You are on page 1of 27

ASUHAN KEPERAWATAN PADA SDR.

S DENGAN RESIKO
PERILAKU KEKERASAN DI BANGSAL SRIKANDI
RSJ GRHASIA

Disusun untuk Memenuhi Tugas Praktik Klinik Keperawatan Jiwa

Disusun oleh :

Andri Susilowati P07120213005

Arsinda Prastiwi P07120213007

Diego Jasman Roiz P07120213012

Ichtiarfi Waryanuarita P07120213020

Wanti Nurin Salasa P07120213037

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN YOGYAKARTA
JURUSAN KEPERAWATAN
2016
LEMBAR PENGESAHAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA SDR. S DENGAN RESIKO


PERILAKU KEKERASAN DI BANGSAL SRIKANDI
RSJ GRHASIA

Disusun untuk Memenuhi Tugas Praktik Klinik Keperawatan Jiwa

DISUSUN OLEH :

Andri Susilowati P07120213005

Arsinda Prastiwi P07120213007

Diego Jasman Roiz P07120213012

Ichtiarfi Waryanuarita P07120213020

Wanti Nurin Salasa P07120213037

Telah mendapat persetujuan pada tanggal : Juni 2016

Mengetahui,

Pembimbimbing Lapangan Pembimbing Pendidikan

( ) (Ns. Sutejo M.Kep.,Sp.Kep.J)


