You are on page 1of 17

Obat yang digunakan pada Tuberkulosis

1) Isoniazid (H)
Isoniazid adalah obat yang paling aktif dalam penanganan tuberculosis
akibat galur-galur yang rentan. Obat ini adalah molekul kecil (BM 137) yang
larut bebas dalam air. In vitro, isoniazid menghambat sebagian besar basil
tuberkel pada konsentrasi 0,2 mcg/ml atau kurang dan bakteriasidal untuk
basil tuberkel yang aktif. Obat ini kurang efektif terhadap spesies
mikobakteri atipikal. Isoniazid menembus ke dalam makrofag dan aktif
terhadap mikroorganisme intrasel atau ekstrasel (Katzung, 2009).
Mekanisme kerja dan dasar resistensi Isoniazid menghambat
pembentukan asam mikolat, yang merupakan komponen esensial penyusun
dinding sel bakteri. Isoniazid adalah suatu prodrug yang diaktifkan KatG,
katalase-peroksidase mikobakteri. Isoniazid yang telah aktif membentuk
suatu komplek kovalen dengan suatu protein pembawa asil (acyl carrier
protein, AcpM) dan Kas-A, suatu beta-asil pembawa sintetase, yang
menghambat pembentukan asam mikolat dan mematikan sel. Resistensi
terhadap isoniazid berkaitan dengan mutasi yang menyebabkan ekspresi
berlebihan inh-A, yang menjadi suatu basil protein pembawa reduktase
dependen NADH;mutasi atau delesi katG; mutasi promotor yang
menyebabkan mutasi promotor ahp-C, suatu gen virulensi yang berperan
dalam proteksi sel dari stres oksidatif; dan mutasi di kas-A. Basil yang
banyak menghasilkan inhA memperlihatkan resistensi isoniazid derajat
tinggi dan sering tidak resisten silang dengan etionamid (Katzung, 2009).
Mutan-mutan resisten obat normalnya terdapat dalam populasi
mikrobakteri rentang dengan frekuensi sebesar 1 basil dalam 106. Karena lesi
tuberkulosis lebih sering mengandung lebih dari 108 basil tuberkel, mutan-
mutan resisten cepat terseleksi jika pengobatan dilakukan hanya dengan
isoniazid atau obat lain sebagai terapi tunggal. Pemakaian dua obat yang
independen dalam kombinasi akan jauh lebih efektif. Kemungkinan bahwa
sebuah basil pada awalnya resiten terhadap kedua obat adalah sekita 1 dalam
106x106, atau 1 dalam 1012, beberapa kali lipat lebih besar daripada jumlah
organisme yangmenginfeksi. Karena itu, paling sedikit obat aktif harus
selalu digunakan untuk mengpbati tuberculosis aktif untuk mencegah
munculnya resistensi selama pengobatan (Katzung, 2009).
a) Farmakokinetik
Isoniazid mudah diserap dari saluran cerna. Dosis oral 300 mg (5
mg/kg pada anak) mebcapai konsentrasi plasma puncak 3-5 mck/mL
dalam 1-2 jam. Isoiazid cepat berdifusi ke dalam semua cairan dan
jaringan tubuh. Konsentrasi di susunan saraf pusat dan cairan
serebrospinal berkisar 20% dan 100% dari konsentrasi serum pada saat
yang sama (Katzung, 2009).
Metabolisme isoniazid, khususnya asetilasi oleh N-asetiltraferase
hati, ditentuka secara genetis. Konsentrasi plasma rerata isoniazid pada
asetilator cepat adalah sekitar sepertiga sampai separuh dibandingkan
dengan pada asetilator lambat, dan sewaktu paruh rerata masing-masing
adalah kurang dari 1 jam atau 3 jam. Klirens isoniazid yang lebih cepat
oleh asetilator cepat biasanya tidak menimbulkan konsekuensi teurapetik
yang bermakna jika dosis harian telah sesuai, tetapi dapat terjadi
konsentrasi subteurapetik jika obat diberikan sebagai dosis sekali
seminggu atau jika terdapat malabrorbsi (Katzung, 2009).
