknya. Setidaknya itulah perasaan yang kurasakan kurang

lebih setahun belakangan ini. Bukan cinta pada pandangan pertama. Karena sejak awal aku

tidak pernah percaya pada cinta pada pandangan pertama. Dia teman sekelasku. Awalnya aku

tidak merasakan apapun terhadapnya. Aku bahkan tidak terlalu mengenalnya. Aku bertemu

dengannya ketika aku naik ke kelas sebelas. Sungguh ketika itu aku tak tahu menahu perihal

dirinya. Hanya nama saja, tidak kurang tidak lebih. Entah sejak kapan rasa itu muncul, aku

mendadak tanpa angin tanpa hujan selalu memikirkannya, jantungku berdetak tak berirama

ketika aku melihatnya atau saat ia berada di dekatku. Aku selalu ingin berada di dekatnya,

aku selalu ingin berada di jangkauan matanya. Dan saat kusadari aku telah menyukainya.

Kalau ditanya mengapa aku bisa menyukainya, aku pun juga tak pernah tahu jawabannya.

Rasa itu datang begitu saja, berkembang begitu saja semakin hari semakin besar tanpa bisa

dibendung.

Kenapa kamu nggak nyatakan saja perasaannmu padanya? Daripada siang malam

nggakk jelas bentukannya gini. Berharap pada sesuatu yang nggak jelas. Berhalusinasi yang

pada akhirnya hanya menyakitkan. Nasihat Kak Dewi, kakak perempuanku. Aku

melemparnya dengan bantal yang ada disebelahku. Tepat mengenai kepalanya. Kak Dewi

mendelik protes.

Jangan bodoh deh kak, mana mungkinkan aku menyatakan perasaanku dulu. Kaya

orang nggakk tau malu aja. Sanggahku.

Aduh adikku sayang, kan kamu cuma nyatain nggak minta cowok itu jadi pacarmu

kan? kali ini Mas Deri yang menyambung. Aku hanya cemberut menanggapi nasihat kakak-

kakakku. Aku melemparkan pandangan ke atap rumahku. Menyatakan perasaanku padanya?

Seumur hidup hal itu tak pernah terbayangkan dalam anganku. Melihatnya saja aku sudah
senang. Bisa berbicara dengannya, dan berteman dengannya kurasa sudah cukup bagiku.

Rasanya kalau aku menyatakan perasaanku padanya itu akan merusak segala hubunganku

dengannya. Biarlah keinginanku bersamanya tersimpan di dalam memori otakku menjadi

sebuah halusinasi yang mungkin selamanya hanya sebatas khayalan.

Kamu yakin begini aja nggak apa-apa? Bukannya kalo gini kamu yang menderita.

Apa kata penyanyi dangdut itu? Lebih baik sakit gigi dari pada sakit hati ini. Kata Rena

sahabatku yang sering menjadi curahan hatiku.

Siapa yang patah hati? Aku belum pernah patah hati tau. Aku mendengus kesal.

Enak saja dia bilang aku sedang patah hati.

Tapi kamu takut kan, patah hati. Makannya kamu tetap menjaga hubungan dengan

Rifa seperti ini. Tidak maju juga tidak mundur. Bisiknya di telingaku. Aku terdiam tidak

membalas ucapanannya. Rena terbahak demi melihatku yang terdiam seribu bahasa. Sambil

menepuk-nepuk pundakku ia melanjutkan komentarnya yang semakin lama semakin

menyebalkan.

Sudah kuduga. Kamu ini orangnya mudah sekali ditebak Aya. Nggak bisakah

sesekali kamu menyembunyikan apa yang kamu rasakan. Aku curiga, jangan-jangan

sebenarnya Rifa udah tau perasaanmu yang sesungguhnya. Aku menjitak kepala Rena cukup

keras untuk membuatnya diam. Benar saja ia mengaduh sambil mengumpat-umpat. Aku

tersenyum simpul setengah kesal berlalu meninggalkan Rena yang masih mengumpat

kesakitan.