BAB I
TINJAUAN TEORI
A. Konsep Dasar Skizoafektif
1. Pengertian
Skizo-afektif adalah gangguan utama yang disebabkan karena
gangguan afek(alam perasaan / mood) yang disertai oleh sindrom manaik
atau depresif yang lengkap atau pun tidak lengkap yang tidak disebabkan
oleh gangguan fisik atau gangguan jiwa lainnya (Stuart,Gail. 2006)
Gangguan Skizoafektif mempunyai gambaran baik skizofrenia
maupun gangguan afektif. Gangguan skizoafektif memiliki gejala khas
skizofrenia yang jelas dan pada saat bersamaan juga memiliki gejala
gangguan afektif yang menonjol. Gangguan skizoafektif terbagi dua
yaitu, tipe manik dan tipe depresif (Maramis, W.E. 2006)
2. Etiologi
a. Teori Biologis
Ahli biologis berpendapat bahwa skizofrenia disebabkan oleh keadaan
abnormal yang anatomis dan psikologis pada otak. Keadaan ini dapat
disebabkan akibat penggunaan obat psikotropika, terapi somatik,
alkohol, infark cerebri. Teori biologis mencakup penjelasan mengenai
teori biokimiawi, neurostruktural, genetik, faktor-faktor resiko
perinatal, dan teori-teori lainnya.
b. Teori Psikologikal (Psikodinamika)
Teori psikodinamika berfokus pada respon individu terhadap
peristiwa-peristiwa hidup, yaitu reaksi internal tehadap stresor hidup
atau konflik. Teori perkembangan Freud dan Meyer mengemukakan
bahwa gangguan jiwa dapat dimulai dari masa kanak-kanak yang akan
dibawa pada masa perkembangan. Freud mengemukakan konsep
ikatan Ego yang kurang baik, pecahnya Ego, disintegrasi Ego,
inadekuatnya perkembangan Ego, Super Ego yang dominan, regresi
atau perilaku Id, ambivalen, terhambatnya perkembangan
psikoseksual menjadi predisposisi terjadinya skizofrenia.
3. Klasifikasi Skizoafektif Tipe Manik
a. Suatu gangguan psikotik dengan gejala-gejala skizofrenik dan
manik bersama-sama menonjol dalam satu episode penyakit yang
sama.
b. Gejala-gejala afektif diantaranya : elasi dan ide-ide kebesaran,
tetapi kadang-kadang kegelisahan atau iritabilitas disertai oleh
perilaku agresif serta ide-ide kejaran.
c. Terdapat peningkatan energi, aktivitas yang berlebihan ,
konsentrasi yang terganggu, dan hilangnya hambatan norma sosial .
d. Waham kebesaran, waham kejaran
e. Resiko perilaku kekerasan
f. Gejala skizofrenik antara lain : merasa pikirannya disiarkan atau
diganggu, ada kekuatan-kekuatan yang sedang berusaha
mengendalikannya., mendengar suara-suara yang beraneka beragam
atau menyatakan ide-ide yang bizarre.
g. Onset biasanya akut, perilaku sangat terganggu, namun
penyembuhan secara sempurna dalam beberapa minggu
B. Konsep Dasar Resiko Perilaku Kekerasan
1. Pengertian
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang
melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik kepada
diri sendiri maupun orang lain. Sering disebut juga gaduh gelisah atau
amuk dimana seseorang marah berespon terhadap suatu stressor dengan
gerakan motorik yang tidak terkontrol (Yosep, 2009).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang
melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik
terhadap diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan dimana hal tersebut
untuk mengungkapkan perasaan kesal atau marah yang tidak konstruktif
(Stuart & Sundeen, 2005).
Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang
melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik
terhadap diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan (Fitria, 2010).
Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan
untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan
datangnya tingkah laku tersebut (Purba dkk, 2008).
Jadi, perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan individu yang
melakukan tindakan yang dapat membahayakan/mencederai diri sendiri,
orang lain bahkan dapat merusak lingkungan.
2. Etiologi
Adapun beberapa hal yang menyebabkan munculnya gangguan jiwa pada
perilaku kekerasan, yaitu:
a. Faktor predisposisi
Faktor-faktor yang mendukung terjadinya masalah perilaku kekerasan
menurut Kusumawati dan Hartono (2010), adalah sebagai berikut.
1) Faktor biologis
Berdasarkan penelitian pada hewan, adanya pemberian
stimulus elektris ringan pada hipotalamus ternyata menimbulkan
perilaku agresif. Jika terjadi kerusakan fungsi limbik (untuk emosi
dan perilaku), lobus frontal (untuk pemikiran rasional), dan lobus
temporal (untuk interprestasi indera penciuman dan memori) akan
menimbulkan mata terbuka lebar, pupil berdilatasi, dan hendak
menyerang objek yang ada di sekitarnya. Dalam otak, sistim limbik
berfungsi sebagai regulator atau pengatur perilaku. Adanya lesi
pada hipotalamus dapat mengurangi atau meningkatkan perilaku
agresif. Penurunan nor-epinefrin dapat menimbulkan perilaku
agresif, misalnya pada peningkatan kadar hormon testoteron atau
progesteron. Pengaturan perilaku agresif dilakukan dengan
mengatur jumlah metabolisme biogenik amino nor-epinefrin.
2) Faktor psikologis
a) Asumsi bahwa seseorang untuk mencapai suatu tujuan
mengalami hambatan akan timbul dorongan agresif yang
memotivasi perilaku kekerasan
b) Penggunaan mekanisme koping individu dan masa kecil
yang tidak menyenangkan
c) Frustasi
d) Kekerasan pada rumah atau keluarga
3) Faktor sosial-kultural
Seseorang akan berespon terhadap peningkatan emosionalnya
secara agresif sesuai dengan respon yang dipelajari. Faktor ini
dapat dipelajari melalui observasi atau imitasi, dan semakin sering
mendapatkan penguatan, maka semakin besar kemungkinan terjadi.
Budaya juga dapat mempengaruhi perilaku kekerasan. Adanya
norma dapat membantu mendefinisikan ekspresi marah yang dapat
diterima dan tidak diterima.
b. Faktor presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan menurut
Yoseph (2010) seringkali berkaitan dengan:
1) Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol
solidaritas, seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng
sekolah, perkelahian, dan sebagainya.
2) Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan
kondisi sosial ekonomi.
3) Kesulitan dalam mengomunikasikan sesuatu dalam
keluarga serta tidak membiasakan dialog untuk memecahkan
masalah dan cenderung melakukan kekerasan dalam menyelesaikan
masalah.
4) Adanya riwayat perilaku anti-sosial meliputi
penyalahgunaan obat dan alkoholisme dan tidak mampu
mengontrol emosinya pada saat menghadapi rasa frustasi.
5) Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan
pekerjaan, perubahan tahap perkembangan keluarga.
3. Patofisiologi
Depkes (2000) mengemukakan bahwa stress, cemas dan marah
merupakan bagian kehidupan sehari -hari yang harus dihadapi oleh setiap
individu. Stress dapat menyebabkan kecemasan yang menimbulkan
perasaan tidak menyenangkan dan terancam. Kecemasan dapat
menimbulkan kemarahan yang mengarah pada perilaku kekerasan.
Respon terhadap marah dapat diekspresikan secara eksternal maupun
internal. Secara eksternal dapat berupa perilaku kekerasan sedangkan
secara internal dapat berupa perilaku depresi dan penyakit fisik.
Mengekspresikan marah dengan perilaku konstruktif dengan
menggunakan kata-kata yang dapat dimengerti dan diterima tanpa
menyakiti orang lain, akan memberikan perasaan lega, menu runkan
ketegangan, sehingga perasaan marah dapat diatasi (Depkes, 2000).
Apabila perasaan marah diekspresikan dengan perilaku kekerasan,
biasanya dilakukan individu karena ia merasa kuat.Cara demikian
tentunya tidak akan menyelesaikan masalah bahkan dapat menimbulkan
kemarahan yang berkepanjangan dan dapat menimbulkan tingkah laku
destruktif, seperti tindakan kekerasan yang ditujukan kepada orang lain
maupun lingkungan. Perilaku yang tidak asertif seperti perasaan marah
dilakukan individu karena merasa tidak kuat. Individu akan pura-pura
tidak marah atau melarikan diri dari rasa marahnya sehingga rasa marah
tidak terungkap. Kemarahan demikian akan menimbulkan rasa
bermusuhan yang lama dan pada suatu saat dapat menimbulkan
kemarahan destruktif yang ditujukan kepada diri sendiri (Depkes,2000)