Metabolit isoniazid dan jumlah kecil obat yang tidak berubah
diekskresikan terutama di urin. Dosis tidak perlu disesuaikan pada gagal
ginjal. Pada pasien dengan insufsiensi hati yang parah, penyesuaian dosis
belum diktehui pasti dan seyogyianya ditentukan oleh konsentrasi serum
jika dipertimbankan pengurangan dosis (Katzung, 2009).
b) Pemakaian klinis
Dosis lazim isoniazid adalah 5mg/kg/hari; dosis dewasa biasanya
adalah 300 mg yang diberikan sekali sehari. Untuk infeksi serius atau jika
terdapat masalah malabrorbsi, dosis dapat ditingkatkan hingga
10mg/kg/hari. Dosis 15 mg/kg/hari, atau 900 mg, dapat digunakan dalam
rejimen dosis dua kali seminggu kombinasi dengan obat antituberkulosis
kedua (mis. Rifampisin 600mg). Piridoksin 25-50 mg/hari, dianjurka bagi
mereka yang memiliki kondisi yang mempermuah neuropati, suatu efek
samping isoniazid. Isoniazid biasanya diberikan paranteral dengan dosis
yang sama (Katzung, 2009).
Isoniazid sebagai obat tunggal juga diindikasikan untuk mengobati
TB laten. Dosisnya adalah 200 mg/hari (5mg/kg/hari) atau 900 mg dua
kali seminggu selama 9 bulan (Katzung, 2009).
c) Efek samping
Insiden dan keparahan reaksi yang tidak diinginkan terhadap isoniazid
berkaitan dengan dosis dan lama pemberian (Katzung, 2009).
1) Reaksi imunologik
Demam dan ruam kulit kadang terjadi. Pernah dilaporkan lupus
eritemetosus sistemik imbas-obat (Katzung, 2009).
2) Toksisitas langsung
Hepatitis imbas-isoniazid merupakan efel toksik tersering. Hal
ini berbeda dari pengkatan ringan aminotranferase hati (hingga tiga
atau empat kali lipat dibandingkan normal), yang tidak mengharuskan
penghentian obat dan dijumpai pada 10-20% pasien, yang biasanya
asimtomatik. Hepatitis klinis biasnaya diserta mual, muntah, hilangnya
nafsu makan, ikterus, dan nyeri kuadran kanan atas pada 1% pasien
yang diberi isoniazid dan mematikan, terutama jika obat tidak segera
dihentikan. Terdapat bukti histologik kerusakan dan nekrosis
hepatoseluler. Resiko hepatitis bergantung pada usia. Efek samping ini
jarang terjadi pada usia dibawah 20 tahun, pada 0,3% dari mereka
yang berusia 21-35tahun, 1,2% pada merekayang berusia 36-50 tahun,
dan 2,3% pada mereka yang berusia 50 tahun atau lebih. Resiko
hepatitis lebih besar pada orang dengan ketergantungan alkohol dan
mungkin selama masa kehamilan dan periode pasca partus terjadinya
hepatitis isoniazid merupakan kontraindikasi pemakaian lebih lanjut
obat (Katzung, 2009).
Neuropati perifer diamati pada 10-20% pasien yang diberi
dosis lebih dari 5 mg/kg/hari, tetapi jarang dijumpai pada dosis dewasa
300mg. Neuropati perifer lebih besar kemungkinan terjadi pada
asetilator lambat dan pasien dengan predisposisi seperti malnutrisi,
alkoholisme, diabetes, AIDS dan uremia. Neuropati perifer terjadi
karena defisiensi relatif piridoksin. Isoniazid mendorong reaksi
piridoksin, dan toksisitas ini mudah diatasi dengan pemberian
priridoksin dengan dosis 10mg/hari. Toksisitas SSP berkurangnya
daya ingat, psikosis, dan kejang. Efek-efek ini berespon terhadap
piridoksin (Katzung, 2009).
Berbagai reaksi lain juga dapat terjadi seperti kelainan
hematologik, provokasi anemia defisiensi piridoksin, tinitus, dan
gangguan pencernaa. Isoniazid dapat mengurangi metabolisme
fenitoin, meningkatkan kadar dan toksisitas obat ini (Katzung, 2009).
d) Dosis
Untuk pencegahan, dewasa 300 mg satu kali sehari, anak-anak
10 mg per berat badan sampai 300 mg, satu kali sehari. Untuk
pengobatan TB bagi orang dewasa sesuai dengan petunjuk dokter /
petugas kesehatan lainnya. Umumnya dipakai bersama dengan obat
anti tuberkulosis lainnya. Dalam kombinasi biasa dipakai 300 mg satu
kali sehari, atau 15 mg per kg berat badan sampai dengan 900 mg,
kadang kadang 2 kali atau 3 kali seminggu. Untuk anak dengan dosis
10-20 mg per kg berat badan. Atau 20 40 mg per kg berat badan
sampai 900 mg, 2 atau 3 kali seminggu.
e) Indikasi.
