You are on page 1of 5

TEORI DASAR INFUS

Ilmu biofarmasetik dan farmakokinetik obat dan produk obat bermanfaat


untuk memahami hubungan antara sifat sifat fisiko kimia dari produk obat dan efek
farmakologik atau efek klinik (Shargel, 2012).

Studi biofarmasetika memerlukan penyelidikan berbagai faktor yang


mempengaruhi laju dan jumlah obat yang mencapai sirkulasi sistemik. Hal ini berarti,
biofarmasetika melibatkan faktor faktor yang mempengaruhi pelepasan obat dari
suatu produk obat, laju pelarutan dan akhirnya bioavailabilitas obat tersebut.
Farmakokinetika mempelajari kinetika absorbsi obat, distribusi dan eliminasi (yakni
ekskresi dan metabolisme) uraian distribusi dan eliminasi obat sering diistilahkan
sebagai disposisi obat (Shargel, 2012).

Farmakokinetik didefinisikan sebagai perubahan-perubahan kuantitatif dan


tergantung kepada waktu dari konsentrasi obat dalam plasma dan jumlah total obat di
dalam tubuh yang terjadi setelah pemberian obat dengan cara yang bermacam-macam
(dua cara pemberian yang paling biasa adalah infusintravena dan regimen oral dengan
dosis interval yang tetap, misalnya suatu tablet setiap 4 jam. Kemaknaan identifikasi
farmakokinetik suatu obat tidak hanya terletak dalam menentukan faktor-faktor yang
mempengaruhi kadar dan keberadaannya dalam tubuh, tetapi juga dalam menentukan
kegunaan terapeuti obat-obat yang mempunyai potensi toksik yang tinggi (Mycek,
2004).

Fase farmakokinetik berkaitan dengan masuknya zat aktif ke dalam tubuh.


Pemasukan in vivo tersebut secara keseluruhan merupakan fenomena fisiko kimia
yang terpadu di dalam organ penerima obat. Fase farmakokinetik ini merupakan salah
satu unsure penting yang menentukan profil keadaan zat aktif pada tingkat biofase
dan yang selanjutnya menetukan aktivitas terapetik obat (Devissaguet, 1982).
Farmakokinetika meneliti perjalanan obat, mulai dari saat pemberiannya,
bagaimana absorbsi dari usus, transport dalam darah, dan distribusinya ke tempat
kerjanya dan jaringan lain. Begitu pula bagaimana perombakannya (biotranformasi)
dan akhirnya ekskresinya oleh ginjal. Singkatnya farmakokinetika mempelajari segala
sesuatu tindakan yang dilakukan tubuh terhadap obat (Tan, 2002)

Terapi IV (Intravena), yaitu mengalirkan cairan steril melalui jarum langsung


menuju pembuluh darah vena (pembuluh balik) pasien untuk menggantikan
kehilangan cairan atau zat-zat makanan dari tubuh (Darmadi, 2010). Tujuan
pemberian terapi infus ini adalah untuk memberikan dan atau menggantikan cairan
tubuh yang mengandung air, elektrolit, vitamin, protein, lemak, dan kalori yang tidak
dapat dipertahankan secara adekuat melalui oral, memperbaiki keseimbangan asam
basa, memperbaiki volume komponen darah, memberikan jalan masuk untuk
pemberian obat ke dalam tubuh, memonitor tekanan vena sentral (CVP), memberikan
nutrisi pada saat sistem pencernaan pasien mengalami gangguan (Perry and Potter,
2006).

Secara umum, ada beberapa tempat untuk insersi jarum infus pada
pemasangan infus, yaitu :

a. Venapunctur perifer :
- Vena mediana kubiti
- Vena sefalika
- Vena basilika
- Vena dorsalis pedis
b. Venapunctur central :
- Vena femoralis
- Vena jugularis internal
- Vena subklavia
(Perry and Potter, 2006).

Namun, terdapat faktor yang dijadikan sebagai pertimbangan dalam memilih


tempat insersi infus, di antaranya adalah :
- Usia pasien (usia dewasa biasanya pada vena di lengan, sedangkan infant
biasanya pada vena di kepala dan kaki)
- Lamanya pemasangan infus (terapi jangka panjang memerlukan
pengukuran untuk memelihara vena)
- Tipe dan jenis larutan yang akan diberikan
- Kondisi vena pasien
- Kontraindikasi vena tertentu yang tidak boleh diinsersi
- Aktivitas pasien
- Terapi IV sebelumnya (flebitis sebelumnya membuat vena menjadi tidak
baik untuk digunakan)
(Perry and Potter, 2006).