4. Pathways
Sumber: Beck, Rawlins, Williams, 1986, dalam Keliat, 1996, dalam
Setiono, 2013

5. Tanda dan Gejala


Menurut Fitria (2010), tanda dan gejala pada perilaku kekerasan, antara
lain sebagai berikut.
a. Pengkajian awal
Alasan utama klien dibawa ke RS adalah perilaku kekerasan dirumah.
b. Observasi
Muka merah, pandangan tajam, otot tegang, nada suara tinggi,
berdebat, klien sering memaksakan kehendak, merampas makanan,
memukul jika tidak senang.
c. Fisik
Mata melotot/pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup,
wajah memerah dan tegang, serta postur tubuh kaku.
d. Verbal
Mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, berbicara dengan
nada keras dan kasar.
e. Perilaku
Menyerang orang lain, melukai diri sendiri, orang lain, merusak
lingkungan, amuk/agresif.
f. Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam,
jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi,
menyalahkan dan menuntut.
g. Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, dan tidak jarang
mengeluarkan kata-kata bernada kasar.
h. Spritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri paling benar, keragu-raguan, tidak
bermoral.
i. Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, sindiran.
j. Perhatian
Bolos, melarikan diri dan melakukan penyimpangan seksual
Yoseph (2010) mengemukakan bahwa tanda dan gejala perilaku
kekerasan adalah sebagai berikut.

a. Fisik
1) Muka merah dan tegang
2) Mata melotot/pandangan tajam
3) Tangan mengepal
4) Rahang mengatup
5) Postur tubuh kaku
6) Jalan mondar-mandir
b. Verbal
1) Bicara kasar
2) Suara tinggi, membentak, atau berteriak
3) Mengancam secara verbal atau fisik
4) Mengumpat dengan kata-kata kotor
5) Suara keras
6) Ketus
c. Perilaku
1) Melempar atau memukul benda/orang lain
2) Menyerang orang lain
3) Melukai diri sendiri/orang lain
4) Merusak lingkungan
5) Amuk/agresif
d. Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, rasa terganggu, dendam
dan jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin
berkelahi, menyalahkan dan menuntut.
e. Intelektual

Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, sarkasme.

f. Spiritual

Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, mengritik pendapat orang


lain, menyinggung perasaan orang lain, tidak peduli, dan kasar.

g. Sosial

Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, sindiran.