Obat ini diindikasikan untuk terapi semua bentuk tuberkulosis
aktif, disebabkan kuman yang peka dan untuk profilaksis orang
berisiko tinggi mendapatkan infeksi. Dapat digunakan tunggal atau
bersama-sama dengan antituberkulosis lain.
f) Kontraindikasi
Kontra indikasinya adalah riwayat hipersensistifitas atau reaksi
adversus, termasuk demam, artritis, cedera hati, kerusakan hati akut,
tiap etiologi : kehamilan(kecuali risiko terjamin).
g) Interaksi
Isoniazid adalah inhibitor kuat untuk cytochrome P-450
isoenzymes, tetapi mempunyai efek minimal pada CYP3A. Pemakaian
Isoniazide bersamaan dengan obat-obat tertentu, mengakibatkan
meningkatnya konsentrasi obat tersebut dan dapat menimbulkan risiko
toksis. Antikonvulsan seperti fenitoin dan karbamazepin adalah yang
sangat terpengaruh oleh isoniazid. Isofluran, parasetamol dan
Karbamazepin, menyebabkan hepatotoksisitas, antasida dan adsorben
menurunkan absopsi, sikloserin meningkatkan toksisitas pada SSP,
menghambat metabolisme karbamazepin, etosuksimid, diazepam,
menaikkan kadar plasma teofilin. Efek Rifampisin lebih besar
dibanding efek isoniazid, sehingga efek keseluruhan dari kombinasi
isoniazid dan rifampisin adalah berkurangnya konsentrasi dari obat-
obatan tersebut seperti fenitoin dan karbamazepin
2) Rifampisin (R)
Rifampisin adalah suatu turunan simisintetik rifampisin suatu
antibiotik yang dihasilkan oleh Streptomyces mediterrenei. Obat ini in vitro
aktif terhadap kokus positif-gram dan negatif-gram, beberapa bakteri usus
dan mikobakteri, dan klamidia. Organisme yang rentan akan dihambat oleh
konsentrasi kurang dari 1 mcg/mL. Mutan resisten terhadap di semua
populasi mikobakteri sekitar 1 dari 106 organisme dan cepat terseleksi jika
rifampisin digunakan sebagai obat tunggal, khususnya pada pasien dengan
infeksi aktif. Tidak terdapat resistensi silang dengan obat antimikroba
golongan lain, tetapi terdapat resistensi silang denga turunan rifampisin
lain misalnya rifabutin dan rifapentin (Katzung, 2009).
a) Mekanisme kerja, resistensi dan farmakokinetik
Rifampisin mengikat subunit RNA polimerase dependen DNA
bakteri dan karena nya menghambat pembentukaan RNA. Resitensi
terjadi melalui satu dari beberapa kemungkianan mutasi titik di rpoB,
gen untuk subunit RNA polimerasi. Mutas-mutasi ini menyebabkan
berkurangnya peingkatan rifampisin ke RNA polimerase. RNA
polimerase manusia tidak tidak mengikat rifampin dan tidak
mengahmbat olehnya. Rifampin bersifat bakteriasidal bagi
mikrobakteria. Obat ini mudah menembus sebagian besar jaringan dan
masuk ke dalam sel fagisit. Rifampin dapat mematikan organisme yang
sulit diakses oleh banyak obat lain., misalnya organisme yang terdapat
di dalam abses dan kavitas paru (Katzung, 2009).
