Professional Documents
Culture Documents
Lihat saja, tiap kali Bulan Ramadan tiba, beberapa komoditas akan
mengalami peningkatan permintaan. Harga-harga kebutuhan pokok pun
merangkak naik karena permintaan tinggi. Pedagang sembako yang
biasanya hanya menjual gula, telur, dan tepung dalam satuan kiloan, di
Bulan Ramadan mereka bisa menjual bahan-bahan itu dalam satuan
kwintal. Sebab, di Bulan Ramadan banyak sekali orang yang beralih
profesi menjadi pedagang makanan dadakan.
Saya melihat baliho dan banner itu menghiasi berbagai celah tempat di
daerah saya, ketika sedang asyik berburu takjil gratis di masjid agung. Di
sepanjang jalan, di depan supermarket, atau di depan kantor bupati.
Beberapa bahkan memuat gambar wajah orang-orang yang tak saya
kenal. Mirip seperti baliho dan banner pada musim kampanye.
Banner itu dibuat oleh salah satu organisasi Islam di Indonesia, yang
konon kabarnya akan segera dibubarkan oleh pemerintah karena memiliki
ideologi yang bertentangan dengan Pancasila. Saya sendiri, merasa asing
dengan frasa "ghirah Islam". Sepertinya saya belum pernah mendengar
frasa itu dalam pelajaran agama di sekolah dulu. Atau, mungkin pada saat
pelajaran tentang itu saya tak masuk kelas.
"Apa itu ghirah Islam?" kalimat itu terus bergaung dalam benak saya
sampai membuat salat agak tak khusyuk.
Maka, setelah Salat Tarawih, saya mencoba menelusuri arti kata "ghirah"
melalui bantuan Google. Dan, saya menemukan ulasan panjang tentang
arti dan makna kata ghirah.
Yang pertama, adalah penjalasan dari Buya Hamka yang dinukil dari buku
karangannya yang berjudul Ghirah dan Tantangan Terhadap Islam
(1983). Buya Hamka menjelaskan bahwasanya ghirah itu adalah
perasaan cemburunya orang beriman. Juga bisa diartikan sebagai sebuah
semangat. Bahkan, beliau menggambarkan ghirah Islam sebagai
nyawanya umat muslim.
Tentu, itu adalah tafsir yang galak. Sedangkan saya, mana bisa menjadi
segalak itu. Menjaga marwah Islam dengan menyalakan api kemarahan,
rasanya begitu berat bagi saya. Saya lebih cenderung mengamini
beberapa penjelasan Buya Hamka. Bahwa ghirah Islam haruslah
dilakukan dengan cara santun. Seperti analogi tadi. Keberanian untuk
menggebuk itu saja sudah mengerikan. Apalagi membunuh.
Betapa sulit saya menilik tafsir dari kata ghirah Islam di zaman kiwari
begini. Atau, barangkali akal saya saja memang terlalu dhaif untuk
mencernanya. Namun, yang pasti saya tak mau terjerumus dalam
pengertian yang dangkal. Pengertian yang bisa mengubah saya jadi
muslim yang jumud. Saya rasa ghirah Islam bukanlah semangat untuk
mengobarkan peperangan.
Tuhan yang saya imani bukanlah tuhan yang menyukai api dan darah.
Ataupun, pentungan.
Agama Islam adalah agama kegembiraan. Bulan Ramadan adalah
buktinya. Saya begitu gembira ketika bisa mengudap takjil gratis di masjid
agung sampai kenyang. Saya juga gembira ketika dahulu di pesantren
kilat bisa mengikuti berbagai acara yang menyenangkan. Saya juga
gembira ada tayangan iklan TV menarik setiap kali Bulan Ramadan tiba.
Tentu saja juga perasaan yang mampu menjauhkan saya dari kelahi dan
caci-maki.
Jika yang dimaksud dengan ghirah Islam adalah pemahaman seperti itu,
maka saya akan dengan mudah bersepakat. Karena saya pasti akan
langsung lahap menikmati hidangan takjil gratis yang ada di mana pun.
Tanpa perlu mencari tahu terlebih dahulu pilihan politik si panitia di pilkada
lalu, misalnya. Apabila ada yang melakukan hal itu, sungguh
menyedihkan hidupnya.
Negeri ini sudah terlalu lama tergulung dalam masalah yang itu-itu saja.
Inilah saatnya bergembira. Marilah kita menjalankan ibadah di Bulan
Ramadan ini sembari terus menjaga semangat kegembiraantanpa
harus bersikap sengit dengan yang berbeda.