h. Perhatian
Bolos, mencuri, melarikan diri, penyimpangan seksual.
6. Faktor Resiko (Nanda 2015 2017)
a. Ketersediaan senjata
b. Bahasa tubuh (misalnya sikap tubuh kaku, mengepal jari
dan rahang terkunci, hiperaktivitas, denyut jantung cepat, nafas
terengah-engah, cara berdiri mengancam)
c. Kerusakan koknitif (penurunan fungsi intelektual,
gangguan defisit perhatian)
d. Riwayat penganiayaan pada masa anak-anak
e. Riwayat penyalagunaan zat
f. Riwayat ancaman kekerasan
g. Riwayat menyaksikan prilaku kekerasan dalam keluarga
h. Riwayat perilaku kekerasan terhadap orang lain
i. Riwayat perilaku kekerasan anti sosial
j. Pelanggaran kendaraan bermotor
k. Gangguan neurologis
l. Perilaku bunuh diri.
7. Pohon Masalah
Resiko menciderai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan (Akibat)

(Core problem)
Resiko perilaku kekerasan
Gangguan konsep diri: Harga diri rendah (Etiologi)

Sumber: Sambodo, 2013

8. Rentang Respon
Menurut Yosep ( 2007 ) perilaku kekerasan dianggap sebagai suatu akibat
yang ekstrim dari marah atau ketakutan ( panik ).
Respon Adaptif Respon Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Kekerasan

Setiap orang mempunyai kapasitas berperilaku asertif, pasif dan agresif


sampai kekerasan. Dari gambar tersebut dapat disimpulkan bahwa :
a. Asertif : individu dapat mengungkapkan marah tanpa
menyalahkan orang lain dan memberikan ketenangan.
b. Frustasi : individu gagal mencapai tujuan kepuasan saat
marah dan tidak dapat menemukan alternatif.
c. Pasif : individu tidak dapat mengungkapkan
perasaannya.
d. Agresif : perilaku yang menyertai marah terdapat dorongan
untuk menuntut tetapi masih terkontrol.
e. Kekerasan: perasaan marah dan bermusuhan yang kuat serta
hilangnya kontrol. Perilaku kekerasan merupakan suatu rentang emosi
dan ungkapan kemarahan yang dimanivestasikan dalam bentuk fisik.
Kemarahan tersebut merupakan suatu bentuk komunikasi dan proses
penyampaian pesan dari individu. Orang yang mengalami kemarahan
sebenarnya ingin menyampaikan pesan bahwa ia tidak setuju,
tersinggung, merasa tidak dianggap, merasa tidak dituruti atau
diremehkan. Rentang respon kemarahan individu dimulai dari respon
normal (asertif) sampai pada respon yang tidak normal (maladaptif).
Perbandingan antara prilaku asertif, pasif, agrsif / kekerasan
Pasif Asertif Agresif
Isi pembicaraan Negatif Positif dan Menyombongkan
menurun menwarkan diri, diri, memindahkan
menandakan contoh : orang lain contoh
diit, contoh saya dapat. kamu selalu.
dapatkah saya akan. kamu tidak
saya? pernah
Dapatkah
kamu ?
Tekanan suara Cepat lambat Sedang Keras dan mengotot
, mengeluh.
Posisi badan Menundukan Tegap dan santai Kaku, cenderung
kepala
Jarak Menjaga Mempertahanka Siap dengan jarak
jarak dengan n jarak yang dan menyerang
sikap acuh nyaman orang lain
mengabaikan
Penampilan Loyo, tidak Sikap tenang Mengancam posisi
dapat tenang menyerang
Kontak mata Sedikit/ sama Mepmpertahank Mata melotot dan di
sekali tidak an kontak mata pertahankan
sesuai dengan
hubungan