Rifampin diserap dengan baik setelah pemberian olral dan
diekskresikan mealui hati ke dalam empedu. Obat ini kemudian
mengalami resikulasi enterohepatik, dengan sebagian besar
diekskresikan sebagai metabolit dealisasi di tinja dan sebagian kecil
diekskresikan di urin. Tidak diperlukan penyesuain dosis dan
insufisiensi ginjal dan hati. Dosis lazim akan menghasilkan kadar serum
5-7 mc/ml. Rifampin terditribusi luas di cairan dan jaringan tubuh. Obat
ini relatif banyak terikat ke protein dan konsntrasi yang adekuat di CSS
hanya tercapai jika terdapat peradangan meningen (Katzung, 2009).
b) Pemakaian klinis
1) Infeksi mikrobakteri
Rifampin biasanya 600 mg/kg/hari (10mg/kg/hari) per oral,
harus diberikan bersama isoniazid atau obat anti tuberkulosa ian
untukpasien dengan pasien Tb aktif untuk mencegah terjadinya
mikobakteri resisten obat. Pada bebeapa terapi jangka pendek
rifampin 600 mg per hari atau 2kali seminggu selama 6 bulan, juga
efektif dalam kombinasi dengan obat lain pada beberapa infeksi
mikobakteri atipik dan pada kusta (Katzung, 2009).
2) Indikasi lain
Rifampin diguanakn pada infeksi bakteri lain. Sebagai dosis oral 600
mg dua kali sehari selama 2 hari, obat ini dapat menghilangkan
pengangkut/pembawa meningokokus. Rifampin, 20 mg/kg/hari
selama 4 hari digunakan sebagai profilaksis (Katzung, 2009).
c) Dosis
Untuk dewasa dan anak yang beranjak dewasa 600 mg satu kali
sehari, atau 600 mg 2 3 kali seminggu. Rifampisin harus diberikan
bersama dengan obat anti tuberkulosis lain. Bayi dan anak anak, dosis
diberikan dokter / tenaga kesehatan lain berdasarkan atas berat badan
yang diberikan satu kali sehari maupun 2-3 kali seminggu. Biasanya
diberikan 7,5 15 mg per kg berat badan. Anjuran Ikatan Dokter Anak
Indonesia adalah 75 mg untuk anak < 10 kg, 150 mg untuk 10 20 kg,
dan 300 mg untuk 20 -33 kg.
d) Indikasi
Di Indikasikan untuk obat antituberkulosis yang dikombinasikan
dengan antituberkulosis lain untuk terapi awal maupun
e) Interaksi
Interaksi obat ini adalah mempercepat metabolisme metadon,
absorpsi dikurangi oleh antasida, mempercepat metabolisme,
menurunkan kadar plasma dari dizopiramid, meksiletin, propanon dan
kinidin, mempercepat metabolisme kloramfenikol, nikumalon, warfarin,
estrogen, teofilin, tiroksin, anti depresan trisiklik, antidiabetik
(mengurangi khasiat klorpropamid, tolbutamid, sulfonil urea), fenitoin,
dapson, flokonazol, itrakonazol, ketokonazol, terbinafin, haloperidol,
indinafir, diazepam, atofakuon, betabloker(propanolol),diltiazem,
nifedipin, verapamil, siklosprosin, mengurangi khasiat glukosida
jantung, mengurangi efek kostikosteroid, flufastatin. Rifampisin adalah
suatu enzyme inducer yang kuat untuk cytochrome P-450
isoenzymes, mengakibatkan turunnya konsentrasi serum obat-obatan
yang dimetabolisme oleh isoenzyme tersebut. Obat obat tersebut
mungkin perlu ditingkatkan selama pengobatan TB, dan diturunkan
kembali 2 minggu setelah Rifampisin dihentikan. Obat-obatan yang
berinteraksi: diantaranya : protease inhibitor, antibiotika makrolid,
levotiroksin, noretindron, warfarin, siklosporin, fenitoin, verapamil,
diltiazem, digoxin, nortriptilin, alprazolam, diazepam, midazolam,
triazolam dan beberapa obat lainnya.
f) Efek samping
Rifampisin menyebabkan warna orange pada urin, air mata dan
keringat yang tidak membahayakan. Efek samping yang lain adalah
ruam, trombositipeni, dan nefritis. Rifampin dapat menyebabkan ikterus
kolestatik (Katzung, 2009).
3) Etambutol (E)
a) Farmakokinetik
Pada pemberian oral sekitar 75-80% etambutol diserap dari
saluran cerna. Kadar puncak dalam plasma dicapai dalam waktu 2-4
jam setelah pemberian. Dosis tunggal 15 mg/kgBB menghasilkan kadar
dalam plasma sekitar 5g/ml pada 2-4 jam. Masa paruh eliminasinya 3-
4 jam. Kadar etambutol dalam eritrosit 1-2 kali kadar plasma. Oleh
Karena itu eritrosit dapat berperan sebagai depot etambutol yang
kemudian melepaskannya sedikit demi sedikit kedalam plasma.