Pemberian cairan infus harus dihitung jumlah tetesan per menitnya untuk
mendapatkan kebutuhan cairan sesuai dengan yang telah ditargetkan. Jumlah (ml)
cairan yang masuk tiap jam dihitung menggunakan rumus :
ml per jam = tetesan x faktor tetesan
Faktor tetesan dihitung dengan 60 dibagi jumlah tetesan yang dapat
dikeluarkan oleh infus set untuk mengeluarkan 1 ml cairan (Smeltzer and Bare,
2002).
Tipe cairan yang dapat digunakan sebagai sediaan infus, yaitu :
1. Isotonik : suatu cairan yang memiliki tekanan osmotik yang sama
dengan cairan yang ada di dalam plasma darah, misalnya NaCl 0,9%;
ringer laktat; komponen darah (albumin 5%, plasma); dan dextrose 5%
dalam air
2. Hipotonik : suatu larutan yang memiliki tekanan osmotik yang lebih
kecil dari cairan yang ada di dalam plasma darah. Pemberian cairan ini
umumnya menyebabkan dilusi konsentrasi larutan plasma dan
mendorong air masuk ke dalam sel untuk memperbaiki keseimbangan
di intrasel dan ekstrasel sehingga sel-sel tersebut akan mebesar atau
membengkak, misalnya dextrose 2,5% dalam NaCl 0,45%; NaCl
0,45%; dan NaCl 0,2%
3. Hipertonik : suatu larutan yang memiliki tekanan osmotik yang lebih
tinggi dari cairan yang ada di dalam plasma darah. Pemberian cairan
ini meningkatkan konsentrasi larutan plasma dan mendorong air
masuk ke dalam sel untuk memperbaiki keseimbangan osmotik, sel
kemudian akan menyusut, misalnya dextrose 5% dalam NaCl 0,9%;
dextrose 10% dan 20% dalam air, NaCl 3% dan 5%; larutan
hiperalimentasi; dextrose 5% dalam ringer laktat; dan albumin 25
(Perry and Potter, 2006).

Komposisi cairan infus, di antaranya adalah :


a. Larutan NaCl, berisi air dan elektrolit (Na+, Cl-)
b. Larutan dextrose, berisi air atau garam dan kalori
c. Ringer laktat, berisi air dan elektrolit (Na+, Cl-, K-, Ca++, laktat)
d. Balans isotonik, isi bervariasi : air, elektrolit, kalori (Na +, K Mg Cl-
HCO3- glukonat)
e. Whole blood dan komponen darah
f. Plasma expanders, berisi albumin, dextran, fraksi protein plasma 5%
plasmanat, hespan yang dapat meningkatkan tekanan osmotik, menarik
cairan dari interstitial ke dalam sirkulasi dan meningkatkan volume
darah sementara
g. Hiperalimentasi parenteral (cairan, elektrolit, asam amino, dan kalori)
(Perry and Potter, 2006).

Continous infusion atau infus berlanjut adalah teknik yang ditujukan untuk
pemberian cairan ke dalam tubuh secara kontinyu dan dalam jangka panjang yang
dapat diberikan secara tradisional melalui cairan yang digantung, dengan atau tanpa
pengatur kecepatan aliran. Infus melalui intravena, intra arteri, dan intra thecal
(spinal) dapat dilengkapi dengan menggunakan pompa khusus yang ditanam maupun
eksternal. Keuntungan teknik ini adalah dapat digunakan untuk menginfus cairan
dalam jumlah besar maupun kecil dengan akurat, adanya alarm sebagai pertanda
adanya masalah, misalnya terdapat udara di selang infus atau penyumbatan, serta
mengurangi waktu perawatan untuk memastikan kecepatan aliran infus. Namun,
kekurangan teknik ini, yaitu memerlukan selang khusus, biaya lebih mahal, dan
pompa infus akan dilanjutkan untuk menginfus kecuali ada infiltrasi (Smeltzer and
Bare, 2002).
DAFTAR PUSTAKA

Devissaguet., Aiache. 1982. Farmaseutika 2: Biofarmasi. Edisi ke-2. Tehnique et


Documentation 11 Rue Lavoiser . Jakarta: Airlangga University Press.

Mycek. 2004. Farmakologi Ulasan Bergambar. Jakarta: Widya Medika.

Perry and Potter. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses,
Praktik Volume 2 Edisi 4. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.

Shargel, Leon. 2012. Biofarmasetika Dan Farmakokinetika Terapan. Jakarta:


Airlangga University Press.

Smeltzer and Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner and
Suddart Volume 1 Edisi 8. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.

Tan., H., Tjay dan Kirana Rahardja. 2002. Obat Obat Penting. Jakarta: Elex Media
Komputindo.

You might also like