9. Mekanisme Koping
Mekanisme koping yang biasa digunakan adalah:
a. Sublimasi, yaitu melampiaskan masalah pada objek lain.
b. Proyeksi, yaitu menyatakan orang lain mengenal kesukaan/
keinginan tidak baik.
c. Represif, yaitu mencegah keinginan yang berbahaya bila
diekspresikan dengan melebihkan sikap/ perilaku yang berlawanan.
d. Reaksi formasi, yaitu mencegah keinginan yang berbahaya bila
diekspresikan dengan melebihkan sikap perilaku yang berlawanan.
e. Displecement, yaitu melepaskan perasaan tertekan dengan
bermusuhan pada objek yang berbahaya.
f. Perilaku kekerasan biasanya diawali dengan situasi berduka yang
berkepanjangan dari seseorang karna ditinggal oleh orang yang
dianggap berpangaruh dalam hidupnya. Bila kondisi tersebut tidak
teratasi, maka dapat menyebabkan seseorang harga diri rendah
(HDR), sehingga sulit untuk bergaul dengan orang lain. Bila
ketidakmampuan bergaul dengan orang lain tidak dapat diatasi maka
akan muncul halusinasi berupa suara-suara atau bayang-bayangan
yang meminta klien untuk melakukan kekerasan. Hal ini data
berdampak pada keselamatan dirinya dan orang lain (resiko
mencederai diri, orang lain dan lingkungan).
g. Selain diakibatkan oleh berduka yang berkepanjangan, dukungan
keluarga yang kurang baik dalam mengahadapi kondisi klien dapat
mempengaruhi perkembangan klien (koping keluarga tidak efektif).
Hal ini yang menyebabkan klien sering keluar masuk RS atau
menimbulkan kekambuhan karena dukungan keluarga tidak maksimal
(regimen terapeutik inefektif).
10. Penatalaksanaan
a. Adapun penalaksanaan medik menurut MIF Baihaqi, dkk, 2005
sebagai berikut :
1) Somatoterapi
Dengan tujuan memberikan pengaruh-pengaruh langsung berkaitan
dengan badan, biasanya dilakukan dengan :
a) Medikasi psikotropik
Medikasi psikotropik berarti terapi langsung dengan obat
psikotropik atau psikofarma yaitu obat-obat yang mempunyai
efek terapeutik langsung pada proses mental pasien karena efek
obat tersebut pada otak.
Obat anti psikosis, phenotizin (CPZ/HLP)
Obat anti depresi, amitriptyline
Obat anti ansietas, diazepam, bromozepam, clobozam
Obat anti insomnia, phenobarbital
b) Terapi Elektrokonvulsi (ECT)
Terapi ini dilakukan dengan cara mengalirkan listrik sinusoid ke
tubuh penderita menerima aliran listrik yang terputus-putus.
c) Somatoterapi yang lain
Terapi konvulsi kardiasol, dengan menyuntikkan larutan
kardiazol 10% sehingga timbul konvulsi
Terapi koma insulin, dengan menyuntikkan insulin
sehingga pasien menjadi koma, kemusian dibiarkan 1-2 jam,
kemudian dibangunkan dengan suntikan gluk
d) Psikoterapi
Psikoterapi adalah salah satu pengobatan atau
penyembuhan terhadap suatu gangguan atau penyakit, yang
pada umumnya dilakukan melalui wawancara terapi atau
melalui metode-metode tertentu misalnya : relaksasi, bermain
dan sebagainya. Dapat dilakukan secara individu atau kelompok,
tujuan utamanya adalah untuk menguatkan daya tahan mental
penderita, mengembankan mekanisme pertahanan diri yang baru
dan lebih baik serta untuk mengembalikan keseimbangan
adaptifnya.
e) Manipulasi lingkungan
Manipulasi llingkunagan adalah upaya untuk
mempengaruhi lingkungan pasien, sehingga bisa membantu
dalam proses penyembuhannya. Teknis ini terutama diberikan
atau diterapkan kepada lingkungan penderita, khususnya
keluarga.
Tujuan utamanya untuk mengembangkan atau
merubah/menciptakan situasi baru yang lebih kondusif terhadap
lngkungan. Misalnya dengan mengalihkan penderita kepada
lingkunmgan baru yang dipandang lebih baik dan kondusif,
yang mampu mendukung proses penyembuhan yang dilakukan
11. Asuhan Keperawatan Teoritis
a. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses
keperawatan. Tahap pengkajian, terdiri atas pengumpulan data dan
perumusan kebutuhan atau masalah klien. Data yang dikumpulkan
dalam pengkajian yaitu faktor predisposisi, faktor presipitasi,
penilaian terhadap stressor, sumber koping, dan kemampuan koping
yang dimiliki klien (Direja, 2011).
Menurut Fitria (2009), riwayat koping stress adalah individu
menggunakan berbagai mekanisme koping untuk mencoba
mengatasi perilaku kekerasan. Ketidakmampuan klien dalam
menggunakan mekanisme koping dapat mengakibatkan pada resiko
menciderai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.
b. Diagnosa keperawatan
Menurut Damaiyanti (2012), diagnosa keperawatan adalah
interpretasi ilmiah dari data pengkajian yang digunakan untuk
mengarahkan perencanaan, implementasi, dan evaluasi keperawatan.
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada perilaku
kekerasan menurut Fitria (2009) adalah sebagai berikut.
1) Perilaku kekerasan
2) Resiko menciderai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan
3) Perubahan persepsi sensori: halusinasi
4) Harga diri rendah kronis
5) Isolasi sosial
6) Berduka disfungsional
7) Penatalaksanaan regimen terapeutik inefektif
8) Koping keluarga inefektif
Diagnosa keperawatan menurut Nanda (2010) adalah sebagai
berikut.
1) Resiko untuk kekerasan yang diarahkan pada orang lain
2) Resiko untuk kekerasan yang diarahkan pada diri sendiri
c. Intervensi keperawatan
Menurut Keliat (2010), strategi pelaksanaan klien dengan resiko
perilaku kekerasan ada lima, yaitu :
SP 1 : melatih cara mengendalikan perilaku kekerasan dengan cara
fisik pertama, yaitu nafas dalam
SP 2 : membantu klien latihan mengendalikan perilaku kekerasan
dengan cara fisik kedua, yaitu dengan cara pukul bantal atau
kasur
SP 3 : membantu klien latihan mengendalikan perilaku kekerasan
secara verbal
SP 4 : membantu klien latihan mengendalikan perilaku kekerasan
dengan cara spiritual
SP 5 : membantu klien latihan mengendalika perilaku kekerasan
dengan minum obat
Strategi Pelaksanaan

