Professional Documents
Culture Documents
Tradisi gaji ke-13 dan tunjangan hari raya (THR) tahun ini hampir dapat
dipastikan kembali terjadi. Pemerintah tengah mempersiapkan segala
tetek-bengek mengenai aturan dan proses pencairannya melalui
rancangan per-THR dan gaji ke-13 diharapkan juga menjadi berkah bagi
sektor-sektor produksi karena masyarakat rata-rata semakin konsumtif
dan royal berbelanja. Asumsi ini belum termasuk kucuran THR yang juga
berputar sebagai tradisi di sektor swasta sehingga seperti biasa, effort
untuk memacu pertumbuhan ekonomi akan relatif mudah digapai pada
masamasa seperti sekarang ini.
Banyak pihak yang meminta pemerintah lebih jeli dan efisien dalam
penganggaran karena besaran belanja pegawai secara otomatis akan
mengikis alokasi untuk belanja-belanja lain yang sangat mungkin lebih
urgen. Terbukti belanja barang dan belanja modal hanya mendapatkan
masing-masing 22,55% dan 14,77% dari total belanja pemerintah pusat.
Di tingkat pemerintah daerah, proporsi belanja pegawai bahkan lebih edan
lagi. Menkeu Sri Mulyani mengungkapkan sebanyak 131 kabupaten/kota
memiliki rasio belanja pegawai (beserta tunjangannya) hingga di atas 50%
dari total belanja daerah.
Komposisi ini bukanlah yang ideal karena peran belanja pemerintah masih
sangat signifikan dibutuhkan untuk mendongkrak pembangunan
perekonomian. Selain terkait dengan komposisi belanja, masalah yang
dihadapi pemerintah juga berkutat pada persoalan kualitas belanja. Tahun
lalu ingatan kita masih cukup segar merekam betapa rumitnya tatanan
birokrasi dan regulasi untuk menyerap anggaran belanja. Banyak pihak
internal maupun eksternal pemerintah yang cenderung takut menyerap
anggaran negara karena persoalan tumpang tindih birokrasi dan
ketakutan akan tuduhan korupsi.
Alasannya banyak butir peraturan yang dirasa belum cukup clear untuk
standar keamanan nasabah di bank. Misalnya terkait dengan nilai nominal
kekayaan yang akan diperiksa yang kabarnya dibatasi minimal
USD250.000 (Rp3,3 miliar), apakah itu berupa tabungan, deposito,
obligasi, ataukah juga termasuk portofolio investasi yang disimpan
nasabah sehingga jangan sampai terbitnya perppu ini justru memukul
mundur ide-ide yang searah dengan reformasi perpajakan. Terkait dengan
ancaman defisit fiskal yang terus bermunculan, alternatif pemasukan
lainnya misalnya dengan melakukan utang luar negeri (ULN) juga tidak
cukup aman secara politik dan ekonomi. Bank Indonesia (BI) mencatat,
ULN Indonesia sudah mencapai Rp3.667 triliun per 30 April 2017.
Angka ini naik 2,9% secara tahunan (yoy) bila dibandingkan dengan
kuartal sebelumnya yang mencapai 2% (yoy). Memang jika merujuk pada
peraturan perundangan-undangan yang berlaku, posisinya masih cukup
aman karena belum melebihi batas rasio 60% terhadap PDB. Namun kita
perlu mempertimbangkan lagi dampak secara politik karena tekanan dari
masyarakat. Selain itu ULN juga akan mengganggu likuiditas keuangan
negara di masa mendatang karena ikut membebani APBN untuk proses
pelunasan.
Karena itu pemerintah memang harus bersabar untuk secara arif
menggunakan sumber daya pembangunan yang ada. Dimulai dari proses
perencanaan yang akurat, pelayanan yang semakin efektif dan efisien,
peningkatan reformasi perpajakan agar penerimaan negara semakin
menggeliat, serta transmisi kebijakan yang harmonis dengan otoritas lain
seperti sektor moneter dan swasta serta sinkronisasi kebijakan dengan
pemerintah daerah.