Dalam waktu 24 jam, 50% etambutol yang diberikan
diekskresikan dalam bentuk asal melalui urin, 10% sebagai metabolit,
berupa derivate aldehid dan asam karboksilat. Klirens ginjal untuk
etambutol kira-kira 8,6 ml/menit/kg menandakan bahwa obat ini selain
mengalami filtrasi glomerulus juga diekskresikan melalui tubuli.
Etambutol tidak dapat menembus sawar darah otak, tetapi pada
meningitis tuberkulosa dapat ditemukan kadar terapi dalam cairan otak
b) Mekanisme kerja dan pemakian klinis
Galur-galur Mycobacterium tuberculosis dan mikobakterium lain
yang rentan dihambat in vitro oleh etambutl 1-5 mcg/mL. Etambutol
menghambat arabinosil transferase mikobakteri, yang disandi oleh
operan embCAB. Arabinosil transferase berperan dalam reaksi
polimerasi arabinoglikan, suatu komponen esensial dari dinding sel
mikobakteri. Resistensi terhadap etambutol disebabkan olehmutasi yang
menyebabkan ekspresi berlebihan produk-produk gen emb atau di
struktur embB (Katzung, 2009).
c) Efek samping
Hipersensitivitas terhadap etambutol jarang terjadi. Efek samping
serius tersering adalah neuritis retrobulbar, yang menyebabkan
hialngnya ketajaman penglihatan dan buta warna hijau-merah. Efek
samping terkait dosis ini lebih sering terjadi pada dosis 25mg/kg/hari
(Katzung, 2009).
d) Dosis
Untuk dewasa dan anak berumur diatas 13 tahun, 15 -25 mg mg
per kg berat badan, satu kali sehari. Untuk pengobatan awal diberikan
15 mg / kg berat badan, dan pengobatan lanjutan 25 mg per kg berat
badan. Kadang kadang dokter juga memberikan 50 mg per kg berat
badan sampai total 2,5 gram dua kali seminggu. Obat ini harus diberikan
bersama dengan obat anti tuberkulosis lainnya. Tidak diberikan untuk
anak dibawah 13 tahun dan bayi.
e) Indikasi
Etambutol digunakan sebagai terapi kombinasi tuberkulosis
dengan obat lain, sesuai regimen pengobatan jika diduga ada resistensi.
Jika risiko resistensi rendah, obat ini dapat ditinggalkan. Obat ini tidak
dianjurkan untuk anak-anak usia kurang 6 tahun, neuritis optik,
gangguan visual.
f) Kontraindikasi
Hipersensitivitas terhadap etambutol seperti neuritis optik.
g) Interaksi
Garam Aluminium seperti dalam obat maag, dapat menunda dan
mengurangi absorpsi etambutol. Jika diperlukan garam alumunium agar
diberikan dengan jarak beberapa jam.
4) Pirazinamid (Z)
a) Farmakokinetik
Pirazinamid mudah diserap diusus dan tersebar luas ke seluruh
tubuh. Dosis 1 gram menghasilkan kadar plasma sekitar 45g/mL pada
dua jam setelah pemberian obat. Ekskresinya terutama melalui filtrasi
glomerulus. Asam parazinoat yang aktif kemudian mengalami
hidroksilasi menjadi asam hidropirazinoat yang merupakan metabolit
utama. Masa paruh eliminasi obat ini adalah 10-16 jam.
b) Mekanisme kerja dan pemakaian klinis
Pirazinamid diubah menjadi asam pirazinoat-bentuk aktif obat
oleh pirazinamidase mikobakteri yang disandi oleh pncA. Target
spesifik obat ini belum diketahui, tetapi asam pirazinoat menganggu
metabolisme membran sel mikobakteri dan fungsi transornya. Resistensi
mungkin disebabkan oleh gangguan penyerapan pirazinamid atau pncA
yang mengahmbat perubahan pirazinamid menjadi bentuk aktifnya
(Katzung, 2009).
c) Efek samping
Efek samping utama pirazinamid adalah hepatotoksisitas (pada 1-
5% pasien), mual, muntah, demam obat dan hiperuresemia. Yang
terakhir terjadi secara merata dan bukan merupakan akasan untuk
menghentikan pengobatan. Hiberuresemia dapat memicu artritis gout
akut (Katzung, 2009).
