You are on page 1of 7

Paradoks Komunikasi Pemilihan Rektor

Gun Gun Heryanto ; Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute;


Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
KORAN SINDO, 06 Juni 2017

Polemik seputar pernyataan menteri Kabinet Kerja Jokowi kembali terjadi.


Kini, paradoks komunikasi bersumber dari pernyataan Menteri Dalam
Negeri Tjahjo Kumolo, Kamis (1/7), tentang pemilihan rektor perguruan
tinggi yang diwacanakan pemilihannya oleh presiden.

Sentimen negatif muncul dan ramai menjadi bahan perbincangan para


akademisi lintas kampus dalam obrolan langsung ataupun perbincangan
yang termediasi ragam aplikasi percakapan warga. Ada dua masalah
utama.

Pertama, cara berkomunikasi yang abai dengan prinsipprinsip kejernihan


pesan.

Kedua, soal substansi pesannya, yakni menyangkut mekanisme pemilihan


rektor oleh presiden yang menimbulkan penentangan dari banyak
kalangan.

Narasi Komunikasi

Mengomunikasikan sebuah isu, keinginan, ataupun kebijakan yang akan


diambil maupun tidak oleh pemerintah, prinsipnya tak boleh
sembarangan. Pernyataan pejabat publik selevel menteri sebaiknya
menganut asas kehati-hatian, dengan mempertimbangkan komponen
elementer dari proses komunikasi itu sendiri. Konteks yang menjadi latar
bahkan panggung pesan yang akan dimunculkan, siapa komunikator yang
menjadi penyampainya, substansi pesan, saluran yang digunakan,
khalayak yang menjadi target, dan dampak yang ingin dicapai.

Pertama, ditelaah dari sisi konteks, pemunculan pesan pemilihan rektor


oleh presiden ini sangat tidak tepat.

Pernyataan Mendagri muncul persis dalam peringatan Hari Lahir


Pancasila, Kamis (1/6). Segenap elemen pemerintah sedang intens
mengampanyekan narasi Saya Indonesia, Saya Pancasila. Narasi
tersebut cukup antusias mendapat sambutan masyarakat. Bahkan, narasi
ini menjadi viral dan beresonansi di ragam kanal warga termasuk media
sosial.

Tiba-tiba, Mendagri mengeluarkan pernyataan pada hari peringatan


Pancasila tersebut yang tak relevan bahkan paradoks dengan penguatan
narasi yang sedang dikampanyekan itu, sehingga pernyataan soal
pemilihan rektor tersebut menjadi noise atau ganggung karena menuai
banyak protes dari banyak pihak terutama para akademisi.

Pesan yang kehilangan konteks biasanya memang akan kehilangan


makna utuhnya dari yang dikehendaki komunikator. Semua pejabat publik
termasuk menteri, seharusnya di momentum itu, turut menyokong
penguatan narasi Pancasila sebagai titik temu ragam perbedaan bangsa
ini, dan menghindari pernyataan kontroversial terlebih isunya berbeda.
Kedua, dari sisi komunikator yang menjadi penyampai pesan, jauh akan
lebih elok jika yang menyampaikan pertama kali soal wacana pemilihan
rektor dengan ragam argumennya tersebut adalah Menteri Riset dan Dikti
Mohammad Nasir, bukan Mendagri.

Dengan syarat, ada narasi yang sama antarpejabat pemerintah dalam


menyampaikan pesannya. Secara strategis, sebaiknya ada prakondisi
pesan dengan mengomunikasikannya lewat ragam stakeholder
pendidikan tinggi melalui berbagai organisasi yang ada seperti forum
rektor, asosiasi ilmuwan dll. Dengan begitu, pesan tidak terkesan
mengalami penyimpulan yang melompat (jumping conclusion) yang
berakibat pada jarak komunikasi (communication gap) yang merugikan
pemahaman bersama (mutual understanding) di para penerima pesan.

Ketiga, narasi pesannya Mendagri soal pemilihan rektor oleh presiden ini
kehilangan power rasionalitas naratif.

Mengutip pendapat Walter Fisher, Human Communication as a Narration:


Toward a Philosophy of Reason, Value, and Action (1987), yang
mengidentifikasi dua hal prinsip dalam rasionalitas naratif, yakni koherensi
(coherence) dan kebenaran (fidelity). Koherensi akan muncul saat si
komunikator yang membangun dan mengembangkan narasi dapat
menyajikannya dengan runtut dan konsisten. Dia tidak meninggalkan
detail-detail penting dan tidak pula mengontradiksikan antara satu bagian
narasi dan narasi lain di konteks berbeda.
Sementara prinsip kebenaran, memiliki makna realibilitas dari sebuah
cerita. Dalam konteks ini, pernyataan komunikator merepresentasikan
secara akurat realitas sosial. Mendagri kehilangan koherensi struktural
(structural coherence) berpijak pada tingkatan di mana elemen-elemen
dari sebuah cerita mengalir dengan lancar.