Perkara menyatakan perasaan ini ternyata berbuntut panjang. Kenapa? Karena aku

terus memikirkannya. Sebagian dari diriku ingin segera menyatakan perasaanku padanya tapi

sebagian diriku yang lain melarangnya. Seperti yang dikatakan Rena aku takut. Takut akan
penolakannya yang nantinya akan berakhir dengan hati yang sakit. Tidak. Aku tidak siap

untuk sakit hati. Apalagi setiap hari aku bertemu dengannya. Kalau aku menyatakan

perasaanku dan berakhir mengenaskan, bagaimana aku melanjutkan hidupku di sekolah.

Lebih baik aku berbahagia berteman dengannya menghabiskan sisa-sisa masa SMAku yang

tinggal sepandang mata.

****

Kamu keliatannya kurang sehat Ay, sakit? tanya sebuah suara. Aku hanya

mengeluh sebentar menggumamkan kata-kata yang tidak jelas sebelum akhirnya kembali

membenamkan kepalaku ke dalam tas. Semalam aku begadang mengerjakan PR

Matematika.. Dan alhasil mata dan otakku yang panas minta diistirahatkan, jadilah aku

sengaja berangkat pagi-pagi agar bisa menutup mataku sejenak.

Oi, Aya kamu sakit? tanya suara itu lagi. Aku melambaikan tangan tanpa menoleh

tanpa menjawab. Tampaknya bukan hanya otak dan mataku saja yang minta diistirahatkan,

semua indraku sepertinya menginginkan hal yang sama. Istirahat. Aku kembali terlelap

sebelum akhirnya aku mendengar samar-sama suara kekehan seorang lelaki. Tunggu. Aku

kenal betul dengan suara ini. Tunggu dulu, jangan-jangan pemilik suara ini adalah. Pelan-

pelan kuangkat kepalaku, membuka mata dan beberapa detik setelahnya terbengong sebelum

sadar yang terjadi.

Waa, Rifa kamu udah nyampe? aku setengah berteriak karena kaget. Rifa yang

berdiri di depanku hanya tertawa saja, menunjukan deretan gigi putihnya dengan gingsul

yang menambah tingkat keimutannya di mataku. Tumben banget, biasanya kamu selalu

berangkat disaat- saat terakhir. Lanjutku mencibir senormal mungkin, walaupun jantungku

berdetak tidak karuan. Aku berusaha memasang wajah senormal mungkin, tersenyum
senormal mungkin. Rifa hanya nyengir mendengar komentarku. Ia menghempaskan tubuhnya

ke kursi yang ada di depanku dan membalikan tubuhnya.

Aku bangun kepagian dan nggak tau harus melakukan apa, jadi aku berangkat saja.

Jawabnya santai.

Alasan macam apa itu?

Lalu kamu sendiri ada acara apa pagi-pagi begini udah nyampe di sekolah?

Memangnya kamu nggak lihat? Aku sengaja berangkat pagi agar aku punya waktu

untuk tidur. PR matematika dari Pak Pri sangat menguras tenaga dan otakku, jadilah sekarang

aku terkapar di sini. Jelasku panjang lebar. Rifa yang mendengar jawabanku hanya tertawa

geli menggeleng-gelengkan kepalanya. Sial dia terlalu manis untuk dipandang. Mendadak

hawa panas merambat ke seluruh wajahku. Detak jantungku makin tidak teratur, sesak

rasanya. Rifa masih saja tertawa tanpa tahu aku hampir pingsan dibuatnya.

Hei kamu kenapa? Wajahmu merah, jangan-jangan PR matematika membuatmu

demam ya? tanya Rifa langsung menempelkan tangannya ke dahiku. Raut wajahnya yang

penuh kekhawatiran berdiri begitu dekat. Aku semakin merasa kesulitan bernapas,

nampaknya semua oksigen pergi begitu saja.

A, aku nggak apa-apa kok Rif, cuma lelah aja. Biarkan aku tidur bentar aja oke.

Aku menepis tangan Rifa dan kembali menelungkupkan wajahku ke tas.

Dasar aneh. Rifa hanya berkomentar pendek meninggalkanku yang masih sesak

napas karena perlakuannya. Aku semakin membenamkan kepalaku mengerang tertahan.