Rencana Tindakan Keperawatan


Diagnosa Keperawatan Rasional
Tujuan Intervensi
Resiko perilaku kekerasan Setelah dilakukan tindakan SP 1: Klien SP 1: Klien
keperawatan selama ... x ... 1. Bina hubungan saling 1. Membangun rasa kepercayaan
pertemuan, klien mampu percaya dengan klien dengan klien untuk memudahkan
mengontrol perilaku dalam menggali masalah klien.
kekerasan dengan kriteria 2. Identifikasi penyebab, tanda 2. Melakukan identiifikasi tentang
hasil: dan gejala, perilaku penyebab, tanda dan gejala, PK
1. Klien dapat meng- kekerasan yang dilakukan, yang dilakukan, dan akibat PK
identifikasi penyebab dan akibat perilaku memudahkan dalam identifikasi
perilaku kekerasan kekerasan tindakan yang harus diberikan
2. Klien dapat meng-
kepada klien
identifikasi tanda-tanda
3. Memberikan pemahaman kepada
perilaku kekerasan
3. Jelaskan cara mengontrol klien ada cara untuk mengontrol
3. Klien dapat menyebutkan
PK: fisik, obat, verbal, PK
jenis perilaku kekerasan
spiritual 4. Melatih klien mengontrol PK
yang pernah
4. Latih cara mengontrol PK dengan cara yang sehat secara
dilakukannya secara fisik : tarik nafas fisik
dalam dan pukul kasur dan
4. Klien dapat menyebutkan bantal 5. Dengan memasukkan ke jadwal
cara mengontrol atau kegiatan harian, klien akan
mencegah perilaku 5. Masukkan pada jadwal terbiasa menggunakan cara
kekerasan kegiatan untuk latihan fisik mengontrol PK secara fisik
5. Klien dapat mengontrol
atau mencegah perilaku
SP 1 : Keluarga
kekerasan secara fisik,
1. Memudahkan perawat dalam
spiritual, sosial, dan terapi
SP 1 : Keluarga menggali masalah dan
psikofarmaka
1. Bina hubungan saling merumuskan intervensi
percaya. Diskusikan masalah
yang dirasakan dalam 2. Memberikan pemahaman pada
merawat klien keluarga agar keluarga mengerti
2. Jelaskan pengertian, tanda dan mendukung kesembuhan
dan gejala dan proses klien
terjadinya PK 3. Memberikan pemahaman agar
3. Jelaskan cara merawat klien keluarga dapat memberikan
PK perawatan pada klien dengan
benar
4. Latih cara merawat PK 4. Klien terbiasa menggunakan cara
dengan kegiatan fisik: tarik mengontrol nafas dalam atau
nafas dalam, pukul bantal pukul bantal untu mengontrol PK
kasur
5. Anjurkan keluarga 5. Memberikan klien kegiatan
membantu klien latihan fisik sehingga klien tidak menyendiri
sesuai jadwal dan sehingga emosi tetap stabil.
memberikan pujian Pujian untuk reinforcement positif
SP 2: Klien SP 2: Klien
1. Evaluasi kegiatan 1. Evaluasi untuk mengetahui
latihan fisik. Beri pujian sejauhmana kemampuan klien
untuk mengontrol PK dengan
latihan fisik. Beri pujian untuk
reinforcement positif.
2. Latih cara mengontrol 2. Melatih klien untuk
PK dengan verbal (tiga cara mengungkapkan perasaan
yaitu mengungkapkan, marahnya secara verbal dan
meminta, menolak dengan asertif
benar)
3. Masukkan dalam jadwal 3. Dengan memasukkan ke
kegiatan untuk latihan fisik jadwal kegiatan harian, klien akan
dan latihan secara verbal terbiasa menggunakan cara
mengontrol PK secara fisik, dan
verbal