d) Dosis
Dewasa dan anak sebanyak 15 30 mg per kg berat badan, satu kali
sehari. Atau 50 70 mg per kg berat badan 2 3 kali seminggu. Obat ini
dipakai bersamaan dengan obat anti tuberkulosis lainnya.
e) Indikasi
Digunakan untuk terapi tuberkulosis dalam kombinasi dengan anti
tuberkulosis lain.
f) Kontraindikasi
Terhadap gangguan fungsi hati parah, porfiria, hipersensitivitas.
g) Kerja Obat
Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang berada dalam sel
dengan suasana asam. Mekanisme kerja, berdasarkan pengubahannya
menjadi asam pyrazinamidase yang berasal dari basil tuberkulosa.

5) Streptomisin (S)
a) Farmakokinetik
Setelah diserap dari tempat suntikan, hamper semua streptomisin
berada dalam plasma. Hanya sedikit sekali yang masuk kedalam eritrosit.
Streptomisin kemudian menyebar keseluruh cairan ekstrasel. Kira-kira
sepertiga streptomisin yang berada dalam plasma, terikat oleh protein
plasma. Streptomisin diekskresikan melalui filtrasi glomerulus. Kira-kira
50-60% dosis streptomisin yang diberikan secara parenteral diekskresikan
dalam bentuk utuh dalam waktu 14 jam pertama. Sebagian besar jumlah
ini diekskresikan dalam waktu 12 jam. Masa paruh obat ini pada orang
dewasa normal antara 2-3 jam, dan dapat sangat memanjang pada gagal
ginjal. Ototoksisitas lebih sering terjadi pada pasien yang fungsi
ginjalnya terganggu.
Streptomisin sulfat digunakan atau diinginkan obat suntik dan
dalam pengobatan infeksi yang resisten terhadap obat lain. Dosis lazim
untuk dewasa adalah 15mg/kg/hari (Katzung, 2009).
Streptomisin bersifat ototoksik dan nefrotosik. Verigo dan
penurunan pendengaran adalah efek samping tersering dan mungkin
permanen. Toksisitas berkaitan dengan dosis, dan resiko meningkat pada
pasien lanjut usia. Seperti semua aminoglikoserid lainya, dosis harus
disesuikan berdasarkan fungsi ginjal (Katzung, 2009).
b) Efek samping
Umumnya streptomisin diterima baik. Kadang-kadang terjadi
sakit kepala sebentar atau malaise. Parestesi dimuka terutama disekitar
mulut serta rasa kesemutan di tangan tidak mempunyai arti klinis yang
penting.
Reaksi hipersensitivitas biasanya terjadi dalam minggu-minggu
pertama pengobatan. Streptomisin bersifat neurotoksik dalam N.VIII,
bila diberikan dalam dosis besar dan jangka lama. Walaupun demikian
beberapa pasien yang baru mendapatkan dosis total 10-12 gram dapat
mengalami gangguan tersebut. Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan
audiometri basal dan berkala pada mereka yang mendapat streptomisin.
Seperti aminoglikosida lainnya, obat ini juga bersifat nefrotoksik.
Ototoksisitas dan nefrotoksisitas ini sangat tinggi kejadiannya pada
kelompok usia tersebut. Efek samping lain adalah reaksi anafilaktik,
agranulositosis, anemia aplastik dan demam obat. Selain itu dosis total
tidak boleh melebihi 20 gram dalam 5 bulan terakhir kehamilan untuk
mencegah ketulian pada bayi.
c) Dosis
Obat ini hanya digunakan melalui suntikan intra muskular, setelah
dilakukan uji sensitifitas.Dosis yang direkomendasikan untuk dewasa
adalah 15 mg per kg berat badan maksimum 1 gram setiap hari, atau 25
30 mg per kg berat badan, maksimum 1,5 gram 2 3 kali seminggu.