Perasaan ini sungguh menyiksaku. Aku ingin ia tahu apa yang aku rasakan, tetapi di sisi lain

aku tidak ingin perasaanku merusak segala pertemanan yang telah kubangun.
*****

Makanya sudah kubilang nyatakan aja, toh nggakk ada yang salah dengan hal itu

bukan? Rena kembali berkomentar ketika aku bercerita denganya.

Tapi..

Tapi kamu takut hubunganmu dengan Rifa akan merenggang kalo kamu menyatakan

padanya kamu menyukainya, begitu bukan? Rena memotong kalimatku. Udah berapa kali

kamu mengatakan hal itu? Memangnya hubunganmu dan Rifa udah sedekat apa?

Memangnya kalian sahabat yang tidak bisa terpisahkan? lanjutnya terus saja mengoceh,

Ya, aku dan Rifa memang tidak terlalu dekat, jadi nggak bisa dibilang kalo kami

sahabat. Aku menyahut. Rena menjetikan tangannya seolah ia mendapatkan ide yang luar

biasa.

Nah, kalo kamu aja nggak dekat dengannya, kurasa baik-baik aja kalo kamu

nyatakan perasaanmu padanya. Nggakk ada yang akan berubah bukan? ucapnya enteng. Aku

menimpuknya dengan guling, kesal.

Enak aja kamu ngomong gitu. Aku diam saja hubungan kami nggak terlalu dekat,

kalo aku menyatakan perasaanku padanya, yang ada jangan-jangan kita nggak akan pernah

bicara satu sama lain. Nggak mau, aku nggak mau mengalami hal seperti itu! balasku.

Lalu apa kamu masih akan terus diam menahan rasa sakit itu? Apakah dengan

memendam rasa sukamu itu semua hal jadi lebih baik? Kamu mau dia nggak sadar akan

perasaanmu sampai kamu lulus? Rena menaikan nadanya dan membobadirkanku dengan

pertanyaan pertanyaan yang membuatku terbungkam. Aku diam sertibu bahasa tidak

menyahut satupun pertanyaannya. Aku melemparkan pandangan ke arah jendela, namun

pikiranku melayang entah ke mana. Rena yang melihatku terdiam ikut terdiam.
Kata-kata Rena masih terngiang di telingaku. Apakah mengatakan hal yang

sesungguhnya akan membuat keadaan menjadi lebih baik? Apakah aku benar-benar

menginginkan ia mengetahui apa yang aku rasakan selama ini. Kalau seandainya kami lulus

dan melanjutkan kuliah di tempat yang berbeda dan ia masih tidak mengetahui perasaanku,

akankah aku menyesal? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berkecamuk di dalam pikiranku.

Setiap hari setiap waktu aku terus memikirkannya. Rena yang melihatku terus tenggelam

dalam pikiranku hanya menghela napas dan memberikan pandangan prihatin.

*****

Ada orang yang berkata ketika kau terbebani oleh sesuatu dan diburu oleh waktu,

maka seolah waktu berlalu seperti angin yang berlalu. Kurasa perkataan itu memang benar

adanya. Lihatlah beberapa bulan yang lalu aku masih saja sibuk memikirkan apa yang

sebaiknya kulakukan. Menyatakan perasaanku pada Rifa atau tetap diam hingga kelulusan di

depan mata. Dan tanpa kusadari ujian nasional telah kulewati dan kini tiba saatnya aku

menghadapi kelulusan. Dan sampai saat ini juga jawaban atas pertanyaanku beberapa bulan

yang lalu masih diombang ambingkan oleh kebimbangan.

Aku menghela napas lelah ketika jariku berhenti di salah satu tanggal di bulan ini.

Hari kelulusan benar-benar sudah di depan mata. Bukan lagi menghitung minggu, tapi hari.

Saat berpisah akan segera datang, mengubur segala kenangan masa muda di SMA. Aku

menempelkan dahiku ke dinding, mencoba kembali berpikir. Aku harus menentukan pilihan.