SP 2 : Keluarga
1. Evaluasi kegiatan SP 2 : Keluarga
keluarga dalam 1. Mengetahui sejauhmana
merawat/melatih klien cara kemampuan keluarga dalam
mengontrol PK dengan merawat/melatih klien
latihan fisik. Beri pujian mengontrol PK secara fisik.
Pujian untuk reinforcement positif
2. Latih cara mengontrol 2. Memberikan pemahaman
PK secara verbal (dengan pada keluarga bahwa klien harus
mengungkapkan, meminta, dilatih mengontrol PK dengan
dan menolak) cara verbal
3. Anjurkan keluarga
membantu klien dalam 3. Klien akan terbiasa
latihan fisik dan verbal menggunakan cara fisik dan
sesuai jadwal dan verbal untuk mengontrol PK
memberikan pujian
SP 3 : Klien SP 3 : Klien
1. Evaluasi kegiatan 1. Evaluasi untuk mengetahui
latihan fisik dan verbal. Beri sejauhmana kemampuan klien
pujian untuk mengontrol PK dengan
latihan fisik dan verbal. Pujian
untuk reinforcement positif.
2. Melatih klien mengontrol PK
2. Latih cara mengontrol dengan spiritual membantu
PK secara spiritual (2 memberikan ketenangan batin,
kegiatan) sehingga klien bisa
mengendalikan perasaan
marahnya.
3. Dengan memasukkan ke
3. Masukkan pada jadwal jadwal kegiatan harian, klien akan
kegiatan untuk latihan fisik, terbiasa menggunakan cara
verbal, dan spiritual mengontrol PK secara fisik,
verbal, dan spiritual

SP 3 : Keluarga SP 3 : Keluarga
1. Evaluasi kegiatan 1. Mengetahui sejauhmana
keluarga dalam kemampuan keluarga dalam
merawat/melatih kegiatan merawat/melatih klien cara
fisik dan secara verbal. Beri mengontrol PK secara fisik dan
pujian verbal. Pujian untuk
reinforcement positif

2. Memberikan pemahaman
2. Latih cara mengontrol pada keluarga bahwa klien harus
PK dengan spiritual dilatih cara mengontrol PK
dengan spiritual untuk
memberikan kenyamanan batin
3. Klien terbiasa untuk
3. Anjurkan keluarga menggunakan cara mengontrol
membantu klien dalam PK dengan latihan fisik, verbal,
latihan fisik, verbal, dan dan spiritual
spiritual sesuai jadwal dan
memberikan pujian

