Professional Documents
Culture Documents
JJ Rizal ; Sejarawan
KORAN SINDO, 06 Juni 2017
Terlebih penting dengan proyek itu Bang Ali memutus sikap mendua
masyarakat terhadap arsitektur warisan kolonial: menerima dan merawat
atau menghancurkan. Ia mewariskan contoh membangun Jakarta di atas
ibu kota kolonial tanpa dibebani sentimen nasionalisme sempit yang
memusuhi ingatan tentang masa kolonial yang maujud di ruang kota.
Bang Ali justru memilih mengambil alih arsitektural dan ruang warisan
kolonial serta ia suplant dengan cita-cita kota republik Soekarno. Bukan
hanya dalam artian bangunan, bahkan fungsi kelembagaan yang
diperankan di masa lalu pun dilanjutkan. Kampung Akuarium contohnya.
Ia pulihkan cita-cita Dr. Sunier yang ditunjuk Departemen van Landbouw,
Nijverheid en Handel sebagai direktur pertama dan menyatakan Kampung
Akuarium adalah Laboratorium voor Onderzoek der Zee atau lembaga
penelitian laut pemerintah Hindia Belanda, tetapi yang juga dibuka untuk
umum. Sebab itu di Kampung Akuarium selain pengunjung, juga
berseliweran para siswa sekolah kelautan dan peneliti mancanegara.
Kualitas kebun binatang laut itu memang bukan isapan jempol. Kronikus
Jakarta, Firman Lubis, mencatat, Terutama hari Minggu, banyak yang
berkunjung ke Kampung Akuarium yang mempertontonkan berbagai
macam ikan hias laut dengan terumbu karang yang indah. Bagus dan
artistik sehingga senang melihatnya. Pada akhir 1970-an, akuarium ini
ditutup.
Entah kenapa, mungkin sudah tidak terurus lagi. Dalam buku Kunjungan
ke Jakarta Ibukota-RI yang terbit 1983 karya SW Siswoyo yang berisi
informasi kawasan wisata kota Jakarta dan diberi pengantar Gubernur R
Soeprapto tidak ada lagi Kampung Akuarium. Muncul pembahasan
panjang Samudra Jaya Ancol yang memiliki dua jenis akuarium: air tawar
dan air laut.
Dipaparkan juga para peneliti bekerja, salah satunya membuat pesut bisa
beranak dalam kolam buatan manusia, sehingga menjadi bagian dari
pertunjukan pesut di dalam akuarium besar. Ada masa Kampung
Akuarium pernah mengalami bencana yang hampir melenyapkan
keberadaannya saat kaca-kaca setebal 2 cm yang panjang dan lebar
diturunkan di Pelabuhan Tanjung Priok pada 1921 ternyata sudah menjadi
bubuk.
Begitu juga ketika kaca-kaca yang dipesan lagi tiba pada 1923 setahun
kemudian pecah berantakan. Tetapi bencana berturut-turut itu tidak
membuat Kampung Akuarium lenyap. Lain halnya dengan bencana yang
datang setelah Bang Ali purnatugas. Sekali ini tidak selamat. Kampung
Akuarium sebagai penanda aspek melaut Jakarta yang
merepresentasikan tanah air pudar dengan cepat.
Laut, pantai yang semula dalam konsep kota Soekarno bagian dari
modernisme sosialis, bergeser ke modernisme pasar di bawah asuhan
bisnis dan property market. Dalam konteks modernisme pasar itulah,
kampung-kampung di tengah kota dan di pesisir Jakarta distigmatisasi
sebagai sarang keburukan. Tak terkecuali Kampung Akuarium.
Penggusuran kampung itu pada 11 April 2016 dapat dilihat dalam konteks
itu. Sejarahnya semakin terkubur, sedang stigmatisasinya kian meninggi.
Dikatakan bahwa alasan penggusuran untuk menata kawasan sejarah
bahari Jakarta, tetapi suara Gubernur Ahok yang santer justru soal
kampung itu sarang penyakit TBC dan maling tanah negara.
Bukan sejarawan atau arkeolog, melainkan polisi dan tentara yang
pertama diajaknya bicara dan direstui membuka posko di Kampung
Akuarium. Selang setahun kemudian saat Kampung Akuarium
mengenang peristiwa penggusuran yang merendahkan martabat
kemanusiaan merekasejarah tak juga dapat kesempatan bicara
menyusul kekalahan Ahok untuk menjabat lagi sebagai gubernur.