Untuk anak 20 40 mg per kg berat badan maksimum 1 gram satu kali
sehari, atau 25 30 mg per kg berat badan 2 3 kali seminggu. Jumlah
total pengobatan tidak lebih dari 120 gram.
d) Indikasi
Sebagai kombinasi pada pengobatan TB bersama isoniazid,
Rifampisin, dan pirazinamid, atau untuk penderita yang dikontra indikasi
dengan 2 atau lebih obat kombinasi tersebut.
e) Kontraindikasi
Hipersensitifitas terhadap streptomisin sulfat atau aminoglikosida
lainnya.
f) Kerja Obat
Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang sedang
membelah. Mekanisme kerja berdasarkan penghambatan sintesa protein
kuman dengan jalan pengikatan pada RNA ribosomal.
g) Interaksi
Interaksi dari Streptomisin adalah dengan kolistin, siklosporin,
Sisplatin menaikkan risiko nefrotoksisitas, kapreomisin, dan vankomisin
menaikkan ototoksisitas dan nefrotoksisitas, bifosfonat meningkatkan
risiko hipokalsemia, toksin botulinum meningkatkan hambatan
neuromuskuler, diuretika kuat meningkatkan risiko ototoksisitas,
meningkatkan efek relaksan otot yang non depolarising, melawan efek
parasimpatomimetik dari neostigmen dan piridostigmin.

1. Prinsip pengobatan
Pengobatan TB dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan.
b. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi
Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
c. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO).
d. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal (intensif) dan
lanjutan (Kemenkes No. 364, 2009).
1) Tahap awal (intensif)
a) Pada tahap awal (intensif) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu
diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
b) Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,
biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2
minggu.
c) Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)
dalam 2 bulan (Kemenkes No. 364, 2009).
2) Tahap Lanjutan
a) Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama.
b) Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan (Kemenkes No. 364, 2009).
2. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia
WHO dan IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung
Disease) merekomendasikan paduan OAT standar, yaitu :
Tabel 1. Panduan OAT Metode DOTS (Amin, 2014)
Kategori Pasien TB Fase Awal Fase Lanjutan
1 Pasien baru TB paru 2HRZE 4H3R3
BTA positif 2HRZE 4HR
Pasien TB paru BTA 2HRZE 6HE
negatif foto toraks positif
Pasien TB ekstra paru
2 Relaps, kegagalan 2HRZES/ 5H3R3E3
pengobatan, kembali ke 1HRZE 5HRE
default 2HRZES/
1HRZE
3 TB sputum BTA (-) 2HRZ 4H3R3
TB ekstra paru 2HRZ 4HR
2HRZ 6HE
4 TB kasus kronis Pengobatan TB paru kasus kronik,
jika belum ada hasil
uji resistensi, berikan RHZES
Untuk seumur hidup diberi
Isoniazid

3) Paduan OAT yang yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan TB


di Indonesia:
Kategori 1 : 2HRZE/4(HR)3
Kategori 2 : 2HRZES/(HRZE)/5(HR)3E3
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan OAT Sisipan : HRZE dan
OAT Anak : 2HRZ/4HR
Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket
berupa obat Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori anak
sementara ini disediakan dalam bentuk OAT kombipak. Tablet OAT KDT ini
terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya
disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket
untuk satu pasien (Kemenkes No. 364, 2009).
a. Paket Kombipak
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin,
Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT
ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang
mengalami efek samping OAT KDT (Kemenkes No. 364, 2009).
Paduan Obat Anti TB (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan
tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan
(kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu paket untuk satu pasien dalam
satu masa pengobatan (Kemenkes No. 364, 2009).
b. Kombinasi Dosis Tetap (KDT) mempunyai beberapa keuntungan dalam
pengobatan TB:
1) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin
efektifitas obat dan mengurangi efek samping.
2) Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko
terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan
resep.
3) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat
menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien (Kemenkes No.
364, 2009).

Tabel 2. Dosis paduan OAT KDT kategori 1 (Kemenkes No. 364, 2009).
Tahap Lanjutan 3 kali
Tahap Intensif tiap hari
seminggu selama 16
Berat Badan selama 56 hari
minggu
RHZE (150/75/400/275)
RH (150/150)
30 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

Tabel 3. Dosis yang digunakan untuk paduan OAT Kombipak Kategori 1:


2HRZE/ 4H3R3 (Kemenkes No. 364, 2009).
Dosis per hari / kali Jumlah
Tablet Kaplet Tablet Tablet hari/kali
Tahap Lama
Isoniazid Rifampisin Pirazinamid Etambutol menelan
pengobatan pengobatan
@ 300 @ 450 mg @ 500 mg @ 500 obat
mg mg
Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48

You might also like