SP 4 : Klien SP 4 : Klien
1. Evaluasi kegiatan 1. Evaluasi untuk mengetahui
latihan fisik, verbal, dan sejauhmana kemampuan klien
spiritual. Beri pujian untuk mengontrol PK dengan
latihan fisik, verbal, dan spiritual.
Pujian untuk reinforcement
2. Latih cara mengontrol positif.
PK dengan obat (jelaskan 6 2. Memberikan pengertian pada
benar : jenis, guna, dosis, klien bahwa teratur minum obat
frekuensi, cara, kontinuitas diperlukan untuk mencegah
minum obat) kekambuhan
3. Masukkan pada jadwal 3. Dengan memasukkan ke
kegiatan untuk latihan fisik, jadwal kegiatan harian, klien akan
verbal, spiritual, dan minum terbiasa menggunakan cara
obat mengontrol PK secara fisik,
verbal, spiritual, dan minum obat

SP 4: Keluarga SP 4: Keluarga
1. Evaluasi kegiatan 1. Mengetahui sejauhmana
keluarga dalam kemampuan keluarga dalam
merawat/melatih kegiatan merawat/melatih klien cara
fisik, verbal, dan spiritual. mengontrol PK secara fisik,
Beri pujian verbal, dan spiritual. Pujian
untuk reinforcement positif.
2. Memberikan pemahaman
2. Jelaskan 6 benar cara kepada keluarga bahwa klien
memberikan obat. harus dilatih cara mengontrol PK
Latih cara memberikan atau dengan minum obat untuk
membimbing minum obat. mencegah kekambuhan

3. Klien terbiasa untuk


3. Anjurkan keluarga menggunakan cara mengontrol
membantu klien dalam PK dengan latihan fisik, verbal,
latihan fisik, verbal, spiritual, dan minum obat
spiritual, dan minum obat
sesuai jadwal dan
memberikan pujian
d. Implementasi keperawatan
Implementasi merupakan standar dari asuhan yang berhubungan
dengan aktivitas keperawatan profesional yang dilakukan oleh
perawat, dimana implementasi dilakukan pada klien, keluarga, dan
komunitas berdasarkan rencana keperawatan yang dibuat
(Damaiyanti, 2012).
e. Evaluasi keperawatan
Menurut Kurniawati (2004, dalam Nurjanah, 2005), evaluasi
adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan
keperawatan pada klien. Evaluasi dilakukan terus-menerus pada
respon klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilakukan.
Evaluasi menurut Direja (2011) dilakukan dengan menggunakan
pendekatan SOAP, sebagai berikut:
S : Subjektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan
O : Respon objektif klien terhadap tindakan keperawatan yang
telah dilaksanakan
A : Analisis data subjektif dan objektif untuk menyimpulkan
apakah masalah masih tetap muncul atau masalah baru atau data-data
yang kontradiksi dengan masalah yang ada
P : Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisis
pada respon klien, yang terdiri dari tindak lanjut klien, dan tindak
lanjut perawat

DAFTAR PUSTAKA
Fitria, N. 2010. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan LP dan SP. Jakarta:
Selemba Medika
Keliat, B.A., Akemat. 2010. Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa.
Jakarta: EGC
Kusumawati, F., Hartono, Y. 2010. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta:
Salemba Medika
Damaiyanti. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika Aditama
Direja, Ade Herman Surya. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa.
Yogyakarta: Nuha Medika
Yosep. 2010. Keperawatan jiwa edisi refisi. Bandung: PT.Refika Aditama
Stuart, Gail. 2006, Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 5. Jakarta: EGC
Stuart dan Sundeen, 2006.Buku Saku Keperawatan Edisi 3. Jakarta : EGC
Purba dkk, (2008). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Masalah Psikososial
dan Gangguan Jiwa.Medan : USU Press
Departemen Kesehatan RI., 2000, Keperawatan Jiwa Teori dan
TindakanKeperawatan. Jakarta : Depkes RI
Baihaqi, M.I.F., Sunardi, R.N.R.A., Dkk, 2007. Psikiatri (Konsep Dasar dan
Gangguan-Gangguan). Bandung : PT Refika Aditama

You might also like