Ketika cerita membingungkan atau suatu bagian tak tersambung dengan


bagian berikutnya, atau ketika alurnya tidak jelas, maka cerita itu
kekurangan koherensi struktural. Elemen pernyataan soal perlunya rektor
dipilih presiden dengan elemen argumentasi yang dimunculkan Mendagri
soal kekhawatirannya akan perguruan tinggi yang disusupi ideologi selain
Pancasila tidak nyambung.

Jika pun menghendaki kampus punya komitmen yang sama dalam


meneguhkan Pancasila dan tak menjadi inkubator ideologi non-
Pancasila, tidak lantas solusinya adalah memilih rektor perguruan tinggi
oleh presiden, bukan? Di bagian lain, pernyataan yang menyamakan
mekanisme pemilihan rektor seperti pemilihan gubernur, bupati, wali kota,
juga tak nyambung.

Selain itu, pernyataan Mendagri juga tampaknya kehilangan koherensi


material (material coherency). Merujuk pada tingkat nyambungnya antara
satu narasi dan narasi lainnya yang saling berkaitan dalam
pernyataannya. Pada berita di Detik.com (1/6) Mendagri Tjahjo Kumolo
mengatakan penentuan pemimpin di perguruan tinggi negeri atau rektor
kini diharuskan dipilih presiden.
Meskipun kemudian diklarifikasi lebih lanjut, Rektor adalah jabatan
strategis yang dipilih Senat Perguruan Tinggi dan Pemerintah melalui
Mendikti, (SindoNews.com, Kamis,1/6). Pada berita lain di Detik.com
(Sabtu/1/6), menyatakan pemilihan rektor nantinya dikonsultasikan
kepada presiden. Narasi Mendagri tampak gamang antara diksi dipilih,
diusulkan, dikonsultasikan sehingga menimbulkan polemik dalam
interpretasi media maupun warga.

Keempat, soal saluran yang digunakan adalah media massa nasional


yang punya karakter keserentakan pesan (one-to-many communication).

Dalam situasi seperti ini, sebaiknya Mendagri harus menyadari


pendekatan political hype dalam kerja public relations politik, bahwa
pernyataannya akan menggapai khalayak luas. Oleh karena itu,
pernyataannya harus terukur, bukan memantik persoalan baru.

Sivitas Akademika

Masalah substansinya dari polemik ini sesungguhnya ada pada relasi


kuasa (power relation) yang mau dibangun dan dikembangkan oleh
pemerintah terhadap lingkungan sivitas akademika di perguruan tinggi.
Mau ke mana bandul diarahkan? Jika tujuan utama pesan Mendagri itu
pada komitmen kalangan kampus untuk menguatkan nilai-nilai Pancasila,
seyogianya pendekatan yang digunakan itu adalah semacam paradigma
politik Grunigian (The Grunigian Political Paradigm), yakni bagaimana
menciptakan pemahaman bersama sekaligus mengembangkan
keuntungan bersama (mutual benefit).
Pemerintah baik di pusat maupun di pemerintah daerah bisa merangkul
kalangan kampus untuk program-program kolaboratif maupun partnership
dalam meneguhkan narasi dan pengamalan nilai-nilai Pancasila itu dalam
kehidupan sehari-hari para sivitas akademika. Tidak perlu sampai
berlebihan dengan melakukan penetrasi apalagi korporatisme politik
melalui tangan-tangan kekuasaan rektor di kampuskampus.

Justru sebaiknya pemerintah memberi dukungan penuh pada tumbuh


kembangnya kampus-kampus yang demokratis dan memiliki
kemandiriannya untuk menguatkan kapasitas kelembagaan mereka.
Jangan sampai cara Orde Baru melalui format Normalisasi Kehidupan
Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) terulang lagi.
Pemerintahan Jokowi sedari awal melambungkan harapan tinggi pada
nilai keberbedaannya karena dekat dengan rakyat.

Oleh karena itu, kebijakan-kebijakan dan narasi yang bisa menjauhkan


kepercayaan publik pada pemerintahan prorakyat ini harus dihindari.
Biarkan sivitas akademika ini menjadi bagian penting menguatnya
masyarakat sipil yang bisa menjembatani antara rakyat dan pemerintah.
Caranya lewat kajian dan pendidikan, pengabdian masyarakat, dan
penelitian.

Kampus bisa menyuarakan dukungan pada program-program pemerintah


yang bagus seperti peneguhan Pancasila, sekaligus bisa mengkritik
pemerintah jika tak sesuai dengan kepentingan publik. Singkatnya, jangan
tambahi beban Jokowi dengan pekerjaan memilih rektor perguruan tinggi!

You might also like