Kini bukan saatnya untuk bingung diantara dua pilihan. Aku harus bertindak. Kata-kata Rena

beberapa bulan yang lalu kembali terngiang di telingaku.

Lalu apa kamu masih akan terus diam menahan rasa sakit itu? Apakah dengan

memendam rasa sukamu itu semua hal jadi lebih baik? Kamu mau dia nggakk sadar akan

perasaanmu sampai kamu lulus?


Aku memandang cahaya lampu di kamarku. Cahaya itu begitu menyilaukan, apalagi

ketika aku terlalu lama dalam kegelapan. Seperti jawaban atas kebimbanganku yang berlarut-

larut. Aku tersenyum simpul. Nampaknya sang jawaban sudah menampakan wujud

sebenarnya.

****

Angin bertiup lembut hari ini. Wajah-wajah senang namun sendu menghiasi hari ini.

Hari kelulusan. Acara wisuda sudah berakhir beberapa menit yang lalu, kini yang tertinggal

hanyalah siswa kelas 12 yang masih ingin bercakap-cakap untuk terakhir kalinya, membuat

kenangan untuk terakhir kalinya.

Jadi kamu udah menentukan pilihanmu Ay? tanya Reni. Aku mengangguk tanpa

menoleh, mencoba mengendalikan debaran jantungku yang mulai berdetak abnormal. Rena

hanya mengangguk sembari tersenyum. Sahabat terbaikku itu kemudian menepuk-nepuk

pundakku lembut.

Yah, yang bisa kukatakan hanyalah satu Semoga berhasil sobat, aku selalu

mendoakanmu.

Makasih aku tersenyum kikuk yang dibalasnya dengan acungan dua jempol. Aku

berusaha mengatur napas berharap bahwa debaran jantungku akan kembali normal. Mataku

berkeliling mencoba mencari sosok jangkung Rifa. Seketika pandangan mataku menangkap

sosoknya yang tengah duduk memperhatikan beberapa teman sekelasku. Aku segera

mendekatinya.

Rifa! panggilku. Suaraku bergetar gugup.

Ya?
Aku ingin bicara denganmu. Kataku. Rifa tersenyum manis, kelewat manis kurasa.

Kemarilah. Aku juga ingin bicara denganmu. Ucapnya. Aku menyeret kakiku yang

mendadak menjadi begitu berat. Semakin dekat dengan Rifa aku semakin ragu dengan

jawaban yang kutemukan dan kuteguhkan beberapa hari sebelumnya. Ketika tepat berada di

depannya aku langsung berkata.

Akuu.. namun, mendadak lidahku kelu. Aku tidak mampu memandang matanya

yang bersinar menatapku. Jantungku makin berdebar tidak karuan. Napasku memburu seolah

ingin menghirup oksigen sebanyak-banyaknya.

Aku suka padamu. Aku mengangguk. Benar itulah yang ingin kukatakan padanya.

Sejak dulu aku selalu menyukaimu. Aku mengangguk untuk yang kedua kalinya.

Kata-kata itulah yang ingin aku ucapkan hari ini kepadanya, tak peduli apapun jawaban yang

ku terima.

Eh? aku membelakan mata. Aku memandang Rifa tidak percaya. Kata-kata tadi,

bukankah berasal dari bibir Rifa. Kata-kata itu bukanlah suara hatiku. Di bola mataku terlihat

Rifa yang tersenyum malu. Sebuah ekspresi yang bahkan belum pernah kulihat sebelumnya.

Kamu tadi beneran mengatakan hal itu kan? aku menanyakan kembali.

Tentu aja, aku menyukaimu Aya, sejak lama aku menyukaimu. Rifa kembali

menegaskan. Aku tersenyum, sedikit tidak percaya dengan apa yang aku dengar. Perasaanku

yang selama ini kuragukan balasannya, ternyata sudah lama terjawab.

Aku juga menyukaimu, bahkan sejak dulu. Jawabku lirih. Matanya bergitu bersinar

ketika ia mendengar jawabanku. Angin bersemilir hangat seolah ikut bergembira. Aku

menatapnya tertawa bahagia, ia di hadapanku juga tertawa sama bahagianya.

You might also like