You are on page 1of 5

Problematika Pasal 156a

Problematika Pasal 156a


Sony Gusti Anasta ; Pengabdi Bantuan Hukum di LBH Jakarta
KOMPAS, 05 Juni 2017

Majelis hakim PN Jakarta Utara, Selasa (9/5), menjatuhkan vonis dua


tahun penjara kepada Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, terdakwa
dugaan penodaan agama. Basuki dikenai pidana berdasarkan Pasal 156a
KUHP, menurut majelis hakim, karena secara jelas dan tegas dia
melakukan penodaan terhadap umat Islam, menimbulkan keresahan dan
kegaduhan, serta ketidaktertiban di tengah masyarakat.

LBH Jakarta dalam siaran pers tertanggal 9 Mei 2017 mengkritik putusan
majelis hakim tersebut. Kritik tidak didasarkan pembelaan kepada Basuki
semata. Namun, lebih jauh dari itu, yakni mengkritik penggunaan Pasal
156a KUHP yang sejak dulu telah mengancam kebebasan berekspresi,
mengeluarkan pendapat, beragama dan berkeyakinan, serta kehidupan
berdemokrasi pada umumnya. Bahkan, LBH Jakarta telah melakukan
judicial review terhadap Pasal 156a KUHP pada 2009. Sampai sekarang,
LBH Jakarta tetap konsisten membela individu ataupun kelompok yang
menjadi korban dari keganasan pasal ini.

Tujuh alasan

Setidaknya ada tujuh alasan mengapa putusan majelis hakim yang


menerapkan Pasal 156a KUHP bermasalah. Pertama, Pasal 156a
merupakan pasal anti- demokrasi yang secara jelas melanggar hak
seseorang menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nurani serta
hak atas kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28E UUD 1945, UU Hak Asasi
Manusia, UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum,
serta ICCPR yang diratifikasi lewat UU No 12/2005.

Kedua, pasal ini kerap jadi alat politik bagi negara dan pihak mayoritas
intoleran untuk mengkriminalkan hak asasi kelompok minoritas atau
individu yang berbeda keyakinan, sebagaimana yang menimpa Lia Eden,
Abdul Rahman, Ahmad Musadeq (eks pemimpin Gafatar), HB Jassin,
Arswendo Atmowiloto, Saleh, Ardi Husein, Sumardin Tapaya (kasus
shalat bersiul), Yusman Roy (shalat multibahasa), dan Mangapin Sibuea
(pemimpin sekte kiamat). Pasal 156a saat ini juga ikut mengancam Rizieq
Shihab dan Megawati Soekarnoputri yang telah dilaporkan menggunakan
pasal antidemokrasi itu.

Dalam kondisi masyarakat yang sedang terbelah saat ini, bukan tidak
mungkin produksi kasus yang dilandasi kasus ini akan terus meningkat.
Hal ini seiring meruncingnya perbedaan pendapat di masyarakat. Iklim
perbedaan yang seharusnya ikut memperkaya perspektif bangsa justru
jadi landasan bagi orang yang tidak bertanggung jawab untuk
memolisikan orang yang berbeda pendapat dengannya.

Ketiga, Pasal 156a lahir dari UU No 1/PNPS/1965 yang dikeluarkan ketika


negara dalam keadaan darurat, saat pemerintahan tidak berjalan secara
normal karena adanya ketegangan antara kelompok Muslim dan komunis.
Oleh karena itu, penerapan Pasal 156a tidak relevan lagi dengan era
reformasi yang menghendaki adanya pengakuan dan perlindungan
terhadap HAM (demokrasi).

Keempat, rumusan Pasal 156a KUHP tidak jelas. Pasal ini tidak
memenuhi prinsip lex certa dan lex scripta dalam pemenuhan asas
legalitas serta terlampau subyektif untuk diterapkan karena
menggantungkan standar kebenaran atau kepatutan pada satu agama,
yakni agama mayoritas.

Hal ini menjadikan rumusan Pasal 156a bertentangan dengan prinsip


kepastian hukum yang diatur dalam Pasal 28D Ayat (1) sehingga juga
mengancam prinsip demokrasi yang menjunjung tinggi penegakan hukum
yang berkeadilan (rule of law) bagi masyarakat.

Alasan kelima, majelis hakim dalam putusannya tidak menerapkan Pasal


156a KUHP sebagai delik materiil, uraian mens rea dalam pertimbangan
hukum majelis hakim terlalu mengada-ada dan gagal untuk dibuktikan.

Majelis hakim tidak melihat bahwa unsur mencederai umat Islam


menimbulkan kegaduhan serta memecah kerukunan di masyarakat justru
disebarkan oleh kelompok intoleran yang melaporkan Basuki dan
mendorong agar kasus Basuki masuk ke meja hijau. Majelis hakim justru
membebankan segala bentuk kegaduhan dan gerakan massa yang
menimbulkan keresahan di publik selama ini kepada Basuki. Dapat
dikatakan, pertimbangan majelis hakim bahwa Basuki menimbulkan
kegaduhan dan ketidaktertiban salah orang (error in persona).
Keenam, majelis hakim juga abai dalam menerapkan hukum yang
kontekstual dan sejalan dengan produk-produk peradilan yang ada
sebelumnya. Dalam hal ini, majelis hakim tidak mengacu Putusan MK No
84/PUU-X/2012 terkait harus adanya peringatan berupa SKB Tiga Menteri
dan pengulangan perbuatan setelah terbitnya peringatan tersebut
sebelum menerapkan Pasal 156a KUHP dengan sanksi pidana kepada
Basuki.

Terakhir, ketujuh, penerapan Pasal 156a KUHP selalu didorong oleh


tekanan publik. Penafsiran apakah suatu perbuatan bermuatan unsur
penodaan terhadap agama tidakhanya didasari pada kajian terhadap
unsur-unsurnya, tetapi juga mengikuti penafsiran dan tekanan publik yang
berasal dari kelompok mayoritas. Intervensi tersebut pada akhirnya ikut
menggiring independensi majelis hakim untuk mengambil keputusan yang
sesuai dengan tuntutan kelompok intoleran dan mayoritas untuk
menyatakan Basuki bersalah.

Rule of law dikorbankan dan digantikan dengan rule by mass (mobokrasi).


Ini menjelaskan bahwa cita-cita konstitusi kita yang menghendaki
independensi hakim dalam setiap peradilan belumlah tercapai. Dalam
kondisi seperti ini, hukum hanya menjadi alat bagi mayoritas untuk
menghukum, mengerdilkan, serta menyudutkan minoritas dan kelompok
yang berbeda pandangan.

Preseden buruk
Alhasil, putusan majelis hakim PN Jakarta Utara dalam kasus Basuki ini
jadi preseden buruk bagi kelompok minoritas agama dan keyakinan lain
yang ada di Indonesia. Bahkan, bagi seluruh rakyat Indonesia.

Guna menyelamatkan demokrasi, pemerintah dan DPR mesti meninjau


ulang perumusan delik penodaan agama yang saat ini RUU KUHP
sedang dibahas di DPR dan menghapuskan pasal antidemokrasi tersebut
demi menghormati prinsip demokrasi dan tegaknya HAM serta kepastian
hukum di Indonesia.

You might also like